Negara adalah suatu organisasi
dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh
rakyatnya. Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk
memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya.
Negara memiliki kekuasaan yang kuat terhadap rakyatnya. Kekuasaan, dalam arti
kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi orang lain atau
kelompok lain, dalam ilmu politik biasanya dianggap bahwa memiliki tujuan demi
kepentingan seluruh warganya. Dengan demikian, kekuasaan yang dimiliki oleh
sekelompok orang yang berperan sebagai penyelenggara negara adalah semata-mata
demi kesejahteraan warganya.
Negara merupakan aktor pertama dan utama yang bertanggungjawab men¬capai janji
kesejahteraan kepada rakyatnya, terutama memainkan peran distribusi sosial
(ke¬bijakan sosial) dan investasi ekonomi (kebijakan ekonomi). Fungsi dasar
negara adalah ”mengatur” untuk menciptakan law and order dan ”mengu¬rus” untuk
mencapai welfare/kesejahteraan.
Dalam pandangan teori klasik tentang negara, peran negara dalam pembangunan,
termasuk peran kesejahteraan, mencakup lima hal. Pertama, peran ekstraksi,
yakni mengumpulkan sumberdaya, misalnya memperoleh devisa dari ekspor,
eksploitasi sumberdaya alam, menarik pajak warga, atau menggali pendapatan asli
daerah. Kedua, peran regulasi, yakni melan¬carkan kebijakan dan peraturan yang
digunakan untuk mengatur dan men¬gurus barang-barang publik dan warga. Ketiga,
peran konsumsi, yakni menggunakan (alokasi) anggaran negara untuk membiayai
birokrasi agar fungsi pelayanan publik berjalan secara efektif dan profesional.
Keempat, peran investasi ekonomi, yakni mengeluarkan biaya untuk untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi (GNP, GDP dan PDR dan membuka lapangan kerja bagi
warga. Kelima, peran distribusi sosial, yakni negara mengeluarkan belanja untuk
membiayai pembangunan sosial atau kebijakan sosial. Wujud konkretnya adalah
pelayanan publik untuk memenuhi hak-hak dasar warga.
Kelima peran klasik negara itu dapat terlaksana dalam situasi “normal” dimana
negara mempunyai kekuasaan politik yang besar dan mempunyai basis materi
(ekonomi) yang memadai. Negara menjadi pelaku tunggal yang menjalankan peran
mengumpulkan basis material sampai dengan membagi material itu kepada rakyat.
Dan, dalam mencapai kesejahteraan, dibutuhkan peran “normal” negara untuk
menciptakan pembangunan yang seimbang (balanced devel¬opment), yaitu
keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pemban¬gunan sosial.
Melihat konsep negara sebagai penyelenggara kesejahteraan rakyat, maka
muncullah konsep welfare state (negara kesejahteraan) yang dalam sejarahnya
pertama kali muncul di Inggris dengan ditandatanganinya Undang-undang
Kemiskinan (the poor relief act) pada tahun 1598 (diamandemen beberapa kali)
dilanjutkan pada saat dimulainya upaya rekonstruksi sosial dan ekonomi pasca
Perang Dunia I dan II (1940an).
Perkembangan welfare state (negara kesejahteraan) sebetulnya dimulai sejak
Bapak Sosialisme Demokrat Jean Jacques Rousseau, menerbitkan Discours sur
l’original et Fondament de l’Inegality parmi les Hommes pada tahun 1775, yang
mendahului terbitnya karya Adam Smith The Wealth Nation 1776 yang mendasari
pengembangan model kapitalisme dan karya Karl Marx Das Capital 1848 yang
mendasari Komunisme. Jean Jacques Rousseau melontarkan diskursus tentang
penyebab ketimpangan sosial yang dialami manusia. Adam Smith membangun
optimisme tentang kemakmuran bangsa-bangsa yang bisa dicapai lewat mekanisme
invisible hand, sementara Marx melontarkan tesis tentang adanya proses
‘penghisapan’ (exploitation) kaum lemah oleh pemilik modal.
Jean Jacques Rousseau membedakan dua jenis ketimpangan sosial di masyarakat.
Pertama, ketimpangan yang bersifat fisik atau alamiah yang disebabkan oleh
perbedaan umur, kesehatan, ketahanan tubuh dan kualitas mental dan kejiwaan.
