Bab I
Pendahuluan
Jacques
Derrida merupakan seorang filsuf Prancis keturunan Yahudi dan dianggap sebagai
pendiri ilmu dekonstruktivisme, sebuah ajaran yang menyatakan bahwa semuanya
di-konstruksi oleh manusia, juga bahasa. Semua kata-kata dalam sebuah bahasa
merujuk kepada kata-kata lain dalam bahasa yang sama dan bukan di dunia di luar
bahasa. Derrida dianggap salah satu filsuf terpenting abad ke 20 dan ke 21. Tidak
ada pemikir yang begitu mempengaruhi pemikiran gelobal selama seratus tahun
terakhir dengan bidang pembahasan yang luas dan menyentuh hampir segala bidang,
setidaknya menurut Dinia Smith, dalam sebuah artikelnya di New York Times (Rawlings,
www.stanford.edu.).
Istilah dekonstruksi
untuk pertama kalinya muncul dalam tulisan-tulisan Derrrida pada saat ia
mengadakan pembacaan atas narasi-narasi metafisika Barat. Jacques Derrida
menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya.
Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai
makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme . Metode
dekonstruksi merupakan proyek filsafat yang berskala raksasa karena Derrida
sendiri menunjukkan bahwa filsafat barat seluruhnya bersifat logosentris.
Dengan demikian, dekonstruksi mengkritik seluruh proyek filsafat barat.
Menurut
Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan (spacing), di
mana apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya hanyalah selalu
berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada celah atau kesenjangan antara
penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini membuat pencarian
makna absolut mustahil dilakukan. Setelah “kebenaran” ditemukan, ternyata masih
ada lagi jejak “kebenaran” lain di depannya, dan begitu seterusnya.
Melalui
makalah ini, dikemukakan mengenai siapa Jacques Derrida, apa saja pokok
pikirannya, dan apa pengaruhnya terhadap pemikiran global di eranya dan
sesudahnya.
Bab II
Pemikiran
A.
Derrida dan
Postmodernisme
Jacques
Derrida adalah seorang filsuf yang lahir di Aljazair, pada 15 Juli 1930. Dan
wafat di Paris, 9 Oktober 2004. Sejarah
intelektualnya dimulai ketika dia belajar di Ecole Normale Superieure
hingga mengajar di sana sebagai maitre-assistant, dosen tetap, bidang filsafat.
Namun ia sempat juga mengajar sebagai dosen tamu di Yale University, Amerika
Serikat. Derrida muda pernah menjadi anggota Partai Komunis Prancis.
Jacques
Derrida adalah tokoh filsafat Prancis yang dibesarkan dalam tradisi pemikiran
era 1950-an sampai 1970-an. Sebagaimana kita tahu, era 1950-an sampai 1970-an
dimeriahkan oleh pergeseran besar-besaran dari pemikiran modernitas ke postmodernitas,
atau yang lebih dikenal "postmo", dan dari strukturalisme
menuju post-strukturalisme. Strukturalisme-modernis diwakili oleh
tokoh-tokoh seperti Ferdinand de Saussure, Noam Chomsky, Roman Jakobson,
Leve-Struauss sementara nama-nama seperti Lacan, Kristeva, Foucault, Barthes,
Baudrillard termasuk Derrida bisa dikatakan sebagai wakil
post-strukturalis-postmodernis.
Derrida
termasuk filsuf yang banyak menelorkan karya, termasuk terjemahan karangan
Husserl Asal-usul Ilmu Ukur. Tahun 1967 terbit tiga buku sekaligus. L’ecriture
st la difference (Tulisan dan Perbedaan) dan De la grammatologie
(Tentang Grammatologi) merupakan kumpulan karangan yang sebagian besar telah
diterbitkan dalam berbagai majalah, namun demikian kesatuan tema dalam
buku-buku ini, terutama yang kedua, sangat menyolok. Judul buku ketiga La voix
et le Phenomene. Introduction au probleme du signe dans la phenomenologie de
Husserl (Suara dan fenomena) secara panjang lebar banyak memberikan
komentar terhadap uraian Husserl tentang tanda dalam buku penelitian-penelitian
logika.
