Bab I
Pendahuluan
Membaca Derrida tentunya tidak bisa lepas dari konteks
sejarah yang melatar belakanginya. Kita juga tidak bisa gegabah dalam memetakan
konsep pemikiran Derrida. Sebelum saya memaparkan konsep-konsep Derrida tentang
dekontruksi, intertekstualitas, trace dan logocentrisme tentunya saya harus
memberikan penjelasan tentang para pemikir yang mempengaruhi Derrida. Dalam
pergulatan pemikiran Derrida banyak dipengaruhi oleh fenomenologinya Hussrel
dan Heidegger, psikoanalisisnya Freud dan genealogi moralnya Nietzstche.
Karya-karya Derrida memang susah sekali untuk
diinterpretasikan. Selain dalam penulisnya menggunakan bahasa prancis klasik,
Derrida menggunakan bahasa yang seringkali memang susah diterjemahkan dalam
bahasa Inggris dan ambigu. Tulisan seperti ini sepertinya sengaja digunakan
Derrida supaya tidak terjebak pada logosentrisme. Hal ini banyak diakui oleh
para reader Derrida.
Dengan demikian tulisan-tulisan Derrida masih membuka
peluang yang besar untuk dikoreksi kembali. Derrida tidak pernah menganggap
tulisanya sebagai karya yang fixs. Dia masih memberikan ruang yang luas dalam
meninjau ulang tulisanya.
Bab II
Pemikiran
Lahirnya Strukturalisme
Wacana esensialisme dirasa tidak mencukupi lagi untuk
memahami suatu keutuhan masyarakat, khususnya ketika ia dihadapkan pada
pengetahuan. Strukturalisme lahir dari pergeseran wacana tentang masyarakat dan
pengetahuan. Ada yang dilupakan dalam wacana sebelumnya, terutama mengenai
fenomena struktural yang pada hakikatnya terdapat dalam relasi perbedaan suatu
masyarakat. Oleh karena itu sejarah ilmu bukan merupakan ungkapan pikiran,
melainkan suatu konfigurasi epistemologis. Jadi, pada awalnya strukturalisme
adalah sebuah gerakan intelektual yang mendasarkan diri pada usaha untuk
memahami masyarakat sebagai sistem realitas yang menyeluruh yang ditekankan
pada bangunan intelektualnya (Lechte, 2001: 15).
Kelahiran strukturalisme mulai menemukan bentuknya
sekitar era 50-an. F.M. de George dalam esainya “Charles Baudelaire’s ‘Les
Chats’” (1972), sebagaimana yang dikutip Spivak, mengatakan bahwa kebangkitan
strukturalisme berawal dari pertemuan Roman Jakobson, ahli linguistik dan salah
seorang anggota Mazhab Formalisme Praha, dengan seorang antropolog Claude
Lévi-Strauss di Amerika Serikat. Salah satu peristiwa yang dianggap sebagai
tonggak kebangkitan strukturalisme dengan mainstream metode interpretasinya
(Spivak, 1976: 111).
Secara umum strukturalisme adalah gerakan intelektual
yang mengisolasikan struktur umum aktivitas manusia. Struktur adalah kesatuan
beberapa unsur atau elemen yang terdapat dalam relasi yang sama pada
“aktivitas” manusia. Kesatuan struktur tersebut tidak bisa dipilah secara
terpisah menjadi elemen, karena struktur adalah subtansi dari hubungan antar
elemen. Strukturalisme berkembang meliputi berbagai bidang, termasuk sastra,
linguistik, antropologi, sejarah, sosio-ekonomi dan psikologi.
Strukturalisme Saussurean mengenalkan sebuah pengertian tentang
“struktur”. Saussure menitikberatkan praktek-praktek material adalah cara
ditemukannya makna “struktur” yang sebenarnya. Kemudian Saussure melanjutkan
proyek strukturalisme pada penyelidikan linguistik, bahwa bahasa harus ditinjau
ulang agar linguistik memiliki landasan yang mantap. Saussure menentang
anggapan sebelumnya yang menyatakan bahasa bersifat rasional ketika dihadapkan
pada sejarah. Para ahli linguistik sebelumnya melakukan pendekatan historis
pada bahasa agar didapati nilai intrinsik dalam bahasa tersebut. Bahasa adalah
proses nomenklatur (penamaan) keterkaitan antara nama dan objek yang ditentukan
secara historis.