Kedua, ketimpangan politik atau struktural yang dibentuk oleh bias kekuasaan
serta produk kebijakannya yang sadar atau tidak, lebih memihak yang kaya atau
kuat. Diskursus ini dipakai oleh pemikir dan aktivis sosialis-demokrat dan
membedakan antara faham sosialisme-demokrat dan sosialisme-komunis.
Beberapa pemikir Sosial-Demokrat Eropa, melihat bahwa kedahsyatan transformasi
sosial akibat kapitalisme yang menyebabkan kesengsaraan sebagian penduduk
adalah akibat dari sebagian besar keuntungan masuk pada kaum pemodal. Mereka
menyimpulkan bahwa proses pemiskinan adalah akibat kesenjangan antara
pendapatan yang diterima buruh dengan nilai sesungguhnya yang disumbangkan
kepada nilai produksi. Atas dasar itu, menurut Sismondi (pemikir
Sosial-Demokrat asal Prancis, 1773-1842), harus dihapuskan dominasi kelas
kepitalis yang dikontrol oleh pemilik modal dan pimpinan industri kepada kaum
buruh. Pemikir sosial-demokrat lainnya, Pierre Joseph Proudhon (Prancis
1809-1865) pada bukunya yang terkenal, Systeme des Contradictions Economics ou
Philosophie de la Mesere, menjelaskan bahwa eksploitasi buruh adalah akibat
adanya kepemilikan oleh pemodal. Bagi Proudhon, satu-satunya yang produktif
adalah bekerja, dan selama ini, menurutnya ada “kesalahan perhitungan” antara
buruh dan majikan. Majikan membayar buruh dengan ‘nilai pekerjaan individualnya’.
Tapi, majikan menahan untuk dirinya ‘hasil dari pekerjaan kolektif seluruhnya’
(le produit de la force collective de tous). Karena itu, semua kapital yang
diakumulasikan adalah suatu ”pemilikan sosial/bersama” (propriete sociale).
Dengan pemikiran ini, sebetulnya Sosial-Demokrat menyerang sistem kepemilikan
dalam kapitalisme yang dinyatakan sebagai ”eksploitasi kaum kuat terhadap kaum
lemah”. Namun, pemikirannya ini juga mendapat kritikan dari pemikir
Sosialisme-Komunis Karl Marx pada bukunya Misere de la Philosophie
(Kesengsaraan Filsafat). Tetapi, kembali Sosial-Demokrat menjawab bahwa dalam
sosialis-komunis ada “eksploitasi kaum lemah terhadap kaum kuat” dan “agama
dari kesengsaraan”.
Negara Kesejahteraan
Negara Kesejahteraan sebenarnya merupakan kelanjutan dan perluasan dari hak-hak
warga negara. Hak-hak warga negara tersebut, antara lain hak sipil, hak politik
dan hak sosial, selama 300 tahun secara perlahan berhasil diakui dan terpenuhi.
Hal sipil (kebebasan berbicara) warga diakui dan dupenuhi pada abad ke-18, hak
politik (hak memilih dalam pemilu) diakui dan dipenuhi pada abad ke-19, dan hak
sosial (kesejahteraan dan jaminan sosial) diakui dan dipenuhi pada abad ke-20.
Negara Kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan pada
mekanisme pasar untuk mendapatkankesejahteraan (dekomodifikasi) dengan
menjadikan hak setiap warga sebagai ”alasan utama” kebijakan sebuah negara.
Negara, dengan demikian, memberlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai
’penganugerahan hak-hak sosial’ kepada warganya. Hak-hak sosial tersebut
mendapat jaminan dan tidak dapat dilanggar (inviolable) serta diberikan
berdasar atas dasar kewargaan (citizenship) dan bukan atas dasar kinerja atau
kelas. Sejarah evolusi hak-hak warga negara bisa dilihat pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Evolusi Hak-Hak Warga Negara
Hak Sipil Hak Politik Hak
Sosial
Kurun Waktu Abad ke-18 Abad ke-19 Abad ke-20
Prinsip utama Kebebasan Perorangan Kebebasan Politik Kesejahteraan Sosial
Wujud dan bentuk pengakuan Habeas corpus (hak untuk diproses melalui hukum),
kebebasan berbicara, berpendapat dan beragama; kebebasan untuk meningkatkan
diri dalam perjanjian. Hak memilih, reformasi parlemen, pembayaran/gaji ke
aggota parlemen. Pendidikan gratis, jaminan pensiun, pelayanan kesehatan (negara
kesejahteraan).
