BAB I: PENDAHULUAN
SEKILAS
TENTANG KOMUNIKASI INTERNASIONAL
Komunikasi internasional sebagai sebuah bidang kajian memfokuskan
perhatian pada keseluruhan proses melalui mana data dan informasi mengalir
melalui batas-batas negara. Subyek yang ditelaah bukanlah sekedar arus itu
sendiri, melainkan juga struktur arus yang terbentuk, aktor-aktor yang terlibat
di dalamnya, sarana yang digunakan, efek yang ditimbulkan, serta motivasi yang
mendasarinya. Pendekatan yang digunakan bersifat makro, dengan aktor-aktor
non-individual sebagai unit analisa, dan dekat dengan wilayah disiplin ilmu
hubungan internasional atau ekonomi politik internasional.
Dalam perkembangannya, terdapat empat pendekatan dominan dalam disiplin
komunikasi internasional: idealistic-humanistic, political proselytization,
informasi sebagai kekuatan ekonomi, serta informasi sebagai kekuatan politik.
Masing-masing pendekatan memiliki kekuatan dan kelebihannya sendiri-sendiri,
sehingga mata kuliah komunikasi internasional tidak akan hanya terpaku pada salah satu perspektif
saja.
Dilihat dari pelakunya, komunikasi internasional dapat terbagi antara official transaction, yakni kegiatan
komunikasi yang dijalankan pemerintah, dan unofficial
transaction (atau disebut juga interaksi transnational), yakni kegiatan
komunikasi yang melibatkan pihak non-pemerintah. Untuk jangka waktu yang lama,
transaksi formal antarpemerintah dianggap paling menentukan. Namun semakin
banyak ditunjukkan bahwa tidak saja transaksi transnasional lebih intensif
dilakukan, namun dampaknya pun bisa lebih menentukan.
Komunikasi International
sebagai Fenomena.
Pemerintah, sebagai salah satu pelaku utama komunikasi internasional,
menjalankan sejumlah langkah yang berpengaruh terhadap posisi negara yang
diwakilinya dalam percaturan politik internasional. Pemerintah dapat
menjalankan langkah-langkah yang berefek politik langsung, seperti: diplomasi
dan propaganda; ataupun langkah yang berdampak tidak langsung, seperti:
mempromosikan pendidikan internasional.
Perkembangan komunikasi internasional sendiri selama sepanjang abad 20
ini dipengaruhi oleh berbagai kondisi sejarah. Pertama, perang dingin dan
perebutan hegemoni ekonomi politik antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang
baik secara langsung ataupun tidak langsung telah melibatkan seluruh negara di
dunia ini. Dunia menjadi ajang bukan hanya pertarungan politik, melainkan juga
pertarungan informasi. Kedua, bangkitnya negara-negara baru/berkembang yang
bisa diindikasikan dengan lahirnya berbagai gerakan solidaritas, yang dalam
wilayah komunikasi diwakili dengan lahirnya gerakan tata informasi dunia baru.
Ketiga, terbentuknya sistem ekonomi dunia ke arah globalisasi, yang mendorong
berlangsungnya komunikasi antarnegara untuk mendukung kepentingan ekonomi.
Terakhir, adalah perkembangan teknologi komunikasi yang kendatipun mempercepat
pengaliran arus informasi, namun juga dikhawatirkan memperlebar jurang ekonomi
antara negara maju dan negara berkembang.
Dalam pembahasan
makalah singkat ini, kita tidak akan membahas terlalu jauh bagaimana pendekatan-pendekatan
dalam komunikasi internasional, konsep-konsep komunikasi internasional, ataupun
segala sesuatu yang berkaitan dengan teknis komunikasi internasional yang
melibatkan negara sebagai pelaku paling dominan. Melainkan disini hanya sebatas
merefleksikan secara kritis berbagai persoalan-persoalan yang sempat menjadi grand issue dalam dunia komunikasi internasional.
BAB II
PEMBAHASAN
BERBAGAI
GRAND ISSUE DALAM KOMUNIKASI
INTERNASIONAL
(Sebuah Tinjauan Reflektif-Kritis)
Persoalan-persoalan
yang terjadi kaitannya dengan dunia komunikasi internasional merupakan suatu
realitas makro yang harus ditinjau secara lebih spesifik berdasarkan perspektif-perspektif tertentu. Untuk itu, dibawah
ini akan dijelaskan pelbagai persoalan tersebut – tentunya yang sempat menjadi grand issue dalam komunikasi
internasional kedalam beberapa perspektif diantaranya; Propagandistik,
kulturalistik, jurnalistik, Bisnis dan diplomatik.
