Pers Indonesia mengalami perkembangan yang
pesat setelah era reformasi bergulir, bersamaan dengan turunnya Suharto sebagai
presiden. Bersamaan dengan turunnya Suharto, pers Indonesia memasuki babak baru
dengan dibukannya pintu kebebasan. Bak orang yang baru keluar dari penjara,
pers Indonesia menikmati kebebasannya setelah bertahun-tahun dikebiri oleh
pemerintah yang otoriter. Hal ini membuktikan, bahwa pers merupakan tolok ukur
demokrasi di sebuah Negara. Kalau persnya bebas, maka demokrasi di negara
tersebut berjalan dengan baik. Sejalan dengan kebebasan pers, maka demokrasi di
Indonesia mulai berkembang, setelah sebelumnya terkurung dalam kekuasaan
pemerintah.
Pintu kebebasan pers sebenarnya dimulai
ketika pemerintah Presiden Habibie – yang menggantikan Suharto – melalui
Menteri Penerangan M Yunus Yosfiah menghapuskan SIUPP (Surat Ijin Penerbitan
Pers) pada tahun 1998. Sebelumnya, Menpen Yunus Yosfiah membuat terobosan
dengan memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk mengurus SIUPP.
Pemerintah memberi kemudahan untuk mengurus SIUPP. Kalau sebelumnya bisa
memakan waktu bertahun-tahun, kala itu hanya butuh waktu satu bulan. Tapi
akhirnya aturan itu dihapus sama sekali.
SIUPP dianggap sebagai momok pers
Indonesia, karena pemerintah bisa membredel sebuah media dengan cara mencabut
SIUPP-nya. SIUPP adalah bukti kebijakan represif pemerintah terhadap pers.
Padahal, kebijakan tersebut bertentangan dengan UU Pokok Pers yang menyatakan
pemerintah tidak bisa membredel pers. Inilah bentuk arogansi pemerintah yang
mengabaikan UU untuk melanggengkan kekuasaan. Pemerintah menganggap kebebasan
pers bisa membahayakan pemerintah. Kebijakan membuka kebebasan pers itu
kemudian diikuti presiden berikutnya, KH Abdurahman Wahid yang membubarkan
Departemen Penerangan.
Sejalan dengan dihapusnya SIUPP, pers
Indonesia kemudian berkembang pesat bak jamur di musim hujan. Siapa saja bisa
menerbitkan koran, tabloid, majalah dan media lain, tanpa harus melewati aturan
yang berbelit, cukup dengan membentuk badan usaha. Maka bermunculanlah berbagai
macam media cetak dengan bermacam isi. Berita-berita yang sebelumnya tabu dan
dilarang untuk diberitakan, kini tidak ada lagi larangan. Masalah yang
berkaitan dengan SARA dan masalah pribadi bisa jadi konsumsi berita. Pers pun
ramai memberitakan masalah pribadi seorang pejabat. Bukan itu saja, informasi
yang tak jelas pun bisa menjadi berita. Tak jelas berapa jumlah media yang
terbit pasca-penghapusan SIUPP itu, tapi diperkirakan mencapai angka 900. Kebenayakan
diantaranya berbentuk tabloid mingguan yang tersebar di seluruh pelosok
Indonesia.
Pers Indonesia mengalami eforia merayakan
kebebasannya, setelah sebelumnya dikekang oleh pemerintah. Ratusan media itu
berlomba untuk membuat berita yang bombastis untuk disuguhkan kepada
masyarakat. Masayarakat pun antusias menyambutnya, karena mereka haus
berita-berita yang berani menyerang pemerintah. Selama ini mereka dicekoki
berita yang membebek kepada pemerintah, tanpa ada sikap kritis. Setelah
kebebasan diperoleh, pers bergerak sangat cepat. Masalah yang sebelumnya tidak
boleh diberitakan, tanpa alangan lagi bisa dimuat dengan lengkap dan jelas,
tanpa ada yang melarang. Era 1998 – 2000 adalah saat pers Indonesia menikmati
kebebasan dengan sebebas-bebasnya.
Tak ada yang bisa dan berani mengontrol.
Apalagi masyarakat menyambut antusias kebebasan itu, karena mereka bisa
mendapat sajian berita yang sebelumnya tidak boleh diberitakan. Media pun
berlomba untuk membuat berita bombastis meskipun tidak bisa dipertanggungjawabkan
secara professional. Menyerang dan menista orang tanpa ada sumber yang jelas
sudah menjadi hal biasa kala itu. Media yang berani itu kemudian berkembang
pesat. Sebuah tabloid Oposisi di Surabaya mencapai tiras yang fantastis,
1.000.000 eksemplar sekali terbit. Hebatnya lagi, tabloid ini dicetak serentak
di berbagai kota, Surabaya, Jakarta, Solo, Medan, Makassar dan kota besar
lainnya.
Sayangnya, kebebasan itu tidak diikuti
dengan sikap profesional dan tanggung jawab terhadap profesi. Banyak media yang
membuat berita tanpa dilandasi kaidah jurnalistik yang benar. Trial by the
press dilarang, justru menjadi mainan dan dipakai untuk membuat berita. Pers
dipakai untuk menyerang dan menjatuhkan seseorang. Yang tak kalah mengerikan
adalah, pers dengan tenang tanpa beban, menelanjangi kehidupan seseorang. Kode
etik jurnalistik yang menjadi pijakan profesional seorang wartawan, dibuang
jauh-jauh.
Model pemberitaan yang bebas tanpa norma
pada awalnya bisa diterima oleh masyarakat. Mereka menganggap ini sebagai
sesuatu yang hebat, yang selama ini tidak bisa mereka peroleh. Tapi ternyata
model pers seperti itu tidak bisa bertahan lama. Masyarakat mulai
meninggalkannya, karena beritanya tidak bisa dipertanggung jawabkan. Tak
sedikit media itu menyebar berita bohong yang tidak jelas asal usulnya.
Desas-desus yang berkembang di masyarakat langsung dijadikan berita tanpa
melakukan check – recheck atau check and balance. Masyarakat tidak mau lagi
membaca berita bombastis dan tendensius itu. Pelan tapi pasti, masyarakat mulai
meninggalkan media tersebut. Dampaknya sudah bisa ditebak, kalau media sudah
ditinggalkan pembacanya, lonceng kematin tinggal menunggu waktu. Dan ternyata
benar, satu per satu media-media itu gulung tikar, hilang tak berbekas. Bahkan
tabloid yang dulunya dicetak sampai satu juta eksemplar, umurnya tidak panjang.
Dalam kasus ini, hukum pasar yang berlaku.
Kalau produk media – dalam bentuk berita – dibutuhkan oleh masyarakat, maka
media itu akan mampu bertahan. Karena, tidak ada media yang bisa hidup tanpa
pembaca. Kini, yang tersisa adalah media yang kredibilitasnya dipercaya oleh
masyarakat.
0 comments:
Post a Comment