Negara Kesejahteraan, pada dasarnya mengacu pada peran negara yang aktif
mengelola dan mengorganisasikan perekonomian yang didalamnya mencakup tanggung
jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam
tingkat tertentu bagi warganya. Negara Kesejahteraan merupakan buah dari
integrasi ekonomi kapitalistik yang mencapai masa emas sejak akhir abad ke-19
dengan industrialisasi sebagai faktor pemicunya. Awalnya, kebijakan Negara
Kesejahteraan ini merupakan upaya untuk mengendalikan ancaman mobilisasi
politik dan gerakan radikal dari kelas pekerja baru yang terbentuk setelah
industrialisasi sekaligus mengukuhkan kesetiaan kelas baru tersebut pada negara
(nation state building). Tren kemudian berubah, awal 1900an negara-negara yang
lebih demokratis dengan industrialisasi yang lebih maju mulai membangun negara
kesejahteraannya. Kebijakan sosial juga tidak lagi menjadi alat bagi
pengendalian politis kelas pekerja, namun untuk memenuhi tuntutan
industrialisasi bagi kelas pekerja yang sehat dan cakap.
Negara Kesejahteraan hadir bukanlah sebagai satu entitas yang berwajah tunggal.
Luas cakupan dan ragam kebijakan sosial yang diterapkan oleh masing-masing
Negara Kesejahteraan (welfare state). Setidaknya ada dua tipologi Negara Kesejahteraan,
yaitu residual welfare state dan institutional welfare state. Residual welfare
state mengasumsikan tanggung jawab negara sebagai penyedia kesejahteraan
berlaku, jika dan hanya jika keluarga dan pasar gagal menjalankan fungsinya
serta terpusat pada kelompok tertentu dalam masyarakat, seperti kelompok
marjinal sertamereka yang “patut” mendapatkan alokasi kesejahteraan dari
negara. Sedangkan institutional welfare state bersifat universal, mencakup
semua populasi warga, serta terlembagakan dalam basis kebijakan sosial yang
luas dan vital bagi kesejahteraan masyarakat.
Negara Kesejahteraan amat dipengaruhi oleh rezim yang berkuasa pada
masing-masing negara (welfare regims). Pengaruh ini terjadi terutama terhadap
kemampuan negara tersebut memproduksi dan mendistribusikan kesejahteraan
melalui kebijakan sosial. Rezim kesejahteraan mengacu pada pola intraksi dan
saling keterkaitan dalam produksi dan alokasi kesejahteraan antar-negara, rezim
pasar dan keluarga/rumah tangga. Ketiga lembaga tersebut merupakan penyedia
kesejahteraan dan tempat individu mendapatkan perlindungan dari resiko-resiko
sosial.
Namun, tidak selamanya negara menjadi aktor tunggal dalam penyediaan
kesejahteraan. Ada varian Negara Kesejahteraan yang ditipologikan menurut rezim
kesejahteraan Liberal, Sosial Demokrat dan Konservatif. Dimana terlihat peran
negara, rezim pasar dan keluarga/rumah tangga memiliki dominasi masing-masing,
lihat tabel 2.
Tabel 2. Ringkasan Variasi Rezim Kesejahteraan
Liberal Sosial Demokrat
Konservatif
Peran Aktor
Keluarga Marjinal Marjinal Utama
Pasar Utama Marjinal Marjinal
Negara Marjinal Utama Pelengkap
Bentuk Welfare State
Bentuk ikatan dominan Individual Universal Kekerabatan Korporatisme
Wadah ikatan dominan Pasar Negara Keluarga
Tingkat dekomodivikasi Minimal Maksimal Tinggi (bagi pencari nafkah utama)
Model Negara Amerika Serikat Swedia Jerman, Italia
Kasus di Beberapa Negara dan
Indonesia
Negara Kesejahteraan, pada dasarnya mengacu pada “peran negara yang aktif dalam
mengelola dan mengorganisasi perekonomian” yang didalamnya mencakup tanggung
jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar
warganya. Secara umum, suatu negara bisa digolongkan sebagai Negara
Kesejahteraan jika mempunyai empat pilar: [1] social citizenship; [2] full democracy;
[3] modern industrial relation system; [4] right to education and the expansion
of modern mass education systems.
Keempat pilar diatas dimungkinkan dalam Negara Kesejahteraan karena negara
memperlakukan kebijaan sosial sebagai “penganugerahan hak-hak sosial” (the
granting of sosial right) kepada warganya. Hak-hak sosial tersebut mendapat
jaminan seperti layaknya hak atas properti, tidak dilanggar (inviolable) serta
diberikan berdasarkan basis kewargaan (citizenship), bukan atas dasar kinerja
atau kelas. Dalam hal ini, Negara Kesejahteraan berusaha membebaskan warganya
dari ketergantungan pada mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan
(dekomodifikasi) dengan menjadikannya sebagai hak warga yang diperoleh melalui
perangkat kebijakan sosial yang disediakan negara.
Di negara-negara Eropa dan Amerika Utara, berdasarkan perbandingan antara tahun
adopsi dengan tingkat Gross Development Product (GDP) perkapita suatu negara,
beberapa negara diklasifikasi sebagai berikut; [1] negara-negara yang mengadopsi
negara kesejahteraan lebih belakangan, tapi memiliki pertumbuhan ekonomi lebih
awal (misalnya Yunani dan Portugal); [2] negara-negara yang mengadopsi negara
kesejahteraan lebih lembat pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
(Swis, Kanada dan Amerika); [3] negara-negara yang mengadopsi negara
kesejahteraan lebih awal namun saat perekonomian tinggi (Inggris dan Belanda);
[4] negara-negara yang mengadopsi negara kesejahteraan sangat awal pada saat
ekonomi amsih rendah (Jerman, Skandinavia (Eropa Utara), Italia, Spanyol).
Adopsi sistem welfare state membutuhkan suatu dukungan kepasitas birokrasi yang
kuat, sebagai bentuk organisasi modern yang efektif dan efisien. Negara yang
mengadopsi welfare state awal, seperti Jerman, membangun berdasar kapasitas
administrasi dan birokrasi yang diwarisi dari Prusia. Demikian juga Norwegia,
Swedia dan Denmark, teah memakai system layanan publik yang kuat, kapabel serta
berpengalaman luas dalam penyediaan jasa pendidikan dan asuransi hari tua.
Adopsi sistem welfare state juga didukung oleh system demokrasi parlementer
seperti yang ditunjukkan di negara Skandinavia yang memperlihatkan koalisi
Sosial-Demokrat (kelas petani, pekerja kota) dalam menghasilan red-green
alliance di parlemen yang menghasilkan kebijakan sistem welfare state.
Di luar Eropa, kelompok negara-negara di Asia Timur dan Amerika Latin telah
mencoba membangun Kelembagaan Negara Kesejahteraan (welfare state institution)
dan Infrastruktur Negara Kesejahteraan (welfare infrastructure). Di Amerika
Latin, seperti Chile, Brazil, Argentina, Costa Rica dan Uruguay, menerapkan
system jaminan yang terbatas antar kelompok masyarakat. Kelompok Pegawai negeri
sipil (PNS) dan Militer menjadi privileged group yang menerima manfaat paling
besar dari sistem yang ada, ada jaminan tunjangan untuk keluarga dan
pengangguran. Namun begitu, masih ada kelompok negara Amerika Latin lainnya
yang ‘amat terbatas’ dalam menerapkan system welfare state, mereka bahkan tidak
memberi jaminan pada keluarga dan pengangguran, seperti Dominica, El Salvador,
Haiti, Honduras dan Nicaragua.
Sistem jaminan sosial yang dibangun di Amerika Latin memang berbeda dengan
Eropa. Di Amerika Latin sistem jaminan sosialnya pada dasanya hanya bertumpu
pada tiga kebijakan utama yaitu jaminan pensiun, jaminan kesehatan, subsidi dan
kontrol harga. Negara Amerika Latin baru mampu membangun economic citizenship
dan mengaitkan dengan political citizenship dengan cakupan yang terbatas dan
terfragmentasi.
