Bab I
Pendahuluan
Jacques Derrida merupakan seorang
filsuf Prancis keturunan Yahudi dan dianggap sebagai pendiri ilmu
dekonstruktivisme, sebuah ajaran yang menyatakan bahwa semuanya di-konstruksi
oleh manusia, juga bahasa. Semua kata-kata dalam sebuah bahasa merujuk kepada
kata-kata lain dalam bahasa yang sama dan bukan di dunia di luar bahasa.
Derrida dianggap salah satu filsuf terpenting abad ke 20 dan ke 21.
Dekonstruksi sering menjadi subyek
kontroversi. Ketika Derrida diberi gelar doctor honoris causa di Cambridge pada
1992, banyak protes bermunculan dari kalangan filsuf “analitis.” Sejak itu,
Derrida juga mengadakan banyak dialog dengan filsuf-filsuf seperti John Searle,
yang sering mengeritiknya.
Istilah dekonstruksi untuk pertama
kalinya muncul dalam tulisan-tulisan Derrrida pada saat ia mengadakan pembacaan
atas narasi-narasi metafisika Barat. Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita
selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita
lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah
yang Derrida sebut sebagai logosentrisme . Metode dekonstruksi merupakan proyek
filsafat yang berskala raksasa karena Derrida sendiri menunjukkan bahwa
filsafat barat seluruhnya bersifat logosentris. Dengan demikian, dekonstruksi
mengkritik seluruh proyek filsafat barat.
Menurut Derrida, penolakan ini
harus dilakukan karena adanya penjarakan (spacing), di mana apa yang dianggap
sebagai petanda absolut sebenarnya hanyalah selalu berupa jejak di belakang
jejak. Selalu ada celah atau kesenjangan antara penanda dan petanda, antara
teks dan maknanya. Celah ini membuat pencarian makna absolut mustahil
dilakukan. Setelah “kebenaran” ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak
“kebenaran” lain di depannya, dan begitu seterusnya.
Bab II
Tidak mudah memahami
pemikiran Derrida. Untuk memudahkan mempelajarinya, kita coba menempatkannya
dalam konteks pergeseran pemikiran pada era 1950-an sampai 1970-an, dari
modernitas ke posmodernitas, dan dari strukturalisme ke post-strukturalisme .
De Saussure, Chomsky, Jacobson dan Levi-Strauss mewakili kalangan strukturalis-
modernis. Sedangkan Derrida bersama Lacan, Kristeva, Foucault, Barthes, dan
Baudrillard, “bisa dikatakan” mewakili post-strukturalis- posmodernis.
Pemikiran
kalangan posmodernis itu sendiri bisa dibagi tiga. Pertama, yang merevisi
pemikiran modernitas, namun cenderung kembali ke pola pemikiran
pra-modern seperti metafisika New Age. Tokohnya seperti Capra, Zukav, dan sebagainya.
pra-modern seperti metafisika New Age. Tokohnya seperti Capra, Zukav, dan sebagainya.
Kedua, pemikiran yang
merevisi modernisme tanpa menolaknya mentah-mentah, melainkan melakukan
perbaikan di sana-sini yang dirasa perlu. Jadi, semacam kritik imanen terhadap
modernism, dalam rangka mengatasi konsekuensi negatifnya. Mereka di antaranya:
Habermas, Whitehead, Gadamer, Rorty, dan Ricoeur.
Ketiga, pemikiran yang
memandang bahwa sisi gelap dari modernitas bukanlah sekadar efek samping dari
pemikiran Pencerahan, melainkan sebagai sesuatu yang melekat di dalamnya. Para
pemikir dari kalangan ini terkait erat dengan dunia sastra dan linguistik.
Mereka ingin melampaui bahasa, yang secara tradisional dipandang sebagai cermin
untuk menggambarkan dunia atau realitas.
Caranya,
dengan melakukan dekonstruksi gambaran-dunia, sehingga cenderung anti-gambaran-
dunia sama sekali. Gambaran-dunia yang ingin dibongkar itu, misalnya, adalah
diri, Tuhan, tujuan, makna, kebenaran, dunia-nyata, dan sebagainya. Para
pemikir dari kelompok ini adalah Foucault, Vattimo, Lyotard, dan Derrida.
B. Dari
Oposisi Biner ke Metafisika Kehadiran
Untuk
memahami Derrida, kita mencoba melacak kronologi pemikirannya dari
strukturalisme Saussurean yang bernuansa modernitas tersebut. Menurut paham
strukturalisme, kenyataan tertinggi dari realitas adalah struktur. Struktur itu
sendiri adalah saling hubungan antar-konstituen, bagian-bagian, atau
unsur-unsur pembentuk keseluruhan, sebagai penyusun sifat khas, atau karakter
dan koeksistensi, dalam keseluruhan bagian-bagian yang berbeda.
Bila
bahasa dilihat secara struktural, bisa disimpulkan bahwa bahasa bisa ada karena
adanya sistem perbedaan (system of difference), dan inti dari sistem perbedaan
ini adalah oposisi biner (binary opposition). Seperti, oposisi antara
penanda/petanda, ujaran/tulisan, langue/parole.
Oposisi
biner dalam linguistik ini berjalan seiring dengan hal yang sama dalam tradisi
filsafat Barat, seperti: makna/bentuk, jiwa/badan, transendental/ imanen,
baik/buruk, benar/salah, maskulin/feminin, intelligible/ sensible, idealisme/
materialisme, lisan/tulisan, dan sebagainya.
Dalam
oposisi biner ini terdapat hirarki. Yang satu dianggap lebih superior dari
pasangannya. Misalnya, jiwa diangap lebih mulia dari badan, rasio dianggap
lebih unggul dari perasaan, maskulin lebih dominan dari feminin, dan
sebagainya. Dalam linguistik Saussurean, lisan (ujaran) dianggap lebih utama
dari tulisan, karena tulisan dipandang hanya sebagai representasi dari lisan.
Derrida,
seperti banyak teoritisi kontemporer Eropa, asyik berusaha membongkar
kecenderungan oposisional biner yang mewarnai sebagian besar tradisi filsafat
Barat tersebut. Dekonstr Argumen mereka adalah kata-kata yang diucapkan adalah
simbol dari pengalaman mental (makna, kebenaran). Sedangkan kata-kata tertulis
–sebagai sekadar representasi dari ujaran– hanyalah turunan kedua, atau sekadar
simbol dari simbol yang sudah ada (ujaran) tersebut.
Ujaran
menurut De Saussure adalah kesatuan petanda (signifie) dan penanda
(signifiant), yang dianggap kelihatan menjadi satu dan sepadan, yang membangun
sebuah tanda (sign). Makna atau kebenaran adalah petanda, yaitu isi yang
diartikulasikan oleh penanda yang berupa suara/bentuk.
Kebenaran
yang semula berada di luar penanda (eksternal), kemudian menjadi lekat dengan
penanda itu sendiri dalam bahasa. Dia bisa hadir lewat penanda. Kesatuan antara
bentuk (penanda) dan isi (petanda) inilah yang disebut Derrida sebagai
metafisika kehadiran (metaphysic of presence). Metafisika kehadiran,
yang terkadang disebut logosentrisme, berasumsi bahwa sesuatu yang bersifat
fisik (penanda) dan yang melampaui fisik (petanda) dapat hadir secara
bersamaan, dan hal ini hanya mungkin dalam ujaran, bukan tulisan.
Tanpa
mempersoalkan rincian tentang cara para pemikir itu menetapkan dan membenarkan
oposisi hirarkis semacam ini, penting untuk diingat bahwa strategi pertama
dekonstruksi adalah membalikkan oposisi-oposisi yang sudah ada. Derrida
menyangkal oposisi-oposisi biner semacam itu, dan akhirnya juga menolak
kebenaran tunggal atau logos itu sendiri.uksi yang dicanangkan Derrida tidaklah
mengajukan sebuah narasi besar atau teori baru tentang hakikat dunia kita. Ia
membatasi diri pada membongkar narasi-narasi yang sudah ada, dan mengungkapkan
hirarki-hirarki dualistik yang disembunyikan.
Oposisi
biner paling terkemuka, yang dibongkar dalam karya awal Derrida, adalah antara
ujaran (speech) dan tulisan (writing). Menurut Derrida, pemikir-pemikir seperti
Plato, Rousseau, De Saussure, dan Levi-Strauss, semua telah melecehkan kata
tertulis dan lebih mengutamakan ujaran, dengan mengontraskan, dan menempatkan
ujaran sebagai semacam saluran murni bagi makna.
C. Differance
dan Difference
Dalam
karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan bahwa struktur
penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan “lebih tua” ketimbang yang
dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri (presence-to- self), yang
dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau ujaran.
Sebagai contoh, dalam keseluruhan bab Course
in General karya Ferdinand de Saussure, Saussure mencoba membatasi ilmu
linguistik hanya pada fonetik (Linguisticsphonetic) dan kata yang bisa
didengar (audible word). Dalam penyelidikan ini, Saussure sampai
mengatakan bahwa “bahasa dan tulisan adalah dua sistem tanda yang berbeda: yang
kedua eksis semata-mata hanya untuk representasi dari yang pertama”. Bahasa,
tegas Saussure, memiliki tradisi oral yang independen dari penulisan, dan
keindependenan inilah yang membuat sebuah ilmu murni ujaran dimungkinkan.
Derrida
dengan berapi-api menolak hirarki ini. Derrida sebaliknya berargumentasi bahwa
semua yang bisa diklaim terhadap tulisan (seperti, bahwa itu sekadar merupakan
turunan (derivatif) dan hanya merujuk ke tanda-tanda lain) sebenarnya
juga sama berlaku terhadap ujaran.
Derrida
menyatakan bahwa signifikasi selalu merujuk ke tanda-tanda lain dan kita tidak
akan pernah sampai ke suatu tanda yang hanya merujuk ke dirinya sendiri. Maka,
tulisan bukanlah tanda dari sebuah tanda, namun lebih benar jika dikatakan
bahwa tulisan adalah tanda dari semua tanda-tanda. Dan proses perujukan yang
tidak terhingga (infinite) dan tidak habis-habisnya ini tidak akan
pernah sampai ke makna itu sendiri.
Inilah
pengertian “tulisan” yang ingin ditekankan Derrida. Derrida menggunakan istilah
arche-writing, yakni tulisan yang merombak total keseluruhan logika
tentang tanda. Jadi, tulisan yang dimaksud Derrida bukanlah tulisan (atau
tanda) sederhana, yang dengan mudah dianggap mewakili makna tertentu.
Dilihat
dengan cara lain, tulisan merupakan prakondisi dari bahasa, dan bahkan telah
ada sebelum ucapan oral. Maka tulisan malah lebih “istimewa” daripada ujaran.
Tulisan adalah bentuk permainan bebas dari unsur-unsur bahasa dan komunikasi.
Tulisan merupakan proses perubahan makna terus-menerus dan perubahan ini menempatkan
dirinya di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos).
Jadi,
tulisan bisa dilihat sebagai jejak, bekas-bekas tapak kaki, yang harus kita
telusuri terus-menerus, jika ingin tahu siapa si empunya kaki (yang kita anggap
sebagai makna yang mau dicari). Proses berpikir, menulis dan berkarya
berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebut Derrida sebagai differance.
Differance
adalah kata Perancis yang jika diucapkan pelafalannya persis sama dengan kata difference.
Kata-kata ini berasal dari kata differer differance dan difference
yang bisa berarti “berbeda” sekaligus “menangguhkan/ menunda.” Kita tak bisa
membedakan hanya dengan mendengar ujaran (karena pelafalannya sama), tetapi
harus melihat tulisannya. Di sinilah letak keistimewaan kata ini, yang sekaligus
membuktikan tulisan lebih unggul ketimbang ujaran, sebagaimana diyakini
Derrida.
Jika
kata terucap (ujaran) membutuhkan tulisan untuk bisa berfungsi secara memadai,
seperti ambiguitas dalam kata differance dan difference tersebut,
maka ujaran itu sendiri selalu berjarak dari setiap apapun yang diklaim sebagai
kejelasan kesadaran (clarity of consciousness). Pernyataan Derrida ini
secara tegas telah membantah habis argumen De Saussure, yang berusaha
memisahkan ujaran dan tulisan, dan melecehkan tulisan sebagai sesuatu yang
nyaris tidak dibutuhkan oleh ujaran.