A. Perspektif Propagandistik
1. Toronto
International Festival Film
Pada
september 2009 kemarin, sebuah ajang festival film internasional Toronto
Internasional Festival Film (TIFF) bisa dikatakan sebagai kasus komunikasi
internasional dalam perspektif propagandistik. Karena, didalam ajang tersebut
lebih didominasi oleh Film produksi negara Yahudi tersebut.
Pada waktu
itu, lebih dari 50 seniman, akademisi, dan pembuat film melayangkan protes pada
Toronto International Film Festival dan menuduh festival film tersebut telah
berubah menjadi "mesin propaganda Israel". Betapa tidak, pada
perayaan TIFF tahun lalu itu penyelenggara lebih memilih untuk menyajikan
film-film di 10 kota metropolitan Yahudi oleh para pembuat film lokal untuk
program "City to city" , yang mana setiap tahun fokus lensanya di
kota yang berbeda.
Hingga
pada akhirnya, festifal film tersebutpun dianggap telah "melancarkan
kampanye propaganda" negara Israel, mengingat tidak adanya pembuat film
Palestina dalam program ini. Bahkan, Pembuat film Kanada John Greyson memboikot
acara tersebut dan menarik film dokumenternya "Covered" dari festival
tersebut sebagai bentuk protes, dan sebuah pernyataan yang diterbitkan online
pada hari Kamis dan ditandatangani oleh lebih dari 50 seniman, akademisi, dan
para pembuat film telah menyamakan perayaan festival film tersebut seperti era
apartheid Afrika Selatan.
Festival
tersebut oleh beberapa kalangan, termasuk juga aktor Jane Fonda dan Danny
Glover, penulis Naomi Klein, dan pembuat film Ken Loachn telah telah dianggap
mengabaikan penderitaan ribuan penduduk dan keturunannya yang tinggal di
kamp-kamp pengungsi di Wilayah Pendudukan atau yang telah tersebar ke
negara-negara lain.
Tentu
“ulah” propagandistik Israel dalam ajang yang bersifat internasional seperti
TIFF itu akan berpengaruh pada obyektifitas penenilaian dan buruknya komunikasi
internasional dalam aspek dunia perfilman.
2. Invasi
AS-Irak
Pada tahun
2003, Amerika Serikat dengan dibantu Inggris serta beberapa negara lainnya
melancarkan serangan invasi kepada Irak. Berdasarkan keterangan dari Presiden
AS, George W. Bush dan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, alasan dari invasi
ke Irak ini adalah untuk melucuti senjata pemusnah massal (weapon of mass
destruction), mengakhiri dukungan Saddam Hussein terhadap terorisme, serta
untuk membebaskan rakyat Irak. Sementara Tony Blair sendiri mengatakan bahwa
pemicu utama serangan itu adalah ketidakmauan Saddam untuk menyerahkan senjata
pemusnah massal baik itu berupa senjata nuklir, biologis, maupun kimiawi.
Invasi
Amerika ke Irak tidaklah pernah lepas dari sorotan media. Sebagian besar
jaringan televisi berusaha menggerakkan masyarakat dengan menayangkan
acara-acara yang berkesan mendukung serangan itu. Masyarakat sendiri terbukti
enam kali lebih menyukai sumber-sumber informasi yang menyuarakan pro-invasi
dibandingkan yang menentang invasi. New York Times, salah satu harian paling
berpengaruh di Amerika, berkali-kali menerbitkan artikel yang menggambarkan
berbagai usaha Saddam Husein dalam membuat senjata pemusnah massal. Lebih jauh
lagi, terdapat berbagai usaha menghubung-hubungkan Saddam Husein dengan Osama
bin Laden dan peristiwa serangan teroris pada gedung WTC tanggal 9 September
2001. Namun ternyata pemberitaan-pemberitaan tersebut belum tentu benar adanya.
Bahkan pernah New York Times terpaksa mengeluarkan pemberitahuan tertulis bahwa
salah satu artikel mereka yang berjudul “U.S Says Hussein Intensifies Quest
for A-Bomb Parts” (“Amerika Serikat Mengatakan Hussein Menggalakkan
Pembuatan Onderdil Bom-A”) adalah bias dan tidak akurat.
Dunia
bukannya menutup mata akan alasan-alasan yang diberikan Amerika melalui medianya.
Sejak awal, telah muncul berbagai protes dan mosi ketidaksetujuan akan
diadakannya invasi. Pada Januari 2003 CBS mengadakan sebuah polling yang
hasilnya adalah sebagian besar warga Amerika menyetujui tindakan militer
terhadap Irak, tetapi 63% dari mereka lebih menginginkan penyelesaian damai
dibanding jalan kekerasan, dan mereka juga percaya bahwa tindakan-tindakan
terorisme terhadap Amerika hanya akan bertambah jika invasi benar-benar
dilakukan. Begitu pula pada negara-negara sekutu Amerika seperti Jerman,
Perancis dan Kanada yang tidak mendapati bukti adanya sejata pemusnah massal
dan memang menganggap penyerangan terhadap suatu negara adalah tidak
dibenarkan. Tanggal 15 Februari 2003, terjadi demonstrasi besar-besaran menolak
invasi Irak yang terjadi di Roma dan diikuti oleh tiga juta orang demonstran
sehingga tercatat dalam Guinness Book of World Record sebagai aksi
demonstrasi anti-perang terbesar di dunia. Namun semua tentangan itu tidaklah
dapat mencegah terjadinya Perang Teluk Kedua.
Invasi Amerika
didahului dengan serangan udara kepada Istana Kepresidenan Irak tanggal 19
Maret 2003. Hari berikutnya, tentara koalisi melancarkan serangan mendadak ke
Propinsi Basra dari dekat perbatasan Irak-Kuwait. Sementara tentara amfibi
melalui Teluk Persi mengamankan Basra dan tambang minyak di sekitarnya,
kekuatan utama tentara Amerika bergerak ke Selatan dan menduduki daerah
tersebut sehingga kemudian terjadi Pertempuran Nasiriyah pada 23 Maret 2003.
Serangan udara besar-besaran dilakukan untuk mengacaukan komando militer Irak,
kemudian tanggal 27 Maret 2003 Airborne Brigade (tentara penerjun
payung) diterjunkan di dekat kota Kirkuk untuk bergabung dengan para
pemberontak Kurdi dan mengamankan daerah Irak bagian Utara. Tentara Amerika
tidak menghadapi perlawanan berarti dari tentara Irak, sehingga dengan cepat
mereka dapat mengambil alih berbagai tempat penting. Kota Baghdad berhasil
diduduki tanggal 9 April, Kurdi pada 10 April, dan Tikrit ditaklukkan tanggal
15 April 2003. Hanya dua puluh satu hari setelah serangan ke Irak dijalankan,
pada tanggal 1 Mei 2003 Presiden George W. Bush menyatakan secara resmi bahwa
invasi telah selesai.
Propaganda Dalam Masa Invasi
Sebagai
serangan berskala besar – invasi terhadap sebuah negara sekaligus pendudukan
kota-kota pentingnya, kemenangan Amerika terhadap Irak tergolong diperoleh
dengan amat cepat. Berbagai faktor dapat menjadi penyebabnya, seperti
superioritas kekuatan militer Amerika, rendahnya moral tentara Irak,
ketidakjelasan kepemimpinan militer Irak, dan lain sebagainya. Tetapi ada satu
hal yang cukup menarik perhatian. Salah satu laporan Pentagon mengatakan bahwa
penyebab utama kekalahan militer Irak adalah disebabkan propaganda yang
dilakukan Saddam sendiri. Stasiun berita terkenal BBC menyebutkan Saddam terlalu
disibukkan dengan propagandanya untuk mencegah kerusuhan domestik dan ancaman
serangan Iran, sementara ia malah menganggap remeh Amerika. Seringkali
propaganda yang mereka lakukan adalah dengan menggunakan saluran low-technology
seperti leaflet, flyer, artikel di koran dan majalah, ataupun
grafiti-grafiti di dinding. Padahal di sisi lain peperangan, Amerika memiliki
konsep propaganda yang amat terencana dan akurat, bahkan mereka memasukkan para
jurnalis ke dalam jajaran “pasukan” mereka.
Taktik
pertama Amerika di Irak disebut “Black Propaganda”, dengan menggunakan
media milik Irak sendiri untuk menyebarkan propaganda mereka. Salah satu
contohnya adalah Radio Tikrit, sebuah stasiun radio palsu yang dijalankan
pendukung Saddam namun malah berisi informasi-informasi yang pro-Amerika.
Contoh lain adalah Amerika seringkali membayar koran-koran Irak untuk
menerbitkan artikel yang ditulis oleh tentara Amerika sendiri. Taktik lain dari
Amerika adalah melalui kampanye “Voice of America”, yang beritanya benar
adanya namun seringkali “disensor” pada bagian-bagian tertentu. Pihak Amerika
juga seringkali menggunakan berbagai macam leaflet yang pada dasarnya bersifat
pro-Amerika. Berbagai propaganda yang dilakukan Amerika membuat harian Chicago
Tribune dan Los Angeles Times menuduh pemerintah Amerika telah memanipulasi
pemberitaan di Irak supaya tindakan-tindakan mereka mendapat sorotan dukungan
sekaligus untuk menurunkan moral pasukan Irak.
Di negaranya
sendiri, Amerika juga menjalankan berbagai propaganda selama perang berlangsung.
Masyarakat sejak awal telah memiliki persepsi bahwa invasi ini adalah untuk
“memerangi teror”. Dengan pemberitaan Amerika yang bias dan persuasif,
pemerintah berhasil mengarahkan pandangan-pandangan negatif masyarakat ke arah
Irak. Amerika bertujuan untuk melawan pengaruh Saddam Husein dengan menanamkan image
senjata pemusnah massal dan Osama bin Laden kepada presiden Irak tersebut.
Berbagai video dan gambar tentang penyiksaan dan kejahatan yang dilakukan
pemerintah Irak juga dipaparkan supaya masyarakat beranggapan negatif terhadap
musuh Amerika.
Mengesampingkan
berbagai pemberitaan mengesankan mengenai kemenangan Amerika di Irak, perang
tetaplah membawa dampak buruk. Berbagai perkiraan mengenai korban jiwa yang
jatuh bermunculan, mulai dari peneliti John Hopkins University yang mengatakan
600.000 orang tewas sampai ORB yang memperkirakan lebih dari 1,2 juta orang
Irak terbunuh selama invasi. Sementara itu, penduduk Irak yang selamat lebih
memilih untuk mencari pengungsian sehingga tercatat 4,2 juta orang Irak
meninggalkan negara mereka itu. Kerusakan fisik yang diderita dan banyaknya
penduduk yang meninggal membuat perekonomian Irak ambruk, apalagi lebih dari
40% penduduk kelas menengah Irak dipercaya memilih untuk tidak kembali lagi ke
Irak. Situasi politik pun tidak lebih baik karena mereka kehilangan pemimpin
negara mereka, Saddam Husein, secara tiba-tiba.
Setelah
invasi Amerika berakhir, ternyata apa yang didapatkan di Irak tidaklah sesuai
dengan tujuan utama serangan tersebut. Walaupun Amerika datang ke Irak untuk
“melucuti senjata pemusnah massal”, pada tahun 2005 CIA mengeluarkan sebuah
laporan bahwa sama sekali tidak ditemukan senjata pemusnah massal apapun di
Irak. Hal ini menguatkan pendapat berbagai pihak bahwa serangan Amerika hanyalah
demi minyak yang dimiliki Irak.
B. Perspektif
Kulturalistik
Program
“Indofair” di Suriname
Pertalian
Indonesia dengan Suriname sudah terjalin sejak tahun 1890-an ketika terjadi
imigrasi pertama orang Jawa ke Suriname. Penelitian pada tahun 2009 menyebutkan
bahwa keturunan etnis Jawa di Suriname mencapai 15 hingga 20 persen dari total
populasi yang berjumlah sekitar 500.000 jiwa. Pertalian budaya antara Indonesia
dan Suriname merupakan aset untuk memperkuat relasi kedua negara.
Kedekatan
etnis inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Indonesia sebagai ajang promosi untuk
memajukan sektor pariwisata Indonesia. Karena, dengan kedekatan hubungan
kultural-etnik, orang-orang keturunan Jawa di Suriname akan penasaran dengan
akar kebudayaan mereka di Indonesia (Jawa). Dan secara otomatis potensi
pendapatan sektor pariwisata akan meningkat.
Sejauh
ini, Indonesia sudah mempromosikan budaya ke Suriname melalui sejumlah program,
antara lain "Indofair". Acara itu merupakan semacam pasar malam di
Indonesia. Tercatat pada tahun 2009, Program "Indofair" melibatkan
10-15 pebisnis Indonesia termasuk eksportir dan importir yang diadakan tiap
tahun pada September dengan menggelar pertunjukan seni.