Apa yang ditekankan Saussure adalah bukan pada penataan
bahasa secara historis yang menemukan nilai intrinsik dalam bahasa, melainkan
pada konfigurasi bahasa yang mentolerir kekinian. Yang terjadi kemudian adalah
hubungan unsur atau elemen yang tertata dengan cara tertentu melalui sistem
atau struktur. Di mana individu tidak akan bermakna ketika melepaskan diri dari
struktur. Saussure mencanangkan terma-terma yang berkaitan dengan struktur yang
bertautan dengan masa kini. Ia menjelaskan bahwa bahasa (langue) adalah
perbedaan, di mana sistem sendiri adalah produk perbedaan tersebut. Dan bahasa
hanya bisa bermakna ketika dipahami melalui sistem-sistem bahasa dalam suatu
konfigurasi linguistik atau totalitas perubahan sistem-sistemnya. Untuk
mendapatkan totalitas tersebut harus dilakukan pendekatan bahasa dengan
perspektif sinkronis. Di mana suatu fenomena tekstual hanya bisa ditemukan
melalui pendekatan kekiniannya (sinkroni) ketimbang perkembangan historisnya
(diakroni).
Derrida membaca gelagat struktur yang bermuatan
paradigma metodologis strukturalisme Saussurean semacam ini terdapat
pengoposisian, yang kemudian disebut oposisi biner, antara dua terma yang
diperlawankan. Para strukturalis mengasumsikan salah satu terma dianggap lebih
superior dibanding terma lainnya. Karena dalam terma super tersebut dipercaya
sebagai tempat persembunyian metafisika, tempat di mana makna selalu hadir di
dalamnya yang disebut Derrida dengan “metafisika kehadiran” (metaphysics of
presence).
Lebih luas oposisi biner ini menjangkiti semua
pengertian yang terkait, di antaranya: sinkroni/diakroni, sistem bahasa
(langue)/tindak bahasa (parole), aktivitas/pasivitas, tuturan (speech)/tulisan
(writing), penanda (signifier)/petanda (signified), waktu/ruang, dan
sebagainya. Apa yang dilupakan para strukturalis adalah mereka lupa meletakkan
“tanda silang” (sous rature) dan tidak mempersoalkan oposisi biner tersebut.
Lebih lanjut oposisi biner ini akan dipermasalahkan
grammatologi dan différance. Demikian halnya ketika pemaknaan bahasa hendak
dicapai, tuturan (speech) lebih diprioritaskan dari pada tulisan (writing).
Sebab dalam tuturan, individu yang notabene bentukan dari sistem budaya
tertentu mampu mengartikulasikan bahasa sekaligus menyuguhkan maknanya secara
langsung dalam kekiniannya. Terutama melalui tuturan, peran dan fungsi objek
yang terbahasakan mampu diperlihatkan oleh subjek yang merekonstruksi objek
tersebut, yang secara aktual struktur berperan sebagai simulakrum objek
(Spivak, 1976: l12).
Berbeda dengan tulisan sebagai ekspresi derivatif yang
lemah, yang senantiasa menutup diri dari artikulasi yang langsung tersebut,
sehingga maknanya menjadi kabur karena berbagai interpretasi. Tulisan adalah
“suplemen” berbahaya yang menjebak bahasa jauh dari keotentikan aslinya dalam
tuturan dan kehadiran-diri. Untuk mengikat pikiran seseorang kepada tulisan
berarti untuk menyerahnya kepada wilayah publik, yang beresiko salah dimengerti
oleh semua tipu muslihat akibat campur-aduknya penafsiran. Tulisan adalah
“kematian” yang menghadang pikiran, agen licik pembusukan yang kerjanya
menjangkiti seluruh sumber kebenaran.
