BAB I
PENDAHULUAN
Diplomasi Kuno. Diplomasi yang dijalankan oleh
negara-negara yang ada dan berdiri pada masa sebelum Masehi seperti misalnya
India Kuno, China Kuno, dan Mesir Kuno. Sayangnya banyak informasi yang belum
tergali dari praktek diplomasi pada jaman kuno ini. Diplomasi kuno umumnya
mengambil bentuk diplomasi matrimonial (diplomasi melalui perkawinan) seperti
dijalankan oleh Nabi Sulaiman yang menikahi Ratu Balqis, atau yang dilakukan
oleh Ratu Cleopatra dari Mesir dengan menikahi Jenderal Romawi Anthony untuk
mencegah Mesir diserang Roma.
Bahkan jauh sebelum jaman Cleopatra, yaitu
sekitar 3.500 SM, di Mesir diyakini sudah ada korespondensi diplomatik dengan
ditemukannya “letter from Amara” yang berisi daftar barang-barang yang
dikirimkan kepada seseorang yang diyakini sebagai pejabat. Hal ini menandakan
bahwa praktek diplomasi sudah ada jauh sebelum jaman Yunani yang dijadikan akar
peradaban Eropa.
Dalam epos Mahabharata India Kuno misalnya ada
cerita tentang Kresna Duta, sebuah epos tentang diutusnya Prabu Kresna dalam
sebuah misi Pandawa meminta kembali negara yang dikuasai Kurawa. Kautilyapada
abad ke-4 sebelum Masehi juga sudah menulis Arthasastra yang berisi tentang hubungan
internasional dan diplomasi. Kita juga yakin bahwa di Cina tentunya sudah
berkembang praktek diplomasi mengingat Cina juga mempunyai peradaban yang
sangat tua, termasuk konsep “the Middle Kingdom.”
Setelah kita membaca ulasan di atas tentunya
kita sedikit tahu ternyata diplomasi sudah dilakukan oleh negara-negara sejak
sebelum masehi. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami berusaha menjelaskan
lebih jauh lagi seputar diplomasi internasional.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengetian Diplomasi
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia , terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, diplomasi
mengandung beberapa pengertian antara lain:
-
Urusan
atau penyelenggaraan hubungan resmi antara
satu negara dengan negara lain;
-
Urusan
kepentingan sebuah negara dengan perantaraan
wakil-wakilnya di negara lain;
-
Pengetahuan
dan kecakapan dalam hal perhubungan
antara negara dengan negara;
-
Kecakapan menggunakan pilihan kata yang tepat bagi
keuntungan pihak yang bersangkutan
(dalam perundingan, menjawab pertanyaan, mengemukakan pendapat dan
sebagainya).
Sedangkan
beberapa pengertian mengenai diplomasi yang lain terdapat pada kamus Oxford
Advenced Learner Dictionary of Current English Diplomasi adalah :
-
Pengelolaan
urusan-urusan negara oleh wakil-wakilnya di luar negeri, para Duta Besar dan
Duta, berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan Departemen Luar Negrinya,
Ketrampilan dalam sosial ini;
-
Seni
mengenai ketrampilan dalam barurusan dengan orang , sehingga bisnis yang
dilakukan berjalan lancar.
Kutipan Zainal Abidin Partao dari Yusuf Badri
(2001:13-14), menyebutkan sejarah awal
istilah diplomasi berasal dari bahasa Yunani, ziplwma, atau duplicate
artinya :
·
Digandakan
atau
·
Dilipat
dua
Arti “diploma” secara luas adalah naskah
dokumen yang disimpan sebagai arsip kantor. Secara historis, pengertian
“diplomasi” menunjuk kepada orang yang bertanggung jawab dalam mengenai dan
mengelola arsip. Pengertian “diploma” terkait dengan masalah polotik dan
hubungan luar negeri, baru muncul setelah memasuki abad XVIII.
Berdiplomasi:
-
Menyelenggarakan
urusan perhubungan antara negara dan negara,
-
Menggunakan
pilihan kata dan kalimat yang tepat bagi keuntungan pihak yang bersangkutan
(dalam perundingan dan sebagainya)..