Tahun 1972
sekali lagi terbit buku pada tahun yang sama. Marges de la philosophie
(Pinggiran-pinggiran filsafat) menyajikan serangkaian studi tentang Heidegger,
Hegel, Husserl, Valery (seorang penyair Prancis), Aristoteles, Austin, dan
lain-lain. Buku La dissemination (Pertebaran) memuat kajian-kajian
antara lain tentang Plato dan Mallarme (Sastrawan Prancis). Sementara Positions
(Posisi-posisi) merupakan kumpulan dari tiga wawancara Derrida mengenai
pemikiran dan karyanya.
Tahun 1973
Derrida menerbitkan kembali suatu pendahuluan panjang bagi edisi baru buku Essai
sur l’origine des connaissances humaines (Usaha untuk menjelaskan asal-usul
pengetahuan manusiawi) karangan E. de Condillac, filsuf Prancis abad ke 18.
Pendahuluan ini kemudian terbit tersendiri sebagai sebuah buku yang berjudul L’archeologie
du frivole (Arkeologi tentang yang sembrono)(1976) dan lain-lain. Namun di
antara karya Derrida yang cukup terkenal adalah: L’ectriture et la
Difference, De la Grammatologie, dan Marges de la Philosophie.
Hingga kini, bibiliografi karya Derrida sudah mencapai lebih dari 50 buku dan
ratusan esai yang diterbitkan secara massal di jurnal-jurnal internasional.
Sekilas
memandang karya-karya Derrida kiranya sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa
hampir semua karangan yang ditulisnya merupakan komentar atas
pengarang-pengarang lain: filsuf-filsuf, ilmua-ilmuan, dan sastrawan-sastrawan.
Tetapi komentar tersebut merupakan komentar dalam bentuk yang khusus, karena
dengan cara itu pemikirannya sendiri berkembang selangkah demi selangkah. Dalam
menafsirkan ia tidak hanya memberi penafsiran begitu saja. Ia juga tidak
membatasi diri pada suatu penelitian mengenai praandaian-praandaian dan
implikasi-implikasi dalam teks-teks yang dibicarakan. Lalu dengan mengomentari
teks-teks tersebut ia mulai menyajikan suatu teks baru. Dengan kata lain, ia
menyusun teksnya sendiri dengan membongkar teks-teks lain dan dengan demikian
ia berusaha melampaui teks-teks itu dengan mengatakan sesuatu yang tidak
dikatakan dalam teks-teks itu sendiri. Prosedur inilah yang kemudian oleh
Derrida disebut dengan Deconstruction, “pembongkaran” (K. Bertens,
1985:492).
Dunia
terpaksa harus mengakui Derrida sebagai figur utama yang pemikirannya, bisa
dikatakan, paling berpengaruh di dunia saat ini. Pengaruh itu dapat dilihat
dari pengakuan akan orisinilitas maupun produktivitas pemikirannya.
Sekitar
400-an buku dan 500-an desertasi telah ditulis dan dipersembahkan untuk
mengkaji pemikirannya, dan tak kurang dari 17.000 kali namanya dikutip dalam
jurnal-jurnal terbitan internasional selama tujuh belas tahun terakhir. Dinia
Smith, dalam sebuah artikelnya di New York Times, menulis: "Derrida
mungkin filsuf termasyhur di dunia–kalau bukan satu-satunya" (Rawlings,
www.stanford.edu.). Popularitas Derrida jelas tidak bisa dipisahkan dari teori
dekonstruksinya yang hingga kini masih memicu kontroversi dan perdebatan di
kalangan akademisi dan teoretisi.
Bagi para
pendukungnya, dekonstruksi bunkanlah teori biasa yang dengan mudah dipetakan ke
dalam sebuah definisi. Bahkan dekonstruksi sendiri cenderung menghindari
definisi apapun sehingga ia sama sekali tidak bisa didefinisikan dan karena itu
pula terbuka terhadap berbagai penafsiran. Karena itu setiap usaha untuk
mendefinisikan dekonstruksi akan terbentur, karena Derrida sendiri menolak
membatasi pengertian dekonstruksi dalam satu definisi per se.
Dekonstruksi adalah strategi tekstual yang hanya bisa diterapkan langsung jika
kita membaca teks lalu mempermainkannya dalam parodi-parodi. Karena itu bisa
dikatakan bahwa dekonstruksi bersifat antiteori atau bahkan antimetode,
karena yang menjadi anasir di dalamnya adalam permainan dan parodi.