Differance
adalah permainan perbedaan-perbedaan, jejak-jejak dari perbedaan-perbedaan ,
dan penjarakan (spacing), yang dengan cara tersebut unsur-unsur
dikaitkan satu sama lain. Proses differance ini menolak adanya petanda
absolut atau “makna absolute,” makna transendental, dan makna universal, yang
diklaim ada oleh De Saussure dan oleh pemikiran modern pada umumnya.
Menurut
Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan (spacing),
di mana apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya hanyalah selalu
berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada celah atau kesenjangan antara
penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini membuat pencarian
makna absolut mustahil dilakukan. Setelah “kebenaran” ditemukan, ternyata masih
ada lagi jejak “kebenaran” lain di depannya, dan begitu seterusnya.
Jadi,
apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang “ada di
depan,” tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pegangan.
Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan pasti, ternyata adalah ketidakpastian,
atau permainan. Semuanya harus ditunda atau ditangguhkan (deferred) sembari
kita terus bermain bebas dengan perbedaan (to differ). Inilah yang
ditawarkan Derrida, dan posmodernitas adalah permainan dengan ketidakpastian.
D. Penerapan
dan Sistematika Dekonstruksi
Pada
awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi
berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus
berlangsung, terhadap teks-teks tertentu. Ia berkomitmen pada analisis
habis-habisan terhadap makna literal teks, dan juga untuk menemukan
problem-problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa mengarahkan
ke makna-makna alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang
diabaikan.
Dekonstruksi
menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi
(pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability), yang
mengkhianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang
dalam teks yang ditulisnya.
Proses
penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan,
dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk
kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu
berlandaskan pada teks, dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena
selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi,
sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda.
Ini
juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi harus
dilakukan dengan hati-hati. Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau
mengurung dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat
dekonstruksi justru berlandaskan pada hasrat untuk mengekspos kita terhadap
keseluruhan yang lain (tout autre), dan untuk membuka diri terhadap
berbagai kemungkinan- kemungkinan alternatif.
Penjelasan
ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida. Adanya
perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-karya awal dan karya-karya
terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang jelas bagi kesulitan yang akan
muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi mengatakan ini” atau
“dekonstruksi melarang itu.”
Namun,
ada ciri tertentu dari dekonstruksi yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan
upaya Derrida dilandaskan pada keyakinannya tentang adanya dualisme, yang hadir
dan tak bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat.
Kekhasan
cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat
bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian
dibongkar bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis
tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan
pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu
atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya,
kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan.
Oleh
karena itu, dalam metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan
dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan, dan oleh karenanya, filsafat
tidak pernah berupa ungkapan transparan pemikiran langsung. Sebab, setiap
pemikiran filosofis tentu disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter
material, baik grafis maupun fonetis. Dan sistem tanda itu tentu juga tak hanya
digunakan untuk kepentingan filosofis.
Filsafat
yang pada dasarnya adalah tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan,
dan keluar dari kerangka fisik kebahasaan yang digunakannya. Bahasa ingin
digunakan sebagai sarana transparan untuk menghadirkan makna dan kebenaran riil
yang ekstra-linguistik, atau dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut,
kebenaran yang betul-betul benar.
Sedangkan
tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya
penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang
mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks.
Sistematika
penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama,
mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, di mana biasanya terlihat
peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak.
Kedua,
oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di
antara yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik.
Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama.
Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama.
Dengan
langkah-langkah semacam ini, pembacaan dekonstruktif berbeda dari pembacaan
biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan
terkadang berusaha menemukan makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri
barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin
mencari ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan
makna atau kebenaran tunggal.
E. Pengaruh
Dekonstruksi terhadap Kajian Budaya
Dalam
kajian budaya, dekonstruksi Derrida memberi pengaruh penting. Berkat
dekonstruksi Derrida, makna kini tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang
mutlak, tunggal, universal, dan stabil, tetapi makna selalu berubah.
Klaim-klaim kebenaran absolut, kebenaran universal, dan kebenaran tunggal, yang
biasa mewarnai gaya pemikiran filsafat sebelumnya, semakin digugat,
dipertanyakan, dan tidak lagi bisa diterima.
Secara
sepintas, seolah-olah tidak ada tawaran “konkret” dari metode dekonstruksi.
Namun, yang dimaui oleh dekonstruksi adalah menghidupkan kekuatan-kekuatan
tersembunyi yang turut membangun teks. Teks dan kebudayaan tidak lagi dipandang
sebagai tatanan makna yang utuh, melainkan sebagai arena pertarungan yang
terbuka. Atau tepatnya, permainan antara upaya penataan dan chaos, antara
perdamaian dan perang, dan sebagainya.
Dalam
kesusastraan, misalnya, dekonstruksi ditujukan sebagai metode pembacaan kritis
yang bebas, guna mencari celah, kontradiksi dalam teks yang berkonflik dengan
maksud pengarang. Dalam hal ini, membaca teks bukan lagi dimaksudkan untuk
menangkap makna yang dimaksudkan pengarang, melainkan justru untuk memproduksi
makna-makna baru yang plural, tanpa klaim absolut atau universal.
Dalam
proses itu, penafsir juga tidak bisa mengambil posisi netral tatkala
menganalisis suatu teks tanpa dirinya sendiri dipengaruhi atau dibentuk oleh
teks-teks yang pernah ia baca. Teks itu sendiri juga tidak bisa diasalkan
maknanya semata-mata pada gagasan si pengarang, karena pikiran pengarang juga
merujuk kepada gagasan-gagasan pengarang lain yang mempengaruhinya.
Dekonstruksi,
seperti juga pendekatan posmodernisme lainnya, dengan demikian cocok dengan
konsep pluralitas budaya, pluralitas permainan bahasa, banyaknya wacana,
penghargaan terhadap perbedaan, dan membuka diri terhadap yang lain (the
other)
Penghargaan
terhadap perbedaan, pada “yang lain” ini membuka jalan bagi penghargaan pada
pendekatan lokal, regional, etnik, baik pada masalah sejarah, seni, politik,
masyarakat, dan kebudayaan pada umumnya.
Penelitian
yang bersifat lokal, atau etnik, dan sebagainya kini mendapat tempat, dan pada
gilirannya akan memperkaya dan menghasilkan deskripsi atau narasi-narasi khas
masing-masing. Mungkin, inilah salah satu sumbangan penting dekonstruksi
Derrida terhadap kajian budaya.
Bab III
Penutup
Seperti tokoh-tokoh post-strukturalisme
yang lain, Derrida mencoba menawarkan metode dekonstruksi sebagai alternatif
problem modernitas yang telah dianggapnya gagal. Sasaran utama dari proyek
dekonstruksinya adalah membongkar sifat totaliter dari sistem, terutama yang
tercermin dalam bahasanya. Menurutnya, metafisika dan epistemologi Barat selama
ini telah didominasi oleh logosentrisme dan metafisika kehadiran karena itu
harus didekonstruksi. Serangan dekonstruksi Derrida membebaskan dua konsep
tirani yang mendominasi filsafat, yaitu konsep totalitas dan esensi, sehingga
menghasilkan kebenaran yang partikular, unik dan relatif. Dengan demikan,
keberanikaan dakui keberadaannya. Kesulitan yang akan dihadapi Derrida adalah
bahwa ia terjebak dalam ambiguitas yang mengarah pada nihilisme.
Namun
begitu, terlepas dari kontroversi, Derrida adalah salah satu dari sedikit
filsuf yang berpengaruh demikian luas melintas bidang. Pemikiran-pemikirannya
juga sangat orisinal, unik, walau terkadang aneh dan sulit dimengerti dengan
nalar sederhana. Namun, menilik kesejajarannya dengan berbagai gerakan
perjuangan dan gelombang perubahan yang berlangsung dewasa ini, kiranya
terbukti sangat relevan. Kini setelah dia tutup usia pada 8 Oktober 2004 pada
usia 74 tahun, barangkali masih banyak kontroversi yang ditinggalkan Derrida
bagi kita, tetapi dia sendiri mungkin telah maklum, setidaknya dalam hal apakah
sungguh-sungguh ada kategori lain di seluar polaritas dikotomis hidup/mati.
1 comments:
like :D
Post a Comment