Diplomat :
Orang yang berkecimpung dalam bidang diplomat (menteri luar negeri, duta besar)
Diplomatis :
Bersifat sangat berhati-hati dalam mengutarakan
pendapat (dengan menggunakan kata-kata atau kalimat yang samar-samar atau
terselubung)
Diplomasi pada hakikatnya merupakan kebiasaan
untuk melakukan hubungan antarnegara melalui wakil resminya dan dapat
melibatkan seluruh proses hubungan luar negeri, perumusan kebijakan termasuk
pelaksanaannya. Dalam arti yang luas, diplomasi dan politik luar negeri adalah
sama. Namun, dalam arti yang sempit, atau lebih tradisional, diplomasi itu
melibatkan cara-cara mekanisme, sedangkan dalam politik luar negeri ada dasar
atau tujuannya. Dalam arti yang lebih terbatas, diplomasi meliputi teknik
operasional dimana negara mencari kepentingan di luar yuridiksinya.
a. Ada yang menyamakan kata itu dengan “politik
luar negeri”, misalnya jika dikatakan “Diplomasi RI di Malaysia perlu
ditingkatkan”.
b. Diplomasi dapat pula diartikan sebagai
“perundingan” seperti sering dinyatakan bahwa “Masalah Timur Tengah hanya dapat
diselesaikan melalui diplomasi”. Jadi perkataan diplomasi disini merupakan
satu-satunya mekanisme yaitu perundingan.
c. Dapat pula diplomasi diartikan sebagai “dinas
luar negeri” seperti dalam ungkapan “Selama ini ia bekerja untuk diplomasi”.
d. Ada juga yang menggunakan secara kiasan seperti
dalam “pandai berdiplomasi” berarti “pandai bersilat lidah”.
B.
Tugas dan Fungsi Diplomasi
Jika
membicarakan tugas diplomasi sebenarnya tidaklah terlepas dari tugas dari para
pelakunya maupun institusinya, utamanya seperti para diplomat para dengan perwakilan diplomatnya yang berada di
suatu negara sebagaimana tersebut dalam “Konvensi Wina 1961 Mengenai Hubungan
Diplomatik”. Para diplomat dianggap sebagai
corong dari pemerintahanya dan saluran resmi komunikasi antara negara
pengirim dan negara penerima. Ada keyakinan bahwa berhasilnya diplomasi dari
suatu negara itu akan tergantung sekali dari bagaimana memilih para
diplomatnya, termasuk kemampuan serta kewenangannya dalam melaksanakan
tugasnya. Hal ini memang terbukti dalam sejarah.
Tugas
utama dari diplomat adalah menyangkut keterwakilannya (representation) dari suatu negara di negara lain. Ada yang
menganggap bahwa para duta besar itu
merupakan mata dan telinga dari negaranya. Tugas mereka mencakupi keterwakilan
diplomatik, mengadakan pertukaran nota mengenai masalah-masalah yang menyangkut
kepentingan bersama, melakukan perundingan mengenai yang bersifat strategis dan
politis, melindungi serta memajukan kepentingan negara pengirim di negara
penerima.
Dalam
menyelesaikan pertikaian atau permasalahan, duta besar tidak memiliki kapal
perang dan tidak pula mempunyai infanteri yang besar ataupun benteng, senjata
utamanya semata-mata hanyalah kata-kata dan kesempatan. Dalam
transaksi-transaksi yang penting, kesempatan berlalu sangat cepat. Sekali
hilang maka hal itu sukar dapat ditemui lagi. Adalah merupakan pelanggaran yang
besar untuk menghilangkan demokrasi dari suatu kesempatan, karena kesempatan
itu dapat menghilangkan oligarki dan otokarsi. Menurut sistem itu tindakan
dapat diambil dengan cepat dan hanya meminta dengan kata.
Menurut
Hans J. Morgenthau tugas diplomasi dapat dibagi dalam empat pokok:
1. Diplomasi harus membentuk tujuan dalam rangka
kekuatan yang sebenarnya untuk mencapai tujuan tersebut. Suatu negara yang
ingin menciptakan tujuan-tujuannya yang belum dicapai haruslah berhadapan
dengan suatu resiko untuk perang. Karena itu diperlukan suksesnya diplomasi
untuk mencoba mendapatkan tujuannya tersebut sesuai dengan kekuatannya.
2. Di samping melakukan penilaian tentang
tujuan-tujuannya dan kekuatannya sendiri. Diplomasi juga harus mengadakan
penilaian tujuan dan kekuatan dari negara-negara lainnya. Didalam hal ini,
sesuatu negara haruslah menghadapi resiko akan terjadinya peperangan, apabila
diplomasi yang dilakukannya itu salah dalam menilai mengenai tujuan dan
kekuatan negara-negara lainnya.
3. Diplomasi haruslah menentukan dalam hal ini apa
perbedaan dalam tujuan-tujuan itu dapat
cocok satu sama lain. Diplomasi harus dilihat apakah kepentingan negaranya
sendiri dengan negara lain cocok. Jika jawabannya “tidak” , maka harus dicari
jalan keluar untuk merujukkan kepentingan-kepentingan tersebut.
4. Diplomasi harus menggunakan cara-cara yang
pantas dan sesuai seperti kompromi, bujukan dan bahkan kadang-kadang ancaman
kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuannya.
C.
Diplomasi dalam Islam
Dalam Islam,
diplomasi yang digunakan adalah Diplomasi Moral. Diplomasi moral bermakna
hubungan antar negara, atau kepada manusia lainnya yang dilakukan berdasarkan
moral manusia. Penghormatan kepada umat manusia adalah sebuah kebutuhan yang
asasi. Manusia membutuhkan penghargaan atas dirinya. Dalam sejarah hidupya,
Rasulullah selalu menggunakan diplomasi moral dalam aktivitasnya.
Diplomasi moral yang
dilakukan oleh Rosulullah, tercermin setidaknya dari dua hal di bawah ini:
Pertama, cara bersikap. Diplomasi sangat ditentukan oleh sikap seorang
diplomat. Jika seorang diplomat tidak memiliki sopan santun, maka ia akan gagal
dalam negosiasi demi capaian negara atau kelompoknya. Dalam sejarah Islam,
ketika kaum muslimin di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib berhijrah ke
Abbesinia (Ethiopia, Afrika) untuk bertemu dengan Raja Negus beragama Nasrani,
kaum muslimin mendapatkan black campaign
dari kaum kafir Quraisy yang dipimpin olej Amr bin Ash (ketika ia masih kafir).
Namun, akhirnya kaum muslimin berhasil untuk mendapatkan perlindungan dari negara tersebut.
Dalam Islam,
kerjasama antara satu negara, atau satu lembaga dengan lembaga lainnya perlu
berdasarkan pada penghormatan antara sesama. Termasuk dalam hal ini adalah
bagaimana sikap seorang diplomat dalam bernegosiasi. Kegagalan dalam bersikap
akan membawa pada resistensi san hal ini akan merugikan negara atau kelompok
tersebut.
Diplomasi Iran
beberapa tahun belakangan menarik untuk disimak. Walau disebut oleh Amerika
sebagai negara yang tergabung dalam poros setan (axis of evil) bersama Iran dan Korea Utara, Presiden Iran Muhamoud
Ahmadinejad tetap mengunjungi Amerika dan berpidato di PBB dan Universitas
Columbia. Dalam pidato tersebut, Nejad mengkritik kebijakan-kebijakan Amerika,
termasuk dalam mensponsori terorisme di Timur Tengah. Walau mendapatkan
penentangan dalam forum, Nejad tetap menjawab itu dengan argumen rasional.
Sikap diplomasi moral yang menggunakan kepala dingin ini perlu diapikasikan
guna mencapai tujuan nasional.
Sikap serius,
rasional, dan menggunakan kepala dingin ini diperlukan dalam proses negosiasi,
mengajak negara atau orang lain untuk mengikuti Islam. Rasulullah menyambut manusia lain dengan salam dan kedamaian. Beliau tidak mendasarkan
diplomasinya pada kebencian, rasial (seperti yang dipertontonkan oleh Israel)
dan menghincari percakapan yang menyakiti orang lain.
Kedua, Cara berbicara. Rasulullah menyebutkan bahwa perkataan
yang baik adalah sedekah dan orang yang baik adalah yang mampu mengungkapkan
kata-katanya dengan rasional dan laksana obat yang memberikan penyembuhan.
Afzal Iqbal (2000) menulis:
Kata-kata yang baik akan menyatukan manusia, sebaliknya
kata-kata yang buruk hanya akan mengoyak-ngoyak mereka. Kata-kata yang jelek
hanya akan melahirkan iri hati, kebencian, perpecahan, dan perselisihan. Kaum
muslimin diwajibkan untuk menggunakan kata-kata yang baik dan bijak dalam usaha
mencapai tujuannya (hal. 81).
Mengutip dari
al-Qur’an surat Ibrahim 24-26, menurut Iqbal, kata-kata yang baik adalah
”laksana pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.
Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah
memberikan perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.
Dan perumpamaan kalimat yang buruk, seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut
dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit
pun.” Dalam perspektif ayat ini, maka kaum muslim, termasuk dalam diplomasi,
dilarang menggunakan perkataan yang tidak senonoh atau tidak beradab.
Suatu waktu,
Rasulullah menerima tamu delegasi kaum Yahudi yang mengucapkan salam dengan
kata ”Assamu ’Alaikum” yang artinya
adalah ”semoga kematian ditimpakan kepada kalian semua.” Perkataan ini sekilas,
terdengar mirip dengan kata salam yang biasa diucapkan umat Islam. Namun
sesungguhnya jika didengar lebih jeli, vokal dan arti kata tersebut berbeda 180
derajat. Mendengar itu, istri nabi, Aisyah membalas dengan mengatakan, ”semoga
kematian segera ditimpakan kepada kalian akan laknat Allah akan menimpamu.”
Rasulullah memberikan jawaban yang lebih baik secara diplomatis, yaitu ”Wa’alaikum” yang berarti ”atas kamu.”
Dalam konteks cerita ini, terlihat betapa Rasulullah tidak ingin menyakiti hati
kaum Yahudi. Namun ketika kaum tersebut mengatakan kata-kata kasar, maka beliau
menjawabnya dengan kata-kata yang dikeluarkan oleh kaum Yahudi itu sendiri.
Dalam konteks
kekinian, apa yang dilakukan oleh Rasulullah juga bisa kita lihat dari
perkataan Presiden Iran Ahmadinejad. Iran yang dituduh sebagai negara teroris,
dijawab oleh Ahmadinejad dengan menampilkan bukti bahwa ternyata terorisme
sebenarnya adalah Amerika. Lewat bantuan luar negeri yang diberikan kepada
Israel tiap tahunnya yang tidak meminta laporan untuk apa dana tersebut
digunakan, telah membuktikan kelemahan Amerika atas Israel. Dalam realitanya,
kebijakan diskriminasi Israel bisa dikategorikan terhadap terorisme negara (state terrorism). Kasus pembunuhan
terhadap warga Palestina sejak 1948, Shabra dan Shatilla, hingga yang terakhir
di Gaza adalah bukti bahwa Amerika mendukung rezim terorisme negara.
Dalam salah
satu scene dalam film tentang
Shalahuddin al-Ayyubi ketika menaklukkan Yerusalem, ketika salah satu pimpinan
pasukan Salib berhasil ditangkap, al-Ayyubi mengatakan, ”raja tidak membunuh
raja.” Yang ingin ditampilkan oleh al-Ayyubi dalam film tersebut adalah
semangat bahwa dalam Islam, tujuan peperangan adalah bukan semata ingin
membunuh manusia lainnya. Perang adalah sarana untuk menegakkan agama Allah.
Artinya bahwa ketika musuh telah lemah dan menyerah, maka tidak diperbolehkan
lagi untuk membunuh musuh. Diplomasi ini juga dipraktekkan oleh Ali bin Abi
Thalib ketika beliau berhadapan dengan kekuatan Muawiyah yang ketika itu telah
hampir kalah dan mengangkat al-Qur’an. Ali tidak melanjutkan peperangan, akan
tetapi bersedia untuk berdialog, walau pada akhirnya sikap ini membuat
terpecahnya kelompok Ali menjadi Khawarij. Namun, dalam diplomasi, sikap Ali
untuk tidak semata berambisi untuk perang adalah sesuai dengan ajaran Islam.
Cara berbicara
bisa dimasukkan pada dua sikap: oral dan tulisan. Oral adalah berbicara lewat
mulut, sedangkan tulisan lewat surat. Rasulullah dalam berdakwah kepada
raja-raja, tidak menggunakan kata-kata kasar. Ia memulai segala sesuatunya
dengan memuji Allah, menyebutkan bahwa ajaran Tauhid adalah yang dibawa
olehnya, dan mengajak kepada raja tersebut untuk memeluk agama Islam. Dalam
perjanjian antara komunitas Islam, Madinah, dan Yahudi, Rasulullah senantiasa
memulai dengan kata “Bismillahirrahmanirrahim.”
Setelah kata itu, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dari
isi surat tersebut. Memulai dengan nama Allah adalah tujuan dari dakwah Islam.
Artinya, segala sesuatu yang dilakukan dalam Islam, tidak dibenarkan dikerjakan
dengan niat kepada selain Allah.
Dalam surat
yang diberikan kepada Raja-raja Himyar, Rasulullah memulai dengan nama Allah,
seperti dibawah ini:
Dengan
nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasulullah
untuk al-Harits bin Abu Kulal dan Nu’aim, pangeran dari Ru’ain dan Ma’afir
serta Hamdan. Saya memuji Allah yang tak ada tuhan selain Dia.
Di akhir surat yang
dikirimkan itu, Rasulullah tak lupa memberikan doa agar keselamatan senantiasa
bersama para Raja, terutama yang telah memeluk Islam. Ia berkata kepada
Raja-raja Himyar di akhir suratnya, ”Semoga rahmat Allah untuk anda semua.” Doa
ini bisa disebut sebagai salah satu aplikasi dari kata-kata yang baik kepada
manusia lainnya. Perkataan yang baik akan memberikan bekas kepada manusia
lainnya. Dalam konteks Indonesia yang umat Islamnya terbesar di dunia,
surat-surat kenegaraan tidak mencantumkan seperti yang Rasulullah lakukan,
padahal model surat dengan ”Bismillah” dan diakhiri dengan do’a adalah salah
satu dakwah dan mengajak kepada negara lain untuk bersama-sama mengikuti ajaran
Islam
BAB
III
PENUTUP
Diplomasi adalah seni dan praktek melakukan negosiasi antara wakil kelompok
atau negara. Biasanya mengacu pada diplomasi internasional, pelaksanaan
hubungan internasional melalui perantaraan diplomat profesional yang berkaitan
dengan masalah perdamaian, perdagangan, perang, ekonomi dan budaya. Biasanya
perjanjian internasional dinegosiasikan oleh diplomat sebelum pengesahan oleh
politisi nasional.
Dari definisi tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa diplomasi adalah :
-
Ilmu
-
Seni
-
Teknik
-
Karier
-
Profesi
-
Pengetahuan dan ketrampilan
Dalam Islam, diplomasi yang digunakan adalah Diplomasi Moral. Diplomasi
moral bermakna hubungan antar negara, atau kepada manusia lainnya yang
dilakukan berdasarkan moral manusia. Penghormatan kepada umat manusia adalah
sebuah kebutuhan yang asasi. Manusia membutuhkan penghargaan atas dirinya.
Dalam sejarah hidupya, Rasulullah selalu menggunakan diplomasi moral dalam
aktivitasnya.
Pertama, cara bersikap. Diplomasi sangat ditentukan
oleh sikap seorang diplomat. Sikap serius, rasional, dan menggunakan kepala
dingin ini diperlukan dalam proses negosiasi, mengajak negara atau orang lain
untuk mengikuti Islam. Rasulullah
menyambut manusia lain dengan
salam dan kedamaian.
Kedua, Cara berbicara. Rasulullah menyebutkan bahwa perkataan yang baik adalah sedekah dan orang
yang baik adalah yang mampu mengungkapkan kata-katanya dengan rasional dan
laksana obat yang memberikan penyembuhan. Kata-kata yang baik akan menyatukan
manusia, sebaliknya kata-kata yang buruk hanya akan mengoyak-ngoyak mereka.
Kata-kata yang jelek hanya akan melahirkan iri hati, kebencian, perpecahan, dan
perselisihan. Kaum muslimin diwajibkan untuk menggunakan kata-kata yang baik
dan bijak dalam usaha mencapai tujuannya
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin,
Zainal Partao (2006), Teknik Lobi & Diplomasi, untuk insan Public
Relations, Jakarta, Indeks kelompok Gramedi
Departemen
p & K (1988), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka (hal.
201)
Baskoro
M.Pd, Wahyu. (2005), Kamus lengkap bahasa Indonesia dengan ejaan yang
disempurnakan, Jakarta, Setia Kawan Press (hal. 1998-1999)
Tulisan Yanuardi Syukur, “DIPLOMASI
MORAL DALAM ISLAM”
///Diplomasi-wikipediabahasaindonesia.htm
1 comments:
Great....
Post a Comment