Derrida membaca oposisi serupa juga berlaku pada
Lévi-Strauss, tuturan sebagai kehidupan dan vitalitas, dan tulisan sebagai
kegelapan yang berkonotasi pada kekerasan dan kematian. Husserl juga membedakan
dua macam tanda yang memiliki perbedaan pokok, antara tanda indikatif dan tanda
ekspresi. Tanda ekspresi telah diberi makna yang merepresentasikan tujuan makna
atau kekuatan intensional yang “memberi nyawa” bahasa. Sebaliknya tanda
indikatif adalah tanpa ekspresi yang “tak bernyawa” dan sistem rasa yang
abritrer.
Dengan palu différance Derrida meruntuhkan sistem oposisi
tersebut. Oposisi yang menempatkan terma pertama pada kedudukan superior yang
diasumsikan melalui strukturnya memiliki makna yang hadir yang bersembunyi di
balik teks. Derrida meruntuhkan oposisi ini dengan menghancurkan
“hierarki”-nya, melawan kekerasan dengan kekerasan, pembalikan terma, dan terma
pemenang harus diletakkan di bawah tanda silang. Sehingga memberi ruang pada
“konsep” baru yang tidak dipahami dengan cara pandang oposisi.
Ada Sebagai Metafisika
Yang Di(hadir)kan
Ada sebagai proposisi yang selalu dihadirkan dalam dunia
tanda. Ada seringkali hadir dengan melampaui sistem penanda dan petanda.
Petanda yang sifatnya arbriter ini membuat meng ada sebagai struktur yang
seharusnya ada. Dalam pandangan Heidegger misalnya meng ada di fahami sebagai
reduksi fenomenologis dari sebuah realitas. Heidegger sebenarnya ingin kembali
merevitalisasi dan merehabilitasi fungsi ontologis yang ada di dalam metafisika
klasik sekaligus dia ingin memberikan kritik terhadap kehadiran metafisika
klasik.
Dalam memulihkan metafisika klasik ini, Heidegger
mengawali kerangka teorinya dengan memikirkan ada yang terlupakan dan
dikesampingkan oleh metafisika serta dikesampingkan sebagai struktur keberadan
(das Sein). Dengan membiarkan ada sebagai kehadiran yang terlupakan menurut
Heidegger metafisika klasik senganja menghilangkanya dari keberadaanya.
Sehingga dalam paradigma metafisika klasik being sengaja tidak dihadirkan.
Sebenarnya Heidegger ingin memfalsifikasi tentang
paradigma Cartesian yang memberikan determinasi tentang being berada di bawah
cogito. Dalam pandangan cartesian memahami bahwa ada sebagai sentral keberadaan
yang lain. “Cogito Ego Sum” itulah yang menjadi landasan epistemis kerangka Des
Cartes. Dengan demikian akan semakin terlihat bahwa Cartes lebih
memprioritaskan pada Cogito diatas Sum dan menjadikan berfikir sebagai poros
utama keberadaan (Fayadl 2003 : 132 dan Budi Hardiman 2003 : 30).
Heidegger mempertanyakan tentang ada yang dikonsepsikan
oleh Cartes. Dalam etika paradigma modern yang dipengaruhi oleh filsafat
cartesian ini, Heidegger beranggapan bahwa ada dimaknai sebagai kesadaran atau
subyektivitas akan tetapi tidak berlaku dalam segala zaman. Kesadaran tidak
bisa dilihat dengan hubungan subyek dan obyek. Kesadaran merupakan sesuatu
suatu peristiwa ada atau dalam hemat saya kesadaran merupakan salah satu cara
ada membuka dirinya. Maka dari itu kesadaran dapat diraih lebih dengan cara
membuka diri dan membuka kontak dengan ada daripada dengan menguasai sesuatu
yang lain sebagai obyek. (Budi Hardiman 2003 : 31)
Dalam paradigma marxian misalnya memberikan oposisi
antara proletar dan borjuis.dimana borjuis akan senantiasa mengeksploitasi
proletar. Dan dalam keadaan seperti ini akan menimbulkan kesadaran kritis kaum
proretar. Kesadaran kritis seperti ini dalam pandangan Heidegger didak lebih
sebagai dominasi. Kaum proletar dalam hal ini tidak membuka diri terhadap ada
melainkan cenderung mereduksi ada pada kesadaran belaka. Sebenarnya Heidegger
menawarkan strategi lain dalam mendekati fenomen kesadaran. Dengan membuka diri
terhadap ada dan mencandra realitas dalam kerangka fenomenologi sebagai
pewahyuan diri ada.
Dengan demikian Heidegger semakin mengukuhkan bahwa ada
itu terstruktur dalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu ini dimaksudkan oleh
Heidegger sebagai struktur yang membentuk keberadaan itu. Dengan demikian orang
akan selalu memberikan interpretasi mengenai ada sebagai bentuk verbalnya. Ada
sebagai bentuk verbal bukanlah keberadaan yang benar-benar ada akan tetapi ada
yang di”ada”kan. Reduksi fenomenologis ini akan membawa seseorang senantiasa
terjebak dalam keadaan ada sebagai sesuatu yang tidak sama sekali dibentuk oleh
paradigma. Orang akan senantiasa memberikan gambaran bahwa ada sebagai bentuk
yang alamiah.
Dekonstruktor dibalik
Derrida
Nietzsche, Freud, Husserl dan Heidegger adalah
orang-orang yang mengilhami dekonstruksi Derrida. Dekonstruksi secara umum
dilakukan dengan meletakkan sous rature oleh Nietzsche pada “pengetahuan”,
Freud pada “psikhe”-nya dan Heidegger pada “Mengada” (Being)-nya. Nietzsche
adalah orang pertama yang memulai proyek dekonstruksi. Kritik-kritik tajam yang
diarahkan pada filsafat Barat dan seluruh praktek perabadan Barat adalah suatu
pekerjaan dekonstruktif. Terutama sekali yang mempengaruhi Derrida adalah gaya
penulisan filosofisnya yang bersikukuh dengan sikap skeptis terhadap
klaim-klaim pengetahuan dan kebenaran. Dan membebaskan pikiran dari batas-batas
konseptual yang mengurungnya.
Nietzsche bersikap skeptis terhadap metode dan konsep,
kemudian mengalihkannya pada metafor dan bahasa figuratif, di mana segala
kebenaran lahir dari sana. Filsafat dari Plato sampai sekarang, dengan
menggunakan tirani rasio selalu menyingkirkan segala hal yang berkaitan dengan
bahasa figuratif. Metafora dan segenap bahasa figuratif adalah kegairahan hidup
yang menyuguhkan keragaman akan pemahaman. Nietzsche berusaha menghidupkan
kembali tradisi yang dikubur oleh rezim rasio, bahwa kebenaran makna adalah
relatif, bermetafora dan bergeser terus. Metafor-metafor bahasa inilah yang
menjadi titik tolak tulisan-tulisan Derrida.
Dekonstruksi juga dilakukan Freud dengan mengusung tema
pikiran tidak sadar, di mana sebelumnya kesadaran dan rasionalitas selalu
menjadi superior dalam urusan kesadaran. Freud juga mempengaruhi “tulisan”
(writing) Derrida, terutama mengenai tafsir mimpi yang diungkap melalui bahasa
simbolik. Husserl mengenalkan metode menempatkan kata dalam tanda kurung
(einklamerung).
Tujuan dari einklamerung semacam ini adalah menangguhkan
sementara kata atau objek yang tidak memadai. Heidegger juga mengenal metode
ini, dengan memberi “tanda silang” (Überqueren). Sebuah kata diberi tanda
silang apabila maknanya dianggap tidak memadai namun masih berguna. Sehingga
kata dibiarkan saja tercoret di bawah tanda silang. Heidegger sering menyilang
kata “Mengada” (Being), sehingga kata yang tertulis menjadi “Mengada”.
Dalam Of Grammatology Derrida menjelaskan tanda melalui
“jejak” (trace). Dengan kalimat terkenalnya Derrida menyatakan, “tanda adalah
sebutan-jelek terhadap sesuatu” (sign is that ill-named thing), inilah cara
satu-satunya menyelamatkan filsafat yang terinstitusional (Derrida, 1976: 19).
Tanda tidak memiliki kehadiran, ia akan selalu ditentukan jejaknya yang tidak
hadir. Tanda adalah sesuatu yang tidak utuh dan terus dipertukarkan dengan
makna lain serta terus-menerus bergeser. Maka makna menjadi tertunda sampai
batas yang tak berhingga, di sana lah différance mulai sedikit terjelaskan.
Dengan demikian dekonstruksi tidaklah identik dengan
nama Derrida, sebab maknanya bisa bergeser ke Nietzsche, Freud, Heidegger atau
tokoh dekonstruksi yang datang belakangan. Sebab bila trace menempatkan kata
pada ruang makna yang berjejak, maka demikianlah maksud Derrida atas
ketidakidentikan dekonstruksi dengan namanya. Atau bahkan ia pun sesungguhnya
mendekonstruksi namanya sendiri, sebagaimana yang ia sering nyatakan.
Dekonstruksi ala Derrida
Lahirnya peradaban Barat adalah bentuk pemujaan terhadap
logos setidaknya demikianlah yang dibaca Derrida ketika dikaitkannya dengan logosentrisme.
Filsafat yang notabene sebagai pelaku utama peradaban Barat, selama ini hanya
mampu menggantungkan diri pada logosentrisme (bersinonim dengan metafisika).
Memusatkan dan mengembalikan semua pencarian kebenaran pada logosentrisme.
Pusat selalu menandai kesatuan konstan suatu kehadiran eidos, archè, telos,
energeia, ousia (esensi, eksistensi, subtansi, subjek), aletheia,
transendentalitas, kesadaran atau kata hati, Tuhan, manusia, dan seterusnya
(Derrida, 2001: 25 lihat dalam Spivak 1976 : 37).
Kumpulan logos tersebut antara lain: Idea, Tuhan, Rasio,
Empiri, Kehendak, Roh Absolut, Materi, Struktur, dan sebagainya. Jadi apa yang
ditafsirkan Nietzsche dengan “Tuhan” sama arti dengan logosentrismenya Derrida.
Filsafat Barat mengasumsikan ada kebenaran esensial yang melatarbelakangi
bentuk luar kebenaran (penanda) yang langsung berkaitan dengan sesuatu yang
transendental yang stabil dan kokoh (logos). Di mana semua bentuk luar
kebenaran harus bertolak pada kebenaran esensial yang transendental.
Sebanding dengan logosentrisme adalah fonosentrisme dan
phalosentrisme phallus bukan semata organ aktual, namun sebuah penanda yang
menggantikan seluruh penanda yang menandakan setiap hasrat terhadap segala
ketidakhadiran. Watak logosentrisme ini kemudian melibatkan diri dalam oposisi
biner, yang memberikan hak istimewa pada terma-terma super. Pengoposisian yang
berkaitan dengan semiologi adalah oposisi penanda/petanda.
Derrida melihat ketidakmungkinan mencapai kebenaran atau
makna tunggal melalui asumsi-asumsi logosentrisme, karena dekonstruksi selalu
bekerja dalam teks-teks filsafat yang terinstitusional. Dekonstruksi pada
awalnya adalah pembacaan teks pada sastra, ia bergerak di wilayah sastra. Namun
pada akhirnya dekonstruksi masuk ke dalam seluruh wacana filsafat. Jadi
dekonstruksi itu pembacaan filsafat secara sastrawi. Dekonstruksi adalah metode
membaca teks secara sangat cermat hingga menemukan ketidakkonsistenan dan
paradoks dalam konsep-konsep teks secara keseluruhan.
Dekonstruksi tidak pernah membangun sebuah sistem
filsafat, bahkan berkebalikan dari itu. Ia menyusup, menyebar dan menjangkiti
sistem paradigma filsafat Barat yang telah terprogram oleh logosentrisme.
Sekali virus dekonstruksi masuk ke dalam program tersebut, ia akan mampu
mengubah diri lewat beragam cara yang rumit dan mereproduksi diri dalam setiap
teks filsafat yang pada akhirnya siap menggerogoti program tersebut.
Namun demikian tugas dekonstruksi tidak semata-mata
membongkar, tapi juga menginskripsikannya kembali dengan cara lain. Seperti
yang Derrida (1976) katakan, …tugas dekonstruksi adalah …membongkar
(deconstruire) struktur-struktur metafisis dan retoris yang bermain dalam teks,
bukannya untuk menolak atau menyingkirkan struktur-struktur tersebut, melainkan
untuk mendinskripsikannya kembali dengan cara lain. Cara mendinskripsikannya
dengan memanfaatkan penanda bukan sebagai kunci transendental yang akan membuka
pintu gerbang jalan kebenaran, tapi digunakan sebagai bricoleur atau alat-nya
si pemikir alat yang positif.
Semua filsafat Barat, juga pada fenomenologi dan
strukturalisme, adalah dua institusi filsafat yang ingin membuktikan bahwa
tuturan adalah tempat aktualisasi kebenaran dan makna. Husserl mengklaim bahwa
kehadiran diri ada dalam suara (phone). Suara yang dimaksud adalah suara dalam
kesendirian batin: “Ketika bicara saya mendengar diriku sendiri. Saya bicara
sekaligus mendengar dan memahami”. Husserl ingin menyodorkan fakta-fakta psikis
yang diderivasi dari living present, dan membuktikan tuturan lebih dekat dengan
psikis dari pada tulisan yang cenderung berjarak. “Makna kehadiran” atau
fenomenologi menamainya “kehadiran langsung” (living present) adalah kesadaran
yang ditata dan mendapatkan makna yang berdimensi waktu.
Demikian juga Saussure membuktikan bahwa tuturan adalah
sumber kebenaran. Berbeda dengan tulisan yang berlumuran segala macam
ketertutupan makna, dalam tuturan ada hubungan langsung suara dan rasa (sense),
karena ada kedekatan dengan kehadiran-diri yang memuat serangkaian makna di
dalamnya. Jika fenomenologi dan strukturalisme mencari kebenaran melalui
pemusatan elemen-elemennya.
Hal ini berkebalikan dengan apa yang dilihat Derrida.
Semua usaha pemusatan, baik pada “kata hati” atau “struktur” akan dihadapkan
pada “situasi kebuntuan penafsiran” (aporia), di mana pusat tidak lagi dapat
bekerja. Tuturan pada suatu saat akan menemui tindakan atau perkataan ambigu
ketika penutur mengalami keraguan dengan apa yang dimaksudkan dalam tuturannya.
Aporia menunjukkan bahwa pusat pada saatnya adalah jalan buntu bagi penafsiran.
Justru pada saat kebuntuan terjadi, bagi aporia adalah segala macam tempat
makna akan terjejaki. Bukan dengan menunggalkan makna melalui pengoposisian,
tapi membuat plural makna dengan melepas pemisah oposisinya.
Dari semua tradisi filsafat Barat, tulisan selalu diberi
tempat kedua dibandingkan tuturan. Ia berpredikat sebagai transkripsi fonetis;
artifisial; teralienasi; mekanis; merusak kemurnian kehadiran; orang asing;
medium yang tak memiliki rupa dan sosok (depersonalized); bayangan seram yang
jatuh di antara maksud dan makna, antara tuturan dan pemahaman. Tulisan adalah
ancaman bagi pandangan tradisional yang mengisolasi kebenaran dengan
kehadiran-diri bahasa yang bisa mengekspresikan diri.
Tulisan yang ditangan-duakan, semakin memperlihatkan
oposisi biner dalam semua filsafat Barat. Derrida mengkritik bahwa mereka lupa
men-sous rature-kan oposisi biner, dan tidak memperkarakan oposisi tersebut.
Penghapusan oposisi tuturan/tulisan adalah praktek grammatologi, yakni “ilmu
tentang tulisan”, yang membalik hierarki dan orientasi teori bahasa yang bukan
tuturan, tapi tulisan (Culler, 1979: 158).
Derrida tidak ingin membuktikan bahwa tulisan adalah
sesuatu yang lebih mendasar dari tuturan. Dekonstruksi adalah aktivitas
pembacaan yang terikat dengan teks dan tidak bisa berdiri sendiri sebagai
sistem operasi konsep-konsep yang tertutup. Pembacaan teks di sini lebih
berarti menunda makna kehadiran yang di anggap bersemayam di balik teks
tersebut, baik dalam teks tuturan dan tulisan. Pembongkaran selubung makna yang
menutupi teks adalah apa yang ingin dipentaskan dalam aksi-aksi grammatologis.
Grammatologi awalnya adalah proklamasi kemenangan
tulisan atas tuturan melalui pembalikan hierarki struktur dalam teks.
Grammatologi juga merupakan cara kerja dekonstruksi yang ditujukan pada
struktur dalam teks tulisan itu sendiri. Teks tulisan bagi grammatologi adalah
suatu tanda (sign) yang berkontradiksi antara penanda dan petandanya, yang
menghilangkan pusat teks melalui penjejakan (trace) makna. Ketika pusat tercerabut
dari tempatnya, ia pun akan menimbulkan ketidakstabilan, yang memberi petunjuk
pada bahasa akan kebebasan permainan.
Pertarungan penanda dan petanda bukanlah metode
penguasaan dengan mencari kesatuan yang bermuara pada petandanya, namun dengan penjejakan
(trace). Sehingga runtuhnya oposisi biner menempatkan teks menjadi polisemi
dalam permainan ketidaktertangkapan makna secara terus-menerus atau diseminasi.
Usaha tersebut memerlukan desublimasi konseptual atau “keterjagaan” yang
memiliki kekuatan menelanjangi sikap Barat terhadap pemikiran dan bahasa.
Dekonstruksi bisa dijelaskan dengan cara lain melalui
cara kerja différance. Différance adalah manifestasi dari dekonstruksi penanda
secara grafis. Différance seperti halnya tulisan adalah pelafalan anonim yang
kebal terhadap segala bentuk reduksi. Arti dari différance sendiri berada pada
posisi menggantung, antara dua kata “to differ” (berbeda) dan “to defer”
(menunda). (Fayadl, 2004: 110)
Status makna kata yang menggantung ini adalah pembuktian
tidak utuhnya kata différance itu sendiri. Sekaligus membuktikan kelemahan
Saussure, yang menempatkan struktur sebagai pusat yang menyatukan perbedaan
bahasa yang berisi oposisi dan men-superior-kan tuturan dari pada tulisan.
Status menggantung juga mempersilahkan grammatologi untuk bertindak,
ketidakpastian dan tertundanya makna terus-menerus adalah bagaimana
grammatologi diterapkan secara grafis.
Pelafalan différance meskipun pada akhirnya melahirkan
struktur diferensial dalam tulisan, namun tidak menghasilkan kehadiran. Huruf
“a” dalam kata itu mengingatkan kita bahwa, kata yang dilafalkan secara
sempurna selalu tidak hadir, dia dibentuk melalui rangkaian kesalahan pelafalan
yang tak berujung, bahkan dalam struktur grafis sekalipun (Fayadl : 110).
Dekonstruksi juga mereproduksi beragam pengertian yang
menyertainya, namun pada akhirnya tidak melahirkan definisi yang jelas. Derrida
mengingatkan berbagai pengertian tersebut bukanlah kata dan konsep.
Pengertian-pengertian tersebut adalah kata yang tidak utuh karena maknanya
harus ditunda. Mereka harus saling dipertukarkan satu dengan lainnya secara
acak, sehingga membentuk mata rantai-mata rantai kata.
Semiologi sebagai ilmu pertandaan yang bekerja
mengoposisikan penanda dan petanda dengan metode yang regorous, pada akhirnya
ketika dijangkiti virus dekonstruksi dengan sendirinya akan menghadapi
kehancuran diri. Penanda sebagai bentuk material dari tanda bukan lagi sebagai
derivasi langsung dari petanda. Struktur yang selama ini menjamin adanya kehadiran
makna dalam bahasa tidak lagi mendiami tempatnya. Hubungan pertandaan tidak
ditentukan oleh struktur sebagai pusat kekuatan makna yang bermuara pada
petanda yang tunggal. Sebab pusat sebagaimana yang dibaca Derrida atas
Lévi-Strauss terhadap mitologi adalah laksana ilusi historis (Derrida, 2001:
46).
Maka makna itu ditentukan oleh jejak (trace) penandanya,
yang senantiasa berjejak, bergeser, berpindah ke sembarang arah. Sehingga teks
adalah permainan ketidakpastian polisemi bahasa yang diseminasif. Dengan
membalik struktur hierarki dalam hubungan pertandaan yang sekaligus
menghilangkan oposisinya, maka tidak ada superioritas pada salah satu termanya.
Demikianlah penanda akan senantiasa bergeser terus-menerus.
Bab III
Penutup
Seperti
tokoh-tokoh post-strukturalisme yang lain, Derrida mencoba menawarkan metode
dekonstruksi sebagai alternatif problem modernitas yang telah dianggapnya
gagal. Sasaran utama dari proyek dekonstruksinya adalah membongkar sifat
totaliter dari sistem, terutama yang tercermin dalam bahasanya. Menurutnya,
metafisika dan epistemologi Barat selama ini telah didominasi oleh
logosentrisme dan metafisika kehadiran karena itu harus didekonstruksi.
Serangan dekonstruksi Derrida membebaskan dua konsep tirani yang mendominasi
filsafat, yaitu konsep totalitas dan esensi, sehingga menghasilkan kebenaran
yang partikular, unik dan relatif. Dengan demikan, keberanikaan dakui
keberadaannya. Kesulitan yang akan dihadapi Derrida adalah bahwa ia terjebak
dalam ambiguitas yang mengarah pada nihilisme.
Namun begitu, terlepas dari kontroversi,
Derrida adalah salah satu dari sedikit filsuf yang berpengaruh demikian luas
melintas bidang. Pemikiran-pemikirannya juga sangat orisinal, unik, walau
terkadang aneh dan sulit dimengerti dengan nalar sederhana. Namun, menilik
kesejajarannya dengan berbagai gerakan perjuangan dan gelombang perubahan yang
berlangsung dewasa ini, kiranya terbukti sangat relevan. Kini setelah dia tutup
usia pada 8 Oktober 2004 pada usia 74 tahun, barangkali masih banyak
kontroversi yang ditinggalkan Derrida bagi kita, tetapi dia sendiri mungkin
telah maklum, setidaknya dalam hal apakah sungguh-sungguh ada kategori lain di
seluar polaritas dikotomis hidup/mati.
Refrensi
Al-fayadl, Muhammad, 2005. Derrida, Lkis Yogyakarta.
Asyhadi, Nurudin 2004. Hampiran Hamparan Gramatologi Derida, Lkis
Yogyakarta.
Barker Cris, 2000, Cultural Studies Teory And Practice, Sage
Publication, London. Terj. Team Kunci Cultural Studies, 2005. Cultural Studies
Teori Dan Praktik Bentang, Yogyakarta.
Culler, Jonathan, 1979. “Jacques Derrida”, dalam John Sturrock, ed.,
Structuralism and Since: From Lévi-Strauss to Derrida, Oxford University Press,
New York, h. 249-292. terj. Muh. Nahar 2004 Jp press Surabaya.
Derrida, Jacques, 1976. Of Grammatology, terj. Gayatri Chakravorty
Spivak, The John Hopkins University Press, Baltimore and London. Terj. Ridwan
Muzir ARRUS Jogyakarta. 2003.
Lechte, John, 2001. 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme
sampai Posmodernitas, terj. A. Gunawan Admiranto, Kanisius, Yogyakarta.
Sarup, Madan, 2003. “Derrida dan Dekonstruksi”, Posstrukturalisme
dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis, terj. Medhy Aginta Hidayat,
Jendela, Yogyakarta, h. 51-98. Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa, Kanal,
Yogyakarta.
Majalah Basis Edisi Derrida no. 11-12 Tahun Ke 54, November-Desember
2005 Yogyakarta.
0 comments:
Post a Comment