Sebelumnya,
wawasan masyarakat etnis Jawa di Suriname atas budaya Indonesia rata-rata hanya
sebatas kesenian kuda lumping, lengkap dengan atraksi makan beling. Padahal,
citra budaya Indonesia bukan hanya itu. Oleh karenanya, pogram indofair tersebut
diadakan oleh indonesia dengan tujuan untuk lebih meningkatkan hubungan
kebudayaan kedua negara.
Kerja
sama kedua negara juga sudah mencakup beberapa bidang, termasuk ekonomi dan
perdagangan. Indonesia mengekspor berbagai produk, termasuk tekstil, furnitur,
dan batik. Forum kerja sama budaya juga dilanjutkan dengan joint commission
keempat pada tahun 2009 di Solo.
C. Perspektif
Jurnalistik
1. Fitna; Film
Anti Al-Qur’an Produksi Belanda
Satu
diantara berbagai kasus yang terjadi dalam komunikasi internasional adalah
penyebaran film anti islam yang berjudul “Fitna” oleh politisi ekstrem- kanan belanda yang
bernama Geert Wilders yang merupakan anggota parlemen yang kontroversi dari
partai kebebasan dan mempunyai pandangan sesat mengenai islam. Tak pelak protes
keras umat islam dari berbagai belahan dunia bermunculan karena film “Fitna”
ini, hingga akhirnya tidak ada satu pun media belanda yang mau menayangkan film
ini.
Pada tanggal
27 maret 2008 pukul 19.00 waktu belanda, di situs LIVELEAK Wilders merilis film
anti islam “Fitna” meskipun sudah mendapat
himbauan dari pemerintah Belanda agar tidak melanjutkan film ini. Namun, sejak
saat itu juga staf livleleak menerima
ancaman dan memutuskan untuk menghapus film itu. Awalnya, Wilders
menegosiasikan penyiaran film ini ke stasiun TV di belanda, saat itu isi film
belum diketahui. hingga akhirnya, tidak ada perusahaan penyiaran Belanda yang
setuju untuk menyiarkan keseluruhan isi film ini tanpa diadakan penyuntingan
terlabih dahulu, dan membuat Wilders memutuskan untuk menayangkan film ini di
internet.
Namun
kemudian dilaporkan, pusat pers belanda (neuwspoot)
bersedia menyiarkan film ini selama Wilders bersedia membayar biaya
keamanan tambahan selama konferensi pers
dan minggu-minggu setelahnya. Namun Wilders menolak. Selain itu, asosiasi
penyiaran muslim belanda (NMO) juga menawarkanuntuk menyiarkan film ini jika
mereka dapat melihat isi film dan memeriksa kemungkinan adanya materi
illegal dan Wilders bersedia berpartisipasi
dalam debat paksa penyiaran dengan pihak yang mendukung dan pihak yang menolak,
tetapi Wilders dengan tegas menolak dengan berkata tidak.
Sebelum
merilis film ini, Wilders juga telah melakukan perundingan dengan sejumlah
lembaga penyiaran tentang film ini. Wilders juga menyatakan bersedia
menunjukkan film ini kepada koordinator nasional pemberantasan terorisme, tjibbe
joustra, sehari sebelum ditayangkan dengan alasan keamanan. Dan dengan
alasan tersebut Wilders ingin mendapatkan jaminan film ini tidak akan dilarang
diputar. Wilders juga menegaskan filmnya tidak melanggar hukum belanda meskipun
film ini di khawatirkan mengguncang muslim di seluruh dunia, dan memang itu
yang terjadi.
Film “Fitna”
dibuat oleh Wilders dilatar belakangi pengetahuannya tentang sejarah islam,
yang menurut pandangannya telah mengurangi kebebasan dan hal-hal yang dijunjung tinggi di belanda dan
di sebuah Negara demokrasi, serta perilaku nabi Muhammad tidak cocok dengan
kemoralan barat. Video dengan durasi 17 menit ini memuat potongan ayat-ayat
Al-qur’an diantara pidato ulama radikal islam, dan juga gambar-gambar tindak
kekerasan. Film ini memuat rangkaian klip yang mengguncang perasaan, dari arsip
media dan headline berita serta Wilders berpendapat islam berbahaya bagi barat.
Dampak dari
adanya film ini pun terjadi di berbagai belahan dunia. Demonstrasi massa
berbagai kelompok masyarakat islam berlangsung di Jakarta, Kuala Lumpur, Dhaka,
Islamabad dan sejumlah kota besar Negara Islam lainnya. Berbagai kecaman pun
terus muncul seiring dengan diputarnya film ini sekjen PBB ban ki moon mengutuk
penayangan film ini, pemerinta Iran memanggil duta besar Belanda untuk
memprotes film tersebut, begitu pula Malaysia bahkan mantan perdana menteri
Malaysia Mahathir Mohamad, menyerukan kepada seluruh umat islam untuk memboikot
semua produk Belanda.
Selama ini,
tindakan yang telah diambil pemerintah Indonesia
khususnya melarang film ini masuk ke Indonesia dan meminta media
internasional untuk menghentikan penayangan film “Fitna” ini. Hal ini dilakukan
karena film ini bertentangan dengan semangat kita untuk membangun harmoni di
dalam peradaban dunia dan membangun dialog antar agama agar tercipta kedamaian
dunia. Selain itu, pemerintah Indonesia juga dengan tegas mengecam dan mencekal
Geert Wilders apabila hendak berkunjung ke Indonesia.
2. Krisis
Komunikasi Denmark Dan Dunia Islam (Kasus Kartun Nabi)
Pada 30 september 2005, harian
Denmark, Jylland Posten,
memublikasikan 20 gambar karikatur Nabi Muhammad karya Kurt Westergaard. Penerbitan karikatur
itu jelas saja menuai kemarahan umat Islam di seluruh dunia, karena dalam
ajaran Islam penggambaran diri Nabi Muhammad dalam bentuk apapun dilarang dan
haram hukuumnya. Jyllands Posten adalah surat kabar terbesar
di Denmark.
Enam dari kedua belas karikatur
tersebut diterbitkan ulang di surat kabar Mesir, El Faqr, pada 30
Oktober 2005 untuk mendampingi sebuah artikel yang mengkritik keras
tindakan Posten, namun saat itu karikatur-karikatur ini belum
mendapat perhatian yang besar di luar Denmark.
Hanya pada Desember 2005, saat Organisasi Konferensi Islam mulai
menyatakan penentangannya, barulah kontroversi ini menghangat di dunia.
Sebagian dari karikatur tersebut diterbitkan di surat kabar Norwegia, Magazinet, pada tanggal 10
Januari 2006. Koran Jerman,Die Welt, surat kabar Perancis France Soir dan banyak surat kabar lain di Eropa
dan juga surat kabar di Selandia Baru dan Yordania.
Di Indonesia, tercatat ada dua media massa menerbitkan
karikatur-karikatur ini, masing-masing Tabloid Gloria (5
karikatur) dan Tabloid PETA. Pemimpin redaksi
(pemred) Gloria kemudian meminta maaf dan menarik
penerbitannya, sedangkan pemimpin umum dan pemred PETA dijadikan
tersangka.
Pemerintah Denmark menyesalkan
penerbitan karikatur tersebut , namun tetap mengedepankan dalih kebebasan pers.
Sikap Pemerintah Denmark itu merupakan suatu hal yang sulit diterima
Negara-negara berpenduduk Muslim.
Di tinjau dari perspektif
diplomatic, permintaan para duta besar untuk bertemu langsung dengan Perdana
Menteri Denmark tidak digubris. Akibatnya, para dubes menjadi kecewa dan marah,
dan melaporkan hal ini kepada Pemerintah pusat masing-masing, yang semuanya
mengangkat isu ini menjadi masalah Internasional.
Sementara itu, amarah menjalar di
seluruh dunia Islam, mulai dari protes damai hingga aksi kekerasan. Di Denmark,
sekelompok masyarakat mengirim e-mail masal kepada dunia Islam yang berisi
permintaan maaf dan mengutuk penerbitan kartun tersebut. Arab Saudi dan Suriah
melakukan protes keras dengan memanggil pulang duta besar mereka untuk Denmark.
Dijalur Gaza, puluhan orang bersenjata mengepung kantor Uni Eropa. Di najaf,
Irak, ratusan orang berunjuk rasa sambil membakar bendera Denmark. Pemerintah
Iran bersikap lebih keras lagi hingga mengeluarkan larangan impor dari dan
menghentikan hubungan dagang dengan Denmark. Bisnis perusahaan-perusahaan
Denmark merosot drastis di Timur Tengah akibat aksi Boikot terhadap
produk-produk Eropa. diIndonesia juga ada reaksi keras, dan sempat terjadi
demonstrasi di depan Kedutaan Besar Denmark.
D. Perspektif
Bisnis
1. Kerja Sama
US-ASEAN
Setelah ASEAN-China Free Trade Agreement atau
yang dikenal dengan istilah ACFTA, US-ASEAN merupakan kerjasama perdagangan
internasional antar negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) dengan AS yang saat ini
menjadi konsentrasi dalam forum rumah tangga ASEAN (APEC, dsb).
AS sendiri
merupakan mitra dagang ASEAN terbesar keempat setelah Jepang, Uni Eropa dan
China. Begitupun dari sisi AS, ASEAN juga merupakan Mitra dagang terbesar
keempat didunia. Melalui perwakilan
perdagangan AS yang disebut dengan United States Trade Representatives (USTR),
AS mengadakan jumpa pers dengan pejabat-pejabat tinggi ASEAN, termasuk
diantaranya menteri perdangangan
indonesia Mari Elka Pangestu pada tanggal 5 April 2010, yang dipayungi
dibawah Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) yang sudah disepakati
pada tahun 2006 (Lih.Kompas 8/6).
TIFA sendiri
merupakan forum resmi pemerintah untuk membahas peningkatan perdangangan dan
investasi. Beberapa aspek yang dibahas antara ASEAN dan AS adalah perjanjian
fasilitas perdangangan, protokol jasa logistik termasuk dengan peningkatan
dialog antara pemerintah dan pebisnis. Aspek pembiayaan perdagangan juga
merupakan topik yang termasuk dibahas, mencakup pemberian kredit oleh US Exim
Bank (Bank ekspor impor AS) yang sudah menyediakan pinjaman bagi pengusaha
ASEAN dalam rangka pembelian produk-produk AS, seperti pesawat buatan Boeing.
Ini
menunjukkan bahwa posisi ASEAN dalam kancah perdagangan internasional semakin
diperhitungakan. Hingga ASEAN dijadikan sebagai mitra dagang AS. Korporasi AS yang menonjol dan mendukung
pendalaman kerja sama US-ASEAN ini antara lain Oracle, Caterpillar, Microsoft,
Coca-Cola, Chevron, Freeport dan Philip morris. Negara-negara bagian di AS,
seperti Oregon, Washington, Illinois, California, dan Texas, adalah yang paling
menonjol dalam perdangangan dengan ASEAN.
Menjadi
Suatu prinsip Utama AS dalam perdangangan internasional adalah mempertahankan
penciptaan kesempatan kerja di AS dan kelestarian lingkungan hidup. Dalam
kerjasama dengan AS ini, ASEAN agak bersifat kritis melihat sikap AS yang
enggan menandatangani setiap kerja sama soal pemanasan global. Sekalipun sikap
tersebut tidak sampai mencuat saat acara tersebut berlangsung.
Sikap
kritis, korektif dan taktis terhadap
kerjasama US-ASEAN memang harus senantiasa dilakukan oleh ASEAN mengingat AS merupakan Negara yang
notabene senang “bikin ulah”. Hal tersebut adalah demi menjaga stabibitas kerja
sama dagang yang tidak saling merugikan. Karena inti dari pada kerjasama itu
sendiri adalah mempermudah serta saling memberikan keuntungan diantara pihak
yang bekerja sama.
Dengan kata
lain, ASEAN dituntut untuk senantiasa peka terhadap intervensi-intervensi yang
merugikan. Keinginan AS untuk berunding
dengan masing-masing negara yang tergabung dalam ASEAN untuk membahas tentang
fasilitas perdangangan merupakan sesuatu yang harus disikapi secara
kritis-korektif dan analitis. Karena bisa jadi secara teknis hal tersebut akan
berpengaruh bagi kesatuan dan keseragaman kebijakan ASEAN yang selama ini
selalu melalui satu pintu sesuai keputusan dalam ASEAN Economy Community (AEC).
Namun, dalam
hal ini bukan berarti harus selalu berpikiran negatif terhadap AS sebagai mitra
dagang. Karena jika diartikan demikian, justeru malah akan berkibat fatal pada
hubungan kerja sama tersebut. Disinilah komunikasi internasional berperan,
yaitu bagaimana iklim komunikasi antar mitra tetap terjalin secara harmonis
bagaimanapun situasinya.
E. Perspektif
Diplomatik
1. Konferensi
Pengkajian Traktat Nonproliferasi Nuklir
Isu seputar
pelucutan senjata nuklir dalam dunia internasional telah lama di dibahas dan
diperundingkan oleh berbagai negara di belahan dunia. Dan sebagai hasilnya, diadakanlah
sebuah Forum internasional yang disebut dengan Konferensi Pengkajian Traktar
Nonproliferasi Nuklir.
Konfererensi
Pengkajian Traktat Nonproliferasi Nuklir (NPT), merupakan suatu forum
internasional yang membahas tentang pelucutan senjata Nuklir yang diadakan
setiap lima tahun sekali. Forum tersebut bertujuan untuk memperoleh
kepakatan-kesepakatan yang mengarah kepada terciptanya dunia internasional yang
bebas nuklir.
Selama ini,
termasuk negara paling radikal daan terhangat dalam pemberitaan di media massa
hubungannya dengan pelucutan persenjataan nuklir adalah Iran dan AS. Kedua
negara radikal tersebut sampai saat ini masih larut dalam perdebatan sengit
seputar senjata paling berbahaya di dunia itu.
Pada Konferensi
Pengkajian Traktat Nonproliferasi tanggal 03 Mei 2010 di New York, antara Iran
dan AS saling tuding yang justeru mengakibatkan pada buntunya jalan diplomasi.
Bahkan, Iran yang dipimpin langsung oleh presiden Mahmoud Ahmadinejad meminta
AS untuk dikeluarkan dari Dewan Gubernur Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA)
karena mengancam akan menggunakan senjata nuklirnya terhadap Iran (Kompas 5/5).
Dalam konferensi
ini, Iran menjadi negara yang paling mendapatkan banyak tekanan dari
negara-negara lain. Diantaranya AS, Inggris, dan perancis. Bahkan kanada,
mendesak DK PBB untuk menekan Iran dengan memberlakukan sangsi-sangsi baru yang
tegas terhadap Iran.
Namun, bukan
Ahmadinejad namanya jika gentar terhadap tekanan-tekanan seperti itu.
Ahmadinejad pun mengancam jika sangsi-sangsi tersebut diberlakukan, maka Iran
akan menutup rekonsiliasi AS-Iran. Dan sebagai konsekuensinya, hubungan antara
AS dan Iran tidak akan pernah membaik.
Kalau
dilihat dari perspektif tujuan diadakannya konferensi itu sendiri, jelas forum
ini telah gagal menyelesaikan persoalan-persoalan terkait pelucutan
persenjataan nuklir dunia secara diplomatis. Bahkan memperburuk keadaan,
terutama hubungan antara AS dan Iran. Dan sudah barang tentu terkait rencana
pelucutan senjata nuklir tersebut harus diadakan sebuah reformulasi kembali
serta mengkaji ulang tentang aturan teknis tentang persenjataan nuklir itu
sendiri. Karena tidak mungkin AS menekan Iran sementara AS sendiri masih
bergelimang dalam persenjataan nuklir tersebut.
BAB III
P E N U T U P
Berdasarkan
pembahasan yang telah dikemukakan sejak awal hingga akhir makalah ini, ada
beberapa hal yang dapat kita simpulkan terkait komunikasi internasional
berserta persoalan-persoalan yang terjadi dalam komunikasi internasional itu
sendiri, yaitu:
1. Komunikasi
internasional memiliki peranan yang sangat penting dalam memperkuat kesatuan
dan eksistensi sebuah negara. Dalam artian, posisi sebuah negara dalam kancah
internasional sangat ditentukan oleh sejauh mana negara tersebut mampu
melakukan komunikasi internsional dengan baik.
2. Dalam melakukan
kebijakan/aktifitas komunikasi internasional, baik dalam perspektif
propagandistik, kulturalistik, jurnalistik, bisnis, maupun diplomatik, sebuah
negara harus benar-benar mempertimbangkan segala aspek kemungkinan-kemungkinan
yang akan terjadi. Baik yang dilakukan melalui jalur diplomas maupun hubungan
bilateral, dsb.
Demikian kesimpulan akhir dari makalah sederhana ini, Untuk kemudian bisa
dijadikan sebagai bahan evaluasi dan tolak ukur bagi para pemerhati komunikasi
internasional di masa sekarang. Karena apapun yang diperbuat adalah tegantung
pada faktor apa yang telah mempengaruhi perbuatan tersebut.
0 comments:
Post a Comment