Istilah
postmodernisme sendiri secara resmi diperkenalkan oleh Jean-Francois Lyotard
melalui karyanya, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Di
sini Lyotard memaparkan bagaimana asumsi-asumsi filosofis modernisme sedikit
demi sedikit mulai berguguran dan kehilangan legitimasinya. Lyotard menyebut
asumsi-asumsi tersebut dengan "narasi-narasi besar" (grand
narratives) yang berbasis pada rasionalisme, positivisme, materialisme, dan
humanisme. Semua paham ini melegitimasi proyek-proyek Pencerahan seperti
Kebebasan, Kemajuan, atau Emansipasi (Sugiharto, 1996: 27).
Delegitimasi
terhadap segala bentuk narasi besar sebetulnya sudah terlihat dari awalan
"post" dalam kata "postmodernisme". Masih menjadi
kontroversi bagaimana menafsirkan "post" dalam kata tersebut. Apakah
itu berarti pemutusan hubungan pemikiran dari segala pola kemodernan secara
total, seperti dimaksudkan Lyotard dan Gellner. Atau sekedar koreksi atas
aspek-aspek tertentu dari kemodernan, seperti dikatakan David Griffin.
Atau bisa jadi
bentuk lain dari kemodernan yang telah sadar diri dan berbenah, seperti
dilontarkan Giddens. Atau justru sekadar tahap dari proyek modernisme yang
belum selesai, seperti kata Habermas (Sugiharto, 1996: 24). Belum ada kata
akhir yang final. Tetapi yang pasti bagi para pendukungnya, postmodernisme
bukanlah gerakan yang hanya terpola pada satu pengertian, melainkan terbuka dan
merangkul berbagai penafsiran yang berbeda, tetapi dengan satu tujuan:
membendung ambisi modernisme sebagai proyek pemikiran dan konsekuensi-konsekuensi
negatif yang embannya.
B.
Pemikiran
Filosofis
1.
Kritik atas
Metafisika dan Logosentrisme
Sebelum masuk jauh ke dalam pembicaraan
dekonstruksi dengan segala kerumitannya, kiranya yang lebih penting untuk
dibicarakan terlebih dahulu adalah, apakah dekonstruksi itu sama dengan
membongkar, membubarkan seperti yang biasa kita pahami sehari-hari atau tidak.
Untuk menjawab persoalan ini yang harus kita lakukan adalah merunut arti
dekonstruksi sebagaimana yang dimaksud oleh pencetus dan pendukungnya.
Sebagai langkah awal, barangkali di sini kita
bisa mengatakan dekonstruksi sebagai sebuah tindakan dari subjek yang
membongkar sebuah objek yang tersusun dari berbagai unsur. Sebagai sebuah
tindakan, yang dilakukan si subjek tentu tidak kosong, dia mesti melibatkan
berbagai cara atau metode, yaitu metode membongkar suatu objek yang memang
patut dibongkar. Dari situ mau tidak mau, nama Derrida pasti disebut-sebut,
karena dialah yang pertama kali menyuarakan metode dekonstruksi di kancah
filsafat secara sistemetis. Dengan disebutnya nama Derrida dan tercantumnya
kata “filsafat” dan “sistematis” nyatalah bahwa dekonstruksi bukan proses
bongkar-membongkar yang sederhana, seperti pemahaman sehari-hari terhadap kata
itu.
Usaha Derrida untuk mendekonstruksi filsafat
modern, pertama-tama adalah dengan mengkritik pandangan metafisika dan
epistemologi modernisme. Menurut Derrida, seluruh tradisi pemikiran Barat
sangat dipengaruhi oleh metafisika kehadiran. Artinya, konsep atau teori
dianggap telah mewakili being. Pencarian being seakan mencukupi jika telah
ditemukan konstruksi pemikiran yang dianggap merupakan pengungkapan dari being.
Kata, tanda, atau konsep seakan-akan telah menunjuk atau menghadirkan being
(Sahal, 1994: 19).
Dengan sedikit perbedaan nuansa makna, terkadang
Derrida juga menyebut kecenderungan ini dengan phallogosentrisme, yang
memperlihatkan bahwa di samping logosentrisme, tradisi pemikiran Barat ini juga
mengidap phallosentrisme. Phallus (yang berarti kelamin-kelamin
laki-laki) mengeram sebagai pusat aturan simbolik (symbolic order), dan
karena itu kemudian juga memasuki bahasa sebagai struktur, sehingga tradisi
berpikir yang dimungkinkannya lalu sangat bias jender, sangat male dominated.
Laki-laki dipersepsi dan mempersepsi diri sebagai pemilik phallus dan karena
itu berada di pusat aturan, sementara sebaliknya perempuan dipersepsi dan
mempersepsi diri berada di luar pusat aturan (Budiarto Danujaya, 2004).
Menurut Derrida, pandangan tentang kehadiran
ini tampak dengan jelas, bila kita mempelajari ajaran metafisika mengenai
tanda. Ajaran itu seluruhnya dilatarbelakangi kehadiran. Dalam tradisi
metafisis tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir. Dalam pandangan
metafisika tanda akhirnya selalu menunjuk kepada objek itu sendiri sebagai
hadir; tanda hanya sekedar pengganti yang untuk sementara menunda hadirnya
objek itu sendiri. Sebaliknya Derrida berpendapat bahwa kehadiran tidak
merupakan suatu instansi independen yang mendahului tuturan dan tulisan kata, tetapi
sebaliknya ditampilkan dalam tuturan dan tulisan kita, dalam tanda yang kita
pakai. Kata-kata menunjuk kepada kata-kata lain. setiap teks menunjuk kepada
suatu jaringan tek-teks lain; setiap bagian dalam suatu diskursus menunjuk pada
bagian-bagian lain. Jadi, kalau metafisika memikirkan tanda dalam rangka Ada
sebagai kehadiran, maka Derrida sebetulnya memutarbalikkan dengan memikirkan
kehadiran dalam rangka jaringan tanda yang menunjuk yang satu pada yang lain.
Dengan itu, Derrida secara radikal berbalik dari apa yang disebutnya
“logosentrisme”: pemikiran tentang Ada sebagai kehadiran
(K. Bertens, 1985: 494).
(K. Bertens, 1985: 494).
Sebagaimana kita tahu, pemikiran Barat selalu
menunjukkan terjadinya pertarungan antara Metos dan Logos. Pada
zaman modern, Logos nampak menguasai pemikiran manusia. Para filsuf berdebat
tentang dasar-dasar, asas-asas, eidos, aarche, telos energeia,
ousia (hakikat, eksistensi, substansi, subjek), aletheia, transendentalitas,
kesadaran atau suara hati, Allah, manusia dan seterusnya. Mereka menganggap
bahwa dengan berhasil menjelaskan konsep tersebut berarti mereka telah
menguasai realitas. Sampai sekarang jika kita lihat bahwa bagi tradisi
metafisis segala sesuatu yang hadir juga dan seandainya terdapat sesuatu yang
hadir maka tanda adalah sarana untuk menghadirkannya.
Derrida menolak pandangan tersebut, justru
menurutnya tanda, kata, atau konsep tidaklah menghadirkan “Ada”, melainkan
hanya merupakan “bekas” (trace). Derrida berusaha memikirkan tanda
sebagai trace, yakni suatu yang sebelumnya sudah dipakai sebagai istilah
teknis dalam filsafat, pada Plotinos misalnya dan di zaman kita sekarang pada
Heidegger dan terutama Levinas. Tidak mudah menjelaskan maksud dari istilah
ini. Yang penting di sini adalah bahwa sebuah bekas tidak mempunyai substansi
atau bobot sendiri, tetapi hanya menunjuk. Bekas tidak dapat dimengerti
terpisah (terisolir dari segala sesuatu yang lain), tetapi hanya sejauh
menunjuk kepada hal-hal lain. Bagi Derrida, bekas mendahului objek. Bekas itu
sebenarnya bukan efek, melainkan penyebab. Paham ini memungkinkan untuk memikirkan
kehadiran sebagai efek dari bekas itu. Dengan demikian, kehadiran tidak lagi
merupakan sesuatu yang asali, melainkan diturunkan dari bekas (K. Bertens,
1985: 495). Karena metafisika modern bertumpu pada pandangan tersebut, maka ia
harus didekonstruksi jika mengiginkan solusi atas delema modernitas.
Derrida memandang bahwa pandangan para filsuf
Barat, dari Plato hingga Rousseau, dari Descartes hingga Husserl, juga masih
dikungkung oleh tradisi berpikir “logosentrisme”. Logosentrisme artinya mempercayakan
sepenuhnya pada logos atau rasio. Ciri yang menonjol dari tradisi logosentrisme
ini adalah adanya kecenderungan berpikir oposisi biner yang bersifat hirarkis
(esensi/eksistensi, substansi/aksidensi, jiwa/badan, makna/bentuk,
transenden/empiris, positif/negatif, bahasa lisan/bahasa tulisan,
konsep/metafor, dan seterusnya) dengan anggapan bahwa yang pertama merupakan
pusat, asal-muasal, fondasi, prinsip, dan ada secara niscaya; sedang yang kedua
hanya sebagai derivasi, manifestasi pinggir, dan sekunder dalam kaitannya
dengan yang pertama (Sahal, 1994: 19).
Menurut Derrida, tugas dekonstruksi adalah
untuk menghilangkan
ide-ide ilusif yang selama ini menguasai metafisika Barat, yaitu ide yang mengatakan bahwa rasio bisa lepas dari bahasa dan sampai kepada kebenaran, atau metode murni dan otentik dalam dirinya sendiri tanpa bantuan yang lain. meskipun filsafat mencoba menyingkirkan karakter tekstual atau “tertulis”-nya, namun tanda-tanda (signs) pertempuran tersebut masih tetap terpampang jelas di dalam berbagai kelemahan metafor dan strategi retorikal filsafat lainnya (Christopher Norris, 1982: 58).
ide-ide ilusif yang selama ini menguasai metafisika Barat, yaitu ide yang mengatakan bahwa rasio bisa lepas dari bahasa dan sampai kepada kebenaran, atau metode murni dan otentik dalam dirinya sendiri tanpa bantuan yang lain. meskipun filsafat mencoba menyingkirkan karakter tekstual atau “tertulis”-nya, namun tanda-tanda (signs) pertempuran tersebut masih tetap terpampang jelas di dalam berbagai kelemahan metafor dan strategi retorikal filsafat lainnya (Christopher Norris, 1982: 58).
Kritik tersebut juga diarahkan pada
logosentrisme yang dicirikan oleh dominannya konsep totalitas dan konsep
esensi. Konsep totalitas merupakan ide yang menyatakan akan kesatuan realitas.
Konsekuensinya dari pemahaman ini adalah adanya pengetahuan yang menindas,
karena memaksa manusia masuk ke dalam sistem. Konsep esensi adalah konsep
tentang pengetahuan yang mendasari sesuatu. Konsep ini pada akhirnya menimbulkan
dogmatisme dan melegitimasi kekuasaan mutlak rasio.
Karena itu, banyak pemikiran Derrida beranjak
dari pengandaian adanya sesuatu di antara kedua kategori oposisional, yang
disebutnya kediantaraan (in-betweenness). Dalam hal ini ia mengingatkan kemungkinan
semacam itu selalu terjadi karena adanya kecenderungan pengelakan dan
ketakdapatditentukannya (undecidability) realitas. Suatu
ketidakdapatditentukan adalah sesuatu yang tak dapat cocok terhadap kedua
polaritas dari sebuah dekotomi, misalnya zombie, yang berada antara hidup dan
mati, atau androgini, yang berada di antara laki-laki dan perempuan, maupun
orang asing yang berada di antara teman dan musuh. Bahkan, seringkali realitas
bisa saja menunjukkan sekaligus tidak berada dalam keduanya sehingga bisa
sekaligus berarti berada dalam keduanya pada saat yang sama.
Dengan demikian, ketakdapatditentukan
mengacaukan struktur biner dari pemikiran metafisis karena membuat struktur
oposisi either/or tersingkir. Ketakdapatditentukan menempuh segala
jalan, tapi tak memihak. Pembuyaran kepastian ini lalu sekaligus menjadi
pembyaran metafiska juga. Oleh karena itulah filsafat Derrida ini kerap disebu
anti-fondasionalisme. Di samping itu, Derrida juga mengkritik phonosentrisme
yang lebih mengutamakan ujaran dibanding tulisan (speech/writing). Suara adalah
pokok, sementara tulisan hanyalah derivasi belaka (Budiarto Danujaya, 2004).
2.
Dekonstruksi
dan Kritik Epistemologi
Pandangan logosentrisme berimplikasi pada
pandangan epistemologi modern yang ditandai dengan dikotomi subjek-objek.
Ketika peranan subjek demikian besar, maka objek akan menjadi bahan eksploitasi
bagi subjek. Dengan rasionya, subjek akan menjadi penentu validitas kebenaran.
Demikian, karena metafisika telah mempengaruhi pandangan epistemologisnya. Ciri
yang paling menunjol adalah dominasi subjek dan kebenaran yang absolut, yaitu
kebenaran yang tunggal, umum dan universal. Kebenaran yang demikian tentunya
sangat berbahaya, karena akan menjadi tempat persembunyian kepentingan
kekuasaan antara pihak yang satu atas pihak yang lain.
Dalam perspektif Derrida, kecenderungan
filsafat selama ini adalah mencari kebenaran absolut, sehingga mengabaikan
pengertian bahasa yang digunakan untuk menyusun konsep dan teori. Filsafat
percaya bahwa konsep dan teori mampu mempresentasikan kebenaran seperti apa
adanya. Oleh karena itu, praksis dan etika kehidupan publik manapun harus
mendasarkam dirinya di atas konsep filosofis yang kuat klaim kesahihannya.
Demikianlah yang diyakini para filsuf seperti Plato, Hegel, Marx, dan Teori
Kritis Mazhab Frankfurt (Heri Santoso, 2003: 252). Derrida menginginkan
kebenaran itu tidak harus dibatasi pada kebenaran tunggal, umum, dan universal,
karena dalam kenyataaanya kebenaran itu bersifat plural, partikular, dan
relatif. Untuk merealisasikan gagasan sekaligus kritiknya atas modernitas,
Derrida mengungkapkannya dalam metode dekonstruksi dan uraian tentang “differance”.
Istilah difference berperan utama
sebagai pengacau dalam mengobrak-abrik gagasan-gagasan Husserl. Istilah ini
pertama-pertama diperkenalkan dengan cara mendeskripsikan elemen-elemen
pertandaaan tak-bermaksud (non-intent), yang merujuk pada wilayah rasa (sense)
indikatif, tanpa melewati refleksi yang sadar. Logika Derrida sebenarnya
sederhana saja, tetapi punya tenaga perusak yang sangat besar. Bahasa dapat
memenuhi syarat-syarat kehadiran-diri sebuah makna, kalau dia bisa menyediakan
akses total dan langsung ke dalam pikiran yang telah memberi kesempatan bagi
bahasa agar bisa dituturkan.
Tetapi ini adalah syarat yang tak mungkin
dipenuhi. Kita tidak akan bisa memiliki apa yang disebut Derrida sebagai
“intuisi primordial tentang pengalaman langsung yang lain”. Dalam bentuk
apapun, harus diakui bahwa bahasa akan selalu gagal mencapai tujuan
kehadiran-diri ekspresif. Bahasa harus selalu memakai karakter indikatif yang
memadai ketertangguhan makna. Berdasarkan praduga tradisional, hal ini
barangkali merpakan proses kematian yang sedang terjadi dalam diri tanda-tanda.
Namun sayangnya, tradisi tidak punya apa-apa lagi untuk ditawarkan, karena
motif dan metafor-metafor yang mendasarinya telah dipertanyakan. Di manapun
kehadiran langsung dan utuh tanda-tanda diketahui, hakikat penanda akan selalu
bersifat indikatif
(Derrida, 1973: 40).
(Derrida, 1973: 40).
Jika
dilihat, Derrida memulai pembongkarannya (dekonstruksi) pertama kali dengan
memusatkan perhatian pada bahasa. Sikap ini diambil mengingat ide, gagasan, dan
konsep diungkapkan melalui bahasa. Karena itu, bahasa menjadi tempat
persembunyian terpenting. Bahasa menentukan prioritas suatu hal atas yang lain.
Dalam pandangan modernisme subjek-objek, esensi-eksistensi, umum-khusus,
absolut-relatif, dan lain-lain menunjukkan bahwa kata pertama menjadi pusat,
fondasi, prinsip, dan dominan atas kata berikutnya.
Dekonstruksi mencoba membongkar
padangan tentang pusat, pondasi, prinsip, dan dominan tersebut sehingga berada
di pinggir. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan
ketidak-stabilan yang permanen.
Sehingga
bisa dilanjutkan tanpa batas. Sungguh merupakan permainan yang serius (Sahal,
1994: 19-20). Strategi dekonstruksi dijalankan dengan asumsi bahwa filsafat
Barat bisa mempertahankan ide tentang pusat sebagai kehadiran murni hanya
dengan cara menekan efek-efek metaforis dan figuratif yang menjadi karakter
bahasa.
Penunggalan dibongkar dengan memunculkan
kembali dimensi-dimensi metaforis dan figuratif dari bahasa dan membiarkan
bahasa dalam karakternya semula, yaitu bersifat polisemi, ambigu, dan paradoks
dalam dirinya sendiri. Bila sifat polisemi, ambigu, dan paradoks bahasa dimuncukan
kembali, maka filsafat tidak punya alasan untuk berkorespondensi dengan
kebenaran. Dengan demikian, filsafat tidak bisa lagi mengklaim dirinya memiliki
otoritas kebenaran. Dengan ekstrimnya Derrida mengatakan bahwa “sejarah
filsafat Barat tidak lebih dari sejarah metafor (kiasan) dan metomini
(pemakaian nama atau benda yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya,
contoh: si kaca mata, si baju merah, dan lain-lain.)” (Derrida, 1978: 277-278).
Implikasi dahsyat dari dekonstruksi filsafat
adalah pudarnya batas-batas antara konsep dengan metafor, antara kebenaran
dengan fiksi, antara filsafat dengan puisi, dan antara keseriusan dengan
permainan. Dengan membaca secara dekonstruktif, teks bisa dikatakan selama ini
menjadi pusat yang dipinggirkan, dikeluarkan, dan dianggap sebagai “yang lain”.
Namun, menurut Derrida, “tidak ada sesuatu yang ada di luar teks, sehingga sang
pusat juga tidak bisa mengkalim sebagai lebih dominan, karena ia hanyalah salah
satu di antara jaringan teks. “Yang pusat” akan menyadari diri dalam konteks
keberadaan “yang bukan pusat”. Dalam aplikasinya, konsep esensi tidak harus
menghapuskan kebenaran partikular. Singkatnya, dekonstruksi adalah sebuah
strategi filsafat, politik dan intelektual untuk membongkar modus membaca dan
menginterpretasi yang mendominasi dan menguatkan fundamen hierarki.
Dekonstruksi merupakan strategi untuk menguliti lapisan-lapisan makna yang
terdapat di dalam “teks”, yang selama ini telah ditekan dan ditindas. Teks di
sini penting dalam pemikiran di mana ia mendefinisikannya secara semiologis,
wacana-wacana yang melibatkan praktik interpretasi, bahasa menjadi penting.
Bagi Derrida, tidak ada yang eksis di luar
teks, realitas sesungguhnya tidak ada sebab semua realitas dikonstruksi secara
budaya, linguistik atau historis, hanyalah teks. Oleh sebab itu, realitas
terdiri dari berbagai “teks” dengan kebenaran yang plural. Tidak ada kebenaran
universal (Gadis Arivia, 2004).
3.
Dekonstruksi
dan Kebenaran
Menurut Derrida, manusia harus menyikapi
secara hati-hati represetasi realitas yang diklaim secara universal mengandung
kebenaran tunggal. Realitas demikian menurutnya dikonstruksi lewat penalaran
yang mendominasi (logosentrisme), bahasa rasional yang mencoba
merepresentasikan dunia yang dikatakan sesungguhnya (real). Bahasa
rasional demikian berupaya menjamin esensi dari segala sesuatu menciptakan
makna dengan metafisika kehadiran. Strategi dekonstruksi membongkar semua itu
bukan dengan hanya menciptakan makna baru kerena pembongkaran makna adalah yang
melibatkan what is dan bukan what isn’t. Oleh karena itu, konsep difference
menjadi penting, konsep yang mengungkapkan what isn’t bukan berdasarkan
perbedaan, namun secara terus-menerus melakukan penundaan/gap (deffered).
Di sini Derrida mengajukan argumen yang menarik bahwa upaya untuk
mendekonstruksi makna lewat difference dengan cara kerja what isn’t
melibatkan sekaligus perbedaan dan penundaan.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan benar dan
tidak benar di sini? Pertanyaan ini tentunya tidak sesederhana yang dibayangkan,
dan banyak filsuf berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada filsuf yang menganggap
bahwa kebenaran adalah pernyataan, atau yang benar-benar nyata, atau sebuah
persoalan mental dan linguistik. Oleh sebab itu, pembahasan kebenaran dapat
dikatakan merupakan persoalan korespondensi (dengan fakta, situasi, realitas,
keadaan, dan sebagainya), atau koherensi. Pada dasarnya, kebenaran itu menurut
filsafat modern adalah yang secara natural ada atau secara objektif ada.
Richard Rorty, filsuf yang sering sejalan
dengan Derrida namun juga tidak jarang berseberangan, menulis dalam bukunya, Truth
and Progress (1998), bahwa sesungguhnya “tidak ada kebenaran”. Sikap
semacam ini berkembang terutama setelah Foucault mengembangkan pemikirannya
tentang kebenaran dan kekuasaan. Seperti halnya Derrida, Foucault adalah tokoh
yang juga sangat berpengaruh dalam pemikiran filsafat kontemporer. Namun,
berbeda dengan Derrida, Foucault lebih banyak memfokuskan diri pada aspek
sosiologis, politis, dan historis. Dalam pembahasannya tentang kebenaran,
Foucault melihat dirinya sebagai seorang Nietzschean yang berangkat dari teori Geneologi
Nietzshe. Artinya, geneologi merukan dokumentasi-dokumentasi yang telah
dikopi berulang-ulang kali, akumulasi dari berbagai materi. Geneologi tidak
menolak sejarah (sebagai bagian dari akumulasi), tetapi yang ditolak adalah metahistoris
yang mengandaikan adanya suatu tujuan. Geneologi menolak pencarian asal-usul.
Singkatnya, penolakan terhadap asal-usul berarti penolakan terhadap kebenaran
hakiki yang mengandaikan adanya esensi. Kebenaran pada akhirnya hanyalah sebuah
fabrikasi (yang dibuat) oleh kelompok-kelompok tertentu yang berkuasa.
Bab III
Penutup
Seperti
tokoh-tokoh post-strukturalisme yang lain, Derrida mencoba menawarkan metode
dekonstruksi sebagai alternatif problem modernitas yang telah dianggapnya
gagal. Sasaran utama dari proyek dekonstruksinya adalah membongkar sifat
totaliter dari sistem, terutama yang tercermin dalam bahasanya. Menurutnya,
metafisika dan epistemologi Barat selama ini telah didominasi oleh
logosentrisme dan metafisika kehadiran karena itu harus didekonstruksi.
Serangan dekonstruksi Derrida membebaskan dua konsep tirani yang mendominasi
filsafat, yaitu konsep totalitas dan esensi, sehingga menghasilkan kebenaran
yang partikular, unik dan relatif. Dengan demikan, keberanikaan dakui
keberadaannya. Kesulitan yang akan dihadapi Derrida adalah bahwa ia terjebak
dalam ambiguitas yang mengarah pada nihilisme.
Namun
begitu, terlepas dari kontroversi, Derrida adalah salah satu dari sedikit
filsuf yang berpengaruh demikian luas melintas bidang. Pemikiran-pemikirannya
juga sangat orisinal, unik, walau terkadang aneh dan sulit dimengerti dengan
nalar sederhana. Namun, menilik kesejajarannya dengan berbagai gerakan
perjuangan dan gelombang perubahan yang berlangsung dewasa ini, kiranya
terbukti sangat relevan. Kini setelah dia tutup usia pada 8 Oktober 2004 pada
usia 74 tahun, barangkali masih banyak kontroversi yang ditinggalkan Derrida
bagi kita, tetapi dia sendiri mungkin telah maklum, setidaknya dalam hal apakah
sungguh-sungguh ada kategori lain di seluar polaritas dikotomis hidup/mati.
Daftar Pustaka
Arivia, Gadis, Derrida:
Didekonstruksi Pada Usia 74 Tahun, dalam Kompas, Minggu, 17 Oktober 2004.
Bertens, K. (1985) Filsafat
Abad XX Jilid II: Prancis, Gramedia, Jakarta.
Danujaya, Budiarto, Dekonstruksi
dan Kontroversi, dalam Kompas, Minggu, 17 Oktober 2004.
Derrida, Jacques (1973) Speech
and Phenomena, and Other Essays on Hursserl’s Theory of Singns. Trans.
David B. Allison. Evanston 111 : Northwestern University Press.
Rawlings, John, "Jacques
Derrida's Biography", Jacques Derrida Pages, www.stanford.edu.
Sahal, Ahmad (1994) “Kemudian
di Manakah Emansipasi? Tentang Teori Kritis, Geneologi, dan Dekonstruksi”,
dalam Jurnal Kebudayaan KALAM, no.1 Th. 1994, Yayasan Kalam Dan Penerbit
Pustaka Grafiti, Jakarta.
Santoso, Heri (2003) Metode
Dekonstruksi Jacques Derrida, dalam Listiyoo Santoso dkk, Epistemologi
Kiri, Ar-Ruzz Press, Yogyakarta.
Sugiharto, I. Bambang (1996) Postmodernisme:
Tantangan bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakrta.