Powered by Blogger.
RSS

Karakteristik Manusia Komunikan


Pemeran utama dalam proses komunikasi adalah manusia. Psikolog memandang komunikasi pada perilaku manusia komunikan. Psikolog membahas bagaimana manusia memproses pesan yang diterimanya, bagaimana cara berfikir dan cara melihat manusia dipengaruhi oleh lambang-lambang yang dimiliki. Fokus psikologi adalah komunikasi manusia komunikan.

A.                Konsepsi Psikologi tentang manusia
Teori persuasi berlandaskan konsepsi psikoanalisis yang menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh keinginan-keinginan terpendam (Homo Volens). Teori “jarum hipodermik”(media massa sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia) dilandasi konsep behaviorisme yang memandang manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh lingkungan (Homo Mechanicus). Teori pengolahan informasi dibentuk oleh konsepsi psikologi kognitif yang melihat manusia sebagai makhluk yang aktif mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang diterimanya (Homo Sapiens). Teori-teori komunikasi interpersonal banyak dipengaruhi konsep psikologi humanistis yang menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya (Homo Ludens). Empat pendekatan psikologi yang paling dominan adalah psikoanalisis, behaviorisme, psikologi kognitif, dan psikologi humanistis.

1.      Konsepsi manusia dalam psikoanalisis
Psikoanalisis secara tegas memperhatikan struktur jiwa manusia. Teori ini dicetuskan oleh Sigmund Freud yaitu orang pertama yang berusaha merumuskan psikologi manusia, bukan pada bagian-bagiannya yang terpisah (Asch,1956:17). Menurut Freud ,perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga sub-sistem dalam kepribadian manusia :
a.       Id : bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia-pusat instink (hawa nafsu-dalam kamus agama). Dalam diri manusia, terdapat dua instink yang dominan:
ü  Libido-instink reproduktif yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan-kegiatan yang konstruktif. Libido disebut sebagai instink kehidupan,
ü  Thanatos- instink destruktif yang agresif. Thanatos  disebut sebagai instink kematian. Semua motif manusia adalah gabungan dari libido dan thanatos. Id  bergerak berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle),  yakni ingin segera memenuhi kebutuhannya. Dengan kata lain, id  adalah tabiat hewani manusia.
b.      Ego : berfungsi sebagai mediator antara hasrat-hasrat hewani dengan tuntutan rasional dan realistik.Egolah yang menyebabkan manusia mampu menundukkan hasrat hewaninya dan hidup sebagai wujud yang rasional (pada pribadi yang normal). Ego bergerak berdasarkan prinsip realitas (reality principle).
c.       Superego: polisi kepribadian, hati nurani yang merupakan internalisasi norma-norma sosial dan cultural masyarakatnya. Ia memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat yang tak berlainan kea lam bawah sadar. Id dan Superego bekerja di bawah alam sadar, dan Ego berada di antaranya.
Id  dan superego berada dalam bawah sadar manusia. Ego  berada di tengah, antara memenuhi desakan id  dan peraturan superego. Secara singkat, dalam psikoanalisis perilaku manusia merupakan interaksi antara komponen biologis (id), komponen psikologis (ego), dan komponen sosial (superego); atau unsur animal, rasional, dan moral (hewani, akali, dan nilai).
2.      Konsepsi manusia dalam behaviorisme
Behaviorisme menganalisa perilaku yang tampak, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori behavioris juga dikenal dengan nama teori belajar. Belajar artinya perubahan perilaku manusia disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Dari situlah timbul konsep “manusia mesin” (Homo Mechanicus).
Menurut kaum empiris, pada waktu lahir manusia tidak mempunyai “warna mental”. Secara psikologis, ini berarti seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan temperamen ditentukan oleh pengalaman indrawi (sensory experience). Pikiran dan perasaan bukan penyebab perilaku tetapi disebabkan oleh perilaku masa lalu.
Hedonisme memandang manusia sebagai makhluk yang bergerak untuk memenuhi kebutuhannya, mencari kesenangan, dan menghindari penderitaan. Utilititarianisme memandang seluruh perilaku manusia tunduk pada prinsip ganjaran dan hukuman. Bila empirisme digabung dengan utilitarianisme dan hedonisme, maka akan muncul apa yang disebut behaviorisme (Goldstein, 1980:17).
Kaum behavioris berpendirian: manusia dilahirkan tanpa sifat-sifat sosial atau psikologis; perilaku adalah hasil pengalaman; dan perilaku digerakkan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan.
Watson dan Rosalie Rayner melalui sebuah eksperimen telah membuktikan betapa mudahnya membentuk atau mengendalikan manusia dan melahirkan metode pelaziman klasik (classical conditioning). Pelaziman klasik adalah memasangkan stimuli yang netral atau stimuli kondisi dengan stimuli tertentu (yang terkondisikan/unconditioned stimulus) yang melahirkan perilaku tertentu (unconditioned respons).
Jenis pelaziman lain ditemukan oleh Skinner, yaitu operant conditioning. Dimana perilaku manusia dipengaruhi oleh proses peneguhan. Proses memperteguh respons yang baru dengan mengasosiasikannya pada stimuli tertentu berkali-kali, disebut peneguhan (reinforcement). Menurut Bandura, tidak semua perilaku dapat dijelaskan dengan pelaziman. Bandura menambahkan konsep belajar sosial (social learning). Menurut Bandura, belajar terjadi karena proses peniruan (imitation). Dengan kata lain, melakukan suatu perilaku ditentukan oleh peneguhan, sedangkan kemampuan potensial untuk melakukan ditentukan oleh peniruan.

3.      Konsepsi manusia dalam psikologi kognitif
Dalam psikologi kognitif, manusia dipandang sebagai makhluk yang selalu berusaha memahami lingkungannya dan makhluk yang selalu berfikir (Homo Sapiens).
Descartes dan Kant menyimpulkan bahwa jiwa (mind) yang menjadi alat utama pengetahuan, bukan alat indra. Jiwa menafsirkan pengalaman indrawi secara aktif: mencipta, mengorganisasikan, menafsirkan, mendistorsi dan mencari makna. Manusia tidak memberikan respons terhadap stimuli secara otomatis. Manusialah yang menentukan makna stimuli itu, bukan stimui itu sendiri.
Menurut Lewin, perilaku manusia harus dilihat dalam konteksnya. Dari Lewin terkenal rumus: B= f (P,E), artinya Behavior (perilaku) adalah hasil interaksi antara person (diri orang tersebut) dengan environment (lingkungan psikologisnya). Lewin juga menciptakan konsep dinamika kelompok, yaitu dalam kelompok, individu menjadi bagian yang saling berkaitan dengan anggota kelompok yang lain. Sejak pertengahan tahun 1950-an, berkembang penelitian tentang perubahan sikap dengan kerangka teoritis manusia sebagai pencari konsistensi kognitif. Dimana manusia dipandang sebagai makhluk yang selalu berusaha menjaga keajegan dalam sistem kepercayaannya dan diantara sistem kepercayaannya dengan perilaku, contohnya adalah teori disonansi kognitif.
Disonansi artinya ketidakcocokkan antara dua kognisi (pengetahuan). Teori disonansi menyatakan bahwa orang akan mencari informasi yang mengurangi disonansi dan menghindarkan informasi yang menambah disonansi. Pada awal tahun 1970-an, teori disonansi dikritik dan muncul konsepsi manusia sebagai pengolah informasi.  Dalam konsepsi ini, manusia bergeser dari orang yang suka mencari justifikasi atau membela diri menjadi orang yang secara sadar memecahkan persoalan. Perilaku manusia dipandang sebagai produk strategi pengolahan informasi yang rasional. Contoh perspektif ini adalah teori atribusi. Teori ini menganggap manusia sebagai ilmuwan yang naif, yang memahami manusia dengan metode ilmiah yang elementer. Kenyataannya, manusia tidak begitu rasional dalam memandang sesuatu. Seringkali malah penilaian orang didasarkan pada data yang kurang, lalu dikombinasikan dan diwarnai oleh prakonsepsi. Dimana manusia menggunakan prinsip-prinsip umum dalam menentukan keputusan. Kahneman dan Tversky (1974) menyebutnya dalil-dalil kognitif (cognitive heuristics).

4.      Konsepsi manusia dalam psikologi humanistik
Psikologi humanistik dianggap sebagai revolusi ketiga dalam psikologi. Revolusi pertama dan kedua adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Psikologi humanistik menjelaskan aspek eksistensi manusia yang positif dan menentukan, seperti cinta, kreativitas, nilai, makna, dan pertumbuhan pribadi. “Humanistic psychology is not just the study of  „human being; it is a commitment to human becoming,”  tulis Floyd W. Matson (1973:19).
Psikologi humanistik mengambil dari fenomenologi dan eksistensialisme. Fenomenologi memandang manusia hidup dalam “dunia kehidupan” yang dipersepsi dan diinterpretasi secara subyektif. Menurut Alfreud Schutz, pengalaman subyektif dikomunikasikan oleh faktor sosial dalam proses intersubyektifitas. Intersubyektifitas diungkapkan pada eksistensialisme dalam hubungan dengan orang lain (I-thou Relationship). I-thou Relationship menunjukkan hubungan pribadi dengan pribadi, bukan pribadi dengan benda; subjek dengan subjek, bukan subjek dengan objek. Sedangkan eksistensialisme menekankan pentingnya kewajiban individu pada sesama manusia. Frankl menyimpulkan asumsi-asumsi psikologi humanistik: keunikan manusia, pentingnya nilai dan makna, serta kemampuan manusia untuk mengembangkan dirinya. Sedangkan pandangan Carl Rogers  menyebutkan:
a.       Setiap manusia hidup dalam dunia pengalaman yang bersifat pribadi dimana dia – sang Aku, Ku, atau Diriku (the I, me, or myself) – menjadi pusat.
b.      Manusia berperilaku untuk mempertahankan, meningkatkan, dan mengaktualisasikan diri.
c.       Individu bereaksi pada situasi sesuai dengan persepsi tentang dirinya dan dunianya.
d.      Anggapan adanya ancaman terhadap diri akan diikuti oleh pertahanan diri.
e.       Kecenderungan batiniah manusia adalah menuju kesehatan dan keutuhan diri.

B.                 Faktor-faktor Personal yang Mempengaruhi Perilaku Manusia
Menurut Edward E. Sampson (1976) terdapat dua perspektif, yaitu perspektif yang berpusat pada persona (person-centered perspective) dan  perspektif yang berpusat pada situasi (situation-centered perspective).
Perspektif yang berpusat pada persona mempertanyakan faktor-faktor internal apakah, baik berupa sikap, instink, motif, kepribadian, sistem kognitif yang menjelaskan perilaku manusia. Secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi perspektif yang  berpusat pada persona:
1.      Faktor Biologi :
Faktor biologis terlibat dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan berpadu dengan faktor-faktor sosiopsikologis. Bahwa warisan biologis manusia menentukan perilakunya. Aliran sosiobiologi (Wilson, 1975) memandang segala kegiatan manusia berasal dari struktur biologinya.
Menurut Wilson, perilaku sosial dibimbing oleh aturan-aturan yang sudah diprogram secara genetis dalam jiwa manusia (epigenetic rules). Struktur genetis, misalnya mempengaruhi kecerdasan, kemampuan sensasi, dan emosi. Sistem saraf mengatur pekerjaan otak dan proses pengolahan informasi dalam jiwa manusia. Sistem hormonal bukan saja mempengaruhi mekanisme biologis, tetapi juga proses psikologis. Pentingnya pengaruh biologis terhadap perilaku manusia dapat dilihat dalam dua hal berikut ini:
a.       Telah diakui secara meluas adanya perilaku tertentu yang merupakan bawaan manusia, dan bukan pengaruh lingkungan atau situasi.
b.      Diakui adanya faktor-faktor biologis yang mendorong perilaku manusia, yang biasa disebut motif biologis.

2.      Faktor Sosiopsikologis :
Dari proses sosial, manusia memperoleh karakteristik yang mempengaruhi
perilakunya, yaitu:
a.       Komponen Afektif : aspek emosional dari faktor sosiopsikologis. Komponen ini terdiri dari :
ü  Motif sosiogenis    : Motif Sosiogenis (motif ingin tahu, motif kompetensi, motif cinta, motif harga diri dan kebutuhan untuk mencari identitas, kebutuhan akan nilai, kedambaan dan makna kehidupan serta kebutuhan akan pemenuhan diri)
ü  Sikap         : Sikap adalah kecenderugan berperilaku, berpikir, berpresepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, atau nilai. Sikap mempunyai motivasi atau daya pendorong, sikap relative lebih menetap, sikap mengandung sikap evaluative, sikap timbul dari pengalaman.
ü  Emosi        : Menunjukkan kegoncangan organisme yang disertai oleh gejala-gejala kesadaran, keprilakuan, dan proses fisiologis. Ada empat fungsi emosi; pertama, emosi adalah pembangkit energi. Kedua, emosi adalah pembawa informasi (messenger). Ketiga, emosi pembawa pesan pada komunikasi interpersonal pula. Keempat, emosi juga merupakan sumber informasi tentang keberhasilan kita. Mood adalah emosi yang menetap selama waktu tertentu yag mempengaruhi persepsi kita pada stimuli yang merangsang alat indera kita. Mood, kita sebut sebagai suasana emosional, yang bila menjadi kronis akan menjadi bagian dari struktur kepribadian yang kita sebut tempramen.
b.      Komponen Kognitif : aspek intelektual, apa yang berkaitan dengan yang diketahui manusia. Terdiri dari aspek kepercayaan;
ü  Kepercayaan         : Merupakan “keyakinan bahwa sesuatu itu tidak ‘benar’ atau ‘salah’ atas dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman, atau intuisi” (Hohler, et al., 1978:48), jadi kepercayaan dapat bersifat rasional atau irrasional. Menurut Solomon E. Asch (1959:565-567), kepercayaan dibentuk oleh pengetahuan, kebutuhan, dan kepentingan.
c.       Komponen Konatif : aspek volisional, yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak. Terdiri dari;
ü  Kebiasaan : Adalah aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis tidak direncanakan, dan merupakan hasil pelaziman yang berlangsung pada waktu yang lama atau reaksi khas yang diulangi seorang berkali-kali.
ü  Kemauan   : Didefinisikan sebagai tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan. Menurut Richard D. dan W.J. Humber, kemauan merupakan (1) hasil keinginan untuk mencapai tujuan tertentu yang begitu kuat sehingga mendorong orang untuk mengorbankan nilai-nilai yang lain, yang tidak sesuai dengan pencapaian tujuan, (2) berdasarkan pengetahuan tentang, cara-cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan, (3) dipengatuhi oleh kecerdasan dan energy yang diperlukan untuk mencapai tujuan, (4) pengeluaran energy yang sebenarnya dengan satu cara yang tepat untuk mencapai tujuan.

C.                Faktor-faktor Situasional yang Mempengaruhi Perilaku Manusia
Delgado menyimpulkan bahwa respons otak sangat dipengaruhi oleh “setting” atau suasana yang  melingkupi organism (Packard, 1978:45), yang membawa kita kepada pengaruh situasional terhadap perilaku manusia. Edward G. Sampson merangkum seluruh faktor situasional sebagai berikut :
1.      Faktor Ekologis : Kaum determinisme lingkungan sering menyatakan bahwa keadaan alam mempengaruhi gaya hidup dan perilaku.
2.      Faktor Rancangan dan Arsitektural : Osmond (1957) dan Sommer (1969) membedakan antara desain bangunan yang mendorong orang untuk berinteraksi (sociopetal) dan rancangan bangunan yang menghindari orang interaksi (sociofugal). Pengaturan ruangan juga telah terbukti mempengaruhi pola-pola perilaku yang terjadi di tempat itu.
3.      Faktor Temporal : Telah banyak penelitian pengaruh waktu terhadap bioritma manusia. Jadi, yang mempengaruhi manusia buka saja di mana mereka berada tetapi juga bilamana mereka berada.
4.      Suasana Perilaku (Behavior Settings) : Pada setiap suasana terdapat pola-pola hubungan yang mengatur perilaku orang-orang di dalamnya.
5.      Teknologi : Revollusi teknologi sering didudul dengan revolusi dalam perilaku sosial. Alvin Tofler menggambarkan tiga gelombang peradaban manusia yang terjadi sebagai akibat perubahan teknologi. Lingkungan teknologis (technosphere) yang meliputi sistem energy, sistem produsi, dan sistem distribusi, membentuk serangkaian perilaku sosial yang sesuai dengannya (sosiosphere). Bersamaan dengan itu tumbuhlah pola-pola penyebaran informasi (infosphere) yang mempengaruhi suasana kejiwaan (psychosphere) setiap anggota masyarakat.
6.      Faktor-faktor Sosial : Sistem peranan yang diterapkan dalam suatu masyarakat, struktur kelompok dan organisasi, karakteristik populasi, adalah faktir-faktor sosial yang menata perilaku manusia. Dari segi komunikasi, teori penyebaran inovasi (Roger & Shoemaker, 1971) dan teori kritik (Habermas, 1979) memperlihatkan bagaimana sistem komunikasi sangat dipengaruhi oleh struktur sosial.
7.      Lingkungan Psikososial : Persepsi kita tentang sejauh mana lingkungan memuaskan atau mengecewakan kita, akan mempengaruhi perilaku kita dalam lingkungan itu. Pola-pola kebudayaan yang dominan atau ethos, ideology dan nilai dalam persepsi anggota masyarakat, mempengaruhi saeluruh perilaku sosial. Ruth Benedict (1970) membedakan antara masyrakat yang mempunyai synergy tinggi dengan masyarakat yang mempunyai synergy rendah. Margareth Mead (1928), walaupun belakangan dikritik orang, mewakili aliran determinisme budaya, yang menunjukkan bagaimana  nilai-nilai yang diserap anak pada waktu kecil mempengaruhi perilakunya di kemudian hari.
8.      Stimuli yang Mendorong dan Memperteguh Perilaku : Kita memang mengakui besarnya pengaruh situasi dalam menentukan perilaku manusia. Tetapi manusia memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap situasi yang dihadapinya, sesuai dengan karakteristik personal yang dimilikinya. Perilaku manusia memang merupakan hasil interaksi yang menarik antara keunikan individual dengan keumuman situasional.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment