tag:blogger.com,1999:blog-35919547900519841922024-03-13T19:08:28.667-07:00Kuliah Online KomunikasiAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/09595985323235074450noreply@blogger.comBlogger311125tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-78919994288882211822013-09-24T14:56:00.003-07:002013-09-24T14:57:26.896-07:00TEORI PERIKLANAN<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div>
<div style="text-align: justify;">
Definisi Periklanan</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut Arens (dalam Lubis, 2007)) iklan dikatakan sebagai komunikasi informasi yang terstruktur dan disusun bukan oleh perseorangan, biasanya dibayar untuk dan secara alami umumnya membujuk tentang produk (barang, jasa dan ide) yang diidentifikasi sponsor lewat berbagai media. Sedangkan menurut Tom Duncan (dalam Lubis,2007) iklan adalah hal yang tidak pribadi, pengumuman yang dibayar oleh suatu sponsor yang diketahui. Menurut (Blech&Blech) periklana didefinisikan sebagai bentuk pembayaran dari komunikasi nonpersonal tentan sebuah organisasi, produk, pelayanan atau ide melalui sponsor yang teridentifikasi. </div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Fungsi-Fungsi Periklanan</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut Shimp (2003) Secara umum, periklanan dihargai karena dikenal sebagai pelaksana beragam fungsi komunikasi yang penting bagi perusahaan bisnis dan organisasi lainnya </div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
1.) Informing </div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Periklanan membuat konsumen sadar akan merek-merek, mendidik mereka tentang fitur dan manfaat merek, serta memfasilitasi penciptaan citra merek yang positif. Katena merupakan suatu bentuk komunikasi yang efektif, berkemampuan menjangkau khalayak luas dengan biaya per kontak yang relative rendah, periklanan memfasilitasi pengenalan merek-merek baru meningkatkan jumlah permintaan terhadap merek-merek yang telah ada dan meningkatkan puncak kesadaran dalam benak konsumen untuk merek-merek yang sudah ada dalam kategori produk matang. Periklanan menampilkan peran informasi bernilai lainnya – baik untuk merek yang diiklankan maupun konsumennya- dengan mengajarkan manfaat-manfaat baru dari merek-merek yang telah ada. Praktik seperti ini disebut periklanan ekspansi pemanfaatan</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
2.) Persuading</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Iklan yang efektif akan mampu mempersuasi (membujuk) pelanggan untuk mencoba produk dan jasa yang diiklankan. Terkadang persuasi berbentuk mempengaruhi permintaan primer - yakni, menciptakan permintaan bagi keseluruhan kategori produk. Lebih sering, iklan berupaya membangun permintaan sekunder, permintaan bagi merek perusahaan yang spesifik.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
3.) Reminding</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Iklan menjaga agar merek perusahaan tetap segar dalam ingatan para konsumen. Saat kebutuhan muncul, yang berhubungan dengan poduk yang diiklankan, dampak periklanan di masa lalu memingkinkan merek pengiklan untuk hadir di benak konsumen sebagai suatu kandidat merek yang akan dibeli. </div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
4.) Adding Value (memberikan nilai tambah)</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
5.) Asisting (mendampingi)</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Sifat Iklan</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Kotler (dalam Satriojati, 2007)) menjelaskan bahwa iklan memiliki 4 sifat, yaitu</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
1. Presentasi umum (public presentation)</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Iklan merupakan cara untuk berkomunikasi secara umum. Dengan sifat umum tersebut pemasang iklan memberikan penawaran yang terstandarisasi kepada audiens</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
2. Kemampuan mengajak</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Iklan adalah salah satu sarana komunikasi yang memiliki kemampuan penyebaran yang luas dan memungkinkan pemasang iklan untuk mengulang pesan yang sama berulang kali. Iklan juga memungkinkan audiens menerima dan membandingkan pesan dari beberapa pesaing. Iklan yang berskal besar akan menumbuhkan kesan positif audiens terhadap ukuran, kekuatan dan keberhasilan perusahaan yang memasang iklan</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
3. Kemampuan berekspresi yang lebih kuat (amplified expressiveness)</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Iklan juga memiliki sigat untuk mendramatisir perusahaan dan produknya melalu penggunaan gambar, suara dan warna yang penuh dengan seni</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
4. Tidak bersifat pribadi (impersonality)</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Sifat pribadi dalam iklan ini berarti audiens tidak perlu wajib untuk memperhatikan atau menanggapi sebuah iklan. Iklan lebih cenderung berupa monolog atau komunikasi satu arah saja, bukan merupakan dialog</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Tujuan iklan </div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut Kennedy dan Soemanagara (dalam Satriojati, 2007) menulis bahwa tujuan iklan pada akhirnya meningkatkan perubahan sikap dan perilaku konsumen. Strategi komunikasi yang dirancang secara tepat akan menghasilkan tindakan yang diinginkan. Berikut adalah tujuan utama dari kegiatan periklanan.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
1. Menyadarkan audiens serta member informasi mengenai sebuah barang, jasa atau ide</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
2. Menumbuhkan dalam diri audiens suatu perasaan suka akan barang, jasa atau ide yang disajikan dengan memberinya persepsi</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
3. Meyakinkan audiens akan kebenaran tentang apa yang dianjurkan dalam iklan dan karenanya menggerakkannya untuk berusaha memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang dianjurkan.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Model Komunikasi Periklanan</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Model komunikasi periklanan dikemukakan oleh Barbara Stern (dalam Lubis, 2007), dalam periklanan terdapat :</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
1. Sumber</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
a. Sponsor, secara hukum bertanggung jawab terhadap komunikasi dan mempunyai pesan yang ingin dikomuniksikan kepada konsumen sebenarnya.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
b. Pencipta (author), contohnya copywriter, art director atau tim kreatif agensi periklanan</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
c. Juru bicara (persona)</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
2. Pesan </div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
a. Autobiography menggambarkan “saya” menceritakan sebuah cerita kepada “anda” khalayak bayangan ikut mendengarkan pengalaman pribadi saya. </div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
b. Narrative, orang ketiga menceritakan sebuah kisah tentang orang lain pada khalayak bayangan</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
c. Drama, karakter-karakter berakting langsung depan khalayan bayangan yang bermpati</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
3. Penerima pesan</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
a. Implie</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
b. Sponsoral</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
c. Actual consumer</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Daftar Pustaka</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Satriojati, Wahyu Aji Anindhiyo. 2007. Analisis Perbandingan Efektifitas Iklan Animasi dan Non Animasi: Studi Produk Low-Involvement dan High-Involvement. Universitas Indonesia : Depok</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Lubis, Tania Fatima. 2007. Perbandingan Pembentukan Imej Merek Melalui Iklan Dan Event Dengan Berfokus Pada Imej Merek Sampoerna A Mild. Universitas Indonesia : Depok</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Shimp, Terence A. Periklanan Promosi Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu. Erlangga : Jakarta</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Blech, George & Blech, Michael.2003.Advertising and Promotion an Integrated Marketing Communications Perspective. Mc Graw Hills : New York</div>
</div>
</div>
Ipin Phienouthttp://www.blogger.com/profile/12331619828191607928noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-30417246115329494182013-09-24T14:55:00.000-07:002013-09-24T14:55:22.532-07:00S-O-R Theory<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
I. Latar Belakang Kelahiran Teori</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dimulai pada tahun 1930-an, lahir suatu model klasik komunikasi yang banyak mendapat pengaruh teori psikologi, Teori S-O-R singkatan dari Stimulus-Organism-Response. Objek material dari psikologi dan ilmu komunikasi adalah sama yaitu manusia yang jiwanya meliputi komponen-komponen : sikap, opini, perilaku, kognisi afeksi dan konasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Asumsi dasar dari model ini adalah: media massa menimbulkan efek yang terarah, segera dan langsung terhadap komunikan. Stimulus Response Theory atau S-R theory. Model ini menunjukkan bahwa komunikasi merupakan proses aksi-reaksi. Artinya model ini mengasumsikan bahwa kata-kata verbal, isyarat non verbal, simbol-simbol tertentu akan merangsang orang lain memberikan respon dengan cara tertentu. Pola S-O-R ini dapat berlangsung secara positif atau negatif; misal jika orang tersenyum akan dibalas tersenyum ini merupakan reaksi positif, namun jika tersenyum dibalas dengan palingan muka maka ini merupakan reaksi negatif. Model inilah yang kemudian mempengaruhi suatu teori klasik komunikasi yaitu Hypodermic Needle atau teori jarum suntik. Asumsi dari teori inipun tidak jauh berbeda dengan model S-O-R, yakni bahwa media secara langsung dan cepat memiliki efek yang kuat tehadap komunikan. Artinya media diibaratkan sebagai jarum suntik besar yang memiliki kapasitas sebagai perangsang (S) dan menghasilkan tanggapan ( R) yang kuat pula.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
II. Uraian Teori</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut stimulus response ini, efek yang ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus khusus sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan. Jadi unsur-unsur dalam model ini adalah ;</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul>
<li>Pesan (stimulus, S)</li>
<li>Komunikan (organism, O)</li>
<li>Efek (Response, R)</li>
</ul>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Hosland, et al (1953) mengatakan bahwa proses perubahan perilaku pada hakekatnya sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari :</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul>
<li>Stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak efektif mempengaruhi perhatian individu dan berhenti disini. Tetapi bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif.</li>
<li>Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme (diterima) maka ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya.</li>
<li>Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap).</li>
<li>Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku).</li>
</ul>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Selanjutnya teori ini mengatakan bahwa perilaku dapat berubah hanya apabila stimulus (rangsang) yang diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula. Stimulus yang dapat melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan organisme ini, faktor reinforcement memegang peranan penting.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam proses perubahan sikap tampak bahwa sikap dapat berubah, hanya jika stimulus yang menerpa benar-benar melebihi semula. Mengutip pendapat Hovland, Janis dan Kelley yang menyatakan bahwa dalam menelaah sikap yang baru ada tiga variabel penting yaitu :</div>
<div style="text-align: justify;">
(a) perhatian,</div>
<div style="text-align: justify;">
(b) pengertian, dan</div>
<div style="text-align: justify;">
(c) penerimaan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada komunikan mungkin diterima atau mungkin ditolak. Komunikasi akan berlangsung jika ada perhatian dari komunikan. Proses berikutnya komunikan mengerti. Kemampuan komunikan inilah yang melanjutkan proses berikutnya. Setelah komunikan mengolahnya dan menerimanya, maka terjadilah kesediaan untuk mengubah sikap.</div>
<div style="text-align: justify;">
Teori ini mendasarkan asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme. Artinya kualitas dari sumber komunikasi (sources) misalnya kredibilitas, kepemimpinan, gaya berbicara sangat menentukan keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok atau masyarakat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
III. Contoh Aplikasi Teori </div>
<div style="text-align: justify;">
Iklan televisi merupakan sarana memperkenalkan produk kepada konsumen. Keberadaanya sangat membantu pihak perusahaan dalam mempengaruhi afeksi pemirsa. Ia menjadi kekuatan dalam menstimulus pemirsa agar mau melakukan tindakan yang diinginkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Secara substansi iklan televisi memiliki kontribusi dalam memformulasikan pesan-pesan kepada pemirsa. Akibatnya secara tidak langsung pemirsa telah melakukan proses belajar dalam mencerna serta mengingat pesan yang telah diterimanya. Kondisi ini tentunya tanpa disadari sebagai upaya mengubah sikap pemirsa.</div>
<div style="text-align: justify;">
Senada dengan yang diungkapkan oleh Hovland, Janis dan Kelley diatas (pada uraian teori S-O-R) yang menyatakan ada tiga variabel penting dalam menelaah sikap yang dirumuskan dalam teori S-O-R, secara interpretatif iklan televisi merupakan stimulus yang akan ditangkap oleh organisme khalayak. Komunikasi akan berlangsung jika ada perhatian dari komunikan. Proses berikutnya komunikan mengerti. Kemampuan komunikan inilah yang melanjutkan proses berikutnya. Setelah komunikan mengolahnya dan menerimanya, maka terjadilah kesediaan untuk mengubah sikap. Dalam hal ini, perubahan sikap terjadi ketika komunikan memiliki keinginan untuk membeli atau memakai produk yang iklannya telah disaksikan di televisi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pendekatan teori S-O-R lebih mengutamakan cara-cara pemberian imbalan yang efektif agar komponen konasi dapat diarahkan pada sasaran yang dikehendaki. Sedangkan pemberian informasi penting untuk dapat berubahnya komponen kognisi. Komponen kognisi itu merupakan dasar untuk memahami dan mengambil keputusan agar dalam keputusan itu terjadi keseimbangan. Keseimbangan inilah yang merupakan system dalam menentukan arah dan tingkah laku seseorang. Dalam penentuan arah itu terbentuk pula motif yang mendorong terjadinya tingkah laku tersebut. Dinamika tingkah laku disebabkan pengaruh internal dan eksternal.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam teori S-O-R, pengaruh eksternal ini yang dapat menjadi stimulus dan memberikan rangsangan sehingga berubahnya sikap dan tingkah laku seseorang. Untuk keberhasilan dalam mengubah sikap maka komunikator perlu memberikan tambahan stimulus (penguatan) agar penerima berita mau mengubah sikap. Hal ini dapat dilakukan dalam barbagai cara seperti dengan pemberian imbalan atau hukuman. Dengan cara demikian ini penerima informasi akan mempersepsikannya sebagai suatu arti yang bermanfaat bagi dirinya dan adanya sanksi jika hak ini dilakukan atau tidak. Dengan sendirinya penguatan ini harus dapat dimengerti, dan diterima sebagai hal yang mempunyai efek langsung terhadap sikap. Untuk tercapainya ini perlu cara penyampaian yang efektif dan efisien.</div>
<div style="text-align: justify;">
Jika kita amati dari sisi keterpengaruhan, maka secara pragmatis iklan televisi mudah mempengaruhi kelompok remaja dibandingkan kelompok dewasa. Artinya, jika teori S-O-R kita hubungkan dengan keberadaan remaja, maka kekuatan rangsangan iklan televisi begitu kental dalam memantulkan respon yang sebanding. Sistem seleksi yang semestinya melalui proses penyaringan yang ketat terkalahkan oleh sifat mudah dipengaruhi. Akibatnya terjadi pergeseran implementasi toritikal dari teori S-O-R menjadi teori S-R. Artinya, respon yang ditimbulkan sebagai konsekuensi adanya stimulus iklan televisi yang diterima remaja tanpa melalui filter organisme yang ketat.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kontribusi Teori S-O-R begitu terlihat dalam iklan televisi. Dilihat dari sudut pandang target sasaran, secara kondisional yang gampang dipersuasi adalah remaja. Remaja. Remaja yang masih berada pada masa transisi memiliki tingkat selekivitas yang lebih rendah di bandingkan dengan dengan orang dewasa. Konsekuensinya, wajar jika remaja menjadi kelompok sasaran utama iklan televisi. Akibatnya, tanpa disadari remaja telah memposisikan diri sebagai kelompok hedonis dengan rating tinggi. Keinginan yang selalu menggebu-gebu dalam memenuhi kebutuhan hidup adalah indikasi yang pas sekaligus menggambarkan betapa remaja begitu sukar untuk menunda desakan kebutuhan emosinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Membeli dan mencoba seakan menjadi bagian hidup remaja yang sejalan dengan mengkristalnya kognisi tentang aneka ragam kebutuhan yang ditawarkan televisi melalui iklannya yang akomodatif dan fantastis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Daftar Pustaka</div>
<div style="text-align: justify;">
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu, Teori dan Filisafat Komunikasi. Cet. Ke-3. Citra Aditya Bakti: Bandung. 2003</div>
<div style="text-align: justify;">
Notoatmodjo, Soekidjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Rineka Cipta: Jakarta. 2003.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sumartono, Terperangkap dalam Iklan (Meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi). Alfabeta: Bandung. 2002.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
Ipin Phienouthttp://www.blogger.com/profile/12331619828191607928noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-80058669995805449622013-09-24T14:50:00.003-07:002013-09-24T14:50:41.716-07:00KOMUNIKASI PERSUASIF MENURUT AL-QURAN<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 10pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify;">
<b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 14pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Oleh</span></i></b><b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 14pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span></i></b><b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 14pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Muh. Ilyas</span></i></b><b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 13pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"></span></i></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 10pt; outline: none; padding: 0px; text-align: center;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 2cm; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -2cm;">
<b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span style="font-family: Centaur, serif; font-size: 13pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Abstrak :</span></b><span style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> <span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span></span><i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">The paradox realities between the splendor of islamic preaching recently and the spread of evils indicate that the implementation of islamic preaching is separated from the social realities. Among of the efforts to overcome to this problem is “re-reading” the qur’anic doctrines of Islamic Preaching (dakwah), and integrating them with social sciences especially science of communication. Among of the results of that combining is “persuasive preaching”, that is dakwah with persuasive communication approach. Persuasive preaching is preaching based on the principles of effective communication. Effective communication is communication based on audiences’ (mad’u) needs and gratifications whose different frame of references and field of experiences.<a href="" name="more" style="color: #c22400; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"></a></span></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 2cm; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -2cm;">
<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span></i><i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"></span></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 70.9pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -70.9pt;">
<b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span style="font-family: Centaur, serif; font-size: 13pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Kata kunci</span></b><b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 13pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span></b><b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span style="font-family: Centaur, serif; font-size: 13pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">:</span></b><span style="font-family: Centaur, serif; font-size: 13pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 13pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"></span></span><span lang="SV" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Komunikasi Persuasif, da’i, pesan, uslub, wasilah, mad’u, dan irsyad, tabligh, tadbir, tatwir dan istinbath</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 28px; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 49.65pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -49.65pt;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 21px; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify;">
<b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span style="font-family: Centaur, serif; font-size: 13pt; line-height: 25px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Pendahuluan</span></b><b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; line-height: 24px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">communication</i> berasal dari kata Latin <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">communicatio, </i>dan bersumber dari kata <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">communis </i><span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>yang berarti sama, sama di sini<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>maksudnya adalah sama makna (Onong Uchjana: 2000: 3, Mulyana 2000: 41). Kesamaan makna di sini adalah mengenai sesuatu yang dikomunikasikan, karena komunikasi akan berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan atau dikomunikasikan.<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Menurut Onong Uchyana Effendy dalam buku Ilmu Komunikasi dalam Teori dan Praktek dikatakan: Suatu percakapan dikatakan komunikatif apabila<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>kedua belah pihak<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>yakni komunikator dan komunikan<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>mengerti bahasa pesan yang disampaikan Carl I. Hovland mendefinisikan komunikasi<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>sebagai: upaya yang sistematis untuk merumuskan<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap (Effendy, 1998: 10).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Pendapat lain mengenai komunikasi<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>adalah sebagaimana dikemukakan oleh Toto Tasmara dalam buku<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Komunikasi Dakwah</i>,<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>bahwa<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>komunikasi berasal dari bahasa latin yaitu <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">communicare</i> yang artinya partisipasi atau komunikasi juga bisa berasal dari kata <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">commones</i> yang<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>artinya sama. (Tasmara 1997: 1).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Untuk mengetahui lebih jelas<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>pengertian<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>komunikasi, Toto Tasmara mengemukakan: Dengan demikian, secara sangat sederhana, dapat<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>kita katakan<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>bahwa seseorang yang berkomunikasi<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>berarti mengharapkan<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>agar orang lain<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>dapat ikut serta<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span><i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">berpartisipasi </i><span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>atau bertindak sama<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>sesuai dengan tujuan,<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>harapan atau isi pesan yang disampaikannya.<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>(Tasmara 1997:1).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Komunikasi<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>bukan hanya sekedar<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>tukar-menukar<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>pikiran atau pendapat saja akan tetapi komunikasi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>untuk berusaha mengubah pendapat dan tingkah-laku orang lain, seperti yang<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>diungkapkan<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>Carl I. Hovland bahwa<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>komunikasi adalah<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>“suatu pesan dimana<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>seseorang<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>memindahkan<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>perangsang yang biasanya<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>berupa lambang-lambang, kata-kata untuk mengubah tingkah-laku orang lain” (Widjaya,1986 : 26). Jadi dengan kata lain komunikasi merupakan<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>persamaan pendapat. Untuk itu maka orang harus mempengaruhi orang lain terlebih dahulu, sebelum orang lain tersebut berpendapat, bersikap dan bertingkah laku yang sama dengan kita.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Secara terminologi, komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">“komunikasi adalah semua prosedur dimana pikiran seseorang dapat mempengaruhi orang lain”</i>(w.weaver,1949) pengertian ini sama dengan yang diungkapkan <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">“komunikasi adalah suatu proses dimana individu (komunikator) menyampaikan pesan untuk mengubah prilaku individu (hovland, Janis & Kelly, ungkapan miller (2002) dalam (elvinaro ardianto 2007 )</i>. Dari pengertian tersebut<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>jelas bahwa komunikasi melibatkan<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>sejumlah orang, oleh karerna itu<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>komunikasi<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>akan dapat<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>berhasil<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>apabila timbul adanya<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>saling pengertian dan saling memahami<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>antara kedua belah pihak baik pengirim maupun<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>penerima pesan, sehingga komunikan memberikan respon. Hal tersebut tidak berarti<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>bahwa kedua belah pihak<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>harus menyetujui<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>suatu gagasan, akan tetapi yang penting dalam berkomunikasi<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>kedua belah pihak sama-sama memahami<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>suatu gagasan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Komunikasi</span></i><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> bertujuan untuk menciptakan perubahan pada diri komunikan, baik perubahan opini, sikap maupun perilaku. Ada beberapa teknik komunikasi yang digunakan untuk perubahan tersebut. Dalam bidang kajian komunikasi dikenal ada empat teknik yang biasa digunakan di antaranya informatif, persuasif, koersif dan hubungan manusiawi (Onong Uchjana Efendy 2000 : 55 ).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Teknik komunikasi persuasif memiliki karakteristik yang khas dan memberikan efek positif bagi komunikan karena kemampuannya yang dapat mengubah sikap, opini dan perilaku komunikan dengan tanpa paksaan; komunikan secara tidak sadar mengikuti keinginan komunikator. Oleh karena itulah teknik komunikasi ini banyak dipakai dalam kegiatan Public Relations atau lebih dikenal dengan Hubungan Masyarakat. Berbeda dengan teknik komunikasi koersif yang bersifat memaksa kepada komunikan untuk mengikuti kehendak komunikator, sehingga memberikan efek yang tidak menyenangkan secara psikologis bagi penerima pesan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Teori-teori pada bidang kajian ilmu sosial termasuk bidang komunikasi masih didominasi oleh teori-teori yang dibangun dari referensi yang berasal dari kalangan Barat yang notabene nonmuslim. Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar karena para ilmuwan dari dunia Barat sudah lebih dulu memulai melakukan berbagai penelitian dalam berbagai bidang ilmu tak terkecuali dalam bidang Ilmu Komunikasi. Sebagai konsekuensi logis dari fenomena tersebut adalah umat Islam sementara ini hanya mampu menjadi “konsumen” atau “user” dari keberhasilan dan kemajuan yang telah dicapai oleh kalangan dunia Barat.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW mengandung ajaran yang komprehensif, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dan membimbing manusia menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Apabila dikaji dari perspektif ilmu komunikasi Al-Quran dan hadits sebagai sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan,<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>memuat ternyata memuat unsur-unsur pokok bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang banyak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Jika dikaji menggunakan pendekatan ilmu komunikasi, Al-Quran mengandung ajaran tentang prinsip-prinsip komunikasi persuasif. Sinyalmen tersebut memerlukan pengamatan secara seksama dan interpretasi dengan perspektif ilmu sosial khususnya komunikasi. Begitu pula hadits Nabi Muhammad SAW memuat prinsip-prinsip komunikasi. <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Term </i>tersebut di dalam konteks Agama Islam dapat pula dipahami dan dikategorikan sebagai bagian dari ilmu dakwah.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Indikator yang menunjukkan agama Islam sarat dengan prinsip-prinsip ajaran ilmu pengetahuan dibuktikan dengan kesuksesan Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan ajaran Islam dan dapat diterima oleh bangsa Arab yang waktu itu berada dalam kondisi jahiliah dan terkenal dengan watak mereka yang keras. Keberhasilan Rasulullah SAW dalam menjalankan misi dakwahnya diakui dan dicatat dalam sejarah dunia, diantaranya oleh seorang yang menyusun urutan orang-orang yang berpengaruh di dunia, Michael H. Hart menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai orang yang paling berpengaruh dalam sejarah dunia.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Karakteristik komunikasi persuasif yang ditandai dengan unsur membujuk, mengajak, mempengaruhi dan meyakinkan, jika dilihat dari perspektif Islam dapat dikategorikan pada dakwah Islam. Unsur-unsur yang terkandung dalam komunikasi persuasif menjadi dasar kegiatan dakwah karena dakwah secara etimologis berarti mengajak atau menyeru. Dakwah merupakan bagian dari tugas setiap muslim, dalam beberapa ayat Al-Quran disebutkan bahwa dakwah menuju jalan Allah SWT hukumnya wajib. Kewajiban ini didasari perintah melaksanakan dakwah disampaikan dalam bentuk <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">fiil amr</i>, yaitu perintah secara langsung sebagaimana yang terdapat dalam surat An-Nahl ayat 125. dakwah yang dimasud dalam konteks yang relevan dengan komunikasi persuasif adalah <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">dakwah billisan</i> atau dakwah dengan menggunakan kata-kata atau lebih dikebal dengan tabligh.<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Surat An-Nahl ayat 125 mengandung pengertian bahwa dakwah merupakan proses berperilaku ke-Islaman yang melibatkan unsur <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">da’i, pesan, uslub </i>(metode),<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> wasilah </i>(media<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">), mad’u </i>(yang didakwahi),<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </i>dan tujuan. Perilaku ke-Islaman itu, dari segi bentuknya antara lain berupa <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">irsyad</i>, (internalisasi dan bimbingan), <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">tabligh</i> (transmisi dan penyebarluasan), <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">tadbir</i> (rekayasa daya manusia), <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">tatwir</i> (pengembangan kehidupan muslim) dan aspek-aspek kultur universal. Penjelasan Al-Quran yang diturunkan melalui <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">istinbath</i> (berpikir deduktif) menjadi teori utama ilmu dakwah.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Tabligh</span></i><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> merupakan suatu penyebarluasan ajaran Islam yang memiliki ciri-ciri tertentu. Ia bersifat massal, seremonial, bahkan kolosal. Ia terbuka bagi beragam agregat sosial dari berbagai kategori. Ini berhubungan dengan peristiwa penting dalam kehidupan manusia secara individual atau kolektif. Ia berkaitan degan<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">sponsorship</i>, perseorangan, keluarga, satuan jamaah atau instansi.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Irsyad</span></i><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> adalah bimbingan dan penyuluhan, yaitu proses internalisasi, transmisi, <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">dan</i> transformasi, ajaran Islam dalam konteks dakwah nafsiyah, fardhaiyah, dan fiahyang berasumber pada Al-Quran, Sunnah, dan ijtihad untuk mewujudkan kebenaran, keadilan dan menegakkan khittah kemanusiaan muslim dalam kenyataan kehidupan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Tathwir</span></i><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> atau pengembangan masyarakat diidentifikasi sebagai penyebarluasan aajran Islam dalam bentuk aksi sosial. Ia merupakan satu bentuk pengorganisasian potensi sosial yang diarahkan pada sustu kondisi tertentu, dengan mengacu kepada kondisi tertentu da npada aspek-aspek yang normatifyang bersifat kondisional.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Tadbir</span></i><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> atau manajemen dakwah merupakan penataan penyebarluasan ajaran Islam dengan menggunakan prinsip dan komponen manajemen secara umum. Intinya menggerakkan berbagai komponen dalam suatu jalinan kerja sama yang diorganisasikan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Hakikat ilmu dakwah dapat dirumuskan sebagai kumpulan ilmu pengetahuan yang berasal<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>dari Allah yang dikembangkan umat Islam yang sistematis dan terorganisir yang membahas sesuatu yang ditimbulkan dalam interaksi antar unsur dalam sistem yang melaksanakan kewajiban<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>dakwah dengan maksud memperoleh pemahaman yang tepat mengenai kenyataan dakwah sehingga akan dapat memperoleh susunan yang bermanfaat bagi penegakkan tugas dakwah dan khilafah umat manusia.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Adapun fungsi ilmu dakwah Menurut Sambas adalah (a) Mentransformasikan dan menjadi manhaj<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>(kaifiyah) untuk mewujudkan ajaran Islam menjadi tatanan <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">khairu ummah</i>, (b) mentransformasikan iman<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>menjadi amal shaleh jamaah; (c) membangun dan mengembalikan manusia pada keadaan fitri, meluruskan tujuan hidup manusia, meneguhkan fungsi khilafah manusia meurut Al-Quran dan Sunnah. Oleh karena itu ilmu dakwah dapat dipandang sebagai ilmu perjuangan umat Islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan peradaban Islam.</span><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 24px; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 21px; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify;">
<b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 13pt; line-height: 25px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Komunikasi Persuasif</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Istilah persuasi (<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">persuasion</i>) berasal dari perkataan latin <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">persuasio</i>. Kata kerjanya adalah <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">persuadere</i> yang berarti membujuk, mengajak atau merayu. Komunikasi<b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </b>persuasif <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">adalah </i>komunikasi<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> yang bertujuan untuk merubah atau mempengaruhi kepercayaan, sikap, dan perilaku seseorang sehingga bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunikator</i>. (</span><span lang="EN-US" style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><a href="http://www.uspharmacist.com/oldformat.asp?url=newlook/files/phar/apr00rel.htm" style="color: #c22400; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-decoration: none;" title="http://www.uspharmacist.com/oldformat.asp?url=newlook/files/phar/apr00rel.htm"><i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span style="font-family: Centaur, serif; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Bruce Berger Ph.D. Persuasive Communication Part I. U.S. Pharmacist a Jobson Publication</span></i></a></span><i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span></i><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">) Dikutib dari ( </span><span lang="EN-US" style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_persuasif" style="color: #c22400; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-decoration: none;"><i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span style="font-family: Centaur, serif; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_persuasif</span></i></a></span><i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">, 2009 )</span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">D</span><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">alam kehidupan sehari-hari<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>komunikasi persuasif sangat banyak digunakan, seperti iklan, ceramah, himbauan dan sebagainya. Dalam konteks komunikasi antarpribadi (<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">interpersonal communication</i>) komunikasi persuasif juga banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Ada tiga alat utama yang biasa digunakan untuk melakukan komunikasi persuasif yaitu: sikap (<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">attitudes</i>), kepercayaan (<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">beliefs</i>), dan perilaku (<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">behaviors</i>).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Menurut</span><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> Ronald L. Applebaum dan Karl W.E. Atanol (1974) dalam Malik dan Irianta, adalah: <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Complex process of communication by which one individual or group elicits (intentionally or unintentionally) by nonverbal or verbal means a specific response from another individual or group. </i>(persuasi adalah proses komunikasi yang kompleks ketika individu atau kelompok mengungkapkan pesan (baik dengan sengaja atau tidak sengaja) melalui cara-cara verbal dan nonverbal untuk memperoleh respon tertentu dari individu atau kelompok lain.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Para ahli komunikasi sering kali menekankan bahwa persuasif adalah kegiatan psikologis (Jalaluddin Rakhmat 2000:18 ). Penekanan ini bertujuan untuk mengadakan perbedaan antara persuasif dengan koersif. Pada prinsipnya tujuan persuasi dan koersi adalah sama, yakni untuk mengubah opini, sikap dan perilaku. Hanya saja terdapat perbedaan pada teknik penyampaian pesan antara keduanya. Pada komunikasi persuasif penyampaian pesan dilakukan dengan cara membujuk, merayu, meyakinkan, mengiming-iming dan sebagainya sehingga terjadi kesadaran untuk berubah pada diri komunikan yang terjadi secara suka rela tanpa adanya paksaan. Sedangkan pada komunikasi koersif perubahan opini, sikap, dan perilaku terjadi dengan perasaan terpaksa dan tidak senang karena adanya ancaman dari komunikator. Efek dari teknik koersif ini bisa berdampak timbulnya rasa tidak senang, rasa benci, bahkan mungkin rasa dendam. Sedangkan efek dari komunikasi persuasif adalah kesadaran, kerelaan dan perasaan senang.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Persuasi merupakan bagian dari kehidupan kita setiap hari, maka usaha memahami dan menguasai persuasi-baik secara teoritis maupun praktis-agaknya merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunda. Menurut<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>Joseph A. Haro dalam buku <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Speaking Persuasively</i> persuasi adalah kenyataan yang tidak dapat dinafikan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jelasnya lagi menurutnya:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0px 0px 0px 14.2pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify;">
<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Anda hidup dalam sebuah dunia yang sarat dengan kata, anda digempur terus oleh pesan-pesan yang dirancang untuk mempengaruhi anda, para pemasang iklan menganjurkan anda untuk membeli produk-produk mereka. Para pengkhotbah menekankan perlunya mengubah cara hidup anda. Para instruktur berusaha membujuk anda untuk memilih studi yang sesuai degan keahlian anda. Para pengusaha menjajakan anda untuk memilih jasa produk mereka. Sebaliknya anda juga berusaha sebisa mungkin meyakinkan orang tua agar meminjamkan anda kendaraan keluarga. Anda juga membujuk teman kencan anda supaya bertindak sesuai dengan harapan anda. (Hardo dalam Malik dan Irianta, 1981:3)</span></i><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<h1 style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Klasifikasi Komunikasi Persuasif</span></h1>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 18pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -18pt;">
<b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">1.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span></span></span></b><b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Teknik “red herring”</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Teknik komunikasi persuasif “red herring” berasal dari nama jenis ikan yang hidup di samudera Atlantik Utara. Jenis ikan ini terkenal dengan kebiasaannya dalam membuat gerak tipu ketika diburu oleh binatang lain atau oleh manusia. Dalam hubungannya dengan komunikasi persuasif, teknik “red herring” adalah seni seorang komunikator untuk meraih kemenangan dalam perdebatan dengan mengelakkan argumentasi yang lemah untuk kemudian mengalihkannya sedikit demi sedikit ke aspek yang dikuasainya guna dijadikan senjata ampuh untuk menyerang lawan. Jadi teknik ini digunakan pada saat komunikator berada dalam posisi terdesak. (<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> William Albig, <span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Modern Public Opinion : 554: 4 )</span></i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Berkaitan dengan teori ini, menurut Jalaludin Rahmat dalam bukunya Islam Aktual menyebutkan bahwa dalam berkomunikasi hendaklah “straight to the point”, lurus, tidak bohong, tidak berbelit-belit, sesuai dengan kriteria kebenaran.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Alfred Korzybski, peletak dasar teori <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">General Semantics”</i> menyatakan bahwa penyakit jiwa individual maupun sosial timbul karena menggunakan kata-kata yang tidak benar. Makin gila seseorang makin cenderung dia menggunakan kata-kata yang salah atau kata-kata yang menutupi kebenaran. Ada beberapa cara menutupi kebenaran dengan komunikasi, pertama: menutupi kebenaran dengan menggunakan kata-kata yang abstrak, ambiguitas, atau menimbulkan penafsiran yang sangat berlainan. Kedua: orang menutupi kebenaran dengan menciptakan istilah yang diberi makna lain. Sehubungan dengan teori ini, selama dalam implementasinya komunikator dalam usaha meraih kemenangan dalam perdebatan menggunakan argumentasi yang tidak keluar dari prinsip-prinsip kebenaran maka tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi jika dalam mengemukakan argumentasi hanya berorientasi pada memenangkan perdebatan, maka hal tersebut melanggar prinsip-prinsip ajaran Islam sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat An-Nahl ayat 125.</span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-indent: 0cm;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent" dir="RTL" style="background-color: white; color: #222222; direction: rtl; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 0cm; unicode-bidi: embed;">
<span lang="AR-SA" style="font-size: 14pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">ادع الي سبيل ربك بالحكمة و الموعظة الحسنة و جادلهم بالتي هي أحسن إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله و هو أعلم بالمهتدين</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18px; margin: 0cm 0cm 10pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; line-height: 18px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Terjemahan:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18px; margin: 0cm 0cm 10pt 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify;">
<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; line-height: 18px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan peringatan yang baik dan berdebatlah dengan cara yang baik pula, sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”</span></i><span dir="RTL" style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"></span><span dir="RTL" lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 18px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span dir="RTL" style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"></span></span><span dir="LTR" style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"></span><i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; line-height: 18px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span dir="LTR" style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"></span><span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>(Q.S An-Nahl 125)</span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Ayat tersebut jika dipahami dan ditafsirkan menggunakan pendekatan ilmu komunikasi mengandung pengertian bahwasannya seorang komunikator dituntut untuk mengetahui dan memahami kondisi orang yang diajak berkomunikasi dari berbagai aspek, di antaranya dari status sosial, latar belakang pendidikan, ekonomi, dan budaya atau dalam istilah komunikasi disebut <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">frame of reference</i>. Selain itu seorang komunikator juga harus memahami kondisi orang yang diajak berkomunikasi dari aspek pengalaman masa lalu mereka atau dikenal dengan<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">field of experience</i>. Kedua faktor tersebut mesti mendapat perhatian bagi seorang yang akan melakukan kegiatan komunikasi persuasif.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 18pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -18pt;">
<b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">2.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span></span></span></b><b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Teknik “pay off idea”</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Teknik komunikasi “pay off idea” adalah suatu usaha untuk mempengaruhi orang lain dengan memberikan harapan yang baik atau mengiming-imingi hal-hal yang baik saja. (Carld I Hovland, Irving L. Janis, Harold H. Kelly, 1963 : 55).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Dalam perspektif Islam, teknik komunikasi “pay off idea” menjadi salah satu teknik yang banyak tersurat di dalam Al-Quran maupun Hadits. Dan hal ini menjadi bagian dari ajaran agama Islam yang meyakini adanya kehidupan setelah kematian, bahkan hal tersebut menjadi salah satu pondasi keimanan seorang muslim, yaitu percaya akan adanya hari pembalasan. Dalam banyak ayat di dalam Al-Quran digambarkan bahwa bagi orang yang melakukan amal baik selama di dunia maka ia akan meraih kebahagiaan di akhirat nanti dengan diamsukkan ke dalam surga Allah dan kekal di dalamnya. Allah SWT akan ridla kepada orang-orang yang melakukan amal baik.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Teknik komunikasi tersebut dapat dilihat secara tersurat dalam surat Al-Bayyinah ayat 7-8 yang berbunyi:</span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent" dir="RTL" style="background-color: white; color: #222222; direction: rtl; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 0cm; unicode-bidi: embed;">
<span lang="AR-SA" style="font-size: 14pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">إن الذين أمنوا وعملوا الصالحات أولئك هم خير البرية<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>جزاؤهم عند ربهم جنات عدن تجري من تحتها الأنهار خالدين فيها أبدا رضي الله عنهم و رضو عنه ذلك لمن خشي ربه</span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-indent: 0cm;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoBodyText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Terjemahan:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18px; margin: 0cm 0cm 10pt 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify;">
<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; line-height: 18px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka adalah surga and yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang-orang yang takut kepada-Nya.</span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Sangat banyak ayat Al-Quran yang menggambarkan janji Allah sebagai balasan bagi orang yang beriman dan beramal shaleh, baik disampaikan secara tersurat maupun secara tersirat, seperti dalam surat Al-Muthaffifin:22, AlBuruj:11, A-Ghasiah: 8-16, Al-Mu’minun: 10-11, dan masih banyak ayat-ayat lain yang senada yang menggambarkan janji Allah SWT kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh. Dalam ayat lain Allah SWT menggambarkan keadaan si surga yang terdapat bidadari-bidadari yang cantik jelita yang selamanya perawan dan tidak pernah menjadi tua. Juga terdapat buah-buahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Nabi Muhammad SAW menggambarkan keberadaan suasana di surga yang terdiri dari pemandangan yang sangat indah yang tidak pernah terlihat di muka bumi dan tidak pernah terdengar oleh siapapun di dunia ini.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Berdasarkan uraian singkat di atas dapat diperoleh gambaran bahwa sebetulnya secara tersirat Agama Islam telah menyampaikan ajaran yang komprehensif dan mengajarkan sendi-sendi dasar ilmu pengetahuan baik ilmu eksakta maupun ilmu sosial seperti sosiologi, psikologi dan komunikasi. Hanya saja umat Islam dalam hal ini masih belum dapat menangkap dan menggalinya. Sedangkan para ilmuwan Barat lebih serius mengkaji dan melakukan penelitian, sehingga mereka lebih banyak melahirkan teori-teori dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan termasuk bidang ilmu komunikasi.</span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-indent: 0cm;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 18pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -18pt;">
<b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">3.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span></span></span></b><b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Teknik “fear arousing”</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Teknik komunikasi “fear arousing” adalah usaha menakut-nakuti orang lain atau menggambarkan konsekuensi buruknya ( <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Carld I Hovland, Irving L. Janis, Harold H. Kelly 1963 </i>: 57 ). Dalam konteks ajaran agama Islam teknik ini secara eksplisit dan inlpisit terkandung di dalam Al-Quran dan Hadits. Hal tersebut diindikasikan dengan banyaknya ayat yang menggambarkan konsekuensi berupa siksaan di akhirat nanti bagi orang kafir dan orang yang durhaka kepada Allah SWT.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Dalam bidang hukum Islam dikenal dengan “hudud” atau ketentuan hukuman bagi orang-orang yang melanggar aturan Allah SWT; seperti membunuh orang tanpa alasan syar’i, berzina, minum minuman keras, mencuri dalam kadar tertentu dan dosa-dosa besar lainnya. Seperti terdapat dalam Al-Maidah ayat 38:</span></div>
<div class="MsoBodyText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent" dir="RTL" style="background-color: white; color: #222222; direction: rtl; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 0cm; unicode-bidi: embed;">
<span lang="AR-SA" style="font-size: 14pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">السارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاءا بما كسبا نكالا من الله و الله عزيز حكيم</span><span dir="LTR" lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 14pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Terjemahan:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18px; margin: 0cm 0cm 10pt 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify;">
<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; line-height: 18px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.</span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Ayat di atas menggambarkan ancaman bagi seorang yang mencuri dalam jumlah tertentu, kemudian diproses dan disahkan secara hukum, maka hukumannya adalah dipotong tangannya supaya menimbulkan efek jera bagi pelakunya dan menimbulkan rasa takut bagi orang yang hendak melakukan perbuatan serupa. Ketentuan ini tersurat secara jelas di dalam kitab suci Al-Quran, akan tetapi di Indonesia aturan Allah tersebut belum/tidak dapat dilakasanakan karena sistem hukum yang dianut bukanlah hukum Islam. Jadi hanya di negara-negara yang menerapkan hukum Islam yang dapat mengaplikasikan perintah Allah tersebut. Walaupun ketentuan tersebut tidak diaplikasikan di Indonesia akan tetapi secara idealis keentuan Allah tersebut cukup menjadi dasar bagi umat Islam bahwa pencurian dalam jumlah tertentu diancam dengan hukuman potong tangan sehingga akan menimbulkan rasa takut untuk melakukannya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Begitu pula ayat tentang perzinahan, bagi seorang yang sudah pernah menikah (muhshan) maka hukumannya adalah dirajam; dilempari dengan batu berukuran sedang sampai meninggal dunia. Sedangkan bagi seorang yang belum pernah menikah (ghair muhshan) maka hukumannya adalah didera seratus kali pukulan dan diasingkan selama satu tahun. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam surat</span><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoBodyText" dir="RTL" style="background-color: white; color: #222222; direction: rtl; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-align: right; unicode-bidi: embed;">
<span lang="AR-SA" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 14pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة</span></div>
<div class="MsoBodyText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Terjemahan:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18px; margin: 0cm 0cm 10pt 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify;">
<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; line-height: 18px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Seorang penzina perempuan dan penzina laki-laki maka cambuklah masing-masing seratus kali pukulan.</span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Selain ancaman Allah berupa ketentuan hukum “hudud”, terdapat pula ancaman Allah yang disampaikan secara naratif berupa ancaman siksaan di akhirat bagi orang-orang kafir dan munafik serta orang-orang yang melanggar aturan Allah dengan masuk neraka. Seperti yang terdapat dalam surat Al-Bayyinah ayat 6 yang berbunyi:</span></div>
<div class="MsoBodyText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoBodyText" dir="RTL" style="background-color: white; color: #222222; direction: rtl; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-align: right; unicode-bidi: embed;">
<span lang="AR-SA" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 14pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">إن الذين كفروا من أهل الكتاب و المشركين في نار جهنم خالدين فيها إبدا أولئك هم شر البريه</span><span dir="LTR" lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 14pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Terjemahan:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 18px; margin: 0cm 0cm 10pt 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify;">
<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; line-height: 18px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik akan masuk ke neraka Jahanam: mereka kekal di dalamnya, mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk</span></i><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; line-height: 18px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Ancaman yang disampaikan oleh Allah SWT baik ancaman dalam konteks ketentuan hukum syar’i maupun ancaman-ancaman Allah SWT dalam ayat-ayat Al-Quran, jika dianalisis menggunakan perspektif ilmu komunikasi maka tergolong ke dalam salah satu bentuk komunikasi persuasif<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>“fear arousing” yang artinnya membangkitkan rasa takut kepada orang, sehingga menimbulkan kesadaran pada diri manusia untuk melakukan kataatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 21px; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify;">
<b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 13pt; line-height: 25px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Kesimpulan </span></b><b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 13pt; line-height: 25px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span></b><span style="font-family: Centaur, serif; font-size: 13pt; line-height: 25px; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Teknik komunikasi persuasif memiliki karakteristik yang khas dan memberikan efek positif bagi komunikan karena kemampuannya yang dapat mengubah sikap, opini dan perilaku komunikan dengan tanpa paksaan; komunikan secara tidak sadar mengikuti keinginan komunikator. Oleh karena itulah teknik komunikasi ini banyak dipakai dalam kegiatan Public Relations atau lebih dikenal dengan Hubungan Masyarakat. Berbeda dengan teknik komunikasi koersif yang bersifat memaksa kepada komunikan untuk mengikuti kehendak komunikator, sehingga memberikan efek yang tidak menyenangkan secara psikologis bagi penerima pesan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Al-Quran mengandung ajaran tentang prinsip-prinsip komunikasi persuasif. Sinyalmen tersebut memerlukan pengamatan secara seksama dan interpretasi dengan perspektif ilmu sosial khususnya komunikasi. Begitu pula hadits Nabi Muhammad SAW memuat prinsip-prinsip komunikasi. Term tersebut di dalam konteks Agama Islam dapat pula dipahami dan dikategorikan sebagai bagian dari ilmu dakwah.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #222222; font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Dari ketiga bentuk komunikasi persuasif dapat ditarik sebuah sintesis bahwa pada dasarnya Agama Islam sejak awal kedatangannya ke muka bumi ini telah memberikan tuntunan menuju jalan keselamatan dan pintu-pintu pengetahuan begi seluruh umat manusia, hanya saja saat ini umat Islam masih belum mampu mengali dan berani menampilkan ke segenap umat manusia di muka bumi ini bahwa Islam merupakan agama yang mengangkat derajat umat manusia dan mengantarkan menuju jalan keselamatan di dunia dan di akhirat.</span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px;">
<b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span style="font-family: Centaur, serif; font-size: 13pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Daftar Rujukan</span></b><b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 13pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"></span></b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; outline: none; padding: 0px;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 12pt; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<b style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 13pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"></span></b><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Carld I Hovland, Irving L. Janis, Harold H. Kelly, <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Communication and Persuasion</i>. (New Heaven and London : Yale University Press. 1963)</span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 7px; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 12pt; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Effendy</span><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">, Onong Uchyana.<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> Psikologi, Manajemen dan Administrasi. </i><span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>Bandung: Mandar Maju, 1989.</span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 7px; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 12pt; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Effendy, Onong Uchyana.<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> Ilmu Komunikasi dalam Teori dan Praktek.</i> Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997.</span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 7px; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 12pt; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Effendy</span><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">, Onong Uchyana.<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>Ilmu<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>teori dan filsafat komunikasi”.</i> Bandung: Aditya Bakti, 2000.</span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 7px; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 12pt; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Elvinaro</span><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> Ardinto,<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> Filsafat Ilmu Komunikasi”</i> Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2007.</span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 7px; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 12pt; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Kossen</span><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">, Stan. <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Aspek Manusiawi dalam Organisasi</i>. Jakarta: Erlangga, 1993.</span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 7px; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 12pt; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Malik</span><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">, Deddy Djamaludin dan Irianta, Yosal<i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> Komunikasi Persuasif</i> Bandung, Remaja Rosdakarya.</span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 7px; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 12pt; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Mulyana</span><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">, Deddy, <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar”</i>Bandung :PT<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>Remaja Rosdakarya, 2000</span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 7px; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 12pt; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Rachmadi</span><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">, F. <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Public Relations Dalam Teori dan Praktek. </i>Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992</span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 7px; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 12pt; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Rakhmat</span><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">, Jalaluddin. <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Psikologi Komunikasi</i>. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.</span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 7px; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 12pt; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Surya</span><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">, Kusumah. <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Peranan Human Relations dan<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>Public Relations dalam Organiasi. </i><span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>Diklat<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>Lembaga Administrasi Negara RI, 1978.</span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 7px; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 12pt; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Tasmara</span><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">, Toto. <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Komunikasi Dakwah</i>. Jakarta: Graha Media Pratama, 1997.</span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 7px; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 12pt; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Widjaya</span><span lang="IT" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">, H.A.W, <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Komunikasi Dan Hubungan Masyarakat</i>, Jakarta: Bina aksara, 1986.</span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 7px; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19px; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">William</span><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> Albig, <i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">Modern Public Opinion</i>. (New York : McGraww-Hill Book Company. Inc.<span style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> </span>1956.</span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 7px; margin: 0px 0px 0px 42.55pt; outline: none; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: -42.55pt;">
<br style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoBodyText" style="background-color: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 14px; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 35.45pt; outline: none; padding: 0px; text-indent: -35.45pt;">
<span lang="EN-US" style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_persuasif" style="color: #c22400; margin: 0px; outline: none; padding: 0px; text-decoration: none;"><i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_persuasif</span></i></a></span><i style="margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;">,</span></i><span lang="EN-US" style="font-family: Centaur, serif; font-size: 12pt; margin: 0px; outline: none; padding: 0px;"> 2009</span></div>
</div>
Ipin Phienouthttp://www.blogger.com/profile/12331619828191607928noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-79277535345852298702013-09-24T14:46:00.000-07:002013-09-24T14:46:01.110-07:00Metode Pengumpulan Data dengan Kuesioner pada Penelitian Kuantitatif<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
Tatang M. Amirin mengemukakan bahwa teknik-teknik yang bisa digunakan untuk menggali data adalah tes, angket (kuesioner), wawancara (interview), pengamatan (observasi), dan dokumen. Selanjutnya Sutrisno Hadi memaparkan bahwa teknik pengumpulan data dibedakan menjadi tiga macam yaitu observasi, kuesioner, dan interview.</div>
<div style="text-align: justify;">
Namun demikian, dalam tulisan ini hanya di bahas secara khusus yang berkaitan dengan metode pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner.</div>
<div style="text-align: justify;">
Metode pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Cara merujuk pada sesuatu yang abstrak, tetapi dapat diwujudkan dalam benda yang kasat mata, tetapi hanya dapat dipertontonkan penggunaannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ada beberapa pengertian kuesioner yang diungkapkan oleh para ahli</div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut Nazir, kuesioner atau daftar pertanyaan adalah sebuat set pertanyaan yang secara logis berhubungan dengan masalah penelitian, dan tiap pertanyaan merupakan jawaban-jawaban yang mempunyai makna dalam menguji hipotesis. Daftar pertanyaan tersebut dibuat cukup terperinci dan lengkap.</div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut Suharsimi Arikunto, Kuesioner/angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain yang bersedia memberikan respon sesuai dengan permintaan pengguna.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan demikian angket/kuesioner adalah daftar pertanyaan yang disiapkan oleh peneliti dimana tiap pertanyaannya berkaitan dengan masalah penelitian. Angket tersebut pada akhirnya diberikan kepada responden untuk dimintakan jawaban.</div>
<div style="text-align: justify;">
Angket merupakan daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain dengan maksud agar orang yang diberikan tersebut bersedia memberikan respon sesuai dengan permintaan pengguna. Selanjutnya angket menurut Suharsimi Arikunto, dapat dibedakan menjadi:</div>
<div style="text-align: justify;">
Angket terbuka yaitu angket yang disajikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga responden dapat memberikan isian sesuai dengan kehendak dan keadaannya. Angket terbuka dipergunakan apabila peneliti belum dapat memperkirakan atau menduga kemungkinan alternatif jawaban yang ada pada responden.</div>
<div style="text-align: justify;">
Angket tertutup yaitu angket yang disajikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga responden tinggal memberikan tanda centang (V) pada kolom atau tempat yang sesuai.</div>
<div style="text-align: justify;">
Angket campuran yaitu gabungan antara angket terbuka dengan angket tertutup.</div>
<div style="text-align: justify;">
Angket sebagai alat pengumpul data mempunyai beberapa keuntungan. Menurut Suharsimi Arikunto keuntungan menggunakan angket antara lain:</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ol>
<li>Tidak memerlukan hadirnya peneliti</li>
<li>Dapat diberikan secara serempak kepada banyak responden</li>
<li>Dijawab oleh responden menurut kecepatan masing-masing dan menurut waktu senggang responden</li>
<li>Dapat dibuat anonim sehingga responden bebas, jujur, dan tidak malu-malu menjawab</li>
<li>Dapat dibuat berstandar sehingga semua responden dapat diberi</li>
</ol>
</div>
Ipin Phienouthttp://www.blogger.com/profile/12331619828191607928noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-7271595629319198202013-09-24T14:44:00.001-07:002013-09-24T14:44:34.287-07:00Pendekatan Respon Kognitif (The Cognitive Response Approach)<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: left;">
<span style="font-size: x-small;"><span style="color: red;">Tulisan ini merupakan terjemahan dari The Cognitive Response Approach yang merupakan sub bab dari Bab 5 The Communication Process</span><span style="color: red;">Sumber: George E.Blech & Michael A. Belch, ADVERTISING AND PROMOTION An Intergrated Marketing Communication Perspective, Sixth Edition, © The McGraw−Hill Companies, 2003: Halaman 157-158</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Salah satu metode yang paling banyak digunakan untuk memeriksa proses kognitif konsumen tentang pesan iklan adalah penilaian tanggapan kognitif mereka, pikiran yang terjadi pada mereka ketika membaca, melihat, dan/atau mendengar pesan yang dikomunikasikan.26 Pikiran yang terjadi pada konsumen ini umumnya diukur dengan laporan konsumen secara tertulis atau lisan mengenai reaksi mereka terhadap pesan. Asumsinya adalah bahwa pikiran-pikiran ini mencerminkan proses-proses atau reaksi kognitif penerima dan membantu bentuk akhir penerimaan atau penolakan terhadap pesan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pendekatan respons kognitif telah banyak digunakan dalam penelitian, baik oleh akademisi maupun praktisi periklanan. Fokusnya adalah untuk menentukan jenis respon yang ditimbulkan oleh sebuah pesan iklan dan bagaimana respon ini berhubungan dengan sikap terhadap iklan, sikap terhadap merek, dan minat pembelian. Gambar 1 menggambarkan tiga kategori dasar respon kognitif yang telah diidentifikasi peneliti – product/message, source oriented, dan ad execution thought – dan bagaimana ketiganya mungkin berhubungan dengan sikap dan minat (attitudes and intentions).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://teddykw1.files.wordpress.com/2010/02/model-cognitive-response.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="174" src="http://teddykw1.files.wordpress.com/2010/02/model-cognitive-response.png" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
Gambar 1</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Product/Message Thoughts. Kategori pertama terdiri dari pikiran yang diarahkan pada produk atau layanan dan / atau klaim yang dibuat dalam penyampaian pesan (komunikasi). Banyak perhatian telah difokuskan pada dua jenis tanggapan utama, yaitu counterarguments ( argumen penolakan) dan support arguments (argumen dukungan)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Counterarguments adalah penerima memiliki pikiran yang berlawanan dengan posisi yang diambil dalam pesan. Sebagai contoh, perhatikan iklan Ultra Tide yang ditunjukkan dalam Gambar 2. Seorang konsumen dapat mengekspresikan ketidakpercayaan atau penolakan terhadap klaim yang dibuat dalam iklan. ( “Aku tidak percaya bahwa ada deterjen yang bisa melepaskan noda!”) Konsumen lain yang melihat iklan ini dapat menyatakan support arguments atau pemikiran yang menegaskan klaim yang dibuat dalam pesan. (“Tide Ultra tampak seperti produk yang benar-benar baik – saya pikir saya akan mencobanya.”)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://teddykw1.files.wordpress.com/2010/02/picture11.png?w=112&h=147" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://teddykw1.files.wordpress.com/2010/02/picture11.png?w=112&h=147" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
Gambar 2</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kemungkinan counterarguing lebih besar ketika pesan membuat klaim yang bertentangan dengan keyakinan penerima. Sebagai contoh, seorang konsumen melihat iklan yang menyerang merek favoritnya maka kemungkinan akan melibatkan counterarguing. Counterarguments berhubungan secara negatif terhadap penerimaan pesan; semakin besar penolakan penerima dalam argument, semakin kecil kemungkinan dia untuk menerima posisi yang dianjurkan dalam pesan.27 Di sisi lain , support argument berhubungan positif terhadap penerimaan pesan. Dengan demikian, pemasar harus mengembangkan iklan atau pesan promosi lainnya yang meminimalkan counterarguing dan mendorong support arguments</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Source-Oriented Thoughts . Kategori kedua respon kognitif diarahkan pada sumber komunikasi. Salah satu tipe respon yang paling penting dalam kategori ini adalah source derogations, atau pikiran negatif tentang juru bicara atau organisasi yang membuat klaim. Pikiran semacam itu umumnya mengarah pada penurunan penerimaan pesan. Jika konsumen menemukan juru bicara tertentu mengganggu atau tidak dapat dipercaya, mereka cenderung tidak menerima apa yang dikatakan oleh sumber.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tentu saja, pikiran yang berhubungan dengan sumber tidak selalu negatif. Penerima yang bereaksi positif pada sumber menghasilkan pikiran menguntungkan, atau source bolsters. Seperti yang Anda harapkan, sebagian besar pengiklan berusaha untuk menyewa juru bicara yang disukai target audience mereka sehingga dapat membawa efek ini ke pesan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ad Execution Thoughts. Kategori ketiga respon kognitif yang ditunjukkan dalam Gambar 1 terdiri dari pikiran individu tentang iklan itu sendiri. Banyak pikiran penerima ketika membaca atau melihat iklan tidak menyangkut produk dan / atau klaim pesan secara langsung. Sebaliknya, mereka bereaksi secara afektif mewakili perasaan konsumen terhadap iklan. Pikiran ini mungkin termasuk reaksi terhadap faktor eksekusi iklan seperti kreativitas iklan, kualitas efek visual, warna, dan nada suara. Pikiran yang berhubungan dengan eksekusi iklan dapat bersifat menguntungkan atau tidak menguntungkan. Mereka penting karena berpengaruh pada sikap terhadap iklan serta merek.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perhatian telah difokuskan pada reaksi afektif konsumen terhadap iklan, terutama iklan-iklan TV.28 <b>Attitude toward the ad (A → ad)</b> atau Sikap terhadap iklan mewakili perasaan penerima yang menguntungkan atau tidak menguntungkan terhadap iklan. Pengiklan tertarik pada reaksi konsumen terhadap iklan karena mereka tahu bahwa reaksi afektif merupakan faktor penting dalam efektivitas periklanan, karena reaksi-reaksi ini dapat dikirim ke merek itu sendiri atau mempengaruhi minat pembelian secara langsung. Sebuah penelitian menemukan bahwa orang yang menikmati iklan tv (commercial) dua kali kemungkinannya daripada orang yang bersikap netral untuk menjadi yakin bahwa merek adalah yang terbaik.29</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Perasaan konsumen tentang iklan mungkin sama pentingnya dengan sikap mereka terhadap merek (jika tidak lebih dari itu) dalam menentukan efektivitas iklan.30 Pentingnya reaksi afektif dan perasaan yang ditimbulkan oleh iklan tergantung pada beberapa faktor, di antaranya sifat iklan dan jenis pemrosesan yang terlibat dalam diri penerima.31 Banyak pengiklan sekarang menggunakan iklan yang dirancang secara emosional untuk membangkitkan perasaan dan reaksi afektif sebagai dasar strategi kreatif mereka. Keberhasilan strategi ini sebagian bergantung pada keterlibatan konsumen dengan merek dan kemungkinan mereka dalam mengikuti dan pengolahan pesan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kami akhiri analisis tentang penerima dengan menguji model yang mengintegrasikan beberapa faktor yang dapat menjelaskan berbagai jenis dan tingkat pengolahan kognitif tentang pesan.</div>
</div>
Ipin Phienouthttp://www.blogger.com/profile/12331619828191607928noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-36432210504657602502013-09-24T14:35:00.007-07:002013-09-24T14:35:34.049-07:00Proposal Penelitian Kuantitatif (Skripsi)<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
Suatu penelitian yang pada dasarnya menggunakan pendekatan deduktif-induktif. Pendekatan ini berangkat dari suatu kerangka teori, gagasan para ahli, ataupun pemahaman peneliti berdasarkan pengalamannya, kemudian dikembangkan menjadi permasalahan-permasalahan beserta pemecahan-pemecahannya yang diajukan untuk memperoleh pembenaran (verifikasi) dalam bentuk dukungan data empiris di lapangan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Format Proposal Penelitian Kuantitatif</div>
<div style="text-align: justify;">
1. Latar Belakang Masalah</div>
<div style="text-align: justify;">
Di dalam bagian ini dikemukakan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan, baik kesenjangan teoretik ataupun kesenjangan praktis yang melatarbelakangi masalah yang diteliti. Di dalam latar belakang masalah ini dipaparkan secara ringkas teori, hasil-hasil penelitian, kesimpulan seminar dan diskusi ilmiah ataupun pengalaman/pengamatan pribadi yang terkait erat dengan pokok masalah yang diteliti. Dengan demikian, masalah yang dipilih untuk diteliti mendapat landasan berpijak yang lebih kokoh. (lihat pendahuluan )</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
2. Rumusan Masalah</div>
<div style="text-align: justify;">
Perumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan yang hendak dicarikan jawabannya. Perumusan masalah merupakan pernyataan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah. Rumusan masalah hendaknya disusun secara singkat, padat, jelas, dan dituangkan dalam bentuk kalimat tanya. Rumusan masalah yang baik akan menampakkan variabel-variabel yang diteliti, jenis atau sifat hubungan antara variabel-variabel tersebut, dan subjek penelitian. Selain itu, rumusan masalah hendaknya dapat diuji secara empiris, dalam arti memungkinkan dikumpulkannya data untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Contoh: Apakah terdapat hubungan antara tingkat kecerdasan siswa SMP dengan prestasi belajar mereka dalam matapelajaran Matematika?. (Tips membuat rumusan masalah )</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
3. Tujuan Penelitian</div>
<div style="text-align: justify;">
Tujuan penelitian mengungkapkan sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian. Isi dan rumusan tujuan penelitian mengacu pada isi dan rumusan masalah penelitian. Perbedaannya terletak pada cara merumuskannya. Masalah penelitian dirumuskan dengan menggunakan kalimat tanya, sedangkan rumusan tujuan penelitian dituangkan dalam bentuk kalimat pernyataan. Contoh: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya hubungan antara tingkat kecerdasan siswa SMP dengan prestasi belajar mereka dalam matapelajaran Matematika.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
4. Hipotesis Penelitian (jika ada)</div>
<div style="text-align: justify;">
Tidak semua penelitian kuantitatif memerlukan hipotesis penelitian. Penelitian kluantitatif yang bersifat eksploratoris dan deskriptif tidak membutuhkan hipotesis. Oleh karena itu subbab hipotesis penelitian tidak harus ada dalam skripsi, tesis, atau disertasi hasil penelitian kuantitatif. Secara prosedural hipotesis penelitian diajukan setelah peneliti melakukan kajian pustaka, karena hipotesis penelitian adalah rangkuman dari kesimpulan-kesimpulan teoretis yang diperoleh dari kajian pustaka. Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang secara teoretis dianggap paling mungkin dan paling tinggi tingkat kebenarannya. Namun secara teknis, hipotesis penelitian dicantumkan dalam Bab I (Bab Pendahuluan) agar hubungan antara masalah yang diteliti dan kemungkinan jawabannya menjadi lebih jelas. Atas dasar inilah, maka di dalam latar belakang masalah sudah harus ada paparan tentang kajian pustaka yang relevan dalam bentuknya yang ringkas.</div>
<div style="text-align: justify;">
Rumusan hipotesis hendaknya bersifat definitif atau direksional. Artinya, dalam rumusan hipotesis tidak hanya disebutkan adanya hubungan atau perbedaan antarvariabel, melainkan telah ditunjukan sifat hubungan atau keadaan perbedaan itu. Contoh: Ada hubungan positif antara tingkat kecerdasan siswa SMP dengan prestasi belajar mereka dalam matapelajaran Matematika.</div>
<div style="text-align: justify;">
Jika dirumuskan dalam bentuk perbedaan menjadi: Siswa SMP yang tingkat kecerdasannya tinggi memiliki prestasi belajar yang lebih tinggi dalam matapelajaran Matematika dibandingkan dengan yang tingkat kecerdasannya sedang. Rumusan hipotesis yang baik hendaknya: (a) menyatakan pertautan antara dua variabel atau lebih, (b) dituangkan dalam bentuk kalimat pertanyaan, (c) dirumuskan secara singkat, padat, dan jelas, serta (d) dapat diuji secara empiris.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
5. Kegunaan Penelitian</div>
<div style="text-align: justify;">
Pada bagian ini ditunjukkan kegunaan atau pentingnya penelitian terutama bagi pengembangan ilmu atau pelaksanaan pembangunan dalam arti luas. Dengan kata lain, uraian dalam subbab kegunaan penelitian berisi alasan kelayakan atas masalah yang diteliti. Dari uraian dalam bagian ini diharapkan dapat disimpulkan bahwa penelitian terhadap masalah yang dipilih memang layak untuk dilakukan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
6. Asumsi Penelitian (jika diperlukan)</div>
<div style="text-align: justify;">
Asumsi penelitian adalah anggapan-anggapan dasar tentang suatu hal yang dijadikan pijakan berfikir dan bertindak dalam melaksanakan penelitian. Misalnya, peneliti mengajukan asumsi bahwa sikap seseorang dapat diukur dengan menggunakan skala sikap. Dalam hal ini ia tidak perlu membuktikan kebenaran hal yang diasumsikannya itu, tetapi dapat langsung memanfaatkan hasil pengukuran sikap yang diperolehnya. Asumsi dapat bersifat substantif atau metodologis. Asumsi substantif berhubungan dengan permasalahan penelitian, sedangkan asumsi metodologis berkenaan dengan metodologi penelitian.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
7. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian</div>
<div style="text-align: justify;">
Yang dikemukakan pada bagian ruang lingkup adalah variabel-variabel yang diteliti, populasi atau subjek penelitian, dan lokasi penelitian. Dalam bagian ini dapat juga dipaparkan penjabaran variabel menjadi subvariabel beserta indikator-indikatornya. Keterbatasan penelitian tidak harus ada dalam skripsi, tesis, dan disertasi. Namun, keterbatasan seringkali diperlukan agar pembaca dapat menyikapi temuan penelitian sesuai dengan kondisi yang ada. Keterbatasan penelitian menunjuk kepada suatu keadaan yang tidak bisa dihindari dalam penelitian. Keterbatasan yang sering dihadapi menyangkut dua hal. Pertama, keterbatasan ruang lingkup kajian yang terpaksa dilakukan karena alasan-alasan prosedural, teknik penelitian, ataupun karena faktor logistik. Kedua, keterbatasan penelitian berupa kendala yang bersumber dari adat, tradisi, etika dan kepercayaan yang tidak memungkinkan bagi peneliti untuk mencari data yang diinginkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
8. Definisi Istilah atau Definisi Operasional</div>
<div style="text-align: justify;">
Definisi istilah atau definisi operasional diperlukan apabila diperkirakan akan timbul perbedaan pengertian atau kekurangjelasan makna seandainya penegasan istilah tidak diberikan. Istilah yang perlu diberi penegasan adalah istilah-istilah yang berhubungan dengan konsep-konsep pokok yang terdapat di dalam skripsi, tesis, atau disertasi. Kriteria bahwa suatu istilah mengandung konsep pokok adalah jika istilah tersebut terkait erat dengan masalah yang diteliti atau variabel penelitian. Definisi istilah disampaikan secara langsung, dalam arti tidak diuraikan asal-usulnya. Definisi istilah lebih dititikberatkan pada pengertian yang diberikan oleh peneliti.</div>
<div style="text-align: justify;">
Definisi istilah dapat berbentuk definisi operasional variabel yang akan diteliti. Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal yang didefinisikan yang dapat diamati. Secara tidak langsung definisi operasional itu akan menunjuk alat pengambil data yang cocok digunakan atau mengacu pada bagaimana mengukur suatui variabel. Contoh definisi operasional dari variabel “prestasi aritmatika” adalah kompetensi dalam bidang aritmatika yang meliputi menambah, mengurangi, mengalikan, membagi, dan menggunakan desimal. Penyusunan definisi operasional perlu dilakukan karena teramatinya konsep atau konstruk yang diselidiki akan memudahkan pengukurannya. Di samping itu, penyusunan definisi operasional memungkinkan orang lain melakukan hal yang serupa sehingga apa yang dilakukan oleh peneliti terbuka untuk diuji kembali oleh orang lain. (Lihat Glossary)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
9. Metode Penelitian</div>
<div style="text-align: justify;">
Pokok-pokok bahasan yang terdapat dalam bab metode penelitian paling tidak mencakup aspek (1) rancangan penelitian, (2) populasi dan sampel, (3) instrumen penelitian, (4) pengumpulan data, dan (5) analisis data.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
a. Rancangan Penelitian</div>
<div style="text-align: justify;">
Penjelasan mengenai rancangan atau desain penelitian yang digunakan perlu diberikan untuk setiap jenis penelitian, terutama penelitian eksperimental. Rancangan penelitian diartikan sebagai strategi mengatur latar penelitian agar peneliti memperoleh data yang valid sesuai dengan karakteristik variabel dan tujuan penelitian. Dalam penelitian eksperimental, rancangan penelitian yang dipilih adalah yang paling memungkinkkan peneliti untuk mengendalikan variabel-variabel lain yang diduga ikut berpengaruh terhadap variabel-variabel terikat. Pemilihan rancangan penelitian dalam penelitian eksperimental selalu mengacu pada hipotesis yang akan diuji. Pada penelitian noneksperimental, bahasan dalam subbab rancangan penelitian berisi penjelasan tentang jenis penelitian yang dilakukan ditinjau dari tujuan dan sifatnya; apakah penelitian eksploratoris, deskriptif, eksplanatoris, survai, atau penelitian historis, korelasional, dan komparasi kausal. Di samping itu, dalam bagian ini dijelaskan pula variabel-variabel yang dilibatkan dalam penelitian serta sifat hubungan antara variabel-variabel tersebut. (Lihat beberapa kesalahan dalam desain penelitiian)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
b. Populasi dan Sampel</div>
<div style="text-align: justify;">
Istilah populasi dan sampel tepat digunakan jika penelitian yang dilakukan mengambil sampel sebagai subjek penelitian. Akan tetapi jika sasaran penelitiannya adalah seluruh anggota populasi, akan lebih cocok digunakan istilah subjek penelitian, terutama dalam penelitian eksperimental. Dalam survai, sumber data lazim disebut responden dan dalam penelitian kualitatif disebut informan atau subjek tergantung pada cara pengambilan datanya. Penjelasan yang akurat tentang karakteristik populasi penelitian perlu diberikan agar besarnya sampel dan cara pengambilannya dapat ditentukan secara tepat. Tujuannya adalah agar sampel yang dipilih benar-benar representatif, dalam arti dapat mencerminkan keadaan populasinya secara cermat. Kerepresentatifan sampel merupakan kriteria terpenting dalam pemilihan sampel dalam kaitannya dengan maksud menggeneralisasikan hasil-hasil penelitian sampel terhadap populasinya. Jika keadaan sampel semakin berbeda dengan kakarteristik populasinya, maka semakin besar kemungkinan kekeliruan dalam generalisasinya. Jadi, hal-hal yang dibahas dalam bagian Populasi dan Sampel adalah (a) identifikasi dan batasan-batasan tentang populasi atau subjek penelitian, (b) prosedur dan teknik pengambilan sampel, serta (c) besarnya sampel.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
c. Instrumen penelitian</div>
<div style="text-align: justify;">
Pada bagian ini dikemukakan instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel yang diteliti. Sesudah itu barulah dipaparkan prosedur pengembangan instrumen pengumpulan data atau pemilihan alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. Dengan cara ini akan terlihat apakah instrumen yang digunakan sesuai dengan variabel yang diukur, paling tidak ditinjau dari segi isinya. Sebuah instrumen yang baik juag harus memenuhi persyaratan reliabilitas. Dalam tesis, terutama disertasi, harus ada bagian yang menjelaskan proses validasi instrumen. Apabila instrumen yang digunakan tidak dibuat sendiri oleh peneliti, tetap ada kewajiban untuk melaporkan tingkat validitas dan reliabilitas instrumen yang digunakan. Hal lain yang perlu diungkapkan dalam instrumen penelitian adalah cara pemberian skor atau kode terhadap masing-masing butir pertanyaan/pernyataan. Untuk alat dan bahan harus disebutkan secara cermat spesifikasi teknis dari alat yang digunakan dan karakteristik bahan yang dipakai.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam ilmu eksakta istilah instrumen penelitian kadangkala dipandang kurang tepat karena belum mencakup keseluruhan hal yang digunakan dalam penelitian. Oleh karena itu, subbab instrumen penelitian dapat diganti dengan Alat dan Bahan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
d. Pengumpulan Data</div>
<div style="text-align: justify;">
Bagian ini menguraikan (a) langkah-langkah yang ditempuh dab teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data, (b) kualifikasi dan jumlah petugas yang terlibat dalam proses pengumpulan data, serta (c) jadwal waktu pelaksanaan pengumpulan data. Jika peneliti menggunakan orang lain sebagai pelaksana pengumpulan data, perlu dijelaskan cara pemilihan serta upaya mempersiapkan mereka untuk menjalankan tugas. Proses mendapatkan ijin penelitian, menemui pejabat yang berwenang, dan hal lain yang sejenis tidak perlu dilaporkan, walaupun tidak dapat dilewatkan dalam proses pelaksanaan penelitian.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
e. Analisis Data</div>
<div style="text-align: justify;">
Pada bagian ini diuraikan jenis analisis statistik yang digunakan. Dilihat dari metodenya, ada dua jenis statistik yang dapat dipilih, yaitu statistik deskriptif dan statistik inferensial. Dalam statistik inferensial terdapat statistik parametrikdan statistik nonparametrik. Pemilihan jenis analisis data sangat ditentukan oleh jenis data yang dikumpulkan dengan tetap berorientasi pada tujuan yang hendak dicapai atau hipotesis yang hendak diuji. Oleh karena itu, yang pokok untuk diperhatikan dalam analisis data adalah ketepatan teknik analisisnya, bukan kecanggihannya. Beberapa teknik analisis statistik parametrik memang lebih canggih dan karenanya mampu memberikan informasi yang lebih akurat jika dibandingkan dengan teknik analisis sejenis dalam statistik nonparametrik. Penerapan statistik parametrik secara tepat harus memenuhi beberapa persyaratan (asumsi), sedangkan penerapan statistik nonparametrik tidak menuntut persyaratan tertentu.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di samping penjelasan tentang jenis atau teknik analisis data yang digunakan, perlu juga dijelaskan alasan pemilihannya. Apabila teknik analisis data yang dipilih sudah cukup dikenal, maka pembahasannya tidak perlu dilakukan secara panjang lebar. Sebaliknya, jika teknik analisis data yang digunakan tidak sering digunakan (kurang populer), maka uraian tentang analisis ini perlu diberikan secara lebih rinci. Apabila dalam analisis ini digunakan komputer perlu disebutkan programnya, misalnya SPSS for Windows. </div>
<div style="text-align: justify;">
(lihat analisis )</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
10. Landasan</div>
<div style="text-align: justify;">
Teori Dalam kegiatan ilmiah, dugaan atau jawaban sementara terhadap suatu masalah haruslah menggunakan pengetahuan ilmiah (ilmu) sebagai dasar argumentasi dalam mengkaji persoalan. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh jawaban yang dapat diandalkan. Sebelum mengajukan hipotesis peneliti wajib mengkaji teori-teori dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan masalah yang diteliti yang dipaparkan dalam Landasan Teori atau Kajian Pustaka. Untuk tesis dan disertasi, teori yang dikaji tidak hanya teori yang mendukung, tetapi juga teori yang bertentangan dengan kerangka berpikir peneliti. Kajian pustaka memuat dua hal pokok, yaitu deskripsi teoritis tentang objek (variabel) yang diteliti dan kesimpulan tentang kajian yang antara lain berupa argumentasi atas hipotesis yang telah diajukan Bab I.</div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk dapat memberikan deskripsi teoritis terhadap variabel yang diteliti, maka diperlukan adanya kajian teori yang mendalam. Selanjutnya, argumentasi atas hipotesis yang diajukan menuntut peneliti untuk mengintegrasikan teori yang dipilih sebagai landasan penelitian dengan hasil kajian mengenai temuan penelitian yang relevan. Pembahasan terhadap hasil penelitian tidak dilakukan secara terpisah dalam satu subbab tersendiri. Bahan-bahan kajian pustaka dapat diangkat dari berbagai sumber seperti jurnal penelitian, disertasi, tesis, skripsi, laporan penelitian, buku teks, makalah, laporan seminar dan diskusi ilmiah, terbitan-terbitan resmi pemerintah dan lembaga-lembaga lain. Akan lebih baik jika kajian teoretis dan telaah terhadap temuan-temuan penelitian didasarkan pada sumber kepustakaan primer, yaitu bahan pustaka yang isinya bersumber pada temuan penelitian. Sumber kepustakaan sekunder dapat dipergunakan sebagai penunjang. Untuk disertasi, berdasarkan kajian pustaka dapatlah diidentifikasi posisi dan peranan penelitian yang sedang dilakukan dalam konteks permasalahan yang lebih luas serta sumbangan yang mungkin dapat diberikan kepada perkembangan ilmu pengetahuan terkait. Pada bagian akhir kajian pustaka dalam tesis dan disertasi perlu ada bagian tersendiri yang berisi penjelasan tentang pandangan atau kerangka berpikir yang digunakan peneliti berdasarkan teori-teori yang dikaji. Pemilihan bahan pustaka yang akan dikaji didasarkan pada dua kriteria, yakni (1) prinsip kemutakhiran (kecuali untuk penelitian historis) dan (2) prinsip relevansi. Prinsip kemutakhiran penting karena ilmu berkembang dengan cepat. Sebuah teori yang efektif pada suatu periode mungkin sudah ditinggalkan pada periode berikutnya. Dengan prinsip kemutakhiran, peneliti dapat berargumentasi berdasar teori-teori yang pada waktu itu dipandang paling representatif. Hal serupa berlaku juga terhadap telaah laporan-laporan penelitian. Prinsip relevansi diperlukan untuk menghasilkan kajian pustaka yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
11. Daftar Rujukan</div>
<div style="text-align: justify;">
Bahan pustaka yang dimasukkan dalam daftar rujukan harus sudah disebutkan dalam teks. Artinya, bahan pustaka yang hanya digunakan sebagai bahan bacaan tetapi tidak dirujuk dalam teks tidak dimasukkan dalam daftar rujukan. Sebaliknya, semua bahan pustaka yang disebutkan dalam skripsi, tesis, dan disertasi harus dicantumkan dalam daftar rujukan. Tatacara penulisan daftar rujukan. Unsur yang ditulis secara berurutan meliputi: 1. nama penulis ditulis dengan urutan: nama akhir, nama awal, nama tengah, tanpa gelar akademik, 2. tahun penerbitan 3. judul, termasuk subjudul 4. kota tempat penerbitan, dan 5. nama penerbit.</div>
</div>
Ipin Phienouthttp://www.blogger.com/profile/12331619828191607928noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-24915487028703226032013-09-24T14:33:00.003-07:002013-09-24T14:37:40.407-07:00Pengertian Respon<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
Respon adalah Setiap tingkah laku pada hakekatnya merupakan tanggapan atau balasan (respon) terhadap rangsangan atau stimulus (Sarlito, 1995). Menurut Gulo (1996), respon adalah suatu reaksi atau jawaban yang bergantung pada stimulus atau merupakan hasil stimulus tersebut. Individu manusia berperan serta sebagai pengendali antara stimulus dan respon sehingga yang menentukan bentuk respon individu terhadap stimulus adalah stimulus dan faktor individu itu sendiri (Azwar, 1988). Interaksi antara beberapa faktor dari luar berupa objek, orang-orang dan dalam berupa sikap, mati dan emosi pengaruh masa lampau dan sebagiannya akhirnya menentukan bentuk perilaku yang ditampilkan seseorang.</div>
<div style="text-align: justify;">
Respon seseorang dapat dalam bentuk baik atau buruk, positif atau negatif (Azwar, 1988). Apabila respon positif maka orang yang bersangkutan cenderung untuk menyukai atau mendekati objek, sedangkan respon negatif cenderung untuk menjauhi objek tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
2.1.2. Pengertian Kognisi (Pengetahuan)</div>
<div style="text-align: justify;">
Istilah kognisi berasal dari kata cognoscare yang artinya mengetahui. Aspek kognisi banyak mempermasalahkan bagaimana cara memperoleh pemahaman tentang dirinya dan lingkungannya, serta bagaimana dengan kesadaran itu ia berinteraksi dengan lingkungannya. Setiap perilaku sadar manusia didahului oleh proses kognisi yang memberi arah terhadap perilaku dan setiap lahiriahnya baik dirasakan maupun tidak dirasakan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
2.1.3. Pengertian Afeksi (Sikap)</div>
<div style="text-align: justify;">
Sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak, beroperasi, berfikir dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi dan nilai. Sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir tetapi merupakan hasil belajar. Sikap mempunyai daya dorong atau motivasi dan bersifat evaluatif, artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan. Objek sikap dirasakan adanya motivasi, tujuan, nilai dan kebutuhan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sayogo dan Fujiwati (1987) mengemukakan bahwa sikap merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu untuk berkelakuan dengan suatu pola tertentu terhadap suatu objek berupa manusia, hewan atau benda akibat pendirian atau persamaannya terhadap objek tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
2.1.4. Pengertian Psikomotorik (Tindakan)</div>
<div style="text-align: justify;">
Jones dan Davis dalam Sarlito (1995) memberi definisi tindakan yaitu keseluruhan respon (reaksi) yang mencerminkan pilihan seseorang yang mempunyai akibat (efek) terhadap lingkungannya. Suatu tindakan dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan dan diarahkan pada pencapaian sesuatu agar kebutuhan tersebut terpenuhi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Tindakan yang ditujukan oleh aspek psikomotorik merupakan bentuk keterampilan motorik yang diperoleh peternak dari suatu proses belajar (Samsudin, 1977). Psikomotorik yang berhubungan dengan kebiasaan bertindak yang merupakan aspek perilaku yang menetap (Rahmat, 1989).</div>
</div>
Ipin Phienouthttp://www.blogger.com/profile/12331619828191607928noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-78327203060711793332013-09-24T14:30:00.000-07:002013-09-24T14:38:05.110-07:00TEORI KOGNITIF<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
Teori kognitif yang dikemukakan oleh Greenwald (1968) dan Petty, Ostrom & Brack (1981) dalam Baron & Byme (1991) memusatkan perhatiannya pada analisis respons kognitif, yaitu:</div>
<div style="text-align: justify;">
“Suatu usaha untuk memahami apa yang difikirkan orang sewaktu mereka dihadapkan pada stimulus persuasive, dan bagaimana fikiran serta proses kognitif menetukan apakah mereka mengalami perubahan sikap & sejauhmana perubahan itu terjadi” (Azwar, 1997:18).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Teori kognitif meliputi kegiatan-kegiatan mental yang sadar seperti berfikir, mengetahui, memahami, dan dan kegiatan konsepsi mental seperti: sikap, kepercayaan, dan pengharapan, yang kemudian itu merupakan factor yang menentukan di dalam perilaku. Di dalam teori kognitif ini terdapat suatu interes yang kuat dalam jawaban (response) atas akibat dari perilaku yang tertutup. Sebab di dalam hal ini sulit mengamati secara langsung proses berfikir dan pemahaman , dan juga sulit menyentuh dan melihat sikap, nilai, dan kepercayaan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ada tiga hal yang umum terdapat di dalam pembicaraan teori kognitif, antara lain:</div>
<div style="text-align: justify;">
a) Elemen kognitif</div>
<div style="text-align: justify;">
Teori kognitif percaya bahwa perilaku seseorang itu disebabkan adanya satu rangsangan (stimulus), yakni suatu objek fisik yang mempengaruhi seseorang dalam banyak cara. Teori ini mencoba melihat apa yang terjadi diantara stimulus dan jawaban seseorang terhadap rangsangan tersebut. Atau dengan kata lain, bagaimana rangsangan tersebut diproses dalam diri seseorang.</div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut teori kignitif, semua perilaku itu tersusun secara teratur. Individu mengatur pengalamannya ke dalam aktivitas untuk mengetahui (cognition) yang kemudian mamacaknya ke dalam susunan kognitifnya (cognitive structure). Susunan ini menentukan jawaban (response) seseorang.</div>
<div style="text-align: justify;">
Cognition menurut Neisser adalah:</div>
<div style="text-align: justify;">
“Aktivitas untuk mengetahui, misalnya kegiatan untuk mencapai yang dikehendaki pengaturannya, dan penggunaan pengetahuan. Hal ini adalah sesuatu kegiatan yang dilakukan baik oleh organisme atau pun oleh orang perorang”(Thoha,1993:49).</div>
<div style="text-align: justify;">
Kognisi adalah dasar dari unit teori kognitif ia merupakan representasi internal yang terjadi antara suatu jawaban (response), dan yang bias menyebabkan terjadinya jawaban. Hubungan ini dapat digambarkan sebagai berikut:</div>
<div style="text-align: justify;">
Stimulus----------Cognition----------Response</div>
<div style="text-align: justify;">
Seseorang mengetahui adanya stimulus kemudian memprosesnya ke dalam kognisi, yang pada akhirnya kognisi ini menghasilkan dan menyebabkan jawabannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
b) Struktur Kognitif</div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut teori kognitif, aktivitas mengetahui dan memahami sesuatu (cognition) itu tidaklah berdiri sendiri. Aktivitas ini selalu dihubungkan dengan rencana disempurnakan oleh kognisi yang lain. Proses penjalinan dan tata hubungan diantara kognisi-kognisi ini membangun suatu struktur dan system. Struktur dan system ini dinamakan struktur kognitif. Sifat yang pasti dari system kognitif ini tergantung akan (1) karakteristik dari stimuli yang doproses kedalam kognisi, (2) pengalaman dari masing-masing individu.</div>
<div style="text-align: justify;">
c) Fungsi Kognitif</div>
<div style="text-align: justify;">
Sistem kognitif mempunyai beberapa fungsi. Diantara fungsi-fungsi, antara lain:</div>
<div style="text-align: justify;">
1. Memberikan pengertian</div>
<div style="text-align: justify;">
Pada kognitif baru menurut teori kognitif, pengertian terjadi jika suatu kognitif baru dihubungkan dengan system kognitif yang telah ada. Kognisi membentuk atribut-atribut tertentu, tergantung pada bagaimana ia berinteraksi dengan satu atau lebih system kognitif.</div>
<div style="text-align: justify;">
2. Menghasilkan emosi</div>
<div style="text-align: justify;">
Interaksi antara kognisi dan system kognitif tidak hanya memberikan pengertian pada kognisi saja, tetapi dapat pula memberikan pengertian pada kognisi saja, tetapi dapat pula memberikan konsekuensi-konsekuensi yang berypa perasaan, misalnya perasaan senang dan tidak senang, baik atau buruk, dan lain sebagainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
3. Membentuk Sikap</div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut teori kognitif jika suatu system kognitif dari sesuatu memerlukan komponen-komponen yang mengandung efektif emosi, maka sikap untuk mencapai suatu tujuan atau objek itu telah terbentuk. Bersatunya system kognitif dan komponen afektif menghasilkan tendensi perilaku untuk mencapai suatu objek sikap seseorang itu mempunyai kognitif (pengetahuan), afektif (emosi), dan tindakan (tendensi perilaku).</div>
<div style="text-align: justify;">
4. Memberikan motivasi terhadap konsekuensi perilaku</div>
<div style="text-align: justify;">
Relevansi teori kognitif untuk menganalisa dan memahami perilaku manusia yang mudah diamati adalah terletak pada motivasi dari perilaku seseorang. Hal ini disebabkan karena:</div>
<div style="text-align: justify;">
a. Perilaku tidak hanya terdiri dari tindakan-tindakan yang terbuka saja, melainkan juga termasuk faktor-faktor internal, seperti: berfikir, emosi, persepsi, dan kebutuhan</div>
<div style="text-align: justify;">
b. Perilaku itu dihasilakn oleh ketidakselarasan yang timbul dalam struktur kognitif.</div>
</div>
Ipin Phienouthttp://www.blogger.com/profile/12331619828191607928noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-74282865034718477902013-09-24T14:25:00.002-07:002013-09-24T14:38:24.763-07:00Teori Respon Kognitif<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div>
<div style="text-align: justify;">
Teori Respon Kognitis dari David Aaker ini memiliki asumsi dasar bahwa khalayak secara aktif terlibat dalam proses penerimaan informasi dengan cara mengevaluasi informasi yang diterima berdasarkan pengetahuan dan sikap yang dimiliki sebelumnya, yang akhirnya mengarah pada perubahan sikap. (Aaker, 1985 :255). Teori ini mengasumsikan bahwa ketika informasi mengubah tingkah laku konsumen secara kuat, hal ini disebabkan konsumen mempelajarai isi pesan yang dilihatnya yang kemudian akan mengarah ke perubahan tingkah laku terhadap brand. Pemasar perlu mendesain pesannya secara tepat, agar konsumen dapat mempelajari isi pesannya secara maksimal.</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Proses perubahan sikap komunikan dimulai ketika informasi (Ad Exposure) menyentuh kesadaran, pemahaman dan pengetahuan komunikan (Cognitive Response) yang selanjutnya menimbulkan perubahan perilaku konsumen atau khalayak. Aaker menjelaskan bahwa yang paling menentukan dalam menentukan tingkah laku adalah adanya pengetahuan dan sikap yang sebelumnya telah dimiliki oleh khalayak ketika dirinya diterpa iklan</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Ad Exposure ——– Cognitive Response ——- Attitude Change</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
Gambar 1. 1 Model Respon Kognitif</div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div>
<div style="text-align: justify;">
( Sumber : A. Aaker & Myers)</div>
</div>
</div>
Ipin Phienouthttp://www.blogger.com/profile/12331619828191607928noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-49834656345031756262012-06-12T16:22:00.001-07:002012-06-12T16:22:12.551-07:00ANALISIS ISI TENTANG REPRESENTASI FANATISME SUPORTER KLUB SEPAK BOLA DALAM<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">BAB
I<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">PENDAHULUAN<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">1.1 Latar Belakang<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Media memiliki fungsi
untuk memberikan informasi atau pesan kepada khalayak. Saat ini berbagai macam
tayangan disajikan dalam media baik cetak dan elektronik, dan keragaman ayangan
tersebut mengharuskan khalayak untuk pandai – pandai menyaring pesan yang
disampaikan. Salah satunya adalah film yang merupakan alat komunikasi massa,
dimana film selaku memiliki nilai-nilai atau pesan yang terkandung didalamnya
seperti informasi, pendidikan, pengekspresian seni, juga menggambarkan watak,
dan budaya bangsa, tetapi ada juga film yang menetapkan nilai-nilai yang perlu
dianut oleh masyarakat dan nilai yang merusak (Mulyana, 2008:89)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Perkembangan film saat
ini sangat pesat, dan mudah menjadi bisnis yang menguntungkan. Bagaimanakah
melihat perfilman dalam konteks (kebijakan) Negara berdasarkan fungsi film.
Film dipandang sebagai komoditas industri oleh Hollywood, Bollywood, dan Hongkong.
Disisi dunia lain, film dipakai sebagai media penyampai dan produk kebudayaan.
Hal ini bisa dilihat dinegara Prancis (sebelum 1995), Belanda, Jerman, dan
Inggris. Dampak dari pembagian ini, film akan dilihat sebagai artefak budaya
yang harus dikembangkan, kajian film membesar, eksperimen-eksperimen pun
didukung oleh Negara. Kelompok terakhir
menempatkan film sebagai asset politik guna media propaganda Negara. Hal ini
sering dijumpai di negara-negara otorier, seperti Rusia, Cina, Indonesia,
Afganistan, dll. Film berada di bawah pengawasan departemen penerangan dan
konsep sensor film berkembang disini. Obrolan ini berlanjut pada fungsi sensor
film dalam sebuah negara yang tidak selalu difungsikan dengan baik, atau adanya
perlakuan yang berlebihan terhadap sebuah karya yang elah dihasilkan. Bagi
Turner, film bukan hanya sekedar memindahkan realitas yang dapa membentuk dan
menghadirkan kembali realias berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan
ideology kebudayaanya. Sehubungan dengan pendapat Turner tersebut, film
ternyata mampu menjadi arsip sosial yan menangkap jiwa masyarakat pada saat
itu. Sigfied Kracauer, seorang pakar film menyatakan, umumnya dapat dilihat
bahwa teknik, isi cerita dan perkembangan film suatu bangsa hanya dapat
dipahami secara utuh dalam hubunganya dengan pola psikologis actual bangsa itu
(Muhtadi, 2009:93).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Perkembangan Film yang
paling penting adalah bagaimana film bisa dijadikan alat atau media informasi,
pendidikan untuk banyak manfaat bagi masyarakat. Film merupakan fenomena komunikasi
yang syarat akan tanda, film dapat mempengaruhi dan membentuk masyarakat
berdasarkan muatan pesan. Oleh karena itu film sangat relevan dengan penelitian
yang menggunakan analisis isi. Seperti pada film “Romeo Juliet”.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Disutradaai oleh Andi
Bachtiar Yusuf, film ini diputar perdana pada tanggal 18 april 2009. Kisah dari
film ini terinspirasi drama karya William Shakespeare, Andi mengangkat fenomena
tawuran itu dalam hubungan percintaan terlarang Romeo dan Juliet. Romeo adalah
seorang fan Persija, The Jak, dan Juliet, gadis Bandung, adik dari dedengkot
Viking Persib Bandung.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pertemuan ”Romeo”
bernama Rangga dan Desi ”Juliet” dimulai seusai pertandingan antara Persija dan
Persib di Stadion Lebak Bulus, Jakarta. Bus yang ditumpangi Viking diserang The
Jak. Saling pukul terjadi, disertai umpatan seperti ”anjing” dan ”monyet”. Dan
rupanya ada gadis cantik berkaus biru—The Lady Vikers—di dalam bus.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Penasaran, Rangga
mencari info tentang gadis berkulit putih dan berambut panjang itu, lewat
internet dan tabloid internal sepak bola. Gotcha! Ia sengaja ke Bandung. Tapi,
dasar film, suatu kebetulan diciptakan. Dua remaja itu bertemu, lagi-lagi lewat
tatapan mata di kaca sebuah outlet kaus. Dan terjadilah adegan mesra di ruang
ganti, nyaris berciuman.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Mereka akhirnya berpacaran, meski tahu itu
terlarang. Saudara lakilaki Desi bernama Parman, yang menjadi dedengkot Viking
(diperankan Alex Komang), sangat menentang. Begitu pula anggota The Jak dan
Viking. Semua itu tak lain karena fanatisme sepak bola, mirip perseteruan abadi
klan Montague dan klan Capulet di Verona, Italia, dalam naskah asli
Shakespeare.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Telanjur cinta tumbuh, di tangga kampus
pinggiran Kota Kembang, Rangga mengajak Desi menikah. ”Kamu cinta aku?” tanya
Rangga. Dibalas lembut, ”Seperti obat dengan penyakit. Seperti burung dengan
nyanyiannya.” Rangga lalu berkata, ”Walau aku Jak Anjing, menikahlah dengan
aku. Aku cinta Viking yang anjing. Aku tidak butuh persetujuan siapa pun. Aku
hanya butuh kamu. Ini cincin pernikahan ibuku, mudah-mudahan muat. Ntar malam
aku ke rumah, untuk melamar kamu.” Dan teringatlah kita akan dialog dalam film
Ada Apa dengan Cinta? garapan Rudi Soedjarwo.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Ketika bus melaju kencang menghindari kejaran
Jakmania, mata Rangga (Edo Borne) dan Desi (Sissy Prescillia) berpandangan.
Desi dari balik kaca belakang bus, sedangkan Rangga, yang berpenampilan kumal
dengan kaus oranye, menatap di balik kaca depan mobil, milik temannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kawin lari pun
menyakralkan ikatan Rangga dan Desi dalam film produksi Bogalakon Pictures yang
sudah diputar di Hong Kong International Film Festival ini. Settingnya
sederhana sekaligus sedikit menggelikan. Namun justru ikatan sejati mereka
berdua seolah noda bagi kedua kubu. Rangga lari ke Malang, dan Desi kembali ke
Bandung. Seperti tak terjadi apa-apa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Perkelahian terus muncul antara kedua kubu
suporter. Adegan berdarah-darah, saling pukul, makian dan dialog kasar, bahkan
menjatuhkan korban jiwa, tetap tak terelakkan—meski sudah ada yang dipangkas.
Kita bisa saja risi dengan itu. Tapi Andi menyebut hal itu sebagai ”realita
persepakbolaan di Indonesia”.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"> Menurut Andi, plot perkelahian dan perkimpoian
itulah yang sejalan dengan Shakespeare. ”Bedanya, adegan balkon Shakespeare
diganti adegan bercinta di stadion,” kata peraih penghargaan film dokumenter
terbaik di Festival Film Indonesia 2008 melalui film The Conductors ini (Dari
Majalah TEMPO Edisi 10/XXXVIII 27 April 2009, diakses tanggal 23 September 2011
pukul 18.00 WIB). Film yang dikategorikan film dewasa ini menyajikan banyak
adegan perkelahian missal antara kedua kelompok suporter. Kata-kata umpatan
sering sekali diucapkan dalam film ini sehingga secara keseluruhan khalayak
bisa mengambil makna dari pesan yang disampaikan yaitu cinta kepada pasangan dapa berjalan dengan kecintaan
kepada klub favorit dan seharusnya menghindari fanatisme yang berlebihan. Namun
fanatisme yang berlebihan menimbulkan sebuah balas dendam yang tidak tahu kapan
akan berakhirnya perseteruan diantara supporter tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Fanatisme adalah sebuah
pandangan atau faham yang dipegang oleh sesuatu kelompok yang membela tentang
sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat akan keyakinannya seperti yang dikuip
dalam blog Prof. Dr. Achmad Mubarok MA, guru besar psikologi Universitas
Indonesia mengenai fanatisme ( http://mubarok-institute.blogspot.com/2006/08/psikologi-fanatik.html
).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Seseorang yang fanatik
biasanya tidak mampu memahami apa-apa yang ada diluar dirinya, tidak paham
masalah kelompok lain, tidak mengerti paham selain yang mereka yakini.
Tanda-tanda yang jelas dari sifat fanatic adalah ketidakmampuan memahami
pemahaman individual orang lain yang berada diluar kelompoknya. Juga dapat
diartikan dengan perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan yang
bermula dari mengagumi diri sendiri, kemudian terlalu membanggakan kelebihan
yang ada dalam dirinya atau kelompoknya dan selanjutnya dapat berkembang
menjadi rasa tidak suka kemuadian menjadi benci kepada orang atau kelompok yang
berbeda dengan kelompoknya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Secara psikologis,
fanatik adalah ketidak mampuan memahami apa-apa yang berada diluar dirinya,
tidak memahami masalah orang lain atau kelompok lain. Sebagai ahli ilmu sakit
jiwa mengatakan bahwa fanatik adalah sifat natural yang timbul berawal dari
perasaan cinta pada diri sendiri yang berlebihan, kemudian menjadi cinta bua
terhadap apa yang disukai dan antipasti terhadap apa yang disukai. Namun ada
juga yang berpendapa bahwa fanatisme bukan terjadi secara natural akan tetapi
dapat direkayasa
(http://mubarok-istitute.blogspot.com/2006/08/psikologi-fanatik.html).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Secara garis besar
fanatisme mengambil bentuk seperti fanatisme terhadap warna kulit tertentu,
etnik, atau kesukuan tertentu, dan kelas sosial atau kelompok tertentu. Dalam
filem Romeo Juliet, fanatisme terhadap kelompok tertentu ditunjukkan oleh The
Jakmania yang merupakan supporter dari Persija Jakarta yang mengalami konflik
dengan sesame supporter, yaitu Viking/Bobotoh yang merupakan suporer dari
Persib Bandung. Suporter tidak hanya bermusuhan dalam pertandingan juga dalam
kehidupan sehari-hari seperti saling menghina lewat ucapan, tulisan bahkan
sampai perkelahian denga suporer saingannya. Jika dilihat dengan seksama para
supporter bukan menjadi supporter dalam arti sebenarnya bisa jadi justru
merugikan klub yang dibanggakan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Menurut Suryanto dalam
blognya mengenai supporter ( http://suryanto.blog.unair.ac.id/ ), menurut akar
katanya, kata “suporter” berasal dari kata kerja dalam bahasa inggris to
support, dan akhiran – er. To support artinya mendukung, sedangkan akhiran – er
menunjukkan pelaku. Jadi suporer dapat diartikan sebagai orang yang memberikan
support atau dukungan. Suporter dalam sepak bola berbeda dengan supporter
lainnya. Di lingkungan sepak bola, suporer erat kaitanya dengan dukungan yang
dilandasi oleh perasaan cinta dan fanatisme terhadap tim yang didukungannya.
Perbedaan terletak pada keakraktifannya saat mendukung tim kebanggan mereka.
Suporter juga dikenal memiliki fanatisme yang tinggi bahkan cenderung suka
melampaui batas. Seharusnya supporter memberikan hal-hal yang positif bukan
negative, memberikan spirit bagi klub kesayangannya, membangunkan ketika klub
kesayangan tertidur sehingga tidak ada prestasi yang diraihnya. Suporter yang
cerdas tidak anarkis. Suporter yang cerdas adalah supporter yang paham dan
mengerti bagaimana menyalurkan fanatisme dan militansi yang mereka miliki.
Mereka juga mengerti akan semangad olahraga. Kompetisi dibangun bukan untuk
menyuburkan permusuhan akan tetapi kompetisi diadakan adalah untuk mencari yang
terbaik dari yang baik
(http://suporter.info/menjadi-suporter-yang-bertanggungjawab/ ).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Didasari oleh identitas sepakbola Indonesia yang
ditunjukkan dalam Romeo Juliet adalah fanatisme yang kental dengan kekerasan.
Selalu identik dengan kerusuhan penonton, membuat peneliti ingin mengetahui
representasi fanatisme supporter klub sepak bola dalam film Romeo Juliet melalui metode analisis isi kualitatif.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">1.2 Rumusan Masalah<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Berdasarkan latar
belakang yang telah diuraikan diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian
ini adalah bagaimana representasi fanatisme supporter sepak bola dalam film
Romeo Juliet ?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">1.3 Tujuan Penelitian<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Adapun tujuan
penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini untuk mengetahui dan
menganalisis representas fanatisme supporter sepak bola dalam film Romeo
Juliet.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">1.4 Manfaat Penelitian<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Penelitian ini memiliki
beberapa manfaat, yaitu:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">1. Manfaat Akademis, dapat memberikan
sumbangan ilmu pengetahuan mengenai kajian analisis isi pada film tentang
fanatisme supporter sepak bola dan dapat dijadikan bahan untuk penelitian lebih
lanjut tentang fabatisme supporter dalam film.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">2. Manfaat Sosial, yaitu memberikan
sumbangan kepada masyarakat dalam bentuk tulisan ilmiah, yang dapat
dikembangkan lebih baik lagi. Selain itu juga memberikan wawasan kepada para
pembaca terhadap baik atau buruknya fanatisme terhadap klub sepak bola maupun
pada hal yang lain. Penelitian ini diharapkan dapat merubah sikap dan tingkah
laku yang merugikan dari para supporter sepak bola.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">3. Manfaat Praktis, untuk produser Romeo
Juliet, dapat membuat film yang menggambarkan sosok supporter yang sesuai
dengan peran aslinya. Untuk Masyarakat dan supporter sepakbola, dapat menjadi
supporter yang sportif saat mendukung klub kesayangannya dan menghilangkan perbuatan – perbuatan yang
anarkis.<o:p></o:p></span></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09595985323235074450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-64137791872751855952012-05-31T09:58:00.001-07:002012-05-31T09:58:42.238-07:00TEORI KOMUNIKASI MASSA<br />
<div style="text-align: justify;">
Komunikasi Massa (Mass Communication) adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (Surat Kabar, Majalah) atau elektronik (radio, televisi) yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar dibanyak tempat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
1. Teori Pengaruh Tradisi (The Effect Tradition)</div>
<div style="text-align: justify;">
Teori pengaruh komunikasi massa dalam perkembangannya telah mengalami perubahan yang kelihatan berliku-liku dalam abad ini. Dari awalnya, para peneliti percaya pada teori pengaruh komunikasi “peluru ajaib” (bullet theory) Individu-individu dipercaya sebagai dipengaruhi langsung dan secara besar oleh pesan media, karena media dianggap berkuasa dalam membentuk opini publik. Menurut model ini, jika Anda melihat iklan Close Up maka setelah menonton iklan Close Up maka Anda seharusnya mencoba Close Up saat menggosok gigi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kemudian pada tahun 50-an, ketika aliran hipotesis dua langkah (two step flow) menjadi populer, media pengaruh dianggap sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang minimal. Misalnya iklan Close Up dipercaya tidak akan secara langsung mempengaruhi banyak orang-orang untuk mencobanya. Kemudian dalam 1960-an, berkembang wacana baru yang mendukung minimalnya pengaruh media massa, yaitu bahwa pengaruh media massa juga ditengahi oleh variabel lain. Suatu kekuatan dari iklan Close Up secara komersil atau tidak untuk mampu mempengaruhi khalayak agar mengkonsumsinya, tergantung pada variabel lain. Sehingga pada saat itu pengaruh media dianggap terbatas (limited-effects model).</div>
<div style="text-align: justify;">
Sekarang setelah riset di tahun 1970-an dan 1980-an, banyak ilmuwan komunikasi sudah kembali ke powerful-effects model, di mana media dianggap memiliki pengaruh yang kuat, terutama media televisi.Ahli komunikasi massa yang sangat mendukung keberadaan teori mengenai pengaruh kuat yang ditimbulkan oleh media massa adalah Noelle-Neumann melalui pandangannya mengenai gelombang kebisuan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
2. Uses, Gratifications and Depedency</div>
<div style="text-align: justify;">
Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg diguankan sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan media dan apa yang mereka gunakan untuk media?” (McQuail, 2002 : 388). Di sini sikap dasarnya diringkas sebagai berikut :</div>
<div style="text-align: justify;">
Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media, bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa(Rubin dalam Littlejohn, 1996 : 345).</div>
<div style="text-align: justify;">
Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya. Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain. Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002 : 387). Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387).</div>
<div style="text-align: justify;">
Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan mereka menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam skema media – persons interactions sebagai berikut :</div>
<div style="text-align: justify;">
Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan emosi</div>
<div style="text-align: justify;">
Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan sosial</div>
<div style="text-align: justify;">
Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai</div>
<div style="text-align: justify;">
Surveillance (bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).</div>
<div style="text-align: justify;">
Seperti yang telah kita diskusikan di atas, uses and gratifications merupakan suatu gagasan menarik, tetapi pendekatan ini tidak mampu melakukan eksplorasi terhadap berbagai hal secara lebih mendalam. Untuk itu mari sekarang kita mendiskusikan beberapa perluasan dari pendekatan yang dilakukan dengan teori uses and gratifications.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
3. Teori Pengharapan Nilai (The Expectacy-Value Theory)</div>
<div style="text-align: justify;">
Phillip Palmgreen berusaha mengatasi kurangnya unsur kelekatan yang ada di dalam teori uses and gratification dengan menciptakan suatu teori yang disebutnya sebagai expectance-value theory (teori pengharapan nilai).</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam kerangka pemikiran teori ini, kepuasan yang Anda cari dari media ditentukan oleh sikap Anda terhadap media –kepercayaan Anda tentang apa yang suatu medium dapat berikan kepada Anda dan evaluasi Anda tentang bahan tersebut. Sebagai contoh, jika Anda percaya bahwa situated comedy (sitcoms), seperti Bajaj Bajuri menyediakan hiburan dan Anda senang dihibur, Anda akan mencari kepuasan terhadap kebutuhan hiburan Anda dengan menyaksikan sitcoms. Jika, pada sisi lain, Anda percaya bahwa sitcoms menyediakan suatu pandangan hidup yang tak realistis dan Anda tidak menyukai hal seperti ini Anda akan menghindari untuk melihatnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
4. Teori Ketergantungan (Dependency Theory)</div>
<div style="text-align: justify;">
Teori ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin Defleur. Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini juga menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi kelemahan ini, pengarang ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh. Di dalam model mereka mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral antara pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media. Lalu apa yang sebenarnya melandasi ketergantungan khalayak terhadap media massa ?</div>
<div style="text-align: justify;">
Ada dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, khalayak akan menjadi lebih tergantung terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan khalayak bersangkutan dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa kebutuhan saja. Jika misalnya, Anda mengikuti perkembangan persaingan antara Manchester United, Arsenal dan Chelsea secara serius, Anda mungkin akan menjadi tergantung pada tayangan langsung Liga Inggris di TV 7. Sedangkan orang lain yang lebih tertarik Liga Spanyol dan tidak tertarik akan Liga Inggris mungkin akan tidak mengetahui bahwa situs TV 7 berkaitan Liga Inggris telah di up date, atau tidak melihat pemberitaan Liga Inggris di Harian Kompas.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan sistem media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial.</div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset etnografi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09595985323235074450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-50775905744293551462012-05-31T09:55:00.002-07:002012-05-31T09:55:49.775-07:00Mitos dan Bahasa Media<br />
<div style="text-align: justify;">
Mitos dan Bahasa Media: Mengenal Semiotika Roland Barthes</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Oleh: Anang Hermawan</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Purwawacana: Representasi Realitas</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mempertalikan semiotika dan bahasa media nampaknya dapat menjadi satu diskusi yang menarik. Bukan saja karena persoalan filosofis mendasar yang acapkali menjadi perdebatan, melainkan juga karena tidak ada jalur tunggal untuk membongkar praktik pertandaan (baca: bahasa) media. Taruhlah dengan sebuah klaim sederhana para penganut semiotika, bahwa di balik bahasa media seringkali terkandung ‘sesuatu’ yang misterius. Dan semiotika dipercaya sebagai salah satu model rujukan untuk membantu melacak keberadaan misteri tersebut . Sekadar untuk keperluan pengantar, bagian berikut mencoba memaparkan secara singkat beberapa konsep yang relevan sebagai titik tolak pemahaman, yakni tentang representasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Konsep mengenai representasi hadir menempati tempat baru dalam studi budaya. Peralihan studi kebudayaan dalam ilmu sosial dan humaniora cenderung menekankan pada pentingnya makna. Dalam konteks ini budaya digambarkan sebagai proses produksi dan pertukaran makna yang terus menerus. Dalam kaitannya dengan dunia komunikasi, secara spesifik Alan O’Connor bahkan menggambarkan budaya sebagai proses komunikasi dan pemahaman yang aktif dan terus-menerus.[2] Implikasi dari pengertian ini adalah bahwa masing-masing pemaknaan orang tentang budaya akan sangat tergantung pada pemahaman subyektif antaraktor atau subyek di dalam lingkungan kebudayaannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam konteks ini, ketika pemberitaan dipandang sebagai produk kebudayaan, maka menjadi penting untuk melihat bagaimana media memproduksi dan mempertukarkan makna melalui praktik bahasanya. Berita, sebagai keluaran akhir dari praktik bahasa media dapat dipahami sebagai produksi makna. Sebagai kesatuan organik, media merepresentasikan pikiran dan gagasan-gagasannya melalui berita yang dimereka hadirkan ke ruang publik. Mengapa representasi menjadi penting dalam kaitan ini? Dalam konteks ini terlihat menarik untuk mempersoalkan landasan filosofis yang menjadi basis penggunaan istilah tersebut. Mula-mula penting untuk membedakan term representasi dengan refleksi dalam memahami kembali produk media atau praktek bahasa yang mereka lakukan. Seringkali penggunaan kata representasi ini diperlawankan dengan kata refleksi, karena keduanya memang keduanya mengimplikasikan pandangan yang berbeda terhadap realitas yang ditampilkan media (realitas kedua) dengan realitas yang sebenarnya (realitas pertama). Sebagian orang mengatakan bahwa apa yang tampil di media merupakan ‘cermin’ realitas, dalam pengertian bahwa realitas yang tersaji di media dinilai sama dengan realitas empirik. Media berperan sebagai reflektor yang sekadar menghadirkan fakta atau peristiwa yang ada berlangsung dalam masyarakat, tidak kurang dan tidak lebih.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada kutub yang berlawanan, sebagian lagi mengatakan bahwa apa yang tersaji dalam media merupakan representasi. Realitas yang tampil di media merupakan hasil konstruksi yang boleh jadi telah mengalami penambahan maupun pengurangan karena turut campurnya faktor subyektivitas dari pelaku representasi alias ornag-orang yang terlibat dalam media. Tidaklah sesederhana pandangan reflektif, penggunaan istilah representasi berangkat dari kesadaran bahwa apa yang tersaji di media seringkali tidak selalu persis dengan apa yang ada di realitas empirik. Meyakini realitas media sebagai hasil konstruksi sama halnya dengan memandang suatu fenomena yang dibaratkan seperti gunung es. Permukaan yang terlihat seringkali hanya sebagian kecil dari kenyataan sesungguhnya, dan sebaliknya apa yang ada di bawah permukaan itu justru lebih besar. Pada gilirannya peran pemaknaan oleh ‘pembaca’ menjadi hal penting karena pembacalah yang mempunyai otoritas untuk melihat sejauh mana bagian yang tidak tampak dari gunung es itu dapat diketemukan. Dalam bahasa konstruktivis, peran pembaca untuk mengidentifikasi bagian-bagian yang (seringkali) tak terlihat itu disebut sebagai ‘memaknai’.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Persoalannya adalah ketika realitas media telah tersaji ke ruang publik maka media tidak lagi mempunyai otoritas untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki sehingga peran pemaknaan pun berpindah pada pembaca. Ketika pembaca mempunyai kekuasaan penuh untuk memaknai sebuah berita, maka peran bahasa menjadi penting. Bahasa menjadi medium istimewa yang melaluinya sebuah makna diproduksi. Bahasa beroperasi sebagai simbol yang mengartikan atau merepresentasikan makna yang ingin dikomunikasikan oleh pelakunya, atau dalam istilah yang dipakai Stuart Hall untuk menyatakan hal ini, fungsi bahasa adalah sebagai tanda.[3] Tanda mengartikan atau merepresentasikan (menggambarkan) konsep-konsep, gagasan atau perasaan sedemikian rupa yang memungkinkan seseorang ‘membaca’, men-decode atau menginterpretasikan maknanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Persoalan tanda ini secara lebih serius terangkum dalam satu disiplin yang disebut sebagai semiologi atau semiotik. Terobosan penting pada disiplin ini adalah diterimanya linguistik sebagai model beserta penerapan konsep-konsepnya dalam fenomena lain yang bukan hanya bahasa; dan dalam pendekatan ini lantas disebut sebagai teks. Salah seorang founding fathers semiologi, Ferdinand de Saussure, menyatakan bahasa sebagai sistem tanda yang mengekspresikan gagasan-gagasan: Language is a system of signs that express ideas, and is therefore comparable to a system of writing, the alphabet of deaf – mutes, symbolic rites, polite formulas, military signals, etc. but is the most important of all these systems.[4]</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Suatu makna diproduksi dari konsep-konsep dalam pikiran seorang pemberi makna melalui bahasa. Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa. Dengan cara pandang seperti itu, Hall memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian utama, yakni mental representations dan bahasa.[5] Mental representations bersifat subyektif, individual; masing-masing orang memiliki perbedaan dalam mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan hubungan diantara semua itu. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem representasi karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadap bahasa bersama. Istilah umum yang seringkali digunakan untuk kata, suara, atau kesan yang membawa makna adalah tanda (sign).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mungkin menjadi lebih menarik untuk menghubungkan persoalan representasi ini ke dalam fenomena bahasa media. Dalam relasi antara media dan ‘pembaca’-nya, pertama kali harus dipahami bahwa awak media adalah subyek yang mempunyai mental representation tersendiri yang tidak selalu sama dengan pembacanya. Adanya keniscayaan subyektif dari bahasa media tak urung menyajikan kerumitan tersendiri seperti seperti halnya adanya bias kepentingan dari media yang bersangkutan. Lebih lanjut, disadari atau tidak persoalan kepentingan ini seringkali mewakili gambaran ideologis dari pelaku representasi alis media. Lagi-lagi gambaran ini bersifat subyektif, artinya proses pembacaan terhadap bahasa media sama artinya dengan negosiasi antara mental representation pelaku representasi dan mental representation pembacanya. Dengan demikian diskusi mengenai bagaimana makna dari representasi atau teks media pada dasarnya merupakan pelacakan terhadap mental representation yang terkandung dalam awak media, yang kali ini dapat diklaim sebagai perwujudan media itu sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Semiotika dan Komunikasi</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sekadar untuk sebuah cara memulai pemahaman, komunikasi melibatkan tanda dan kode. Tanda adalah material atau tindakan yang menunjuk pada ‘sesuatu’, sementara kode adalah sistem di mana tanda-tanda diorganisasikan dan menentukan bagaimana tanda dihubungkan dengan yang lain. Pada tulisan ini pemahaman tentang komunikasi diadopsi dari definisi yang dikemukakan oleh John Fiske, yakni komunikasi sebagai “interaksi sosial melalui pesan”.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Terdapatnya banyak definisi komunikasi tidak mungkin untuk dibahas terlalu jauh dalam tulisan ini. Ringkasnya, cukuplah dikatakan bahwa pada dasarnya studi komunikasi merefleksikan dua aliran utama, yakni aliran proses dan aliran semiotik.[6] Pada aliran pertama, basis pengertiannya cenderung linear, seperti halnya definisi komunikasi yang menyatakan bahwa ‘komunikasi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan.’ Aliran ini memberi perhatian utama pada bagaimana sender mentransmisikan pesan kepada receiver melalui channel. Model Laswellian seringkali menjadi rujukan utama (rumus SMCRE: Source, Messages, Channel, Receiver, dan Effect) untuk menggambarkan bagaimana komunikasi berlangsung. Dalam aliran proses, efisiensi dan akurasi seringkali mendapat perhatian penting, sehingga ketika efektivitas komunikasi dinilai kurang atau gagal maka pemeriksaan akan segera dilakukan pada elemen-elemen proses itu untuk menemukan letak kegagalan dan kemudian memperbaikinya. Pendekatan ini terlihat mekanistik, karena berupaya menyederhanakan komunikasi dalam suatu model yang secara pasti dapat ditengarai dan dilucuti satu persatu unsur-unsurnya tanpa terlalu memperhitungkan bagaimana memntingkan makna-makna yang bersifat subyektif.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berbeda halnya dengan tradisi pertama, perpektif kedua memandang komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna (productions and exchange of meaning). Pandangan ini memperhatikan bagaimana pesan berhubungan dengan penerimanya untuk memproduksi makna. Jika aliran proses memperlihatkan penguasaan makna pada sumber atau pengirim pesan, aliran semiotik justru membalik peran penguasaan makna kepada penerima pesan. Penerima pesan mempunyai otoritas mutlak untuk menentukan makna-makna yang ia terima dari pesan, sehingga peran sender cenderung terabaikan. Demikian juga, apa yang disebut sebagai pesan (message) pada paradigma ini seringkali disebut sebagai teks. Dalam kaitannya dengan produk media, seluruh pesan media dalam bentuk tulisan, visual, audio, bahkan audiovisual sekalipun akan dianggap sebagai teks. Jangkauan pemaknaan akan sangat tergantung pada pengalaman budaya dari receiver, yang dalam paradigma semiotik disebut sebagai ‘pembaca’ (reader). Tradisi semiotika tidak pernah menganggap terdapatnya kegagalan pemaknaan, karena setiap ‘pembaca’ mempunyai pengalaman budaya yang relatif berbeda, sehingga pemaknaan diserahkan kepada pembaca. Dengan demikian istilah kegagalan komunikasi (communication failure) tidak pernah berlaku dalam tradisi ini, karena setiap orang berhak memaknai teks dengan cara yang berbeda. Maka makna menjadi sebuah pengertian yang cair, tergantung pada frame budaya pembacanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menilik sejarahnya, tradisi semiotika berkembang dari dua tokoh utama: Charles Sanders Peirce mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure mewakili tradisi Eropa. Keduanya tidak pernah bertemu sama sekali, sehingga kendati keduanya sering disebut mempunyai kemiripan gagasan, penerapan konsep-konsep dari masing-masing keduanya seringkali mempunyai perbedaan penting. Barangkali karena keduanya berangkat dari disiplin yang berbeda; Peirce adalah seorang guru besar filsafat dan logika, sementara Saussure adalah seorang ahli linguistik.[7] Istilah semiotika sendiri diperkenalkan oleh Peirce, sedangkan Saussure menamai pemikirannya dengan istilah semiologi. Dalam praktik analisis kedua istilah itu seringkali dipertukarkan tanpa membedakan artinya. Paling jauh, penggunaannya hanya untuk menunjuk salah satu mahzab yang dianut, meski untuk era sekarang barangkali sudah tidak jelas lagi model mana yang dijadikan model utama karena kadangkala konsep-konsep dari kedua tokoh itu terlanjur dipakai bersama.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pusat perhatian semiotika pada kajian komunikasi adalah menggali apa yang tersembunyi di balik bahasa. Terobosan penting dalam semiotika adalah digunakannya linguistik (mungkin ini lebih terasa beraroma Saussurean) sebagai model untuk diterapkan pada fenomena lain di luar bahasa. Saussure mendefinisikan semiotika sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial”.[8] Tanda merupakan istilah yang sangat penting, yang terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda mewakili elemen bentuk atau isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna. Keduanya merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan sebagaimana layaknya dua bidang pada sekeping mata uang. Kesatuan antara penanda dan petanda itulah yang disebut sebagai tanda. Pengaturan makna atas sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial di kalangan komunitas bahasa. Suatu kata mempunyai makna tertentu karena adanya kesepakatan bersama dalam komunitas bahasa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
‘Tanda’ dan ‘hubungan’ kemudian menjadi kata-kata kunci dalam analisis semiotika. Bahasa dilucuti strukturnya dan dianalisis dengan cara mempertalikan penggunaannya beserta latar belakang penggunaaan bahasa itu. Usaha-usaha menggali makna teks harus dihubungkan dengan aspek-aspek lain di luar bahasa itu sendiri atau sering juga disebut sebagai konteks. Teks dan konteks menjadi dua kata yang tak terpisahkan, keduanya berkelindan membentuk makna. Konteks menjadi penting dalam interpretasi, yang keberadaannnya dapat dipilah menjadi dua, yakni intratekstualitas dan intertekstulaitas. Intratekstualitas menunjuk pada tanda-tanda lain dalam teks, sehingga produki makna bergantung pada bagaimana hubungan antartanda dalam sebuah teks. Sementara intertekstualitas menunjuk pada hubungan antarteks alias teks yang satu dengan teks yang lain. Makna seringkali tidak dapat dipahami kecuali dengan menghubungkan teks yang satu dengan teks yang lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pengkajian tentang konteks dalam pemaknaan barangkali merupakan sebuah kerja yang menarik. Bukan saja karena dimensi kontekstual yang berbeda akan melahirkan makna yang berbeda; melainkan juga bahwa sebuah analisis semiotika akan mampu menggali hal-hal yang sifatnya subtle dari penggunaan bahasa seperti halnya tentang seperangkat nilai atau bahkan ideologi yang tersembunyi di balik penggunaan bahasa. Pada tingkat ini, semiotika seringkali ditunjuk sebagai model awal dari analisis yang mampu menampilkan bekerjanya ideologi dalam teks.[9] Terdapat banyak varian pengertian ideologi, meski secara singkat dapat dapat dimengerti bahwa ideologi menunjuk pada serangkaian ide yang menyusun realitas kelompok, sebuah sistem representasi atau kode yang menentukan bagaimana sesorang menggambarkan dunia atau lingkungannya. Varian lain dapat pula diambil dari Marxisme klasik menggambarkan ideologi sebagai kesadaran palsu (false conciousness) yang diabadikan oleh kekuatan-kekuatan dominan dalam masyarakat.[10] Pengertian lain dapat pula diambil dari pos-Marxisme yang menjadi cikal bakal teori kritis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Teoritisi kritis kontemporer cenderung percaya bahwa sekarang ini tidak lagi terdapat ideologi tunggal yang bermain dalam masyarakat. Ideologi bukan sesuatu yang pejal, rigit dan diperjuangkan dalam situasi heroik sehingga seakan terpisah dari sistem sosial masyarakat. Dalam pandangan terotisi kritis, ideologi justru melekat dalam seluruh proses sosial dan kultural, dan bahasa menjadi ciri terpenting bagi bekerjanya sebuah ideologi. Ideologi bergerak melalui bahasa, sehingga apa yang nampak dari struktur bahasa diandaikan sebagai struktur dari masyarakat yang mewadahi sebuah idelogi tertentu. Ambillah misalnya pendapat seorang penganut Marxis terkenal, Louis Althusser, yang menyatakan bahwa ideologi tampil dalam struktur masyarakat dan timbul dalam praktik nyata yang dilakukan oleh beragam institusi dalam masyarakat.[11] Pemikiran Althusser ini mendapat pengaruh kuat dari strukturalisme, terutama atas pandangan yang mengatakan bahwa esensi ideologi dapat ditengarai melalui struktur bahasa. Ideologi bermain di belakang penetapan representasi. Pemaknaan ideologis dimulai dengan memahami bagaimana bekerjanya sistem bahasa dalam struktur sosial. Kombinasi dan disposisi menjadi kata-kata kunci untuk mengurai sejauh mana ideologi bermain dalam bahasa, sehingga untuk membongkar bahasa ideologis maka sebuah representasi harus dibongkar terlebih dahulu strukturnya, kemudian makna dipertalikan dengan keberadaan struktur sosial yang melandasi penggunaan struktur bahasa (prinsip intertekstualitas)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tentu saja tak ada yang benar-benar obyektif di sini, kita tidak dapat mengatakan bahwa pembongkaran terhadap struktur bahasa beserta temuan ideologi dalam bahasa merupakan jaminan terhadap kepastian akhir suatu ideologi. Berubahnya struktur boleh jadi akan mengubah makna ideologis, karena dalam term Althuserrian ideologi ditentukan oleh strukturnya.[12] Sehingga ideologi merupakan realitas subyektif yang hadir di masyarakat, lentur, cair dan siap berubah. Ideologi hadir dalam tiap orang sebagai sesuatu yang sifatnya halus dan seringkali tidak disadari, sehingga ideologi tidak lagi dipandang dalam tradisi Marxisme klasik yang mengatakannya sebagai kesadaran palsu (false conciousness). Ini yang kemudian membedakan pengertian ideologi antara Marx dan Althusser. Tokoh terakhir ini justru memaknai ideologi sebagai ketidaksadaran yang begitu mendalam (profoundly unconciousness) yang praktiknya dalam diri manusia berlnagsung dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh, Althusser melihat bahwa ideologi seringkali disebarkan oleh struktur sosial seperti yang ia sebut sebagai ideological state apparatus (ISA) dan reppresive state apparatus (RSA). Melalui gagasannya ini Althusser hendak mengatakan bahwa seluruh lembaga sosial dan politik terlibat punya andil dalam penyebaran ideologi dan dominasi distribusi makna. Melalui Althusser, sebuah model analisis struktural (semiotika maupun wacana) dapat dikembangkan pada penglihatan pada bagimana bekerjanya hubungan kekuasaan antar struktur masyarakat, yang, tentu saja sebatas penggunaannya pada bahasa. Media, sebagai bagian struktur yang berurusan dengan bahasa seringkali ditunjuk sebagai biang keladi dari penyebar ideologi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Analisis Mitos: Sebuah Perangkat Kajian Semiotika</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Analisis kritis media berupaya mempertautkan hubungan antara media massa dan keberadaan struktur sosial. Analisis kritis menguji kandungan-kandungan pesan media, bagaimana teks/bahasa media dikaji, dan bagaimana makna yang dapat dimunculkan dari teks. Bagian berikut akan sedikit mengetengahkan gagasan-gagasan semiotis yang dikemukakan oleh seorang penganut Saussure dari Perancis, Roland Barthes. Gagasan-gagasannya memberi gambaran yang luas mengenai media kontemporer. Boleh jadi Barthes merupakan orang terpenting kedua dalam tradisi semiotika Eropa setelah Saussure. Melalui sejumlah karyanya ia tidak hanya melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, pemikirannya justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari bahasa yang ia ketengahkan sebagai mitos.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan menjadi jelas bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan (seperti tata letak / lay out, rubrikasi, dsb) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebut fenomena ini – membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu– sebagai penciptaan mitos.[13] Pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari –seperti halnya cerita-cerita tradisional– melainkan sebuah cara pemaknaan; dalam bahasa Barthes: tipe wicara.[14] Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh pelbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mitos oleh karenanya bukanlah tanda yang tak berdosa, netral; melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya. Kendati demikian, kandungan makna mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah (‘mitos’ diperlawankan dengan ‘kebenaran’); cukuplah dikatakan bahwa praktik penandaan seringkali memproduksi mitos. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada disekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa yang lain.[15]</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pemikiran Barthes tentang mitos nampaknya masih melanjutkan apa yang diandaikan Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda dan petanda. Tetapi yang dilakukan Barthes sesungguhnya melampaui apa yang lakukan Saussure. Bagi Barthes, mitos bermain pada wilayah pertandaan tingkat kedua atau pada tingkat konotasi bahasa. Jika Sauusure mengatakan bahwa makna adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, Barthes menambah pengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Sausure, yang hanya berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, ‘pembaca’ teks dapat memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif.[16] Lebih dari itu, di samping gagasannya dapat dimanfaatkan untuk menganalisis media, semiotika konotasi ala Barthesian ini memungkinkan penggunaannya untuk wilayah-wilayah lain seperti pembacaan terhadap karya sastra dan fenomena budaya kontemporer atau budaya pop. Bahkan dalam pandangan Ritzer, Barthes adalah pengembang utama ide-ide Saussure pada semua aspek kehidupan sosial.[17] Bagi Barthes, semiologi bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai ‘tanda’ alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut sebagai konotator, terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Beberapa tanda boleh jadi secara berkelompok membentuk sebuah konotator tunggal, asalkan yang disebut terakhir tadi memiliki sebuah petanda konotator tunggal. Dengan kata lain, satuan-satuan dari sistem terkonotasi tidak mesti memiliki ukuran yang sama dengan sistem yang tertandakan: fragmen-fragmen besar dari diskursus yang bersangkutan dapat membentuk sebuah satuan sistem terkonotasi tunggal. Sebagai contoh, misalnya, dengan melihat suatu teks, yang tersusun dari sejumlah banyak kata, namun makna umum dari itu merujuk pada sebuah petanda tunggal). Bagaimanapun caranya ia dapat menutup pesan yang ditunjukkan, konotasi tidak menghabiskannya: selalu saja tertinggal ‘sesuatu yang tertunjukkan’ (jika tidak diskursus menjadi tidak mungkin sama sekali) dan konotator-konotator selalu berada dalam analisa tanda-tanda yang diskontinyu dan tercerai-berai, dinaturalisasi oleh bahasa yang membawanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum, global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis. Berbagai petanda ini memiliki suatu komunikasi yang amat dekat dengan budaya, pengetahuan, sejarah, dan melalui merekalah, demikian dikatakan, dunia yang melingkunginya menginvasi sistem tersebut. Kita dapat katakan bahwa ideologi adalah suatu form penanda-penanda konotasi, sementara gaya bahasa, majas atau metafora adalah elemen bentuk (form) dari konotator-konotator. Singkatnya, konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya. Penggunaan tanda satu persatu dapat mengurangi kecenderungan “anarkis” penciptaan makna yang tak berkesudahan, di sisi lain, namun keanekaragaman budaya dan perubahan terus-menerus membentuk wilayah petanda konotatif yang bersifat global dan tersebar. Ideologi, secara semiotis, adalah penggunaan makna-makna konotasi tersebut di masyarakat alias makna pada makna tingkat ketiga.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Secara sekilas skema Barthes mengisyaratkan bahwasanya tak ada satu pun aktivitas penggunaan tanda yang bukan ideologi, namun sebenarnya tidak seperti itu. Ideologi, pada hakikatnya, adalah suatu sistem kepercayaan yang dibuat-buat, suatu kesadaran semu yang kemudian mengajak (interpellation) kepada individu-individu untuk menggunakannya sebagai suatu “bahasa” sehingga membentuk orientasi sosialnya dan kemudian berperilaku selaras dengan ideologi tersebut. Apa yang sebenarnya ditunjuknya adalah sebuah himpunan relasi-relasi yang ada, tidak seperti suatu konsep ilmiah, ia tidak menyediakan sebuah alat untuk mengetahuinya. Dalam suatu cara khusus (ideologis), ia menunjukkan beberapa eksistensi, namun tidak memberikan kita esensinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Beroperasinya ideologi melalui semiotika mitos ini dapat ditengarai melalui asosiasi yang melekat dalam bahasa konotatif. Barthes mengatakan penggunaan konotasi dalam teks ini sebagai: penciptaan mitos. Ada banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang kecantikan, kejantanan, pembagian peran domestik versus peran publik dan banyak lagi. Mitos ini bermain dalam tingkat bahasa yang oleh Barthes disebutnya ‘adibahasa’ (meta-language).[18] Penanda konotatif menyodorkan makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.[19] Dibukanya medan pemaknaan konotatif ini memungkinkan pembaca memakanai bahasa metafor atau majazi yang makanya hanya dapat dipahami pada tataran konotatif. Dalam mitos, hubungan antara penanda dan petanda terjadi secara termotivasi. Pada level denotasi, sebuah penanda tidak menampilkan makna (petanda) yang termotivasi. Motivasi makna justru berlangsung pada level konotasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Barthes menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi juga, karena mitos ini toh merupakan sebuah pesan juga. Ia menyatakan mitos sebagai “modus pertandaan, sebuah bentuk, sebuah “tipe wicara” yang dibawa melalui wacana. Mitos tidaklah dapat digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut disampaikan.[20] Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya ditekstualisasikan. Dalam narasi berita, pembaca dapat memaknai mitos ini melalui konotasi yang dimainkan oleh narasi. Pembaca yang jeli dapat menemukan adanya asosiasi-asosiasi terhadap ‘apa’ dan ‘siapa’ yang sedang dibicarakan sehingga terjadi pelipatgandaan makna. Penanda bahasa konotatif membantu untuk menyodorkan makna baru yang melampaui makna asalnya atau dari makna denotasinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sering dikatakan bahwa ideologi bersembunyi di balik mitos. Ungkapan ini ada benarnya, suatu mitos menyajikan serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran representator. Ketidaksadaran adalah sebentuk kerja ideologis yang memainkan peran dalam tiap representasi. Mungkin ini bernada paradoks, karena suatu tekstualisasi tentu dilakukan secara sadar, yang dibarengi dengan ketidaksadaran tentang adanya sebuah dunia lain yang sifatnya lebih imaginer. Sebagaimana halnya mitos, ideologi pun tidak selalu berwajah tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak ideologi; kehadirannya tidak selalu kontintu di dalam teks. Mekanisme kerja mitos dalam suatu ideologi adalah apa yang disebut Barthes sebagai naturalisasi sejarah. Suatu mitos akan menampilkan gambaran dunia yang seolah terberi begitu saja alias alamiah. Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut menyediakan fungsinya untuk mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan yang ada dalam masyarakat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ideologi berbeda dengan konsep sains, dan lebih berbeda lagi dengan kesadaran iluminatif. Kesadaran iluminatif berada pada tingkat kesadaran diri yang merembes dari pengertian sesorang akan nilai kegamaan melalui kitab suci (nilai batiniah), sementara kesadaran ideologis dalam term Barthes berada pada tingkat kesadaran psikis, atau lebih tepatnya lagi di wilayah ego yang merupakan sistem representasi berupa image yang mengkonstruksi kesadaran yang sifatnya semu. Artikulasi mendasar dari proses ideologis tidak dari proyeksi kesadaran yang teralienasi ke dalam berbagai superstruktur, namun dalam generalisasi pada seluruh tingkatan dari suatu kode struktural. Maka ideologi bukanlah suatu tipuan misterius dari kesadaran; ia adalah suatu logika sosial yang disubstitusikan untuk lainnya (dan yang menyelesaikan kontradiksi yang sebelumnya), sehingga mengubah definisi dari nilai itu sendiri. Ideologi bekerja ibarat sihir dari kode yang membentuk “dasar dominasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Teori Barthes tentang mitos/ideologi memungkinkan seoarng pembaca atau analis untuk mengkaji ideologi secara sinkronik maupun diakronik. Secara sinkronik, makna terantuk pada suatu titik sejarah dan seolah berhenti di situ, oleh karenanya penggalian pola-pola tersembunyi yang menyertai teks menjadi lebih mungkin dilakukan. Pola tersembunyi ini boleh jadi berupa pola oposisi, atau semacam skema pikir pelaku bahasa dalam representasi.[21] Sementara secara diakronik analisis Barthes memungkinkan untuk melihat kapan, di mana dan dalam lingkungan apa sebuah sistem mitis digunakan. Mitos yang dipilih dapat diadopsi dari masa lampau yang sudah jauh dari dunia pembaca, namun juga dapat dilihat dari mitos kemrin sore yang akan menjadi “founding prospective history”.[22] Media seringkali berperilaku seperti itu, mereka merepresentasikan, kalau bukan malah menciptakan mitos-mitos baru yang kini hadir di tengah masyarakat. Untuk yang terakhir ini, penulis berkecenderungan untuk mengatakan bahwa media melakukan proses ‘mitologisasi’, dunia kita sehari-hari digambarkan dalam cara yang penuh makna dan dibuat sebuah pemahaman yang generik bahwa memang begitulah seharusnya dunia. Iklan, berita, fesyen, pertunjukan selebritas adalah dunia kecil yang akrab kita jumpai dan menjadi ikon dari dunia besar: mitos dan ideologi di baliknya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pemikiran Barthes tentang ideologi seringkali bersinggungan dengan pemikiran Althusser, dan keduanya memang terlihat saling melengkapi. Rupanya Barthes adalah salah seorang mahasiswa Althusser. Kedua orang yang berbeda generasi itu mempunyai minat yang sama: ideologi.[23] Baik Althusser maupun Barthes sepakat bahwa ideologi menjadi tempat di mana orang mengalami subyektivitasnya. Hanya saja, Barthes telah menerapkan teori subyektivitas yang berada di luar jangkauan analisis Althusser. Barthes dapat menjangkau teori subyektivitas melalui konsepnya tentang sistem mitis, di mana dia dapat menjelaskan konsepnya secara lebih skematik. Dan boleh jadi Barthes akan menjadi lebih akrab dengan kita karena apa yang diambilnya seringkali berasal dari dunia yang amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Ideologi menjadi persoalan konsumsi, secara tidak sadar kita melahapnya dalam persoalan keseharian, dan konsumsi pun menjadi bermakna ideologis. Ini yang membedakannya dengan Althusser yang terpancang pada Marxisme klasik dalam melihat hubungan antara negara dan masyarakat sipil, sehingga dalam kerangka kerja Althusser, analisis Barthes mungkin berada di luar jangkauan Althusser tentang ideologi. Barthes tidak seperti itu, apa yang dilihatnya seringkali kita rasakan sebagai sesuatu yang remeh-temeh, justru dapat dimaknai dengan begitu mendalam. Pencarian makna oleh pembaca tidak mandeg, karena selalu saja ada hal-hal baru yang akan muncul dan bermakna. Barthes sesungguhnya hanya memberi tongkat kecil bagi seorang yang rabun untuk dapat menyusuri jalan yang tak rata dan berlobang. Dan kita acapkali menjadi orang rabun itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*************</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Daftar Pustaka</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Downing, John, Ali Mohammadi & Annabele Srebery-Mohammadi (Eds.), Questioning The Media: A Critical Introdustion, Sage Publication, Newbury Park, California, 1990</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hall, Stuart (Ed.), Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices, Sage Publications, London, 1997.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berger, Arthur Asa, Media Analysis Techniques, Sage Publications, Beverly Hills, California, 1982.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Fiske, John, Introductions to Communication Studies, Routledge, London, 1990.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sujiman, Panuti, & Aart van Zoest (Ed.), Serba-serbi Semiotika, Gramedia, Jakarta, 1991.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Amir Piliang, Yasraf, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Littlejohn, Stephen W., Theories of Human Communication, Wardsworth, Belmont, California, 1996.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bagus Takwin: “Cuplikan-cuplikan Ideologi”, Jurnal Filsafat Universitas Indonesia Volume I No. 2, Agustus 1999.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bignell, Jonathan, Media Semiotics: An Introduction, Manchester University Press, Manchester and New York, 1997.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Barthes, Roland, Mitologi, (Terj. Nurhadi & Sihabul Millah), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tolson, Andrew, Mediations: Text and Discourse ini Media Studies, Arnold, London, 1996.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Christomy, T., & Untung Yuwono, Semiotika Budaya, Penerbit Pusat Kemasyarakatan dan Budaya UI, Jakarta, 2004.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ritzer, George, Teori Sosial Postmodern (penerj. Muhammad Taufiq), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2003.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Strinati, Dominic, An Introduction to Theories of Popular Culure, Routledge, New York, 1995.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Storey, John (Ed.) Cultural Theory and Cultural Culture: A Reader, Harvester Heatsheaf, New York, 1994.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
St. Sunardi, Semiotika Negativa, Buku Baik, Yogyakarta, 2004.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*********</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[1] Staf Pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[2] Alan O.Connor: “Culture and Communication”, dalam John Downing, Ali Mohammadi & Annabele Srebery-Mohammadi (Eds.), Questioning The Media: A Critical Introdustion, Sage Publication, Newbury Park, California, 1990, hal. 29.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[3] Stuart Hall (Ed.), Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices, Sage Publications, London, 1997, hal.5.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[4] Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, Sage Publications, Beverly Hills, California, 1982, hal. 16.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[5] Hall, op. cit., hal. 17.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[6] John Fiske, Introductions to Communication Studies, Routledge, London, 1990, hal 1.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[7] Aart van Zoest: “Interpretasi dan Semiotika” (terj. Okke K.S. Zaimar dan Ida Sundari Husein) dalam Panuti Sujiman dan Aart van Zoest (Ed.), Serba-serbi Semiotika, Gramedia, Jakarta, 1991, hal.1.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[8] Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003, hal. 256.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[9] Dalam hemat penulis, setidaknya terdapat dua model utama dari penelitian yang akrab digunakan untuk melihat bagaimana cara kerja ideologi melalui teks, yakni analisis semiotika dan analisis wacana kritis. Analisis wacana barangkali merupakan kelanjutan dari analisis semiotika, karena secara historis memang lahirnya didahului oleh analisis semiotika. Dalam perkembangannya, analisis wacana memang cenderung untuk mengambil posisi sebagai metode penggali kerja ideologi dan hubungan kekuasaan dalam teks. Kendati demikian, banyak istilah yang secara mendasar diambil dari tradisi semiotika. Dalam beberapa hal, analisis semiotika berkemungkinan untuk menggali ideologi di balik teks, sehingga batas yang tegas antara kedua jenis analisis itu memang agak kabur. Preskripsi sederhana untuk memperlihatkan perbedaan keduanya kira-kira adalah bahwa analisis semiotika berupaya melihat aspek ‘what’ dan ‘how’ dari teks, sementara analisis wacana cenderung kepada menjawab pertanyaan tentang ‘how’dan ‘why’ dari teks.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[10] Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, Wardsworth, Belmont, California, 1996, hal. 228.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[11] Ibid., hal. 29.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[12] Bagus Takwin: “Cuplikan-cuplikan Ideologi”, dalam Jurnal Filsafat Universitas Indonesia Volume I No. 2, Agustus 1999.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[13] Jonathan Bignell, Media Semiotics: An Introduction, Manchester University Press, Manchester and New York, 1997, hal 16.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[14] Roland Barthes, Mitologi, (Terj. Nurhadi & Sihabul Millah), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004, hal 152. Lihat juga Roland Barthes: “Myth Today”, dalam John Storey (Ed.), Cultural Theory and Popular Culture: A Reader, Harvester Wheatsheet, New York, 1994, hal. 107.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[15] Andrew Tolson, Mediations: Text and Discourse ini Media Studies, Arnold, London, 1996, hal. 7.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[16] Manneke Budiman: “Semiotika dalam Tafsir Satra: Antara Riffaterre dan Barthes” dalam T. Christomy dan Untung Yuwono, Semiotika Budaya, Penerbit Pusat Kemasyarakatan dan Budaya UI, Jakarta, 2004, hal 255.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[17] George Ritzer, Teori Sosial Postmodern (penerj. Muhammad Taufiq), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2003.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[18] Dominic Strinati, An Introduction to Theories of Popular Culure, Routledge, New York, 1995, hal. 113.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[19] Budiman, op.cit., hal. 255.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[20] Ibid., hal. 112. Lihat juga Roland Barthes: “Myth Today” dalam John Storey (Ed.) Cultural Theory and Cultural Culture: A Reader, Harvester Heatsheaf, New York, 1994, hal. 107.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[21] Berger, op.cit., hal. 30.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[22] St. Sunardi, Semiotika Negativa, Buku Baik, Yogyakarta, 2004, hal. 116.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[23] Ibid., hal. 126.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
http://abunavis.wordpress.com/2007/12/31/mitos-dan-bahasa-media-mengenal-semiotika-roland-barthes/</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09595985323235074450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-20296613355493797802012-05-31T09:53:00.002-07:002012-05-31T09:53:28.251-07:00Ruang Publik Politis: Komunikasi Politis dalam Masyarakat Majemuk<br />
<div style="text-align: justify;">
"Segala tindakan yang menyangkut hak orang-orang lain</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
yang maksimnya tak sesuai dengan kepublikan adalah tak adil."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
- Immanuel Kant</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
BANGSA kita sedang memasuki tahapan sejarah yang sangat penting dengan melangsungkan pemilihan presiden secara langsung. Namun, ini baru awal. Sangatlah dini mengklaim sukses pemilu sebagai sukses demokratisasi. Pemahaman demokrasi di negara-negara yang sedang melangsungkan transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi seperti negara kita bersifat minimal. Demokrasi dimengerti sebagai pemilihan umum yang berlangsung fair. Demokrasi minimalis ini mengabaikan proses di antara pemilihan umum yang satu dan pemilihan umum yang lain. Namun, jika bertolak dari konsep demokrasi itu sendiri, kita tak dapat berhenti pada sikap minimalis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
DEMOKRASI per definitionem, seperti dirumuskan secara padat dalam bahasa Jerman, adalah regierung der regierten (pemerintahan dari mereka yang diperintah). Jika demikian, menyerahkan kepercayaan begitu saja kepada para pelaku dalam sistem politik hasil pemilihan umum-eksekutif, legislatif, dan yudikatif-tidak akan memenuhi definisi itu. Mereka yang diperintah harus mendapatkan akses pengaruh ke dalam sistem politik. Jika demokrasi ingin maksimal, celah di antara dua pemilihan umum harus diisi dengan partisipasi politis warga negara dalam arti seluas-luasnya. Dalam demokrasi maksimal inilah konsep ruang publik menduduki tempat sentral.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bila demokrasi tidak sekadar dipahami formalistis, ia harus memberikan kemungkinan kepada warga negara mengungkapkan opini mereka secara publik. Ruang atau, katakanlah, panggung tempat warga negara dapat menyatakan opini, kepentingan, serta kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas tekanan itu merupakan inti ide ruang publik politis. Konsep ruang di sini bukanlah metafora, melainkan real, sejauh kita tidak memahaminya sebagai ruang geometris yang terukur dan berciri fisis. Ruang sosial terbentuk lewat komunikasi, yakni, seperti dikatakan Hannah Arendt, suatu lingkup bagi suatu "aku" untuk menyatakan "kesiapaannya" di hadapan suatu "kamu" sehingga suatu tindakan bersama suatu "kita" menjadi mungkin.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam teori-teori demokrasi klasik dikenal konsep volonte generale (kehendak umum), yaitu keputusan publik yang mencerminkan kepentingan seluruh rakyat. Konsep kuno yang berasal dari Jean-Jacques Rousseau ini tetap dianut dalam praktik-praktik parlementarisme modern meski konsep itu lahir dari masyarakat berukuran kecil yang relatif homogen: masyarakat kanton Swiss. Sulit membayangkan realisasi volonte generale dalam sebuah masyarakat majemuk dengan keragaman orientasi nilai dan gaya hidup dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini. Ide tentang ruang publik politis dapat menjelaskan relevansi konsep klasik itu di dalam masyarakat kompleks seperti masyarakat Indonesia.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Apa itu ruang publik politis?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam masyarakat majemuk dewasa ini, suatu identifikasi "kedaulatan rakyat" dengan "perwakilan rakyat" dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi semakin sulit karena sistem politik "hanyalah" salah satu subsistem di antara subsistem lain di dalam sebuah masyarakat kompleks. Karena itu, konsep kedaulatan rakyat harus ditafsirkan secara baru. Jika parlemen hanyalah salah satu subsistem masyarakat kompleks, kedaulatan rakyat seharusnya dibayangkan melampaui sistem perwakilan itu, yang merupakan intensitas interaksi diskursif di antara berbagai subsistem di dalam masyarakat majemuk. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat adalah "totalitas bentuk" dan "isi komunikasi" tentang persoalan-persoalan publik yang berlangsung, baik di dalam sistem politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) maupun di dalam masyarakat luas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jika interpretasi ini dapat diterima, ruang publik politis yang berfungsi baik dan kedaulatan rakyat adalah satu dan sama. Konsep ruang publik politis merupakan pemahaman baru atas konsep kedaulatan rakyat agar konsep ini dapat diterapkan di dalam masyarakat kompleks di era globalisasi ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam karya awalnya, Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik), Juergen Habermas menjelaskan ruang publik politis sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif (1). Pertanyaannya sekarang, kondisi-kondisi manakah yang diacu oleh Habermas?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pertama, partisipasi dalam komunikasi politis itu hanya mungkin jika kita menggunakan bahasa yang sama dengan semantik dan logika yang konsisten digunakan. Semua warga negara yang mampu berkomunikasi dapat berpartisipasi di dalam ruang publik politis itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kedua, semua partisipan dalam ruang publik politis memiliki peluang yang sama untuk mencapai suatu konsensus yang fair dan memperlakukan mitra komunikasinya sebagai pribadi otonom yang mampu bertanggung jawab dan bukanlah sebagai alat yang dipakai untuk tujuan-tujuan di luar diri mereka.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketiga, harus ada aturan bersama yang melindungi proses komunikasi dari represi dan diskriminasi sehingga partisipan dapat memastikan bahwa konsensus dicapai hanya lewat argumen yang lebih baik. Singkatnya, ruang publik politis harus "inklusif", "egaliter", dan "bebas tekanan" (2). Kita dapat menambahkan ciri-ciri lain: pluralisme, multikulturalisme, toleransi, dan seterusnya. Ciri ini sesuai dengan isi konsep kepublikan itu sendiri, yaitu dapat dimasuki oleh siapa pun.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di manakah lokus ruang inklusif, egaliter, dan bebas tekanan itu di dalam masyarakat majemuk? Jika kita, seperti analisis Habermas, membayangkan masyarakat kompleks dewasa ini sebagai tiga komponen besar, yaitu sistem ekonomi pasar (kapitalisme), sistem birokrasi (negara), dan solidaritas sosial (masyarakat), lokus ruang publik politis terletak pada komponen solidaritas sosial. Dia harus dibayangkan sebagai suatu ruang otonom yang membedakan diri, baik dari pasar maupun dari negara.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini, sulitlah membayangkan adanya forum atau panggung komunikasi politis yang bebas dari pengaruh pasar ataupun negara. Kebanyakan seminar, diskusi publik, demonstrasi, dan seterusnya didanai, difasilitasi, dan diformat oleh kekuatan finansial besar, entah kuasa bisnis, partai, atau organisasi internasional dan seterusnya. Hampir tak ada lagi lokus yang netral dari pengaruh ekonomi dan politik. Jika demikian, ruang publik politis harus dimengerti secara "normatif": ruang itu berada tidak hanya di dalam forum resmi, melainkan di mana saja warga negara bertemu dan berkumpul mendiskusikan tema yang relevan untuk masyarakat secara bebas dari intervensi kekuatan-kekuatan di luar pertemuan itu. Kita menemukan ruang publik politis, misalnya, dalam gerakan protes, dalam aksi advokasi, dalam forum perjuangan hak-hak asasi manusia, dalam perbincangan politis interaktif di televisi atau radio, dalam percakapan keprihatinan di warung-warung, dan seterusnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berbeda dari demokrasi dalam masyarakat yang berukuran relatif kecil dan homogen, demokrasi di dalam masyarakat kompleks yang berukuran gigantis seperti masyarakat kita tidak dapat berfungsi secara memuaskan hanya dengan mengandalkan kinerja para wakil rakyat dalam DPR/MPR. Subjek kedaulatan rakyat dalam masyarakat majemuk tidak boleh dibatasi pada aktor-aktor parlementer. Subjek itu seharusnya adalah para aktor dalam ruang publik politis, dan mereka adalah apa yang kita sebut masyarakat sipil. Mereka terdiri atas perkumpulan, organisasi, dan gerakan yang terbentuk spontan untuk menyimak, memadatkan, dan menyuarakan keras-keras ke dalam ruang publik politis problem sosial yang berasal dari wilayah privat (3).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Masyarakat sipil bukan hanya pelaku, melainkan juga penghasil ruang publik politis. Seperti diteliti oleh J Cohen dan A Arato, ruang publik politis yang dihasilkan para aktor masyarakat sipil itu dicirikan oleh "pluralitas" (seperti keluarga, kelompok nonformal, dan organisasi sukarela), "publisitas" (seperti media massa dan institusi budaya), "privasi" (seperti moral dan pengembangan diri), dan "legalitas" (struktur hukum dan hak-hak dasar) (4).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Fungsi ruang publik politis</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di dalam rezim Soeharto, negara mengintervensi pembentukan opini publik dengan alasan pemeliharaan stabilitas nasional, mengawasi media massa secara ketat demi keamanan nasional, menstigma para oposan, dan merintangi pembentukan spontan kelompok-kelompok politis. Pemerintah saat itu membenarkan politik represifnya dengan alasan bahwa negara sudah diperlengkapi dengan DPR/MPR untuk kanalisasi aspirasi publik, sementara lembaga perwakilan ini berada di bawah dominasi eksekutif.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Masih basah dalam ingatan kita bagaimana pada setiap pemilihan presiden terjadi kor setuju yang jadi ritual bagi terpilihnya kembali Soeharto untuk kesekian kalinya. Tak boleh ada beda pendapat. Aklamasi dipersiapkan sebelumnya. Negara Orde Baru adalah sebuah sistem administrasi otoriter yang merintangi pembentukan ruang publik politis dengan menciptakan publik semu yang bertindak seolah-olah mewakili volonte generale.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Negara Orde Baru tidak hanya tidak memiliki sambungan pada sumber loyalitas dan legitimitasnya, melainkan juga kekurangan sensibilitas terhadap masalah sosial yang nyata dihadapi. Tak adanya sambungan inilah yang menyebabkan rakyat menarik kembali legitimitas pemerintahan Soeharto lewat gerakan reformasi. Reformasi tak lain dari membangun jaringan yang menyambungkan sistem politik dengan sumber legitimitasnya: rakyat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam negara hukum demokratis, ruang publik politis berfungsi sebagai sistem alarm dengan sensor peka yang menjangkau seluruh masyarakat. Pertama, ia menerima dan merumuskan situasi problem sosio-politis. Melampaui itu, kedua, ia juga menjadi mediator antara keanekaragaman gaya hidup dan orientasi nilai dalam masyarakat di satu pihak dan sistem politik serta sistem ekonomi di lain pihak. Kita bisa membayangkan ruang publik politis sebagai struktur intermedier di antara masyarakat, negara, dan ekonomi. Organisasi-organisasi sosial berbasis agama, lembaga swadaya masyarakat, perhimpunan cendekiawan, paguyuban etnis, kelompok solidaritas, gerakan inisiatif warga, dan masih banyak lainnya dalam ruang publik memberikan isyarat problem mereka agar dapat dikelola oleh negara.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ruang publik berfungsi baik secara politis jika secara "transparan" memantulkan kembali persoalan yang dihadapi langsung oleh yang terkena. Transparansi itu hanya mungkin jika ruang publik tersebut otonom di hadapan kuasa birokratis dan kuasa bisnis. Tuntutan normatif ini tentu sulit didamaikan dengan fakta bahwa media elektronik dan cetak di masyarakat kita kerap menghadapi dilema yang tak mudah dipecahkan di hadapan tekanan politis maupun pemilik modal. Namun, itu tak berarti bahwa para pelaku ruang publik menyerah saja pada imperatif pasar dan birokrasi. Tanpa memenuhi tuntutan normatifnya, ruang publik hanya akan menjadi "ekstensi" pasar dan negara belaka.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tentu sulit membayangkan ruang publik sebagai ruang bebas kuasa. Sebaliknya, ruang publik politis justru merupakan jaringan kekuasaan yang sangat kompleks karena setiap bentuk perhimpunan dalam masyarakat kita membentuk ruang publiknya sendiri yang ingin mendesakkan kebutuhannya. Kita dapat memakai hasil analisis Habermas untuk membedakan dua tipe ruang publik politis dalam masyarakat kita (5).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tipe pertama-sebut saja "ruang publik autentik"-adalah ruang publik yang terdiri atas proses komunikasi yang diselenggarakan oleh institusi nonformal yang mengorganisasikan dirinya sendiri. Komunikasi di sini terjalin secara horizontal, inklusif, dan diskursif. Para aktor dalam tipe pertama ini berasal dari publik itu sendiri, hidup dari kekuatan mereka sendiri, dan berpartisipasi dalam diseminasi, multiplikasi, dan proteksi ruang publik. Gerakan mahasiswa yang mendorong reformasi adalah contoh tipe pertama ini. Dalam gerakan inilah kita menyaksikan lahirnya ruang publik politis di negeri kita.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Para aktor ruang publik autentik memiliki kepekaan atas bahaya-bahaya yang mengancam hak-hak komunikasi kita sebagai warga negara dan menentang setiap upaya merepresi kelompok-kelompok minoritas dan marjinal. Perkembangan ruang autentik ini akan banyak ditentukan oleh civic courage dan civic friendship yang tumbuh di antara warga negara. Ini tampak, misalnya, dalam keberanian sebuah media menyiarkan, menerbitkan, atau menayangkan berita yang menjadi hak publik untuk mengetahuinya, tetapi menohok kepentingan pemodal ataupun birokrasi: dalam gerakan pemberantasan korupsi misalnya. Multiplikasi aktor ataupun lembaga yang memiliki civic virtues seperti ini merupakan syarat pembentukan ruang publik autentik.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tipe kedua-"ruang publik tak autentik"– adalah kekuatan pengaruh atas keputusan para pemilih, konsumen, dan klien untuk memobilisasi loyalitas, daya beli, dan perilaku mereka lewat media massa. Berbeda dari yang pertama, para aktor di sini hanya "memakai" ruang publik yang sudah ada dengan bantuan sumber-sumber dari luar mereka, yakni uang dan kuasa. Partai politik dan asosiasi bisnis dalam masyarakat kita tercakup dalam tipe kedua ini. Ruang publik macam inilah yang dominan di dalam masyarakat yang menjalankan kesehariannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah gerakan mahasiswa ikut mendorong delegitimasi rezim Soeharto di tahun 1998, ruang publik yang terbuka segera diduduki oleh kekuatan pasar dan birokrasi. Menumbuhkan ruang publik berarti tidak hanya multiplikasi ruang publik autentik, melainkan juga terus mengontrol kiprah para pelaku ruang publik tak autentik. Masyarakat harus membebaskan diri dari budaya bungkam ke budaya kritis, dari indeferensi ke partisipasi politis, dari watak massa ke komunitas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di dalam negara hukum demokratis, media massa merupakan kekuatan keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Media massa dapat berfungsi secara benar dalam ruang publik politis jika otonom tidak hanya dari negara dan pasar, melainkan juga dari para aktor ruang publik itu sendiri. Ia harus mampu menetralkan pengaruh uang dan kekuasaan yang dapat memanipulasi ruang publik politis. Ia memang tak mungkin lepas sama sekali dari para aktor tipe kedua, tetapi ia dapat dan seharusnya menangkap dan melontarkan suara-suara yang mencerminkan kepublikan seluas-luasnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Komunikasi antara ruang publik dan sistem politik</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sudah dikatakan di atas bahwa reformasi tak lain daripada upaya membuka kanal-kanal komunikasi politis dalam masyarakat majemuk. Sementara dalam revolusi bisa saja sistem negara berubah, dalam reformasi sistem negara hukum yang telah ada diradikalkan secara komunikatif. Reformasi tak lain daripada menyingkirkan rintangan komunikasi politis antara sistem politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan ruang publik politis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut Habermas, negara hukum modern berciri demokratis jika terjadi komunikasi politis intensif antara ruang publik dan sistem politik (6). Habermas, menurut hemat saya, berhasil menjelaskan suatu persoalan besar yang dicari para aktivis sosial dan politis di dalam masyarakat kita, yaitu bagaimana menyambungkan aspirasi masyarakat luas, korban, minoritas, dan seterusnya yang diwakili oleh organisasi nonformal dengan sistem politik. Model diskursivitas antara ruang publik dan sistem politik dapat menjelaskan itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam ruang publik politis, masyarakat sipil melangsungkan diskursus publik dalam berbagai bentuk dan isi. Pluralisme keyakinan dan pendapat ini sering berkontroversi satu sama lain, dari yang memiliki niveau yang rendah sampai yang tinggi. Suara-suara dalam ruang publik politis berciri anarkis dan tak terstruktur. Ruang publik politis adalah lokus baik bagi komunikasi yang manipulatif maupun komunikasi yang tak terbatas. Meski demikian, bukan berarti bahwa suara-suara itu dapat diterima begitu saja sebagai opini publik. Andaikata semua suara memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan publik tanpa saringan, kiranya pemerintahan semacam itu tidak hanya buruk, melainkan juga dapat dianggap tak ada.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di sini kita bisa membayangkan adanya dua macam filter dalam prosedur demokratis: filter dalam ruang publik politis itu sendiri dan filter sistem politik. Suatu opini memiliki kualitas sebagai opini publik jika lolos dari filter ruang publik. Publik pembaca dan pendengar bisa saja dimanipulasi ataupun diintimidasi untuk menerima sebuah opini, tetapi opini macam itu tetap akan dipersoalkan autentisitasnya selama publik tetap mendapat akses untuk menguji kesahihannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Segala yang terbukti sebagai hasil manipulasi dan intimidasi-jika pengujian publik dibuka-tidak dapat dihitung sebagai opini publik. Tentu saja manipulasi dan intimidasi bisa sangat terancang secara sistemis, seperti misalnya dalam rezim Nazi atau rezim komunis. Namun, sekali "sistem dusta" ini terbongkar dan terbuka di mata publik, segala keyakinan yang selama rezim teror itu dipegang teguh dalam pemerintahan demokratis akan terbukti sebagai manipulasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tidak dapat disangkal bahwa kekuasaan sosial dan kerap juga kekuasaan politis ikut bermain menentukan proses penyaringan opini dalam ruang publik politis itu. Tidak hanya ada figur-figur berpengaruh, melainkan juga lembaga- lembaga yang disegani dan memiliki kekuasaan. Namun, sekali lagi, selama peranan kekuasaan ini dapat diperiksa secara publik, opini yang dipengaruhi oleh kekuasaan itu tidak imun terhadap kritik publik.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kita menyaksikan sendiri dalam masyarakat kita bagaimana korupsi hanya bisa dibasmi jika publik ikut berperan sebab korupsi-seperti juga dusta dan rahasia-menyembunyikan diri dari sorotan publik. Rapat atau longgarnya filter dalam ruang publik itu banyak ditentukan oleh publik itu sendiri. Semakin kritis dan vital suatu masyarakat, semakin rinci publik dalam masyarakat itu mengembangkan filternya. Koran-koran yang provokatif memang dibiarkan, tetapi jika provokasi politis dikenali sebagai provokasi belaka, koran-koran macam itu akan ditinggalkan dan gairah mencari sensasi akan berimigrasi ke bidang-bidang lain, misalnya seni, gaya hidup, atau erotisme.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jika publik itu cerdas, akan terjadi seleksi rasional di antara argumen-argumen dengan kemenangan argumen yang lebih baik, yang lalu mendapat kualitas sebagai opini publik. Karena komunikasi publik mengikuti norma argumen yang lebih baik, kualitas suara akan lebih menentukan daripada kuantitasnya. Apakah sebuah argumen yang lebih baik akan mendapatkan mayoritas suara atau tidak, akan banyak ditentukan oleh kualitas publik itu sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Perjuangan mendapat pengakuan publik itu akan memasuki tahap politisnya jika suatu opini publik masuk ke dalam filter sistem politik. Dalam sistem politik terdapat juga suatu publik. Publik di sini memiliki kualitas berbeda daripada publik dalam ruang publik politis. Berbeda dari yang terakhir ini, publik dalam sistem politik tersebut kuat karena kedekatan akses mereka dalam pengambilan keputusan publik: wakil rakyat, presiden, kabinet, lembaga yudikatif, dan seterusnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Filter sistem politik terdiri dari sistem atau prosedur hukum: konstitusi dan produk perundang-undangannya. Prosedur legal ini dapat diasalkan dari hasil komunikasi politis sebelumnya antara ruang publik politis dan sistem politik. Dengan kata lain, filter sistem politik tersebut juga tidak boleh dijauhkan dari pengujian diskursif publik. Opini publik yang masuk ke dalam filter itu dan meraih mayoritas di dalam sistem legislatif akan berubah kualitasnya menjadi keputusan publik: produk hukum. Bahasa sehari-hari yang digunakan dalam ruang publik politis diterjemahkan ke dalam bahasa hukum yang bersifat resmi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Suatu masyarakat majemuk yang memiliki ruang publik politis yang vital dapat kita sebut sebagai masyarakat kuat. Masyarakat kuat semacam ini harus diimbangi dengan pemerintahan yang kuat juga. Suatu masyarakat yang memiliki gairah demokratisasi yang kuat, tetapi sistem politiknya lemah, tak akan sanggup menyaring desakan kekuasaan massa yang masuk untuk memaksakan kehendaknya. Ini terjadi dalam "anarkisme". Sebaliknya, suatu sistem politik yang otonom dari masyarakatnya dan cenderung berjalan menurut logika kekuasaannya akan melenyapkan ruang publik politis itu. Ini terjadi dalam totalitarianisme.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebuah negara hukum demokratis harus memiliki masyarakat yang kuat maupun kepemimpinan yang kuat. Sistem politik tidak boleh menjadi independen dari ruang publik politis. Ia harus terus mendapatkan makanan dan hidupnya dari ruang publik itu karena dari situ pulalah ia meraih sumber loyalitas dan legitimitasnya. Pemerintahan yang kuat dalam arti ini adalah pemerintahan yang mampu memperlancar komunikasi politis antara sistem politik dan masyarakat sipil dalam ruang publik politis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ide tentang ruang publik politis, sebagaimana diulas di atas, dapat merekonstruksi konsep klasik tentang kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat bukanlah demokrasi langsung dalam arti aksi-aksi massa untuk memaksakan kehendak kepada sistem politik. Di dalam negara hukum demokratis batas-batas antara negara dan masyarakat harus dihormati, tetapi batas-batas itu tidak boleh dijaga terlalu kaku. Respek terhadap batas-batas antara masyarakat dan negara harus disertai upaya-upaya untuk mencairkan proses komunikasi di antara keduanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pemahaman tentang ruang publik politis mengambil jarak terhadap ide demokrasi langsung. Jika kita menerima ide ruang publik politis, kita harus menerima suatu model demokrasi representatif sebagaimana biasanya dilaksanakan dalam negara-negara hukum modern. Namun, demokrasi representatif itu berada dalam kontrol publik dengan jaringan-jaringan kerjanya. Kontrol publik lalu bersifat tidak langsung, yaitu lewat dikursivitas. Diskursivitas antara ruang publik politis dan sistem politik itulah realisasi ide kedaulatan rakyat di dalam masyarakat majemuk.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
F Budi Hardiman Pengajar Program Magister Filsafat STF Driyarkara dan Doktor Hukum di Universitas Pelita Harapan</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Catatan:</div>
<div style="text-align: justify;">
1. Lihat Habermas, J, Strukturwandel der Oeffenlichkeit, STW, Frankfurt aM, 1990, hlm 38</div>
<div style="text-align: justify;">
2. Lihat Budi Hardiman, F, Demokratie als Diskurs, (tesis tak diterbitkan), Munich, 1996, hlm 15</div>
<div style="text-align: justify;">
3. Lihat Habermas, J, Faktizitaet und Geltung, Shurkamp, Frankfurt aM, 1992, hlm 443</div>
<div style="text-align: justify;">
4. Budi Hardiman, hlm 52</div>
<div style="text-align: justify;">
5. Bdk Habermas, J, Strukturwandel der Oeffentlichkeit, STW, Frankfurt aM, 1990, hlm 28</div>
<div style="text-align: justify;">
6. Lihat Budi Hardiman, hlm 57</div>
<div style="text-align: justify;">
Sumber: Kompas Cyber Media</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09595985323235074450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-68512859933951608432012-05-31T09:52:00.001-07:002012-05-31T09:52:22.992-07:00Krisis Media Dalam Perspektif Konvergensi Telematika: Wacana Media untuk Penyempurnaan UU Pers.<br />
<div style="text-align: justify;">
A. Pendahuluan</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mungkin akan timbul suatu pertanyaan kenapa kita perlu memperhatikan penyempurnaan UU Pers dari sudut pandang hukum telematika, karena terkesan hukum telematika hanya akan lebih banyak mengkaji keberadaan segala aspek hukum yang terkait dengan perkembangan teknologi telekomunikasi dan informatika. Tambahan lagi telah banyak pihak yang sudah terlanjur berkonotasi bahwa lingkup pembicaraan hukum telematika adalah identik dengan istilah ”cyber law” hukum yang terkait dengan keberadaan dunia maya ataupun internet. Hal ini tidaklah sepenuhnya benar, karena jika kita cermati lebih dalam justru karena hasil dari perkembangan konvergensi telekomunikasi dan informatika itu sendiri maka belakangan semua orang baru menyadari bahwa telah terlahir suatu media baru yang bersifat multimedia (teks, suara, gambar/grafis, dan film) yang pada akhirnya menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk merenungkan kembali konsepsi hukum tentang informasi dan komunikasi sebagai akar dasar semua perkembangan itu tanpa harus terkunci kepada pembedaan karaktersitik setiap media baik cetak maupun elektronik. Keberadaan jaringan computer global sebagai Jalan Raya Informasi (information superhighway) telah memudarkan garis batas antara media tradisional dengan media komunikasi modern. Hal ini akan sangat baik baik disiplin ilmu hukum itu sendiri agar sistematikanya menjadi lebih tertib dan konsisten dalam memetakan ketentuan-ketentuan hukum media. Ada benang merah yang saling terhubung dengan semua media itu, yakni hukum terhadap informasi dan komunikasi itu sendiri. Bahkan, mungkin saja di belakang hari semua benang merah tersebut dapat dirajut menjadi satu kodifikasi hukum media yang mampu mengakomodir semua karakteristik media yang ada. Oleh karena itu, tulisan ini diharapkan dapat melengkapi perspektif hukum yang selama ini telah berkembang dibenak masyarakat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
B. Konsepsi Umum dan Analisa Kritis Media </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagai langkah pertama, kita perlu mengkaji kembali istilah Media itu sendiri dan melihat padanannya dengan Pers. Tampaknya sudah menjadi istilah umum bahwa insan pers sering mengidentikan dirinya sebagai Media, sementara istilah Pers itu sendiri sepertinya tidak sebangun atau sepadan dengan istilah Media. Pers mungkin salah satu bagian dari Media tapi Media itu sendiri tidak identik dengan Pers, karena Pers akan berkonotasi kepada aktivitas jurnalistik sementara media adalah wujud penyelenggaraannya sebagai alat sistem komunikasi untuk mendiseminasikan informasi kepada publik.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dilihat dari asal usul katanya, Media adalah bentuk jamak dari Medium yang berasal dari bahasa latin yang artinya adalah sesuatu yang berada ditengah-tengah dan/atau sesuatu yang bersifat netral [Webster Dictionary]. Media juga berarti suatu alat penghantar berkomunikasi. Penekanan dari kata Media disini adalah keberadaan obyek, jadi pendekatannya haruslah obyektif bukan subyektif. Sebagai suatu alat maka obyek tentunya tidak akan dapat bertanggung jawab atau dimintakan pertanggung jawabannya sendiri sehingga yang dapat dimintakan pertanggung jawabannya adalah pihak-pihak yang menyelenggarakan media itu sendiri. Penyelenggara harus menjaga sifat netralitasnya dan mempertanggung jawabkan efek dari komunikasi itu kepada publik baik terhadap kepentingan personal maupun komunal atau bahkan kepada norma masyarakat itu sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berbicara tentang Pers, umumnya para pakar komunikasi masa akan merujuk kepada prinsip dasar Hak Azasi Manusia untuk memperoleh informasi dari semua saluran komunikasi yang tersedia dan kemerdekaan mengemukakan pendapat di depan umum. Ada dua hal yang perlu dicatat disini yakni, kebebasan berekspresi itu sendiri dan tindakan mengumumkannya kepada publik. Sebagai pembandingnya, banyak orang yang merujuk kepada First Amendment dalam konstitusi AS dimana Congress tidak boleh membuat hukum untuk menghalangi pelaksanaan hak itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Amendment 1: Religious and political freedom:</div>
<div style="text-align: justify;">
Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof; or abridging the freedom of speech, or of the press; or the right of the people peaceably to assemble, and to petition the Government for redress of grievances.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari uraian kata-kata tersebut, banyak pihak yang mempersepsikannya sebagai suatu kebebasan yang absolut karena congress yang berwenang membuat hukum itu sendiri saja bahkan tidak diperkenankan oleh konstitusi untuk membatasi kebebasan pers. Sementara, hanya segelintir pakar yang mengemukakan bahwa dalam prakteknya di AS yang perkembangan hukumnya didominasi oleh Jurisprudensi (Judge make law), kebebasan itu kini menjadi tidak absolute lagi sebagaimana dipersepsikan oleh kalangan awam.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Selain akibat multipersepsi atas kata “speech” dan “abridging” itu sendiri, perbedaan pendapat dikalangan para Jurist (judges and scholars) sebenarnyaa juga dikarenakan secara historis kata-kata itu memang merupakan produk politik pada masa itu, dimana ada pertentangan antara Federalist dengan State. Sehingga, semula kata-kata yang diusulkan adalah ”No state shall violate…etc” menjadi ”Congress shall make no law…etc”. Para juris di AS, telah menyadari bahwa legal nature dari kata-kata itu dengan sendirinya adalah menjadi tidak absolute, sehingga dengan sendirinya jurisprudensi lah yang menjadi pembimbing atau pedoman dalam menerapkan ketentuan itu agar menjadi fair bagi semua pihak. Bahkan untuk menentukan tujuan dan fungsinya saja, hal itu baru lebih jelas pada saat Justice Brandeis mengemukakan pendapatnya dalam putusannya pada kasus Whitney vs. California 71 L.Ed.1095, 1105-06 (1927).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam perkembangannya lebih lanjut ternyata freedom of speech dan of the press diturunkan menjadi “expression” dan “action”. Amendement pertama jelas melindungi kebebasan berekspresi tetapi tidak selalu untuk “communicative conduct” sehingga berkembanglah “a hierarchy of protected communicative conduct” dimana tidak semua hal termasuk dalam protected speech. Karenanya berkembanglah apa yang dinamakan sebagai “unprotected class” atau dikenal sebagai “unfree speech” atau komunikasi yang tidak dilindungi oleh amendemen pertama tersebut, antara lain meliputi; fighting words, obscenity, publication of state secrets, incitement to crime, defamation, subliminal communications dan commercial speech. Demikian pula halnya dengan konsep ‘abridgement’ dimana dalam perkembangannya “law” sebagai produk congress jelas tidak mengurangi kewenangan pemerintah untuk memberikan pembatasan dan kejelasan dalam ”regulation” demi untuk melindungi kepentingan publik itu sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lebih lanjut, pemikiran tentang access to the channels of communication juga mengakibatkan berkembangnya teori pembedaan atau pengkategorisasian ruang public (public forum) dan ruang private (private forum). Walhasil, para juris telah mengembangkan kerangka berpikirnya untuk melakukan pendekatan prosedural (procedural approaches) dalam menentukan hal-hal apa saja yang dapat dilindungi berdasarkan amandemen pertama itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berdasarkan sejarah dan evolusi yang terjadi di AS tersebut, maka Indonesia sebagai negara yang lebih diwarnai oleh Eropa Kontinental ketimbang Anglosaxon/Common Law, menjadi tidak haram jika mencoba memformulasikan pembatasannya dalam produk legislatifnya (UU). Hal ini adalah karena di Indonesia, UU sebagai produk legislative itulah yang dapat memberikan pedoman awal bagi perkembangan sistem hukum kita. Jurisprudensi nyatanya masih belum berfungsi dengan baik di negara kita untuk memberikan benang merah keadilan dalam perkembangan sistem hukum nasional.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jadi, hakikinya adalah sama saja baik di AS maupun di Indonesia bahwa kebebasan itu memang tidak pernah absolute. Bahkan, secara hukum fisika saja telah dinyatakan bahwa terhadap suatu aksi tentunya akan terjadi friksi dan hasilnya mengakibatkan suatu reaksi. Meskipun di angkasa, ternyata suatu benda juga tidak pernah lepas dari gaya-gaya yang ada di semesta alam ini. Oleh karena itu, konsep kebebasan tanpa batas jelas akan sangat menyesatkan dan bertentangan dengan hukum alam dan juga pemikiran manusia yang sehat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Selain itu, sesuai dengan perkembangan wacana negara demokratis, banyak pihak juga akan merujuk kepada pemikiran yang menyatakan bahwa Pers adalah pilar keempat (fourth estate) dalam negara demokrasi. Namun, dalam praktek dan perkembangannya, publik Amerika juga melihat bahwa ini adalah jargon semata karena meskipun pers itu bebas dari kepentingan pemerintahnya ternyata ia tidak bebas dari kepentingan komersialnya dan bahkan para pemilik dan/atau penyelenggara media juga cenderung berselingkuh dengan para politikus dalam menyiarkan suatu informasi kepada publik. Walhasil, wacana tentang eksistensi kebebasan media terlanjur disodorkan kepada publik untuk dilegitimasi kehadirannya tidak lagi sebagai penyaji fakta melainkan juga sebagai pembentuk opini dan disahkan sebagai industri informasi dengan semangat komersialismenya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Idealnya, dalam suatu negara demokratis yang berdasarkan atas hukum, maka kepentingan hukum masyarakat untuk memperoleh informasi publik (right to know) adalah menjadi prioritas tertinggi. Hal ini menjadi dasar legitimasi bagi semua pihak ingin mencari dan menyampaikannya kepada publik, khususnya kalangan jurnalis yang begitu giat dan gagah berani berupaya mencari fakta/data, mengolahnya menjadi informasi dan/atau berita, dan kemudian disampaikannya kepada masyarakat. Lebih jauh lagi, bahkan hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang diamanatkan oleh hukum kepada mereka.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagai kompensasinya, dalam rangka memenuhi kepentingan hukum masyarakat tersebut maka diperlukan suatu perlindungan hukum bagi para pihak yang jelas-jelas beriktikad baik melaksanakan fungsi itu, khususnya bagi pihak yang secara professional mencarinya dan menyelenggarakan media komunikasinya kepada public. Namun pada sisi yang lain, publik juga perlu mendapatkan perlindungan dari kekotoran ataupun sisi negatif informasi yang disampaikannya. Oleh karena itu, diperlukanlah suatu ketentuan hukum dalam suatu produk legislatif (UU) sebagai kesepakatan public untuk melindungi semua pihak yang terkait dengan itu secara adil. Pada prinsipnya, tanpa terkecuali setiap orang yang bertindak mengungkapkan informasi untuk kepentingan publik tentunya jelas harus dilindungi oleh hukum, terlepas apakah ia jurnalis ataupun tidak. Dalam prakteknya, penerapan hukum itu harus digantungkan kepada Hakim sebagai pejabat penerap keadilan bagi masyarakat agar sesuai dengan lingkup kasus yang ada. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sesuai dengan sejarahnya, Pers yang lahir dari aktivitas jurnalistik kepentingan hukumnya adalah menginginkan kebebasan untuk memperoleh data dan mengolahnya menjadi suatu informasi serta berhak menyampaikannya kembali (freedom of speech) kepada publik sesuai pendapatnya. Pada satu sisi, sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual (Hak Cipta) telah melindungi keberadaan informasi itu sebagai suatu karya cipta yang harus dilindungi (protected works) demi kepentingan hak moral dan hak ekonomis individu si penciptanya dan melindungi kemerdekaan/kebebasan untuk berekspresi itu sendiri. Namun pada sisi lain, sesuai dengan perspektif hukum komunikasi, si intelektual tersebut seharusnya juga memperhatikan efek atau dampak komunikasi tersebut kepada publik. Oleh karena itu, suatu penyampai informasi selayaknya harus dapat dimintakan pertanggung jawabnya manakala efek komunikasi itu ternyata merugikan atau berpengaruh buruk kepada kepentingan hukum individual manusia (HAM) dan juga kepada norma dan ketertiban masyarakat (protected communication dan protected community). Jadi selain adanya apresiasi yang diberikan oleh hukum ia juga harus mampu mengemban tanggung jawab dari setiap apa yang telah ditimbulkannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Singkatnya, penyajian informasi kepada publik diharuskan seobyektif mungkin meskipun secara naturalianya ia tetap bersifat subyektif karena sebenarnya terlahir dari ekspresi ide dari seseorang. Perspektifnya terhadap sesuatu peristiwa tentu akan tetap melekat dalam penyajian informasi yang disampaikannya. Oleh karena itu, suatu berita tidak dapat dikatakan obyektif dari awalnya sehingga dengan sendirinya ia tidak bebas nilai atau tidak bebas dari kepentingan subyektif orang yang menuliskannya. Disinilah netralitas media menjadi sangat relevan untuk menjadi suatu persyaratan hukum (requirement of neutrality). Untuk itu diperlukan suatu standar obyektifitas untuk menentukan apakah ia layak dikatakan sebagai suatu karya jurnalistik. Perlindungan hukum yang diberikan kepada si pencari dan penyampai informasi hanyalah ditujukan bagi setiap pihak yang memang menghargai dan tunduk dengan etika jurnalistik, bukan kepada pihak-pihak yang ”sembarangan” dalam menguntai kata-kata.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam rangka memenuhi nilai-nilai obyektifitas itu, sebagai upaya preventif maka secara prosedural suatu informasi sebelum disampaikan kepada publik, selayaknya secara internal ia perlu diinteraksikan dengan pihak lain dan/atau paling tidak yang bersangkutan dapat menjelaskan dan menjamin bahwa informasi yang diberikannya adalah berdasarkan atas data atau fakta yang diperolehnya secara halal dan benar serta disajikannya secara fair. Disinilah suatu penyelenggara media harus dianggap ikut bertanggung jawab untuk menanggung akibat/dampak penyampaian suatu informasi kepada publik, karena atas kuasanya informasi itu dikomunikasikan kepada publik.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari pemaparan tersebut di atas, terlihat jelas perbedaan makna antara Pers dengan Media. Istilah media adalah keberadaan obyek atau alat untuk berkomunikasi yang harus bersifat netral, sementara Pers adalah kegiatan jurnalistik yang kaya akan perspektif-perspektif jurnalisme. Tentunya, yang akan membuat media itu menjadi tidak netral adalah orang yang menyelenggarakannya. Oleh karena itu, wajarlah jika seorang pakar komunikasi Prof Abdul Muis mengingatkan kita bahwa ada dua pendekatan hukum dalam konteks ini yaitu aspek Hukum Media dan aspek Hukum Komunikasi. Namun, menurut hemat saya akan lebih tepat jika kita melihatnya dalam satu kesatuan yakni Hukum Komunikasi. Keberadaan Media sepatutnya adalah bagian yang tidak dipisahkan dari proses komunikasi itu sendiri karena tidak mungkin terjadi suatu komunikasi antara si penyampai informasi (originator) dengan si penerima informasi (recipient) tanpa kehadiran suatu Media. Ringkasnya, kita harus memandang Media itu sendiri sebagai suatu sistem komunikasi yang terpadu dimana obyektifitasnya dan netralitasnya akan ditentukan kepada sejauh mana sistem penyelenggaraannya diselenggarakan dengan baik.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Melengkapi pandangan tersebut, walau bagaimanapun harus diletakkan pemahaman kepada publik bahwa suatu informasi yang merupakan obyek komunikasi tersebut jelas tidak akan lepas dari aliran pandangan si pembuatnya, sehingga pandangan suatu aliran tentunya akan terlihat jelas dari karakteristik informasi yang disajikannya tersebut. Jika si intelektual tersebut beraliran kapitalis maka tentunya ia tidak akan menulis tentang kebaikan aliran sosialis yang berlawanan dengannya, demikian juga sebaliknya. Demikian juga jika si intelektual tersebut ternyata non religius maka ia akan menuliskan bahwa ketentuan keagamaan adalah suatu kemunafikan dan demikian pula sebaliknya. Walhasil, jelas dirasakan adanya suatu perang informasi terhadap suatu kepentingan, dan demi obyektifitas maka semestinya masyarakat tidak boleh langsung percaya terhadap suatu informasi yang disampaikan oleh satu sumber saja, melainkan juga perlu melihatnya dari banyak sumber. Kebenaran akan dapat terlihat dari apa yang lahir ditengah-tengah pertentangan wacana itu sendiri. Akhirnya, yang menjadi permasalahan disini adalah konflik ideologi antara informasi yang disajikan dengan ideologis bangsanya. Tidak heran jika ada sebagian masyarakat yang ternyata malah menjadi bingung atau bahkan akan marah dengan keberadaan aliran-aliran media itu sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lebih lanjut, sesuai dengan perkembangannya maka terbangunlah suatu mekanisme hukum antara publik dengan medianya, dengan cara memberikan kewajiban kepada penyelenggara untuk melayani Hak jawab dan Hak Koreksi dari masyarakat. Namun, hal ini masih dirasakan seperti terlalu mensimplifikasi efek komunikasi yang ditimbulkan kepada kepentingan hukum lain. Sekiranya suatu berita yang menghancurkan nama baik seseorang (character assasination) ternyata berakibat serangan jantung sehingga meninggalnya seseorang, apakah masih relevan Hak Jawab dan Hak Koreksi sebagai upaya pemulihan haknya. Tambahan lagi, dalam kehidupan sehari-hari dapat dikatakan bahwa kata-kata bisa lebih tajam dari pedang, sehingga naturalianya efek dari kata-kata akan selalu berbekas dalam hati si penerimanya. Dimaafkan atau tidak itu kembali kepada hak si orang tersebut, yang jelas Hukum tidak dapat memaksakan seseorang harus menerima maaf dari orang lain. Seorang hakim juga sepatutnya juga tidak boleh membatasi hak orang lain untuk harus menjelmakan hak jawab dan hak koreksinya terlebih dahulu, karena hal ini berarti hakim telah berpihak hanya kepada kepentingan si penyelenggara media.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Selain itu, dalam hal penerimaan informasi, umumnya informasi pertama seringkali lebih berbekas ketimbang informasi yang berikutnya. Sehingga terlepas apakah ia langsung percaya atau tidak percaya, yang jelas secara informasi telah berdampak kepada sesorang ”the damage has been done”. Ada suatu ”ruang kerugian” disini yang tidak cukup terjawab hanya dengan hak jawab dan hak koreksi. Sepatutnya, semakin intelektual seseorang jelas akan semakin tinggi pula amanat yang harus diembannya untuk memperhitungkan segala sesuatu yang dapat terjadi dari karya intelektualnya tersebut. Oleh karena itu, pertanggung jawaban bagi seseorang ahli komunikasi masa yang berdasarkan keilmuannya sepatutnya tahu sejauhmana efek dari kata-katanya, jelas juga harus diimbangi dengan beban sanksi yang relatif lebih berat ketimbang orang awam. Jika hal ini tidak ada, maka jelaslah bahwa segelintir orang akan senang mempelintir kata-kata dan mungkin pula akan berakibat timbulnya mafia dalam media. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
C. Internet sebagai Media Komunikasi Baru </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, konvergensi TELEMATIKA (Telekomunikasi, Media dan Informatika) mau tidak mau telah mengabsorbsi keberadaan kata Media yang terwujud dalam penyelenggaraan sistem informasi global. Suatu jaringan sistem informasi dan komunikasi yang lahir akibat keterpaduan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi telah berfungsi sebagaimana sebagaimana layaknya suatu Media komunikasi masa. Hal mana sebelumnya kurang begitu disadari karena semula penerapan teknologi informasi adalah untuk kepentingan personal atau untuk kepentingan internal organisasinya saja. Demikian juga halnya dengan telekomunikasi yang memang semula digunakan hanya untuk kepentingan komunikasi antara para pihak, bukan untuk komunikasi masa. Akhirnya, sekarang kita ternyata tidak dapat mengatakan bahwa penyelenggaraan telekomunikasi akan terlepas dalam lingkup kajian hukum media modern dewasa ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan melihat kepada platform sistem informasi dan komunikasi elektronik global yang berbasiskan teknologi komputer (computer based information system), maka ada beberapa hal yang perlu dilihat sehubungan dengan komputer sebagai alat pengolah informasi dan alat untuk menyebarkan informasi tersebut. Sistem Komputer pada hakekatnya mempunyai fungsi-fungsi Input, Proses, Output, Strorage dan Communication. Ia juga paling tidak terdiri atas 5 komponen penting, yakni; hardware, software, procedure, brainware dan content dari informasi itu sendiri. Semua komponen itu harus berkerja dengan baik itu dan saling terintegrasi agar dapat melakukan fungsi-fungsi sebagaimana yang diharapkan. Data sebagai input untuk menghasilkan suatu informasi yang berdayaguna ditentukan oleh kehandalan brainware dalam menciptakan procedures yang selanjutnya akan dikonkritkan dengan kehadiran software yang sesuai agar hardware dapat bekerja untuk mengolah dan menampilkan informasi sebagaimana yang ditentukan atau diharapkan. </div>
<div style="text-align: justify;">
Selanjutnya agar ia dapat berkomunikasi dengan komputer yang lain, maka ia harus satu bahasa dimana pembangunan jaringan kerjanya adalah harus sesuai dengan protokol komunikasi yang dipakai oleh para pihak, seperti antara lain Electronic Data Interchange/EDI (proprietary system) dan Internet protocol (open system). Dan oleh karena sistem tersebut saling terintegrasi dan terhubung secara online, maka hubungan komunikasinya menjadi bersifat real-time kesemua anggota dan seakan hadir dimana-mana secara ”ubiquotus”.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sesuai dengan karakteristiknya yang elektronik itu, tampaknya keberadaan suatu sistem informasi sebagai Media berkomunikasi relatif akan lebih mudah diatur ketimbang Pers. Lihat saja pada kenyataan teknisnya bahwa semua anggota jaringannya sepakat untuk menggunakan protokol komunikasi TCP/IP. Semua komputer yang terhubung hanya bisa terhubung dengan aturan komunikasi yang sama dalam lapisan 4 layers. Sebagai suatu sistem informasi jelas ia telah ditetapkan sebagai suatu Media yang netral, sehingga ia dapat ditulisi apa saja oleh pihak pihak yang berkenan untuk itu. Ia dapat ditentukan akan hidup ataukah akan mati tergantung kepada arus listriknya. Keberadaan akses informasinya pun dapat dibatasi atau restriktif berdasarkan otorisasi yang diberikannya dalam network tersebut. Dalam konteks ini, sepanjang memang ada ”political will” untuk itu sepatutnya penyelenggara media akan menjadi relatif lebih mudah untuk diatur.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ada satu hal yang sangat menarik untuk dilihat dari keberadaan suatu sistem informasi elektronik sebagai suatu Media yakni keberadaan informasi sebagai keluarannya adalah ditentukan kepada sejauhmana sistem security-nya dikembangkan baik secara tehnik, manajemen maupun hukum. Keterpercayaan terhadap isi akan sangat ditentukan oleh sejauhmana kehandalan dan validitas pemrosesannya yang tercermin dalam keberadaan setiap procedures dan juga softwarenya, serta kejelasan subyek hukum yang bertanggung jawab atasnya. Setelah dapat diyakini bahwa sistem informasi itu layak dipercaya, barulah kita dapat menyatakan bahwa jika memang sistem telah berjalan sebagaimana mestinya maka selayaknya informasinya menjadi layak untuk dipercaya. Dengan sendirinya, jika data yang dimasukkan adalah salah, maka hasil keluarannya juga akan menjadi salah ”Garbage In Garbage Out,” bukan sistemnya lagi yang dipersalahkan (malfunction) melainkan ”human error” manusianya yang mengerjakan sistem itu. Implikasi hukumnya adalah, sepanjang sistem telah dibangun dan diselenggarakan dengan baik (best practices), maka pihak si pengembang dan si penyelenggara berhak mendapatkan perlindungan hukum berupa pembatasan dalam pertanggung jawabannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Patut juga dicermati bahwa persyaratan security tersebut adalah berbanding lurus dengan nilai kekuatan pembuktian secara hukum, bahkan dapat dikatakan bahwa ”no security, no deals”. Hal ini harus menjadi perhatian utama para pihak, karena teoritisnya Internet memang tidak didesain sebagai infrastruktur informasi publik yang secured. Justru kepentingan negara industri itu sendiri lah yang ingin menawarkan dan menumbuhkan jasa security-nya, baik dalam hal penjualan perangkat keras maupun software untuk berjalannya computer security maupun communication security itu sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Beranalogi dengan hal tersebut, maka jika kita ingin mengatakan Pers adalah suatu Media harus ada suatu standar kelayakan bagi si penyelenggara jasa yang mengkelola Media itu. Ia baru layak dikatakan sebagai suatu Media jika ia telah memenuhi standar tertentu dalam penyelenggaraannya agar lebih jernih dalam merefleksikan kepentingan masyarakat bukan kepentingan si penyelenggaranya. Ia juga dapat membatasi tanggung jawabnya terhadap akibat substansi informasi yang disampaikannya sepanjang ia telah berupaya sebaik mungkin (best practices). Bahkan sekiranya ia telah mengemukakan standar prosedur pengoperasiannya bahwa ia tidak melakukan sensor apapun, tanggung jawab sepenuhnya justru akan kembali kepada si penulis. Dan pihak yang merasa berkeberatan dapat langsung seketika itu juga memasukkan koreksi dan hak jawabnya pada tempat yang sama dengan informasi itu. Disini, para pembaca akan langsung dapat mencerna bahwa informasi itu tengah dipersengketakan validitasnya. Dalam konteks ini, tidak sedetikpun ia akan dirugikan, kecuali atas kelambanannya sendiri dalam merespon suatu informasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sehubungan dengan itu pula, ada juga satu pelajaran hukum yang selayaknya dapat kita ambil dari kasus Napster di Amerika. Meskipun keberadaan situs tersebut sebenarnya hanya sebagai suatu media komunikasi bagi para anggotanya (peer to peer communication) untuk saling bertukar koleksi lagu-lagu yang diperolehnya, namun sekiranya ia bertentangan dengan sistem hukum yang ada khususnya Hak Cipta maka keberadaannya dapat dihentikan (shut-down). Kesalahannya adalah memfasilitasi tukar menukar lagu dimana ia mempunyai model bisnis didalamnya, padahal tanpa harus ia fasilitasi masing-masing orang dapat berkomunikasi secara langsung. Hal ini berakibat bahwa model bisnis napster menjadi sebagaimana layaknya tukang tadah di pasar-pasar gelap. Demi hukum, pengadilan terpaksa harus menghentikannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jika memang Amerika adalah menjadi tolok ukur dalam penegakan freedom of speech di dunia, saya melihat bahwa demi ”kepentingan hukum”, harus tetap ada satu kemungkinan bahwa suatu Media dapat dimungkinkan untuk dihentikan atau ditutup oleh putusan pengadilan jika si penyelenggara media membuat keberadaan Medianya menjadi bertentangan dengan hukum yang ada. Dalam negara demokratis, ini tidaklah salah, karena supremasi hukum adalah hal yang tertinggi, bukan kepentingan bisnis media itu, dan juga bukan didasarkan atas diskresi lembaga eksekutif (pemerintah).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Demi menjaga kepentingan semua pihak maka harus dipahami bahwa sepatutnya asas strict liability juga melekat terhadap informasi itu dan juga pihak manajemen dari organisasi yang melakukan sistem penyelenggaraan Media tersebut. Sepertinya bukan lah suatu hal yang berlebihan sekiranya azas “good governance” juga perlu diterapkan dalam penyelenggaraan Media, paling tidak si penyelenggara harus mengeluarkan “best effort” nya untuk menjaga obyektifitas dan netralitas tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Oleh karena itu, jika Pers ingin dikatakan berfungsi sebagai media, saya pikir tentunya ia harus berfungsi sebagaimana layaknya sistem informasi elektronik yang didasarkan atas trustworthy suatu proses. Jika memang sistem penyelenggaraan media nya yang sudah tidak mau taat hukum, maka hasil output informasinya tentunya juga akan berhadapan dengan hukum.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ringkasnya sesuai dengan paradigma sistem informasi, maka paling tidak Pers akan terdiri dari komponen (i) content informasi, (ii) Wartawan dan (iii) prosedur-prosedur dalam Organisasi dan Manajemen Penyelenggara Media itu sendiri. Dalam hal ini, paling tidak dapat dilihat adanya tiga lingkup standar agar membuat sistem pers menjadi sehat, yakni (i) standarisasi brainware/wartawan, (ii) standarisasi karya jurnalistik atau pemberitaan, dan (iii) standarisasi penyelenggaraan media itu sendiri. Boleh jadi sebagai lingkup yang paling luas, standarisasi penyelenggaraan media itu sendiri akan mencakup kedua lingkup sebelumnya karena ia akan menentukan standar minimum wartawan yang akan digunakannya dan bagaimana sistem operasi dan prosedur yang dianutnya dalam mengemukakan suatu pemberitaan kepada publik. Semakin tinggi standar yang dianutnya maka semakin tinggi pula validitas pemberitaannya dan relatif semakin aman pula ia dalam melakukan pertanggung jawaban hukumnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
D. Krisis Media Akibat Perilaku Bermasalah dan Kepentingan Bisnis Media </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ditinjau lebih luas lagi sesuai dengan perspektif ilmu perundang-undangan, mungkin penyebab kenapa kondisi Pers sekarang ini seperti ini adalah juga didasari sejauhmana keefektifan aturan main yang ditetapkan dalam UU Pers. Jika memang mekanismenya adalah sebebas-bebasnya maka insan pers jadi bertindak sebebasnya. Dan sedikit janggal rasanya bahwa pemerintah dinihilkan sama sekali dalam proses penerapannya sementara lembaga pelaksananya Dewan Pers juga tidak mempunyai kekuatan yang dapat memaksa pihak pers untuk bertindak sebagaimana mestinya. Ia hanya merupakan wadah untuk penetapan Kode Etik, alternatif penyelesaian sengketa, serta pengkajian hukum dan kebijakan saja. Sementara pada sisi yang lain, peranan masyarakat juga belum dapat dikatakan cerdas menyikapi segala sesuatu dan mampu berpartisipasi aktif sebagaimana yang diharapkan. Tambahan lagi setiap orang tentunya akan berpikir ulang untuk berhadapan dengan media. Walhasil, akhirnya dijumpai terjadinya premanisme dalam pers, terkadang pers menjadi obyek premanisme namun sering juga ia menjadi subyeknya. Contohnya adalah penyajian informasi entertainment, dimana pers terkesan memaksa untuk memperoleh informasi yang berkenaan dengan privasi seseorang. Pers memang telah begitu galak, bahkan berani masuk ke wilayah-wilayah yang sebenarnya sudah menyentuh batasan harkat dan privacy seseorang. Menghambat jalan seseorang untuk berjalan kemobilnya sendiri demi mendapatkan suatu pemberitaan sudah menjadi pandangan kita sehari-hari yang kita lihat dalam peliputan pemberitaan di TV.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagaimana layaknya para wakil rakyat dalam fungsi legislative, para insan pers juga sangat meyakini dirinya adalah bertindak atas aspiratif rakyat. Namun ada sedikit perbedaan, dimana para wakil rakyat harus berinventasi untuk meraih simpati dan suara rakyat dalam proses pemilihan umum sehingga dapat dikatakan legitimate menyampaikan suara rakyat. Sementara kalangan pers dengan inisiatif sendiri dan dengan dibawah naungan UU Pers dilegitimasikan sebagai aspiratif rakyat tanpa harus ada kejelasan standarisasi profesi kewartawanan yang ketat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jika kita membaca informasi yang disampaikan dalam beberapa surat khabar harian yang ternyata berbahasa terlalu berani dalam mengekspose sex dan kekerasan, dan juga berani memberikan tempat untuk iklan yang bernada-nada serupa, mungkin masyarakat juga akan menjadi semakin kebingungan apakah memang hal ini sebenarnya informasi yang dibutuhkannya ataukah memang hal tersebut yang sebenarnya aspiratif rakyat. Sex dan kekerasan memang merupakan fakta hidup, dan juga merupakan informasi yang menarik untuk dibaca, tapi apakah ini aspiratif rakyat atau memang sengaja dicekoki kepada rakyat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam prakteknya sekarang ini, ada pers yang telah secara elegan menyajikan informasi dan ada juga pers yang justru membuat galau dan resah hati masyarakat. Bagaimana tidak, karena sepertinya memang tidak ada satu tindakan apapun yang dapat dikenakan kepada sebagian insan pers tersebut. Siapa yang dapat menyadarkan kalangan pers untuk secara jernih memandang apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan ini. Apakah memang ”kemerdekaan pers” diartikan sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa batasan normatif. Bahkan akibat pendapat yang mengatakan bahwa semestinya UU Pers adalah lex specialis dengan berbagai macam alasan, KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi. Sementara, dalam UU Pers ketentuan pidana dirasakan tidak begitu berimbang. Barang siapa yang menghalangi pers harus dipidana penjara dan denda, sementara pers hanya dipidana denda saja. Lantas bagaimana halnya dengan insan pers yang ternyata mengganggu hak orang lain, apakah memang sudah ada dalam UU Pers ataukah memang hal seperti itu sepatutnya tidak masuk dalam lingkup UU Pers. Jadi, apakah UU Pers telah cukup mengatur semua tindak pidana yang mungkin terkait dengan Pers.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Selain itu, dalam hubungan kerja antara Wartawan sebagai profesi, apakah ia telah cukup dilindungi karena kenyataannya ia adalah buruh dari suatu perusahaan pers, dimana status kewartawanannya sangat tergantung oleh perusahaan itu. Apakah ada sanksi bagi perusahaan pers yang tidak memberikan bagian sahamnya kepada karyawan dan apakah wartawan telah mendapatkan bagian yang layak terhadap keuntungan perusahaan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Seiring dengan era reformasi untuk mengarah kepada perbaikan di segala bidang, kalangan pers telah memperoleh kelonggaran yang dicita-citakannya untuk memperoleh informasi namun ternyata bukan kemerdekaannya dalam arti yang hakiki. Dulu Pers begitu dikekang oleh pemerintah dan sekarang begitu merdekanya tanpa ada kebutuhan untuk mendapatkan pembinaan atau pengawasan dari pemerintah lagi. Semua seakan sepakat bahwa pengawasan pers adalah langsung dari rakyat, sementara masyrakatnya saja tidak semuanya dapat bernasib baik mengenyam pendidikan sehingga belum dapat secara kritis mengkontrol pers. Apalagi dalam kenyataan hidup ini, tak ada orang yang hidup tanpa salah dan dosa, sementara pers jelas dapat mengkemukakan semua salah dan dosa seseorang sesuai agenda dan kepentingannya. Sehingga akankah ada anggota masyarakat biasa yang akan berani berhadapan dengan pers? Semua tentunya akan berpikir dua kali.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Walhasil sepertinya kita memang harus duduk kembali untuk membicarakan hal ini, apakah UU Pers memang sudah efektif menyelesaikan perilaku bermasalah. Dulu pemerintah yang membuat masalah, sekarang justru Pers sendiri yang sekarang menjadi sumber dari perilaku bermasalah terhadap kemerdekaan pers itu sendiri. Sudah layakkah pers dikatakan sebagai media jika ia tidak menjelmakan upaya terbaiknya untuk bersifat netral dan obyektif.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari berbagai pemaparan di atas, paling tidak kita dapat melihat adanya krisis dalam dunia media yang mungkin akan mencakup seluruh komponennya, antara lain;</div>
<div style="text-align: justify;">
o Krisis perilaku insan media dalam mencari berita, membuat sumber ataupun obyek informasi menjadi tidak berharkat atau terganggu privasinya;</div>
<div style="text-align: justify;">
o Krisis substansi media, mengungkapkan informasi tanpa etika dan standar jurnalistik;</div>
<div style="text-align: justify;">
o Krisis komitmen untuk menjalankan seluruh fungsi media yang diamanatkan oleh UU;</div>
<div style="text-align: justify;">
o Krisis komitmen untuk cita-cita reformasi, khususnya untuk ikut memajukan pendidikan, karena tidak ada jamina bahwa semua media telah menjalankan fungsi pendidikannya dengan baik;</div>
<div style="text-align: justify;">
o Krisis standar penyelenggaraan manajemen suatu Media;</div>
<div style="text-align: justify;">
o Krisis masyarakatnya yang terkesan kurang begitu kritis dan agresif dalam menyikapi suatu pemberitaan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dipandang dari sisi bisnis, karena informasi adalah suatu komoditi yang merupakan kebutuhan hidup masyarakat informasi, maka bisnis untuk menjadi penyedia informasi adalah peluang bisnis yang cukup menggiurkan. Hal ini tentunya menjadi suatu ancaman tersendiri bagi pengharagaan akan nilai-nilai “kemerdekaan pers” terutama nilai-nilai netralitas dan obyektifitas itu sendiri. Sejauhmana kepentingan pemodal tidak akan mengendalikan kepentingan media itu sendiri. Padahal sudah pasti bahwa si Pengurus adalah bertugas untuk menjaga kepentingan si pemodal yang ingin memperoleh keuntungan dari bisnis itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Adalah suatu hal yang sangat lumrah dalam hukum investasi, bahwa konsekwensi dari adanya suatu investasi adalah adanya kendali dalam perusahaan itu. Dari sisi pemodal tentunya akan menjadi sangat begitu indah jika informasi yang disampaikan adalah sesuai dengan kepentingannya dan dapat menaikkan tiras atau oplahnya di masyarakat dan memberikan tempat yang cukup ditakuti oleh penyelenggara negara. Dari sisi si pemilik media mungkin jelas ia merasa berhak untuk bisa menampilkan dirinya dalam satu halaman penuh dari sekian banyak halaman yang dikelolanya, tapi demi obyektifitas dan netralitas media, apakah hal itu dapat dikatakan etis ataukah tidak? Karena walau bagaimanapun, si penyelenggara media sepatutnya memperlihat upaya yang semaksimal mungkin untuk tidak memperlihatkan kepentingannya pribadi dalam media yang dikelolanya itu. Dan jika kita berbicara tentang etis, apakah pelanggaran terhadap hal itu ada sanksinya dari kalangan masyarakatnya. Demikian pula jika ada hukumnya apakah ada sanksi hukumnya? Jika ternyata tidak, saya pikir ini merupakan indikasi ketidak netralan itu, dan berarti Pers tidak layak untuk disebut Media.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
E. Penutup </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sesuai dengan kepentingan publik dalam Negara Demokrasi, maka dalam lingkup media komunikasi paling tidak terlihat beberapa kepentingan hukum yang dapat diidentifikasi antara lain sebagai berikut;</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Intelektual</div>
<div style="text-align: justify;">
(Jurnalis professional) Penyelenggara Media</div>
<div style="text-align: justify;">
(Investor/</div>
<div style="text-align: justify;">
Pengusaha) Masyarakat</div>
<div style="text-align: justify;">
(kolektif) Individual (anggota masyarakat) Penyelenggara Negara</div>
<div style="text-align: justify;">
• Karya intelektual</div>
<div style="text-align: justify;">
• Obyektifitas Karya jurnalistik</div>
<div style="text-align: justify;">
• Kemerdekaan Berekspresi</div>
<div style="text-align: justify;">
• Obyektifitas dan Netralitas</div>
<div style="text-align: justify;">
• Tanggung jawab penyelenggaraan Media yang baik (good information governance)</div>
<div style="text-align: justify;">
• Tidak menjadi suatu alat yang bertentangan dengan hukum dan perasaan keadilan serta norma masyarakat</div>
<div style="text-align: justify;">
• Mencari profit untuk usaha • Hak mengetahui masyarakat atas sistem penyelenggaraan negara yang baik</div>
<div style="text-align: justify;">
• Hak masyarakat atas ketertiban umum dan perasaan aman</div>
<div style="text-align: justify;">
• Hak masyarakat atas peradaban yang sesuai etika dan dinamika kebudayaan</div>
<div style="text-align: justify;">
• Hak atas kebebasan berinformasi dan berkomunikasi</div>
<div style="text-align: justify;">
• Hak atas privasi</div>
<div style="text-align: justify;">
• Hak untuk tidak menjadi obyek penelitian dan pemberitaan • Kegiatan yang baik dan bertanggung jawab untuk memberikan kontrol ataupun feedback kepada pemerintah</div>
<div style="text-align: justify;">
• Kewajiban memberikan informasi publik dan kerahasiaan informasi untuk kepentingan publik.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah mencermati, apakah itu Media, apakah itu Pers dan bagaimana kelayakannya. Jika memang Pers memang tidak mempunyai suatu prosedur untuk memperlihatkan kelayakannya, rasanya sulit mengatakan bahwa Pers adalah suatu media. Patut diacungkan jempol bagi insan Pers yang sadar akan apa konsekwensi dari penggunaan kata Media itu, dimana sebagai penyelenggara Media mereka berupaya untuk mengembangkan sistem operasi dan prosedur didalam manajemen penyelenggaraannya agar informasi yang disampaikannya terjamin obyetifitasnya dan validitasnya. Tetapi sangat disayangkan akibat ada sebagian Pers yang berperilaku buruk dan tak ada mekanisme yang dapat menghentikannya secara self-regulation-regime atau komunitas pers sekan lepas tanggung jawab dan tidak dapat memberhentikannya lewat mekanisme komunalnya, maka Pers sepertinya kurang mendapat simpati rakyat. Akibatnya seorang idealis pers boleh jadi malah terjerat hukum sementara seorang komersialis pers malah terlindungi dengan baik. Cukup ironis sekali.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berkenaan dengan UU Pers yang menjelaskan ada fungsi-fungsi dalam media, sepatutnya ada mekanisme kontrol yang harus memaksakan perusahaan pers untuk menjalankan ke semua fungsi media itu. Selain itu, perlu juga dipikirkan apakah suatu media yang orang-orangnya tidak perduli dengan hukum dan tidak mau terikat kepada suatu etika jurnalistik akan dibiarkan terus sehingga membuat kebingungan bagi masyarakat tentang etika pers dan medianya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Semua orang tentunya akan sepakat bahwa media masa adalah backbone dari penyelenggaraan negara yang baik. Sesuai dengan perpesktif fourth estate yang meletakkan Media setara dengan Pemerintah, maka logikanya jika memang ada hukum untuk menyelenggarakan sistem pemerintahan yang baik, sepatutnya juga ada standar dalam menyelenggarakan sistem media yang baik. Sehingga akan sangat adil bagi semua pihak, dan refleksi yang dihasilkan oleh pers untuk demokrasi tentunya juga akan menjadi semakin jernih dan netral untuk kepentingan kita semua, serta Pers dapat lebih mencitrakan diri dalam harkat dan martabatnya sebagai honorable profession ditengah masyarakat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jika kita semua memang ingin ada ”trust” oleh masyarakat kepada pelaku media, jangan biarkan mekanisme itu terjadi tanpa prosedur yang kuat. Security untuk mendapatkan trust memang harus dibangun dengan cara best effort, dengan kata lain harus ada standar untuk good information governance dalam media, hal itulah yang akan dapat membatasi tanggung jawab bagi segenap insan media. Semuanya ini dikembalikan kepada kesadaran dan semangat kita semua untuk menyelamatkan karakteristik bangsa ini di masa depan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Akhirnya, diharapkan bahwa UU sebagai pedoman sikap tindak Pers dan Masyarakatnya dapat melindungi kepentingan pada idealis media masa yang berupaya sekuat mungkin untuk menyajikan informasi yang baik kepada masyarakat dan juga bisa menghentikan orang-orang dan media yang tidak bertanggung jawab kepada masyarakat. Mudah-mudahan harkat dan martabat serta budaya masyarakat tidak terpuruk hanya karena kepentingan segelintir kapitalis media. Jika memang benar-benar kita ingin menyelamatkan para idealis media, maka tidak ada kata lain kita harus mau membuka diri bahwa demi kepentingan hukum harus diperkenankan bahwa suatu media yang bertentangan dengan hukum harus dapat dihentikan ataupun ditutup agar tidak mengkontaminasi publik.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Oleh: Edmon Makarim</div>
<div style="text-align: justify;">
Sumber: Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi - FHUI</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09595985323235074450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-89028163359370109382012-05-31T09:51:00.000-07:002012-05-31T09:51:00.757-07:00"Without Media There Can Be No Terrorism!"<br />
<div style="text-align: justify;">
HANYA beberapa jam usai tragedi bom di Hotel JW Marriott, Ramadhan Pohan, seorang wartawan Indonesia yang masih menempati posnya di Washington DC, Amerika Serikat, menulis e-mail: "…Saya mengutuk keras para teroris yang-entah atas nama apa pun-keji membunuh korban-korban sipil yang tak punya urusan apa-apa dengan perjuangan dan ideologi mereka. Saya yakin, mereka tidak bertuhan dan amat tak berperikemanusiaan. Sebagai orang Indonesia di negeri asing, saya tak putus meratapi nasib Indonesia kini! Di tengah perekonomian yang masih lusuh, pemberontakan, dan setumpuk masalah lain, bom berkali- kali terjadi! Kita tak kapok, dan terlalu ramah menindak teroris. Media massa Indonesia juga terlalu lembek dalam menghujat dan menohok terorisme!"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Selain pilihan kata-katanya yang lugas, yang paling penting di sini adalah fakta bahwa penulisnya seorang wartawan, bagian dari industri media; dan kebetulan cukup berpengalaman menyaksikan bagaimana media berinteraksi dengan terorisme di berbagai negara lain! Tersentak oleh e-mail itu, saya segera membaca kembali Schmid & Graaf (Violence as Communication: Insurgent Terrorism and the Western News Media; 1982), yang melakukan studi paling komprehensif pertama terhadap hubungan antara kedua elemen itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Schmid & Graaf membuka bukunya dengan asumsi, terorisme dan komunikasi massa berkait satu sama lain, lalu mereka membuat pernyataan yang saya pakai sebagai judul artikel ini! Bahkan, dalam deskripsi Johnpoll (1977), kedua unsur itu ditautkan dengan dinamit yang ditemukan tahun 1866 dan mesin cetak yang diperkenalkan tahun 1848 disempurnakan 1881. Sebuah koran bernama Truth pernah secara anarkis mengklaim: "Truth seharga dua sen satu eksemplar, dinamit berharga 40 sen satu pon. Beli keduanya, baca yang satu, gunakan yang lain!"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Teroris memanfaatkan media</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Fakta bahwa teroris memanfaatkan media mungkin dapat ditarik jauh ke belakang, antara lain ke kasus pembunuhan Empress Elizabeth (Tuchman, 1972). Pelakunya, Luchini, seorang yang gemar melakukan kliping berita, menyatakan: "Saya telah lama ingin membunuh orang penting agar bisa masuk koran!" Pada tataran teoretis, hal ini dinamakan a violent communication strategy. Sebagai sender adalah si teroris, para korban menjadi message generator, dan receiver adalah kelompok yang dianggap musuh atau publik secara luas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karena ruang pada artikel ini terbatas, saya langsung menyampaikan beberapa kemungkinan pemanfaatan media oleh teroris menurut studi Schmid & Graaf, disadari atau tidak oleh pemilik dan praktisi media. Ada 22 penggunaan secara aktif (active uses), antara lain: mengomunikasikan pesan-pesan ketakutan kepada khalayak luas; mempolarisasi pendapat umum; mencoba menarik anggota baru pada gerakan teroris; mengecoh musuhnya dengan menyebar informasi palsu; mengiklankan diri dan menyebabkan mereka merasa terwakili; membangkitkan keprihatinan publik terhadap korban untuk menekan agar pemerintah melakukan kompromi atau konsesi; mengalihkan perhatian publik dari isu-isu yang tidak dikehendaki dengan harapan berita teror mereka mengisi halaman depan media; membangkitkan kekecewaan publik terhadap pemerintah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ada delapan penggunaan media secara pasif oleh teroris, sebagian di antaranya: sebagai jaringan komunikasi eksternal di antara teroris; mempelajari teknik-teknik penanganan terbaru terhadap terorisme dari laporan media; mendapat informasi tentang kegiatan terkini pasukan keamanan menghadapi teror yang sedang mereka lakukan; menikmati laporan media yang berlebihan tentang kekuatan teroris hingga menciptakan ketakutan pihak musuh dan mencegah keberanian polisi secara individual; mengidentifikasi target-target selanjutnya; mencari tahu reaksi publik terhadap tindakan mereka.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Media memanfaatkan terorisme\</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di sisi lain, setidaknya ada empat alasan mengapa media "ikut memanfaatkan" peristiwa terorisme. Satu, kejahatan selalu merupakan good news bila perhatian utama hanya menjual koran atau program televisi. Kita bisa balik sampai tahun 1965, ketika kasus pembunuhan disertai perkosaan terhadap dua kakak-beradik di Chicago, menaikkan oplah surat kabar sampai 50.000 eksemplar, jumlah yang amat signifikan kala itu (Sandman dan kawan-kawan, 1976). Ketika Aldo Moro diculik di Italia, sirkulasi koran terbesar Il Corriere naik 35 persen. Saat terbunuh, oplahnya jadi 56,5 persen (Amidei, 1978). Schmid dan Graaf juga memberi perhatian serius pada pengaruh penerimaan iklan yang mendasarkan diri atas mekanisme rating untuk media elektronik.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dua, media membawa banyak berita dengan kandungan kekerasan karena merasa publik memintanya agar menjadi tahu persis tentang aspek-aspek kehidupan yang mengancam mereka. Namun amat perlu dicatat, kian banyak orang tahu, mereka bisa makin takut ke jalan, akibatnya kontrol masyarakat menjadi berkurang, dan kejahatan dapat bertambah tinggi, lalu media makin sibuk dengan berita kriminal (tentunya dibutuhkan riset ilmiah pada waktu tertentu untuk kasualitas semacam ini).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tiga, kehidupan khalayak yang "membosankan" karena disiksa rutinitas tidur, berangkat, dan bekerja, membutuhkan berita-berita kekerasan dan seks sebagai thrill (gairah, getaran)! Jadi bisa dimaklumi mengapa kedua jenis berita ini bertaburan setiap hari di televisi! Empat, kadangkala ada sekelompok orang yang menyatakan simpati pada tujuan (baca: misi) para teroris, dan media mengeksposnya karena menganggapnya unik atau demi covering both sides.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bagaimana sebaiknya</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Meski karya Schmid dan Graaf merupakan studi kasus pertama yang komprehensif atas hubungan media dan terorisme, namun mereka tetap tidak bisa tegas memberi jawaban tentang bagaimana peran media sebaiknya. Alali dan Eke (Media Coverage of Terrorism: Methods of Diffusion; 1991) mungkin selangkah lebih maju dalam mencoba menawarkan jawaban! Mereka memakai istilah counterterrorist strategy dan hal itu sungguh tergantung situasi khas di tempat tertentu; dimulai dari strategi media mengurangi ekspos tentang terorisme, tidak terlibat melakukan interpretasi apa pun, sampai menghentikan ekspos tersebut (misal untuk sementara waktu).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam konteks keraguan semacam inilah, usulan seorang wartawan seperti Ramadhan Pohan itu menjadi terdengar "lain". Paling tidak, untuk konteks Indonesia terkini, pernahkah pemilik dan praktisi media kita menghitung, misal dengan content analysis sederhana, berapa bagian media yang digunakan untuk mengekspos terorisme dengan berbagai gaya dan angle (yang juga membuka kemungkinan pemanfaatan para teroris) itu, dan berapa bagian yang sudah kita ciptakan untuk mengutuk tindakan itu secara konsisten; pada headline yang sama-sama eye-catching, dengan bahasa yang lugas!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bahkan, saat para teroris itu dibawa ke persidangan, mengapa kita terkesan mengambil jeda dalam memperlihatkan "kemarahan" publik? Berapa banyak media kita yang tekun menyampaikan iklan layanan masyarakat antiterorisme (saya baru mencatat satu, di TV 7)?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Akhirnya, satu contoh yang sederhana, begitu sulitkah kita menghindari gambar polisi yang (kadang) tampak tersenyum menggandeng teroris keluar-masuk ruang atau mobil tahanan?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Effendi Gazali Staf Pengajar Program Pascasarjana Komunikasi UI</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sumber: Kompas Cyber Media</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09595985323235074450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-20618223388799524522012-05-31T09:48:00.001-07:002012-05-31T09:48:04.030-07:00Komunikasi intrapersonal<br />
<div style="text-align: justify;">
Komunikasi intrapribadi atau Komunikasi intrapersonal adalah penggunaan bahasa atau pikiran yang terjadi di dalam diri komunikator sendiri. Komunikasi intrapersonal merupakan keterlibatan internal secara aktif dari individu dalam pemrosesan simbolik dari pesan-pesan. Seorang individu menjadi pengirim sekaligus penerima pesan, memberikan umpan balik bagi dirinya sendiri dalam proses internal yang berkelanjutan. Komunikasi intrapersonal dapat menjadi pemicu bentuk komunikasi yang lainnya. Pengetahuan mengenai diri pribadi melalui proses-proses psikologis seperti persepsi dan kesadaran (awareness) terjadi saat berlangsungnya komunikasi intrapribadi oleh komunikator. Untuk memahami apa yang terjadi ketika orang saling berkomunikasi, maka seseorang perlu untuk mengenal diri mereka sendiri dan orang lain. Karena pemahaman ini diperoleh melalui proses persepsi. Maka pada dasarnya letak persepsi adalah pada orang yang mempersepsikan, bukan pada suatu ungkapan ataupun obyek.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aktifitas dari komunikasi intrapribadi yang kita lakukan sehari-hari dalam upaya memahami diri pribadi diantaranya adalah; berdo'a, bersyukur, instrospeksi diri dengan meninjau perbuatan kita dan reaksi hati nurani kita, mendayagunakan kehendak bebas, dan berimajinasi secara kreatif.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pemahaman diri pribadi ini berkembang sejalan dengan perubahan perubahan yang terjadi dalam hidup kita. Kita tidak terlahir dengan pemahaman akan siapa diri kita, tetapi prilaku kita selama ini memainkan peranan penting bagaimana kita membangun pemahaman diri pribadi ini</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kesadaran pribadi (self awareness) memiliki beberapa elemen yang mengacu pada identitas spesifik dari individu (Fisher 1987:134). Elemen dari kesadaran diri adalah konsep diri, proses menghargai diri sendiri (self esteem), dan identitas diri kita yang berbeda beda (multiple selves).</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09595985323235074450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-50761273093545922812012-05-31T09:47:00.002-07:002012-05-31T09:47:31.832-07:00Elemen-elemen Konsep Diri<br />
<div style="text-align: justify;">
Konsep diri</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Konsep diri adalah bagaimana kita memandang diri kita sendiri, biasanya hal ini kita lakukan dengan penggolongan karakteristik sifat pribadi, karakteristik sifat sosial, dan peran sosial.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karakteristik pribadi adalah sifat-sifat yang kita miliki, paling tidak dalam persepsi kita mengenai diri kita sendiri. Karakteristik ini dapat bersifat fisik (laki-laiki, perempuan, tinggi, rendah, cantik, tampan, gemuk, dsb) atau dapat juga mengacu pada kemampuan tertentu (pandai, pendiam, cakap, dungu, terpelajar, dsb.) konsep diri sangat erat kaitannya dengan pengetahuan. Apabila pengetahuan seseorang itu baik/tinggi maka, konsep diri seseorang itu baik pula. Sebaliknya apabila pengetahuan seseorang itu rendah maka, konsep diri seseorang itu tidak baik pula.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karakteristik sosial</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karakteristik sosial adalah sifat-sifat yang kita tamplikan dalam hubungan kita dengan orang lain (ramah atau ketus, ekstrovert atau introvert, banyak bicara atau pendiam, penuh perhatian atau tidak pedulian, dsb). Hal hal ini mempengaruhi peran sosial kita, yaitu segala sesuatu yang mencakup hubungan dengan orang lain dan dalam masyarakat tertentu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Peran sosial</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika peran sosial merupakan bagian dari konsep diri, maka kita mendefinisikan hubungan sosial kita dengan orang lain, seperti: ayah, istri, atau guru. Peran sosial ini juga dapat terkait dengan budaya, etnik, atau agama. Meskipun pembahasan kita mengenai 'diri' sejauh ini mengacu pada diri sebagai identitas tunggal, namun sebenarnya masing-masing dari kita memiliki berbagai identitas diri yang berbeda (mutiple selves).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Identitas diri yang berbeda</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Identitas berbeda atatu multiple selves adalah seseorang kala ia melakukan berbagai aktifitas, kepentingan, dan hubungan sosial. Ketika kita terlibat dalam komunikasi antar pribadi, kita memiliki dua diri dalam konsep diri kita.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
* Pertama persepsi mengenai diri kita, dan persepsi kita tentang persepsi orang lain terhadap kita (meta persepsi).</div>
<div style="text-align: justify;">
* Identitas berbeda juga bisa dilihat kala kita memandang 'diri ideal' kita, yaitu saat bagian kala konsep diri memperlihatkan siapa diri kita 'sebenarnya' dan bagian lain memperlihatkan kita ingin 'menjadi apa' (idealisasi diri)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Contohnya saat orang gemuk berusaha untuk menjadi langsing untuk mencapai gambaran tentang dirinya yang ia idealkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Proses pengembangan kesadaran diri</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Proses pengembangan kesadaran diri ini diperoleh melalui tiga cara, yaitu;</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
* Cermin diri (reflective self) terjadi saat kita menjadi subyek dan obyek diwaktu yang bersamaan, sebagai contoh orang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi biasanya lebih mandiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
* Pribadi sosial (social self) adalah saat kita menggunakan orang lain sebagai kriteria untuk menilai konsep diri kita, hal ini terjadi saat kita berinteraksi. Dalam interaksi, reakasi orang lain merupakan informasi mengenai diri kita, dan kemudian kita menggunakan informasi tersebut untuk menyimpulkan, mengartikan, dan mengevaluasi konsep diri kita. Menurut pakar psikologi Jane Piaglet, konstruksi pribadi sosial terjadi saat seseorang beraktifitas pada lingkungannya dan menyadari apa yang bisa dan apa yang tidak bisa ia lakukan</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Contoh: Seseorang yang optimis tidak melihat kekalahan sebagai salahnya, bila ia mengalami kekalahan, ia akan berpikir bahwa ia mengalami nasib sial saja saat itu, atau kekalahan itu adalah kesalahan orang lain. Sementara seseorang yang pesimis akan melihat sebuah kekalahan itu sebagai salahnya, menyalahkan diri sendiri dalam waktu yang lama dan akan mempengaruhi apapun yang mereka lakukan selanjutnya, karena itulah seseorang yang pesimis akan menyerah lebih mudah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
* Perwujudan diri (becoming self). Dalam perwujudan diri (becoming self) perubahan konsep diri tidak terjadi secara mendadak atau drastis, melainkan terjadi tahap demi tahap melalui aktifitas serhari hari kita. Walaupun hidup kita senantiasa mengalami perubahan, tetapi begitu konsep diri kita terbentuk, teori akan siapa kita akan menjadi lebih stabil dan sulit untuk dirubah secara drastis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Contoh, bila kita mencoba merubah pendapat orang tua kita dengan memberi tahu bahwa penilaian mereka itu harus dirubah - biasanya ini merupakan usaha yang sulit. Pendapat pribadi kita akan 'siapa saya' tumbuh menjadi lebih kuat dan lebih sulit untuk diubah sejalan dengan waktu dengan anggapan bertambahnya umur maka bertambah bijak pula kita.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Catatan kaki</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
1.^ (id) Hardjana, Agus M. Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Penerbit Kanisius</div>
<div style="text-align: justify;">
2.^ (id) S. Djuarsa Sendjaja, P.D dkk. Teori Komunikasi-ikom4230/3SKS/ Modul 1-9. Universtas Terbuka 1998.</div>
<div style="text-align: justify;">
3. ^ (en) Piglet, Jean. Konstruksi realitas melalui mata anak kecil. Penerbit: Free Press, New York.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Referensi</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
* (en) Communication Works. Seventh Edition, by Teri Kwak Gamble dan Michael Gamble.</div>
<div style="text-align: justify;">
* (id) Psikologi Sosial, Jilid 1. Edisi ke-10. Oleh Roberta A. Baron dan Donn Byrne. Penerbit Erlangga</div>
<div style="text-align: justify;">
* (id) Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. Oleh Drs. Jalaluddin rakhmat M.sc. Penerbit PT Remaja Rosdakarya - Bandung.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09595985323235074450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-41306261249969566982012-05-31T09:46:00.002-07:002012-05-31T09:46:28.797-07:00Defining love<br />
<div style="text-align: justify;">
Love is a feeling of sympathy that involves the emotional depth of the Erich Fromm, there are four requirements to achieve love, namely:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
1. Introduction </div>
<div style="text-align: justify;">
2. Responsibility </div>
<div style="text-align: justify;">
3. Care </div>
<div style="text-align: justify;">
4. Mutual respect </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Like many types of lovers, there are many kinds of love. Love is in the whole of all human culture. Because of differences in culture, the love of pendefinisian also difficult to set. See hypothetical Sapir-Whorf.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Expression of love may include the love for 'soul' or mind, love of law and organizations, love for the body, love nature, love food, love money, love learning, love of power, love keterkenalan, etc.. Berarah to love more abstract concept, it is easier experienced than explained.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Love that is always a need to be kept so that its natural beauty </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Love among the private </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Love refers to the inter-personal love between men. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Some of the elements that often exists in the inter-personal love: </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
* Afeksi: respect other people </div>
<div style="text-align: justify;">
* Association: satisfying basic emotional needs </div>
<div style="text-align: justify;">
* Altruisme: non-self-absorbed attention to other people </div>
<div style="text-align: justify;">
* Reciprocation: the love for each other </div>
<div style="text-align: justify;">
* Commitment: the desire to immortalize love </div>
<div style="text-align: justify;">
* Emotional intimacy: sharing emotions and feeling </div>
<div style="text-align: justify;">
* Kinship: family ties </div>
<div style="text-align: justify;">
* Passion: sexual appetite </div>
<div style="text-align: justify;">
* Physical Intimacy: the life of sharing in close to one another </div>
<div style="text-align: justify;">
* Self-interest: the love expect personal rewards </div>
<div style="text-align: justify;">
* Service: desire to help </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sexual energy can become the most important element in determining the form of a relationship. Sexual attraction, but often creates a new bond, sexual desire is considered good or not should not in some bond of love. In many religions and systems of ethics it is considered wrong if you have sexual desires to the immediate family, children, or outside of committed relationships. But a lot of ways to reveal a sense of affection without sex. Afeksi, emotional intimacy and hobby are the same in normal and are all brothers in humanity.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09595985323235074450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-16312729009162238392012-05-31T09:45:00.002-07:002012-05-31T09:45:37.065-07:00Komunikasi adalah pemasaran<br />
<div style="text-align: justify;">
Komunikasi adalah pemasaran dan sekrang pemasaran adalah komunikasi</div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut Don E.Schultz, Stanley Tannenbaum dan Robert Lauterborn dalam buku mereka Integrated Marketing Comunication(1994-46) memandang komunikasi pemasaran sebagai kontinum dari mulai tahap perancangan (design) produk, Distribusi, sampai ke kegiatan promosi (melalui iklan, pemasaran langsung dan special Eventge) dan tahap pembelian dan penggunaan di kalangan konsumen.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mereka menegaskan bahwa pada saat ini 1990-an pemasaran adalah komunikasi (baca marketing communication) dan komunikasi adalah pemasaran. Keduanya tidak dapat dipisahkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sedangan Promosi menurut shimp, Terrence adalah: Aspek pemasaran umum bahwa managemen promosi berhubungan dengan ekplisitas. Promosi meliputi praktek periklanan, penjualan perorangan, promosi penjualan, publisitas dan point of purchase communication (P-O-P). Point Of Purchase Communication adalah Komunikasi di tempat pembelian. Elemen promosi, termasuk displai, poster, tanda-tanda dan variasi bahan-bahan di toko lainnya, yang di desain untuk mempengaruhi pilihan pelanggan pada saat pembelian.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Perbedaan antara promosi dengan pemasaran</div>
<div style="text-align: justify;">
Promosi, merupakan salah satu kegiatan pemasaran, pada saat kita menyebarkan pesan (Mempromo). Sedangkan pemasaran lebih kepada 2 (dua) arah dimana proses apakah sesuai, perlu adanya feedback dari mendesain nama sampai kepada produk jadi. Selain itu dalam pemasaran juga perlu assessment (penilaian/taksiran)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Konsep dasar dari marketing communication adalalah:</div>
<div style="text-align: justify;">
1.Product (Produk)</div>
<div style="text-align: justify;">
2.Price (Harga)</div>
<div style="text-align: justify;">
3.Place (Tempat, Distribusi)</div>
<div style="text-align: justify;">
4.Promotion (Promosi)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Komunikasi pemasaran mengenai 4P ini kemudian dijabarkan lagi menjadi beberapa konsep, konsep dasar dari strategi promosi adalah:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Promotion Strategy (5)</div>
<div style="text-align: justify;">
1.Periklanan</div>
<div style="text-align: justify;">
Semua bentuk penyajian nonpersonal dan promosi ide, barang atau jasa yang dibayar oleh suatu sponsor tertentu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
2.Promosi Penjualan</div>
<div style="text-align: justify;">
Berbagai insentif jangka pendek untuk mendorong keinginan mencoba atau membeli suatu produk atau jasa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
3.Hubungan masyarakat dan Publisitas</div>
<div style="text-align: justify;">
Berbagai program untuk mempromosikan dan atau melindungi citra perusahaan atau produk individualnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
4.Penjualan secara pribadi</div>
<div style="text-align: justify;">
Interaksi langsung dengan satu calon pembeli atau lebih untuk melakukan presentasi, menjawab pertanyaan, dan menerima pesanan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
5.Pemasaran langsung</div>
<div style="text-align: justify;">
Penggunaan surat, telepon, faksimili, e-mail, dan alat penghubung nonpersonal lain untuk berkomunikasi secara langsung dengan atau mendapatkan tanggapan langsung dari pelanggan tertentu dan calon pelanggan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Akan tetapi dengan bertambahnya zaman, persaingan pasar makin ketat, berkembangannya berbagai jenis media baru dan semakin canggihnya konsumen maka Strategi Promosi di rumuskan menjadi:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
1.Advertising</div>
<div style="text-align: justify;">
2.Consumer sales promotion</div>
<div style="text-align: justify;">
3.Trade Promotion and Co-marketing</div>
<div style="text-align: justify;">
4.Packaging, Point-Of-Purchase</div>
<div style="text-align: justify;">
5.Personal Selling</div>
<div style="text-align: justify;">
6.Public Relations</div>
<div style="text-align: justify;">
7.Brand Publicity</div>
<div style="text-align: justify;">
8.Corporate Advertising</div>
<div style="text-align: justify;">
9.The internet</div>
<div style="text-align: justify;">
10.Direct marketing</div>
<div style="text-align: justify;">
11.Experiantial Contact: Events, Sponsorship</div>
<div style="text-align: justify;">
12.Customer Service</div>
<div style="text-align: justify;">
13.Word of Mouth</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
MENGEMBANGKAN KOMUNIKASI PEMASARAN YANG EFEKTIF</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
8 langkah dalam mengembangkan program komunikasi dan promosi total yang efektif. Komunikator pemasaran harus:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
1.Mengidentifikasi audiens yang dituju</div>
<div style="text-align: justify;">
2.Menentukan tujuan komunikasi tersebut</div>
<div style="text-align: justify;">
3.Merancang pesan</div>
<div style="text-align: justify;">
4.Memilih saluran komunikasi</div>
<div style="text-align: justify;">
5.Menentukan total anggaran promosi</div>
<div style="text-align: justify;">
6.Membuat keputusan atas bauran promosi (Marketing Mix)</div>
<div style="text-align: justify;">
7.Mengukur hasil promosi tersebut</div>
<div style="text-align: justify;">
8.Mengelola dan mengkoordinasikan proses komunikasi pemasaran terintegrasi</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Keterangan:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
1. Mengidentifikasi audiens yang dituju</div>
<div style="text-align: justify;">
Audiens dapat diartikan sebagai calon pembeli produk perusahaan, pemakai saat ini, penentu keputusan, atau pihak yang mempengaruhi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Audiens itu dapat terdiri dari individu, kelompok, masyarakat tertentu atau masyarakat umum.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
2. Menentukan tujuan komunikasi tersebut</div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah pasar sasaran dan karakteristiknya di identifikasi, komunikator pemasaran harus memutuskan tanggapan yang diharapkan dari audiens. Tanggapan terakhir yang diharapkan dari audiens adalah pembelian, kepuasan yang tinggi dan cerita dari mulut ke mulut yang baik.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
3. Merancang pesan</div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah menentukan tanggapan yang diinginkan dari audiens komunikator selanjutnya mengembangkan pesan yang efektif. Idealnya, pesan itu harus menarik perhatian (attention),mempertahankan ketertarikan (interest), membangkitkan keingininan (desire), dan menggerakkan tindakan (action).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Memformulasikan pesan memerlukan pemecahan atas 4 masalah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
- Isi pesan -> apa yang akan dikatakan</div>
<div style="text-align: justify;">
- Struktur pesan -> bagaimana mengatakannya secara logis.</div>
<div style="text-align: justify;">
- Format pesan -> Bagaimana mengatakannya secara simbolis.</div>
<div style="text-align: justify;">
- Sumber pesan -> Siapa seharusnya mengatakannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
4. Memilih saluran komunikasi</div>
<div style="text-align: justify;">
Saluran komunikasi terdiri dari 2 jenis yaitu:</div>
<div style="text-align: justify;">
- Saluran komunikasi personal.</div>
<div style="text-align: justify;">
Mencakup dua orang atau lebih yang berkomunikasi secara langsung satu sama lain</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
- Saluran komunikasi nonpersonal</div>
<div style="text-align: justify;">
Menyampaikan pesan tanpa melakukan kontak atau interaksi pribadi, tetapi dilakukan melalui media, atmosfer dan acara.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
5. Menentukan total anggaran promosi</div>
<div style="text-align: justify;">
Bagaimana perusahaan menentukan anggaran promosinya?</div>
<div style="text-align: justify;">
Ada 4 metode utama yang digunakan dalam menyusun anggaran promosi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
1.Metode sesuai kemampuan</div>
<div style="text-align: justify;">
2.Metode presentasi penjualan</div>
<div style="text-align: justify;">
3.Metode keseimbangan persaingan</div>
<div style="text-align: justify;">
4.Metode Tujuan dan tugas</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
6. Membuat keputusan atas bauran promosi (Marketing Mix)</div>
<div style="text-align: justify;">
Perusahaan harus mendistribusikan total anggaran promosi untuk lima alat promosi yaitu:</div>
<div style="text-align: justify;">
Iklan, merupakan model komunikasi yang dapat menjangkau public secara luas. Iklan dapat digunakan untuk membangun image jangka panjang dan juga mempercepat quick sales. Selain itu iklan juga bersifat baku dan dapat ditayangkan berulang-ulang serta dapat memperoleh efek dramatisasi dari iklan yang telah ditayangkan tersebut. Namun iklan hanya dapat membawa pesan secara monolog (komunikasi satu arah).</div>
<div style="text-align: justify;">
Promosi penjualan, alat promosi ini mempunyai 3 manfaat yaitu pertama, Komunikasi, dimana merupakan sarana untuk menarik perhatian dan memeberikan informasi yang akhirnya mengarahkan konsumen kepada produk. Hal tersebut memberikan kontribusi nilai tambah kepada konsumen dan juga dapat secara aktif mengajak konsumen membeli produk yang ditawarkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Public Relation dan publisitas, alat promosi ini dapat menarik perhatian khalayak ramai jika memiliki kredibilitas yang tinggi dan tidak memasukkan unsure penjualan, jadi hanya sebagai pemberi informasi. Public Relation dan publisitas juga dapat memperoleh efek dramatisasi seperti yang terjadi pada iklan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Personal Selling, merupakan alat promosi yang paling efektif pada siklus terakhir dari proses pembelian. Hal ini terjadi karena personal selling dapat membuat hubungan interaktif secara dekat sehingga dapat mengnenal konsumen secara lebih dalam dan lebih baik sehingga dapat memberikan respon yang tepat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Direct Marketing, alat promosi ini hanya dapat menjangkau konsumen yang spesifik. Namun pesan yang disampaikan melalui direct marketing dapat disesuaikan dengan karakter dan respon konsumen yang dituju serta dapat diperbaharui secara cepat pula.</div>
<div style="text-align: justify;">
Perusahaan selalu mencari cara untuk meperoleh efisiensi dengan mensubtitusi satu alat promosi dengan yang lainnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
7. Mengukur hasil promosi tersebut</div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah menerapkan rencana promosi, komunikator harus mengukur dampaknya pada audiens sasaran. Hal ini mencakup menanyakan audiens sasaran apakah mereka mengenali atau mengingat pesan yang telah disampaikan, beberapa kali mereka melihatnya, hal-hal apa saja yang mereka ingat, bagaimana perasaan mereka tentang pesan tersebut, dan sikap mereka sebelumnya dan sekarang tentang produk dan perusahaan itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
8. Mengelola dan mengkoordinasikan proses komunikasi pemasaran terintegrasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Banyak perusahaan masih sangat mengandalkan satu atau dua alat komunikasi untuk mencapai tujuan komunikasinya. Praktik ini terus berlangsung, meski sekarang ini terjadi disintegrasi dari pasar massal ke banayak pasar kecil, masing-masing memerlukan pendekatan komunikasi tersendiri; berkembangannya berbagai jenis media baru dan semakin canggihnya konsumen. Alat komunikasi, pesan, dan audiens yang sangat lebih modern.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
KOMUNIKASI PEMASARAN MENYONGSONG ABAD XXI</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sudah menjadi anggapan umum, bahwa abad XXI mendatang merupakan era globalisasi dengan kondisi lingkungan dunia bisnis yang secara structural berbeda dengan kondisi lingkungan di masa sekarang dan masa sebelumnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Konsepsi komunikasi pemasaran ini pada dasarnya berkaitan dengan konsespsi ekonomi tentang unsur0unsur klasik pemasaran yang lazim disebut dengan formula “4P�? yakni Product, Price, Place, and Promotion. Komunikasi tentang 4p ini kemudian dijabarkan lagi menjadi bebrapa konsep sentral yang meliputi:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
1. Segmentasi dan cakupan pangsa sasaran: niching</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Segmentasi dan cakupan pangsa pasar sasaran perlu berubah orientasinya, dari yang semula berskala domestik/nasional menjadi berskala lintas nasional dan global.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kotler berpendapat bahwa salah satu strategi yang tepat untuk menembus situasi persaingan global adalah dengan melakukan cœnichingate yakni dengan memfokuskan perhatian pada suatu daerah tertentu yang potensial dan aman.</div>
<div style="text-align: justify;">
Implikasi dari konsep cœnichingate ini adalah pertama, segmentasi pasar sasaran perlu difokuskan pada kelompok-kelompok tertentu (misalnya kelas social lapisan atas saja, atau lapisan bawah saja). Kedua Cakupan geografis pangsa pasar perlu diarahkan ke negara-negara atau kawasan tertentu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
2. Uniformitas Global dalam hal positioning, Brand Name, Packaging, Pricing dan advertising Strategy.</div>
<div style="text-align: justify;">
Strategi komunikasi pemasaran yang diarahkan kepada upaya menembus situasi persaingan dalam era pasar global, menurut Keegan, menuntut adanya pola uniformitas (Keseragaman) yang relatif berskala global atau universal dalam beberapa aspek.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aspek-aspek komunikasi pemasaran yang perlu mengikuti pola uniformitas global ini terutama meliputi :</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
1 Strategi Posisi</div>
<div style="text-align: justify;">
2 Penamaan Merk</div>
<div style="text-align: justify;">
3 Penentuan Harga</div>
<div style="text-align: justify;">
4 Strategi Periklanan</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
3.Diferensiasi dalam Sales Promotion, Selling approach, distribution dan Customer Service.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pola diferensiasi berdasarkan kondisi pangsa pasar dikawasan tertentu. Menurut Keegan, pendekatan penjualan dan promosi penjualan (termasuk yang menyangkut tenaga personelnya) akan efektif dan efisien apabila dirancang dengan menerapkan pola regionalisasi atau diterapkan di daerah-daerah atau kawasan tertentu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aspek-aspek komunikasi pemasaran yang perlu mengikuti pola diferensiasi ini terutama meliputi :</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
1 Promosi Penjualan</div>
<div style="text-align: justify;">
2 Pendekatan Penjualan</div>
<div style="text-align: justify;">
3 Distribusi</div>
<div style="text-align: justify;">
4 Pelayan Konsumen</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Konsep sentral yang terakhir adalah Customer Service (pelayanan pelanggan).</div>
<div style="text-align: justify;">
Tujuannya adalah untuk memelihara dan meningkatkan hubungan psikologis antara produsen dan pelanggan serta memantau berbagai keluhan dari para pelanggan. Pemeliharaan loyalitas dari para pelanggan perllu tetap dijaga agar mereka tidak beralih ke produk pesaing. Bahkan para pelanggan ini merupakan mediaotr yang efektif dalam komunikasi pemasaran karena memiliki Safety Credibility (kepercayaan Keamanan).</div>
<div style="text-align: justify;">
Upaya komunikasi pemasaran dalam menembus pasar global ini juga perlu ditunjang dengan upaya-upaya pembenahan dalam berbagai aspek yang menyangkut system organisasi dan manajemen perusahaan, serta didukung oleh kebijakan politik dan ekonomi pemerintah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
C. Promotion</div>
<div style="text-align: justify;">
Promosi meliputi penggunaan saluran komunikasi. Menurut Nickels (1984:19) bauran promosi (promotion mix) yang lengkap meliputi 6 (enam) saluran: Advertising, personnal selling, word-of-mouth, sales promotion, publicity dan public relations.</div>
<div style="text-align: justify;">
Saluran advertising meliputi iklan-iklan yang dipasang dalam berbagai bentuk media massa.</div>
<div style="text-align: justify;">
Personal selling mencakup kegiatan penjualan langsung ke konsumen secara personal oleh para penjual atau melalui sistem jaringan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Oleh : Berliani Ardha, SE. M.Si</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
DAFTAR PUSTAKA</div>
<div style="text-align: justify;">
1.Duncan, Tom.(2005) Advertising & IMC, 2nd Ed., McGraw-Hill</div>
<div style="text-align: justify;">
2.Shimp, a Terennce (2003) , Advertising and promotion & supplemental aspects of integrated communications, sixth edition, thomson south-western.Ohio</div>
<div style="text-align: justify;">
3.Richarrd J. Semenik (2002), Promotion and Integrated Marketing Communications, South-Western,5101 Madison Road, Ohio</div>
<div style="text-align: justify;">
4.Levy/Weitz (2004), Retailing Management, International Edition The McGraw-Hill Companies New York</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09595985323235074450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-15192793742965415982012-05-31T09:44:00.002-07:002012-05-31T09:44:07.889-07:00Agenda-setting theory<br />
<div style="text-align: justify;">
The agenda-setting theory is the theory that the mass-news media have a large influence on diences by their choice of what stories to consider newsworthy and how much prominence and space to give them. Agenda-setting theory’s central axiom is salience transfer, or the ability of the mass media to transfer importance of items on their mass agendas to the public agendas.</div>
<div style="text-align: justify;">
History</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Foundation</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
The media agenda is the set of issues addressed by media sources and the public agenda which are issues the public consider important. Agenda-setting theory was introduced in 1972 by Maxwell McCombs and Donald Shaw in their ground breaking study of the role of the media in 1968 presidential campaign in Chapel Hill, North Carolina. The theory explains the correlation between the rate at which media cover a story and the extent that people think that this story is important. This correlation has been shown to occur repeatedly.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
In the dissatisfaction of the magic bullet theory, McCombs and Shaw introduced agenda-setting theory in the Public Opinion Quarterly. The theory was derived from their study that took place in Chapel Hill, NC, where the researchers surveyed 100 undecided voters during the 1968 presidential campaign on what they thought were key issues and measured that against the actual media content. The ranking of issues was almost identical, and the conclusions matched their hypothesis that the mass media positioned the agenda for public opinion by emphasizing specific topics.[4] Subsequent research on agenda-setting theory provided evidence for the cause-and-effect chain of influence being debated by critics in the field.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
One particular study made leaps to prove the cause-effect relationship. The study was conducted by Yale researchers, Shanto Iyengar, Mark Peters, and Donald Kinder. The researchers had three groups of subjects fill out questionnaires about their own concerns and then each group watched different evening news programs, each of which emphasized a different issue. After watching the news for four days, the subjects again filled out questionnaires and the issues that they rated as most important matched the issues they viewed on the evening news. The study demonstrated a cause-and-effect relationship between media agenda and public agenda. Since the theory’s conception, more than 350 studies have been performed to test the theory. The theory has evolved beyond the media's influence on the public's perceptions of issue salience to political candidates and corporate reputation.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Functions</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
The agenda-setting function has multiple components:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
* Media agenda are issues discussed in the media, such as newspapers, television, and radio.</div>
<div style="text-align: justify;">
* Public agenda are issues discussed and personally relevant to members of the public.</div>
<div style="text-align: justify;">
* Policy agenda are issues that policy makers consider important, such as legislators.</div>
<div style="text-align: justify;">
* Corporate agenda are issues that big business and corporations consider important, including corporations.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
These four agendas are interrelated. The two basic assumptions underlie most research on agenda-setting are that the press and the media do not reflect reality, they filter and shape it, and the media concentration on a few issues and subjects leads the public to perceive those issues as more important than other issues.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Characteristics</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Research has focused on characteristics of audience, the issues, and the media that might predict variations in the agenda setting effect.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Research done by Weaver in 1977 suggested that individuals vary on their need for orientation. Need for orientation is a combination of the individual’s interest in the topic and uncertainty about the issue. The higher levels of interest and uncertainty produce higher levels of need for orientation. So the individual would be considerably likely to be influenced by the media stories (psychological aspect of theory).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Research performed by Zucker in 1978 suggested that an issue is obtrusive if most members of the public have had direct contact with it, and less obtrusive if audience members have not had direct experience. This means that agenda setting results should be strongest for unobtrusive issues because audience members must rely on media for information on these topics.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Levels of agenda setting</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
The first-level agenda setting is most traditionally studied by researchers. In this level the media use objects or issues to influence the public. In this level the media suggest what the public should think about (amount of coverage). In second-level agenda setting, the media focuses on the characteristics of the objects or issues. In this level the media suggest how the people should think about the issue. There are two types of attributes: cognitive (subtantative, or topics) and affective (evaluative, or positive, negative, neutral). Intermedia agenda setting involves salience transfer among the media.Coleman and Banning 2006; Lee 2005; Shoemaker & Reese, 1996</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Usage</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
The theory is used in political advertising, political campaigns and debates, business news and corporate reputation, business influence on federal policy, legal systems, trials, role of groups, audience control, public opinion, and public relations.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Strengths and weaknesses of theory</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
It has explanatory power because it explains why most people prioritize the same issues as important. It also has predictive power because it predicts that if people are exposed to the same media, they will feel the same issues are important. It can be proven false. If people aren’t exposed to the same media, they won’t feel the same issues are important. Its meta-theoretical assumptions are balanced on the scientific side and it lays groundwork for further research. Furthermore, it has organizing power because it helps organize existing knowledge of media effects.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
There are also limitations, such as media users may not be as ideal as the theory assumes. People may not be well-informed, deeply engaged in public affairs, thoughtful and skeptical. Instead, they may pay only casual and intermittent attention to public affairs and remain ignorant of the details. For people who have made up their minds, the effect is weakened. News media cannot create or conceal problems, they may only alter the awareness, priorities and salience people attached to a set of problems. Research has largely been inconclusive in establishing a causal relationship between public salience and media coverage.</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09595985323235074450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-10845025944912710652012-05-31T09:43:00.002-07:002012-05-31T09:43:20.826-07:00Klasifikasi Metode Penelitian<div style="text-align: justify;">
Metode histories bertujuan merekonstruksi masa lalu secara sistematis dan objektif dengan mengumpulkan, menilai, memverifikasi, dan menyintesiskan bukti untuk menetapkan fakta dan mencapai kongklusi yang dapat di pertahankan, sering kali dalam hubungan hipotesis tertentu (Isaac dan Michael, 1972:17). Misalnya, penelitian tentang isi buku bacaan pada zaman colonial, riwayat pendirian gerakan Muhammadiyah, dan sebagainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Metode deskriptif bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara factual dan cermat (Isaac dan Michael: 18). Contohnya: penelitian jumlah anak putus sekolah di kota bandung tahun 1981, studi pendapat umum, jumlah pembaca majalah tempo di Jakarta dll.</div>
<div style="text-align: justify;">
Metode eksperimental adalah metode penelitian yang memungkinkan peneliti memanipulasi variabel dan meneliti akibat-akibatnya. Pada metode eksperimental variabel-variabel dikontrol begitu rupa sehingga variabel luar yang mungkin mempengaruhi dapat disingkirkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Metode kuasi-eksperimental digunakan untuk mendekati kondisi ekperimental pada suatu situasi yang tidak memungkinkan manipulasi variabel. Setiap metode ini akan diuraikan secara rinci.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09595985323235074450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-23117777047934536862012-05-01T21:11:00.002-07:002012-05-02T00:57:05.430-07:00KOMUNIKASI PROFETIK<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: left;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGMYvdWCpiuds7OwU6U-7x_R_F4BIlTSA1idHcTggyKsBfwbbSsXBt_LvJ3jtB1zpt3wk1zqcYBalqkvrGdj6KXNDCcJYENxYEqYSc-iH6-mdiJScv-h1ULOWmvtbVxEMK2A92NlnO9X4V/s1600/Komunikasi+Profetik.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Komunikasi Profetik" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGMYvdWCpiuds7OwU6U-7x_R_F4BIlTSA1idHcTggyKsBfwbbSsXBt_LvJ3jtB1zpt3wk1zqcYBalqkvrGdj6KXNDCcJYENxYEqYSc-iH6-mdiJScv-h1ULOWmvtbVxEMK2A92NlnO9X4V/s1600/Komunikasi+Profetik.jpg" title="Komunikasi Profetik" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Penulis : Iswandi Syahputra<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Cetakan I :
Oktober 2007<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">ISBN : 979-3782-35-8<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Ukur : 16 x 24 cm<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Halaman :
Xx +236 (256 halaman)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kertas : Isi HVS 70 gr, Cover AC 210 gr<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Warna : Isi BW, Cover FC<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Komunikasi profetik merupakan istilah baru dalam khazanah ilmu komunikasi, yang mengacu pada pola komunikasi kenabian Rasulullah Muhammad SAW yang sarat dengan kandungan nilai dan etika. Komunikasi profetik merupakan kerangka baru pratktik ilmu komunikasi dalam perspektif Islam yang terintegrasi-interkoneksi dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebelumnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pilar ilmu sosial profetik ada tiga, yaitu humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi mungkar), dan transendensi (tu’minu billah). Dalam buku ini diuraikan komunikasi dalam perspektif Islam, yang menekankan pentingnya komunikasi yang memanusiakan manusia (humanisasi), membebaskan (liberasi), dan selalu berorientasi kepada Tuhan (transendensi) melalui integrasi-interkoneksi kajian ilmu komunikasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dipaparkan juga perkembangan ilmu komunikasi dalam perspektif histories dengan menggunakan berbagai pendekatan, termasuk sejarah perkembangan komunikasi di Indonesia; relasi antar ilmu, agama, dan media; pengertian keilmuan teoantroposentris sebagai metode keilmuan dan membincangkan teori kritis dalamm konteks industry televise; konseptualisasi komunikasi profetik; public sphere dan komunikasi profetik.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Buku ini merupakan hasil perenungan dan pengalaman penulisnya, mantan praktisi industry media, yang kemudian disusun diatas berbagai telaah teori yang mendukung, Ditulis dengan gaya penuturan yang lugas dan sederhana. Karena itu, buku ini akan sangat membantu mahasiswa dan dosen ilmu komunikasi yang selalu mengikuti perkembangan ilmu komunikasi, serta praktisi atau pihak-pihak yang berminat mempelajari studi ilmu social atau studi komunikasi.</div>
</div>Ipin Phienouthttp://www.blogger.com/profile/12331619828191607928noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-79636477950649748572012-04-30T09:06:00.002-07:002012-05-06T08:01:08.697-07:00PR Writing: Teknik Penulisan Humas<br />
<div style="text-align: justify;">
Teknik Penulisan Humas (Public Relations Writing) adalah keterampilan menulis (writing skill) khas Humas/PR dalam menghasilkan naskah-naskah yang diperlukan untuk kepentingan pencitraan positif dan popularitas perusahaan/organisasi. Tipe-tipe panulisan atau naskah PR dapat dibagi menjadi dua bagian:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
1. Berkaitan dengan Media Relations/Press Relations, seperti naskah press release (siaran pers), advertorial, dan press conference (press kit/media kit).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
2. Berkaitan dengan media promosi, informasi, dan komunikasi perusahaan/organisasi, seperti naskah untuk dipublikasikan di newsletter, in house magazine/Company Magazines, naskah laporan tahunan (annual report), company profile, leaflet, booklet, brosur, dan sebagainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk menghasilkan naskah yang baik (good writing), Humas/PR harus memiliki keterampilan jurnalistik layaknya wartawan, seperti pemahaman tentang nilai berita (news values), bahasa jurnalistik (language of mass communications), kode etik jurnalistik, dan sebagainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk kepentingan publikasi yang luas, Humas/PR membutuhkan peran media. Karena itu, diperlukan sebuah hubungan yang baik dengan kalangan pers/media massa (Press/Media Relations). Agar hubungan itu tercipta dengan baik, Humas perlu mengenali dunia pers dengan baik pula, seperti karakteristik wartawan, format media, cara kerja wartawan/media, dan sebagainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Siaran Pers</div>
<div style="text-align: justify;">
Siaran Pers (Press Release, biasa disebut rilis saja) adalah naskah berita (data atau informasi tentang sebuah kegiatan –pra ataupun pasca) yang disampaikan kepada wartawan atau kantor redaksi media untuk dipublikasikan di media tersebut. Dengan demikian, menulis siaran pers pada dasarnya sama dengan menulis berita seperti dilakukan para wartawan. Oleh karenanya, karakteristik dan struktur penulisan siaran pers sama dengan menulis berita.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karakteristik siaran pers adalah memiliki “nilai berita” (news values), yakni aktual, faktual, penting, dan menarik. Struktur penulisannya pun sama dengan dengan penulisan berita, yakni terdiri dari head (Judul), dateline (baris tanggal), lead (teras berita), dan news body (tubuh atau isi berita). Berita sendiri artinya adalah laporan peristiwa atau peristiwa yang dilaporkan oleh media massa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kiat menulis siaran pers:</div>
<div style="text-align: justify;">
1. Tulis dengan gaya penulisan berita.</div>
<div style="text-align: justify;">
2. Jangan terlalu panjang – cukup satu lembar.</div>
<div style="text-align: justify;">
3. Langsung ke masalahnya dengan segera.</div>
<div style="text-align: justify;">
4. Penuhi unsur berita 5W+1H.</div>
<div style="text-align: justify;">
5. Berikan lebih dari satu nomor kontak –nomor telpon kantor, kontak pribadi, HP, e-mail, dan fax.</div>
<div style="text-align: justify;">
6. Jika memungkinkan, buatlah usulan mengenai orang-orang yang dapat diwawancara.</div>
<div style="text-align: justify;">
7. Cek/konfirmasi siaran pers yang sudah dikirimkan melaui fax, surat, atau e-mail.</div>
<div style="text-align: justify;">
8. Jika perlu, seratakan ilustrasi foto, tabel, atau grafik atau bahan pendukung lainnya –makalah, naskah pidato, susunan acara, dsb.</div>
<div style="text-align: justify;">
9. Tuliskan pada kertas berkop-surat sehingga benar-benar resmi.</div>
<div style="text-align: justify;">
10. Tandatangani oleh pejabat paling berwenang, misalnya manajer humas, ketua panitia, dan/atau ketua lembaga/perusahaan.</div>
<div style="text-align: justify;">
11. Jika bersifat individu, misalnya artis, pakar, pejabat, ataupun warga biasa, sertakan fotokopi identitas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Surat Pembaca</div>
<div style="text-align: justify;">
Surat Pembaca (letter to the editor) mirip siaran pers, terutama dalam hal teknis penulisan dan pengiriman. Yang membedakan adalah dalam hal isi dan tujuannya. Isi dan tujuan surat pembaca biasanya merupakan tanggapan, sanggahan, klarifikasi, atau penggunaan Hak Jawab dan Hak Koreksi atas informasi yang dinilai salah dan merugikan. Surat pembaca berupa tanggapan, biasanya diawali dengan mengutip berita atau surat pembaca yang sebelumnya sudah dimuat, sehingga pembaca dapat mengetahui latar belakang masalah yang diklarifikasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Advertorial (adv)</div>
<div style="text-align: justify;">
Advertorial = advertising dan editorial. Gabungan antara promosi dan opini atau pemberitaan tentang hal yang dipromosikan –produk, jasa, perusahaan, organisasi, aktivitas, atau program pemerintah. Bentuk tulisannya bisa berupa berita, feature, atau artikel. Advertorial sering disebut iklan dalam bentuk pemberitaan atau tulisan panjang.</div>
<div style="text-align: justify;">
Jenis advertorial a.l. adv produk, adv jasa, adv perusahaan, dan adv pemerintahan. Sifatnya bisa informatif, eksplanatif, interpretatif, persuasif, argumentatif, dan eksploratif.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Brosur</div>
<div style="text-align: justify;">
Brosur (Brochure) adalah selebaran cetakan satu halaman kertas yang terlipat dua atau lebih, berisi keterangan, informasi, atau gambaran tentang sebuah perusahaan, instansi, produk, atau jasa, atau bisa juga berisi sebuah ide dan kegiatan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jenis selebaran promosi sejenis brosur adalah booklet, yakni buku kecil tanpa jilid/cover berisi informasi dan gambar tentang suatu produk atau jasa. Bisa juga terdiri dari beberapa lembar kertas sehingga menyerupai buku. Penyebarannya sama dengan brosur, yakni dibagi-bagikan langsung kepada publik.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sarana promosi mirip brosur adalah flyer, pamflet, leaflet, atau poser, yakni lembaran utuh tanpa lipatan/tidak terlipat. Pamflet (ukuran satu halaman kertas print), leaflet (ukuran kertas kecil), dan poster (”surat tempelan”, ukuran kertas besar) disebarkan dengan cara ditempel. Flyer biasanya digantung.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ada juga yang disebut folder. Bentuknya mirip map, namun berisi banyak informasi dan bagian dalamnya terdapat kantung untuk menyimpan aneka berkas seperti surat, brosur, leaflet, kartu nama, dan sebagainya. Folder dapat berfungsi sebagai tempat penyimpan berkas informasi atau promosi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Press Conference/Media Kit</div>
<div style="text-align: justify;">
Konferensi Pers (Press Conference) – undang media untuk menyampaikan informasi, dilakukan tidak rutin, insidental sesuai acara yang digelar, baik sebelum maupun sesudah kegiatan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Media Kit adalah bahan tertulis sehingga kalangan pers memiliki data akurat dan lengkap sebagai bahan berita. Bahan tertulis ini bisa berupa siaran pers, susunan acara, makalah, artikel, feature, bosur, proposal, atau informasi lengkap tentang kegiatan –tujuan, jadwal, target, kepanitiaan, daftar pengisi acara, dsb.—dan dimasukkan dalam sebuah map atau amplop besar.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Naskah Pidato</div>
<div style="text-align: justify;">
Naskah pidato biasanya dilakukan penulis khusus yang disebut scriptwriter. Namun, ada punya petugas humas yang ditugaskan menulisnya. Naskah pidato terdiri dari bagian pembukaan, isi, dan penutup. Ditulis dengan gaya bahasa tutur (spoken words) atau gaya bahasa percakapan (conversational language) karena naskah itu untuk diucapkan, dibacakan, atau disuarakan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Newsletter</div>
<div style="text-align: justify;">
Newsletter secara harfiyah artinya “laporan berkala” atau “surat berita”. Merupakan media informasi dan komunikasi internal sebuah lembaga, biasanya terdiri dari dua hingga delapan lembar kertas kwarto atau folio, tanpa cover seperti majalah atau buku. Isinya bervariasi mirip majalah, misalnya agenda dan berita kegiatan, artikel, feature, gambar, dsb.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
In House Magazine</div>
<div style="text-align: justify;">
In House Magazine atau Company Magazines adalah majalah internal sebuah lembaga/perusahaan. Desain atau tampilan dan rubrikasinya seperti majalah umum/komersil, namun isinya tentang informasi seputar “dapur” lembaga. Mengelola In House Magazine, juga Newsletter, sama dengan proses manajemen media massa pada umumnya, yakni melalui proses redaksional dan membutuhkan keterampilan meliput dan menulis berita layaknya wartawan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Proses redaksional dimaksud adalah tahapan perencanaan (planing) –penentuan visi, misi, logo, moto, rubrikasi, editorial policy, dan style book; pengorganisasian (organizing) –penetapan susunan organisasi redaksi (pemred hingga reporter dan layouter); pelaksanaan (acting) –aktivitas jurnalistik seperti perencanaan liputan (rencana isi), peliputan, penulisan, editing, dan desain grafis, dan pengawasan (controling) –pengawasan dan evaluasi proses dan hasil kerja yang sudah dilaksanakan.*</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Referensi: Public Relation Writing: Pendekatan Teoritis dan Ptaktis. Penulis: Dr. Yosal Irianto & A. Yani Surachman, S.Sos. Penerbit Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2006; Press Relation: Kiat Berhubungan dengan Media Massa. Penulis: Drs. Aceng Abdullah. Penerbit Rosdakarya, Bandung, 2000; Jurnalistik Terapan: Panduan Kewartawanan dan Kepenulisan. Penulis: Asep Syamsul M. Romli. Penerbit Baticpress, Bandung, 2004. </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09595985323235074450noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-56005613169853973082012-04-30T09:05:00.001-07:002012-04-30T09:05:20.485-07:00Copywriting: Menulis Naskah Iklan (1)<br />
<div style="text-align: justify;">
Copywriting adalah penulisan naskah iklan atau promosi sebuah produk (barang atau jasa). Dengan kata lain, copywriting adalah aktivitas membuat dan menghasilkan tulisan (teks/naskah) untuk kepentingan iklan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ahli komunikasi dari Amerika Serikat, Frank Jefkins, memaknai copywriting (penulisan naskah iklan) sebagai ”s</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
eni penulisan pesan penjualan yang paling persuasif dan kuat”.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pakar lain, Bovee, mendefinisikan copywriting dengan ”tulisan dengan aneka gaya dan pendekatan yang dihasilkan dengan cara kerja keras melalui perencanaan dan kerjasama dengan klien, staf legal, account executive, peneliti, dan direktur seni”.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dapat dikatakan, copywriting adalah seni atau keterampilan menulis naskah berisi pesan iklan, promosi, untuk menarik minat konsumen pengguna jasa atau barang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Penulisnya disebut copywriter. Merujuk pada definisi di atas, terutama dari Bovee, copywriter tidak bekerja sendiri. Selain harus menguasai karakteristik produk, ia juga bekerja sama dengan bagian penjualan (marketing).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Elemen Copywriting</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Secara teoritis, unsur dasar yang harus dikandung sebuah naskah iklan dikenal dengan ringkasan AIDCA, yaitu:</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul>
<li>Attention –menarik perhatian.</li>
<li>Interest –menciptakan minat.</li>
<li>Desire –memunculkan hasrat untuk menggunakan produk.</li>
<li>Conviction –memberi keyakinan bahwa produk itulah yang cocok bagi konsumen.</li>
<li>Action –menyegerakan aksi, konsumen membeli atau menggunakan produk.</li>
</ul>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Rumus copywriting antara lain harus menarik perhatian, membangun membangun citra atau image positif tentang produk dan produsen (perusahaan), serta efektif dan efisien atau tepat sasaran.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Kreatif, Mengenali Audiens</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jika sebuah naskah penjualan gagal menarik perhatian (attention), ketertarikan (interest), keinginan (desire), keyakinan (conviction), dan tindakan (action) yang diinginkan, maka pesan penjualan itu telah gagal.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karenanya, seorang copywriter juga harus mempertimbangkan banyak hal ketika melaksanakan tugasnya, seperti ”perkiraan” penafsiran oleh publik (calon konsumen) tentang iklan yang disampaikan kepada mereka.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Target audiens akan menafsirkan iklan secara beragam disebabkan sejumlah faktor, antara lain:</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul>
<li>Pengetahuan yang terbatas mengenai produk.</li>
<li>Latar belakang pendidikan, budaya, agama, paham politik, dll.</li>
<li>Tingkat kebutuhan yang berbeda.</li>
<li>Tingkat apresiasi terhadap seni yang berbeda.</li>
<li>Penggunaan sudut pandang.</li>
<li>Waktu, media atau sarana yang digunakan, dan jam tayang iklan.</li>
</ul>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Copywriter harus berjiwa kreatif agar naskah yang dihasilkannya menarik, jika perlu menghibur, dan efektif menyampaikan pesan kepada publik sehingga publik bukan saja tertarik, berminat membeli, tapi juga yakin bahwa produk yang diiklankan sesuai dengan kebutuhan/keinginan mereka dan tanpa ragu segera membeli atau menggunakannya. Wasalam. BERSAMBUNG</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Update: Bersambung disini <a href="http://kuliahonlinekomunikasi.blogspot.com/2012/04/copywriting-menulis-naskah-iklan-2.html">Copywriting Menulis Naskah Iklan 2</a></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09595985323235074450noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3591954790051984192.post-15554026838084697292012-04-30T09:01:00.004-07:002012-04-30T09:01:36.943-07:00Copywriting: Menulis Naskah Iklan (2)<br />
<div style="text-align: justify;">
Sumber kreativitas copywriter utamanya adalah “fakta” produk dengan berbagai keunggulannya dibandingkan produk lain dan eksplorasi aspek emosional dan citra yang melekat pada produk tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Gaya Bahasa Copywriting</b></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul>
<li>Eksploratif –naskah iklan menggali sedalam mungkin keunggulan produk, dengan kata-kata akurat dan tidak terlalu berlebihan, sehingga mampu meyakinkan publik akan keunggulan dan manfaat produk tersebut bagi mereka.</li>
<li>Denotatif –kata-kata yang digunakan sedapat mungkin tidak barmakna ganda (ambigue) sehingga pesannya jelas dan tegas.</li>
<li>Naratif –menguraikan produk dalam bentuk cerita dengan pilihan kata dan kalimat (gaya bahasa) semenarik mungkin.</li>
<li>Imajinatif — pilihan kata mengandung majinasi dan ”membuai” dengan tetap mengedepankan kebenaran fakta produk dan tidak mengandung kebohongan.</li>
<li>Argumentatif –mempengaruhi audiens secara jelas dan nyata dengan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan.</li>
<li>Informatif –menginformasikan secara detail tentang produk. Sejumlah data yang mneunjang disampaikan komunikatif dan menghindari News Style, meski hakikatnya memang berisi informasi.</li>
<li>Persuasif –membujuk audiens agar segera menggunakan produk yang diperkenalkan atau ditawarkan.</li>
</ul>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Etika</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Penulisan naskah iklan tidak boleh berisi dusta atau membohongi masyarakat, serta tidak melanggar kode etik periklanan dan undang-undang perlindungan konsumen. Menjelek-jelekkan produk lain termasuk pelanggaran kode etik periklanan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Copywriting bagian dari Iklan</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Copywriting adalah bagian tekstual dalam sebuah iklan. Iklan sendiri didefinisikan sebagai ”informasi tentang sebuah produk yang bertujuan mendorong dan membujuk publik agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan iklan sebagai ”pemberitahuan kepada khalayak mengenai barang dan jasa yang dijual, dipasang di media massa seperti koran dan majalah, atau di tempat-tempat umum”.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Copywriter</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Copywriter adalah orang kreatif, pandai “bermain kata-kata”, dan menghasilkan sebuah kata, kalimat, dan naskah yang menarik dan menggugah orang lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Per definisi, copywriter adalah:</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul>
<li>Orang yang dipekerjakan untuk menulis iklan atau publisitas (A person employed to write advertising or publicity, princeton.edu).</li>
<li>Orang yang bekerja sebagai bagian dari tim kreatif dalam sebuah agensi atau departemen periklanan yang bertanggung jawab utama atas konten tekstual atau verbal sebuah iklan (A copywriter is a person works as part of a creative team in an agencies and advertising departments, who has ultimate responsibility for the advertisement’s verbal or textual content, wikipedia.org).</li>
<li>Orang yang menulis naskah iklan –teks yang digunakan untuk iklan (A person who writes advertising copy –the text used in advertisements, wiktionary.org).</li>
<li>Orang yang bertanggung jawab atas penulisan naskah iklan dan memadukan konsep kreatif, sering dalam kolaborasi dengan direktur seni dan direktur kreatif (A person responsible for writing advertising copy and generating creative concepts, often in collaboration with an art director or creative director, motto.com).</li>
<li>Indivisu yang membantu dalam menyusun gagasan untuk iklan dan komersial dan menulis kata-kata atau naskah untuk mereka (Individual who helps conceive the ideas for ads and commercials and writes the words or copy for them, mcgraw-hill.com).</li>
<li>Orang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan magis dengan kata-kata. Ia bertanggung jawab atas transformasi gagasan ke dalam kata-kata, menulis tubuh naskah utuk iklan, dsb. (A person who has the ability to create magic with words. The Copywriter is responsible for transforming ideas into words, writing the body copy for advertisements etc., uniqueleads.com).</li>
<li>Seorang profesional yang menyusun judul, subjudul, dan tubuh naskah iklan, brosur, katalog, penawaran surat langsung, literatur produk, dsb. (Professional who composes headings, sub-headings, and body copy of advertisements, brochures, catalogs, direct mail offers, product literature, etc., businessdictionary.com).</li>
<li>Pencipta kata-kata dan konsep untuk iklan dan komersial (Creator of words and concepts for advertisements and commercials, answer.com).</li>
</ul>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Karakter Media</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Copywriter, selain menguasai produk yang hendak diiklannya, juga harus memahami media atau sarana yang digunakan, seperti radio dan televisi dan media cetak.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia harus memahami karakter media radio, seperti Theater of the mind, personal, dan portable dan mobile. Iklan di radio bisa didengarkan sambil melakukan pekerjaan lain. Iklan ditayangkan hanya sekilas dan sekali dengar sehingga kata-kata yang diguakan hendaknya to the point, jelas, dan lugas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Keunggulan dari televisi dari media lain adalah karakternya yang auditif dan visual, paduan antara suara dan gambar, sehingga karakter iklan televisi antara lain mengutamakan keindahan gambar, sekilas, masif, dan lebih kompleks dari iklan radio. Wasalam.</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09595985323235074450noreply@blogger.com0