Di Asia Timur, terutama Jepang, format sistem welfare state dicirikan oleh
system jaminan sosial yang tersegregasi antar jenis pekerjaan serta peran
keluarga sebagai penyedia jasa kesejahteraan sosial. Jepang mensubordinasikan
pengembangan kebijakan sosial dibawah strategi pembangunan negara-bangsa
melalui pembangunan ekonomi. Dengan mengejar pertumbuhan ekonomi, mengembangkan
sistem jaminan kesejahteraab korporasi/perusahaan serta melemahkan serikat
buruh, Jepang berhasil menggeser pengeluaran biaya sosial yang seharusnya
ditanggung negara kepada pasar. Karakter yang kurang lebih sama, juga dijumpai
di Korea dan Taiwan. Kedua negara ini memiliki pemerintahan yang relatif
’otoriter’, negara mempunbyai hubungan erat dengan kelompok bisnis dengan
melemahkan kelompok serikat buruh dan menaikkan perekonomian. Peningkatan
kesejahteraan akan datang sebagai turunan dari pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan.
Negara-negara berkembang seperti Indonesia, Thailand dan Malaysia, memiliki
tingkat kesulitan yang lebih besar dibanding di Eropa dan Asia Timur.
Negara-negara Asia Tenggara berada pada jalur Kelompok Afrika (colonial zone of
Asia/ and Africa) dimana system kesejahteraan yang dikembangkan para colonial
akan mempengaruhi kapasitas negara tersebut dalam mengembangkan system
perlindungan sosial paska kemerdekaan mereka. Proporsi pengeluaran publik bagi
kesejahteraan sosial sangat terbatas, bahkan jauh lebih kecil dari kelompok
development state lainnya di Asia Timur dan Singapura. Malaysia dan Indonesia
hanya memiliki jaminan kecelakaan kerja, jaminan kesehatan dan pensiun dengan
prosentasi terhadap GDP sekitar 1,7% (untuk Indonesia) dan 2,9% (untuk
Malaysia). Sementara Tahiland juga memiliki tunjangan pengangguran dan
tunjangan keluarga.
Pertanyaannya kemudian, akankan Asia Tenggara memiliki kemampuan untuk
membangun welfare state sebagaimana negara lainnya? Banyak pengamat yang
optimis bahwa secara gradual negara-negara Asia Tenggara sejak 1990-an mulai
mengonsolidasikan sistem jaminan kesejahteraan sosial mereka. Krisis ekonomi
pada pertengahan 1990-an menyadarkan banyak engara Asia bahwa pertumbuhan
ekonomi tidak bisa begitu saja menggantikan kebutuhan akan sistem jaminan
sosial yang koheren. Malaysia, Filipina dan Thailand mluai melakukan rfeormasi
terhadap sistem pensiun dan sistem asuransi umum di negara-masing-masing. Di
Indonesia, krisis ekonomi yang terjadi menunjukkan bahwa suatu sistem kebijakan
sosial yang memadai harus menjadi bagian integral dari kebijakan pembangunan
untuk menjadikan negara mampu menjamin kesejahteraan sosial. Dalam konteks
rezim kesejahteraan bahkan Indonesia termasuk less institutionally developed
and differentiated, dibanding dengan negara Asia Tenggara lainnya.
System jaminan sosial di Indonesia secara umum bersifat contributory, dimana
sebagian besar sumber pendanaan bertumpu pada keontribusi pekerja dan pemilik
usaha. Sedangkan pemerintah hanya menanggung sebagian dari kebutuhan tersebut,
khususnya yang terkait dengan pengurangan kemiskinan. Namun, Indonesia memiliki
pilihan untuk secara bertahap membangun solusi yang bersifat sosial-demokratik
bagi terciptanya suatu negara kesejahteraan yang universal dan solidaristik.
Pengalaman dan capaian rezim kesejahteraan universal merupakan suatu yang
diimpian bagi Indonesia; antara lain [1] pengakuan universal negara atas
hak-hak dan jaminan sosial ekonomi (kesehatan, pendidikan dan pendapatan) tanpa
memandang kelas sosial, keturunan dan suku bangsa, [2] pertumbuhan ekonomi yang
dibarengi dengan lapangan kerja yang luas dan bermutu, [3] pengurangan
kemiskinan, [4] meluasnya kelas menengah akibat pendidikan dan kesehatan yang
bermutu dan terjamin, dan [5] partai politik dan kompetisi politik yang
berbasis pada kesejahteraan warga negara dan nyata-nyata berusaha meraih
perbaikan sosial ekonomi.
Rintangan utama dalam mencapai welfare state di Indonesia mencakup daya politik
warga negara, sejauhmana warga negara dan partai politik memiliki imajinasi dan
cita-cita yang mampu mengatasi kebijakan yang domina selama ini.**
0 comments:
Post a Comment