Nygren (1999) mengemukakan Pengetahuan lokal
merupakan istilah yang problematik. Pengetahuan lokal dianggap tidak ilmiah,
sehingga pengetahuan lokal tersebut dibedakan dengan pengetahuan ilmiah yang dikenalkan
oleh dunia barat. Titik temu antara pengetahuan lokal yang tidak ilmiah dan
yang ilmiah tersebut keduanya berada pada bagaimana cara memahami dunia mereka
sendiri. Pengetahuan lokal dapat ditelusuri dalam bentuk pragmatis maupun
supranatural. Pengetahuan dalam bentuk pragmatis menyangkut pengetahuan tentang
kaitan pemanfaatan sumberdaya alam, dan dalam bentuk supranatural, ketika
pengetahuan itu menjadi seolah-olah tidak ilmiah (unreason). Untuk yang
pragmatis ini, pengetahuannya berubah, karena berhubungan dengan pihak lain
dari wilayahnya. Pengetahuan lokal selalu dianggap sebagai lawan dari
pengetahuan barat yang bersifat ilmiah, universal, memiliki metodologi dan
dapat diverifikasi. Pengetahuan lokal dianggap bersifat lokal, terbatas dan
tidak memiliki metodologi dan sebagainya. Pembedaan ini secara tidak sadar memelihara
perbedaan antara pengetahuan ilmiah negara barat dan pengetahuan lokal (negara
timur), yang pada akhirnya memelihara pandangan kolonialisme antara barat dan
timur.
Masyarakat dengan pengetahuan dan kearifan lokal
telah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman
prasejarah sampai sekarang ini, kearifan tersebut merupakan perilaku positif
manusia dalam berhu-bungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat
bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau
budaya setempat (Wietoler, 2007), yang terbangun secara alamiah dalam suatu
komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya,
perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan
berkembang secara turun-temurun, secara umum, budaya lokal atau budaya daerah
dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya
adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu.
Contoh kearifan local adalah yang dilakukan di
kawasan kars gunung sewu. Masyarakat di Kawasan Kars Gunung Kidul sebagian
besar memiliki mata pencaharian sebagai petani yang memanfaatkan lahan-lahan di
sekitar cekungan-cekungan kars (doline) sebagai lahan pertanian yang dikelola
oleh masyarakat. Lahan pertanian dikelola secara swadaya oleh masyarakat dengan
teknologi-teknologi konvensional yang telah mereka pelajari dari zaman nenek
moyangnya secara turun-temurun dan dikembangkan secara tradisional untuk
mencapai hasil yang lebih baik sesuai dengan perkembangan dan perubahan lahan.
Kebutuhan akan air sebagai penyubur lahan pertanian di kawasan ini menjadi
permasalahan yang dialami oleh para petani dalam mengelola lahannya, ketersediaan
sumber daya alam yang ada memberikan pilihan kepada masyarakat untuk dapat
mengelolanya secara manual, kondisi ini mengakibatkan adanya usaha-usaha masyarakat
dalam mengelola sumberdaya air yang ada di permukaan dan bawah permukaan secara
tradisional dengan memanfaatkan kearifan-kearifan lokal baik yang mengandung
unsur mitos atau kepercayaan dan kebudayaan-kebudayaan sebagai tatanan kehidupan
masyarakat yang berlaku di sekitar kawasan Gunung Kidul.
Manusia harus memperlakukan lingkungan di sekitarnya
sebagai tempat tinggal yang telah memberikan segalanya untuk kita, sehingga ada
tanggung jawab yang besar untuk menjaga dan mengelolanya, pengembangan
teknologi sederhana di dalam mengelola sumberdayanya akan selalu dipertahankan
untuk menjaga tradisi, memberi motivasi dan menjaga kepercayaan masyarakat
dalam mengelola wilayahnya sehingga peran masyarakat sebagai kunci utama dalam
menjaga keseimbangan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Kearifan lokal
harus menjadi yang terdepan dalam menjalankan program-program pengembangan
wilayah di kawasan kars untuk mendorong masyarakat sebagai pelaku utama dalam
usaha mengembangkan sumberdaya alamnya. Di Gunung Kidul masyarakat sudah hidup
selama bertahun-tahun dengan kondisi wilayah yang kekeringan dan kekuranganair
walaupun memiliki cadangan air bawah permukaan yang sangat besar jumlahnya,
faktor geologis pada wilayah ini sebagai kawasan batugamping yang mengalami
proses pelarutan, mengakibatkan pada bagian permukaan kawasan ini merupakan
daerah yang kering, masyarakat memanfaatkan sumber-sumber air dari telaga-telaga
kars dan gua-gua yang memiliki sumber-sumber air. Kearifan lingkungan
masyarakat Gunung Kidul dalam mengelola lingkungannya dilakukan secara
bergotong royong untuk menjaga sumber-sumber air yang ada dengan melakukan
perlindungan dan membuat aturan-aturan adat yang memberikan larangan-larangan
kepada masyarakat ayang memberikan penilaian negatif dari dampak yang akan
ditimbulkan bila tidak dilakukan, untuk dapat menjaga dan mengelola
sumber-sumber air yang ada. Kebudayaan lokal pada suatu daerah harus tetap
dijaga kelestariannya agar kondisi alamiah dari lingkungannya tetap terjaga,
banyak program-program pemerintah yang dilakukan di wilayah Gunung Kidul dalam
usaha pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya air bawah permukaan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat di seluruh wilayah Gunung Kidul, tapi program-program yang
telah dijalankan oleh pemerintah tidak menjadikan budaya lokal masyarakat
sebagai referensi dalam menjalankan program pembangunan di wilayah ini, kawasan
kars memiliki karateristik yang berbeda dari kondisi wilayah lainnya, proses
pelarutan yang terjadi mengakibatkan adanya perubahan karakteristik dari batu gamping,
banyak pembangunan infrastruktur sistem perpipaan yang seha-rusnya dapat
menyuplai kebutuhan air untuk masyarakat menjadi tidak berfungsi pada waktu
tertentu akibat dari penyumbatan-penyumbatan aliran pipa yang di sebabkan oleh
adanya proses pelarutan, pada batuan yang di lewati sumber airnya. Banyak
danau-danau kars yang tidak dapat berfungsi lagi akibat adanya pembangunan
waduk di sekitar danau dan dilakukan pengerukan untuk memperdalam tampungan air
dengan asumsi akan dapat menambah jumlah persediaan air, tapi justru hal ini
harus di bayar mahal dengan hilangnya atau tidak berfungsinya danau akibat dari
hilangnya sumber air yang ada masuk ke bawah permukaan melalui rekahan-rekahan
batuan hal ini disebabkan oleh hilangnya lapisan lumpur (terarosa) yang
berfungsi sebagai penahan air. Sehingga banyak sistem perpipaan dan penampung
air yang dibangun hanya menjadi sebuah monumen yang tidak dapat berfungsi.
Sejak zaman dahulu masyarakat di wilayah Gunung Kidul telah hidup dalam kondisi
kekeringan, namun mereka punya cara tersendiri untuk beradaptasi dengan alam di
sekitarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya untuk kebutuhan sehari-hari dan
lahan pertanian, ini terus berlangsung hingga sampai saat ini walaupun banyak
orang yang sudah mulai meninggalkannya untuk mencari penghidupan di tempat lain
yang biasanya di kota-kota besar, tetapi masyarakat di Kawasan Kars Gunung
Kidul tetap melakukan kearifan lingkungan yang sudah menjadi budaya lokal yang
masih tetap dikembangkan oleh masyarakat setempat. Banyak kearifan lingkungan
di wilayah ini yang menjadi program bagi masyarakat untuk mengelola lingkungan
dan sumberdaya air serta untuk mengembangkan pariwisata di kawasan kars baik
wisata alam maupun wisata minat khusus gua. (Petrasa Wacana, 2008).
Masyarakat
lokal yang bermukim di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah, misalnya, telah
mempunyai kemampuan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya letusan. Hal
tersebut antara lain menggunakan indikator berbagai jenis hewan liar yang turun
lereng di luar kebiasaan dalam kondisi lingkungan normal. Secara etik,
penggunaan indikator alam tersebut cukup rasional mengingat berbagai jenis
binatang dengan instingnya memiliki kepekaan tinggi dalam merasakan kian meningkatnya
suhu tanah akibat meningkatnya tingkat aktivitas Gunung Merapi sehingga mereka
pindah tempat.
Selain itu, dalam menghindari risiko bencana Gunung
Merapi meletus, warga lokal di lereng Gunung Merapi juga mempunyai kearifan
lokal dalam membangun permukiman di lingkungan yang penuh risiko bencana alam
letusan gunung api. Permukiman tersebut bisanya berkelompok di lahan datar
dengan dikelilingi tegalan.
Rumah-rumah senantiasa didirikan menghadap ke arah
yang berlawanan dengan Gunung Merapi. Maksudnya, berda-sarkan pandangan mereka,
agar rumah-rumah tersebut tidak dimasuki makhluk halus pengganggu yang menghuni
Gunung Merapi. Namun, secara etik dapat ditafsirkan bahwa rumah-rumah tempat
tinggal tersebut dibangun menghadap ke arah jalan utama desa yang membujur ke
arah utara-selatan atau selatan-utara agar sekiranya terjadi letusan, mereka
dapat dengan segera melarikan diri menuju jalan utama desa. Berbagai contoh
kearifan ekologi masyarakat lokal dapat pula ditemukan di berbagai kelompok
masyarakat lokal di Tatar Sunda. Di masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya dan
Kampung Dukuh di Garut selatan, misalnya, pembangunan permukiman dan
pemanfaatan lahan lainnya senantiasa diatur secara tradisional dengan sistem
zonasi. Dengan demikian, sistem pengetahuan lokal masyarakat tersebut dapat
diintegrasikan dalam analisis risiko lingkungan dan mitigasi bencana alam
berlandaskan kajian ilmu pengetahuan atau pandangan etik. (Johan, 2009)
Kalau kita menengok ke belakang saat kita belum
punya teknologi, bagaimana cara bertahan hidup bangsa Indonesia pada zaman
dahulu dalam menghadapi bencana? ada berapa contoh kearifan lokal yang telah
menyelamatkan ba-nyak orang akan tetapi jarang diketahui orang. Sebagai contoh
kearifan lokal yang menyelamatkan yang dikembangkan masyarakat pulau Simelue
yang selamat dari tsunami tanggal 26 Desember 2004 telah menyelamatkan ribuan
manusia. Ma-syarakat Pulau Simelue belajar dari keja-dian bencana tsunami yang
terjadi pada be-berapa puluh tahun yang lalu (tahuh 1900) dan mengembangkan
sistem peringatan dini dengan teriakan semong yang berarti air laut surut dan
segera lari menuju kebukit. Istilah ini selalu disosialisasikan dengan cara
menjadi dongeng legenda oleh tokoh masyarakat setempat sehingga istilah ini
jadi melekat dan membudaya dihati setiap penduduk pulau Simelue. Istilah ini
yang menyelamatkan hampir seluruh rakyat pulau Simelue padahal secara geografis
letaknya sangat dekat dengan pusat bencana. Masyarakat yang berasal dari pulau
Simelue dan bekerja di sepanjang pantai barat Sumatra menjadi pahlawan karena
menyelamatkan banyak orang dengan menyuruh dan memaksa orang segera berlari
secepatnya menuju tempat yang tinggi begitu melihat air laut surut. Contoh
kearifan lokal ini sering dimuat di media dan disiarkan lewat media elektronik,
walau begitu saat Pantai Pangandaran terkena tsunami bulan Juli 2006 masyarakat
setempat tidak segera lari meninggalkan pantai malah mendekati pantai untuk
mengambil ikan sehingga banyak korban tsunami saat itu. Contoh lain ditunjukkan
oleh seorang KH Muzamil Hasan Basuni, pimpinan Pondok Pesantren (ponpes) Al
Hasan yang terletak di Desa Kemiri, Panti, Jember karena kepedulian terhadap
perubahan lingkungan di sekitarnya, beliau bisa menyelamatkan 400 santrinya
karena melihat keganjilan, dimana dalam kondisi hujan agak lebat tetapi air
sungai tidak banjir lagi malah surut. Ternyata dibagian hulu telahterjadi
longsor yang menutup atau membendung sementara aliran sungai. Begitu bendung
tanah jebol maka terjadi banjir bandang. Semua bisa melihat bagaimana seluruh kompleks
pondok pesantren terendam lumpur dan banyak yang hancur karenanya.Ini berarti
bangsa Indonesia bisa bertahan hidup dengan belajar langsung dari alam dan
berusaha terus mengenal ("niteni") tingkah laku alam di sekitarnya,
sehingga mereka menciptakan banyak kearifan lokal yang dianut oleh komunitas
masyarakat sekitarnya. Kearifan lokal ini berkembang karena selama ratusan
tahun secara geologi, klimatologis, geografi dan kondisi sosial demografi
Indonesia rawan bencana gempa, tsunami, gunung api, longsor, rawan banjir,
angin ribut, kekeringan, kebakaran hutan, konflik sosial, penyakit menular dan
lain sebagainya. Dalam perkembangannya kearifan lokal mulai terpojokkan/terpinggirkan
dikarenakan datangnya ilmu pengetahuan dari barat. Hal ini terjadi karena
kearifan lokal tidak punya bukti ilmiah yang bisa diterima secara rasional.
Seperti kita ketahui bersama sekitar pertengahan bulan Juni 2006 G Merapi di
Yogyakarta terjadi peningkatan aktivitas sampai level siaga 1 dengan konsekuensi
masyarakat yang bermukim di kawasan gunung merapi harus diungsikan. Pengungsian
dimulai dengan bantuan aparat dan relawan. Adalah Mbah Marijan dan kerabatnya
tidak menunjukkan kegelisahan dan kegugupan, masih tetap tenang-tenang saja.
Kenapa mbah kok tidak ikut mengungsi? Mbah Marijan menjawab dengan tenang
"Memang ada apa?, gunung Merapi saat ini belum mau meletus, masih
batuk-batuk saja dan kenalpotnya tidak mengarah kesini. Jadi kenapa saya harus
ribut, dan saya belum dapat wangsit dari eyang merapi. Mbah Marijan pun bisa
melihat sinar putih (cleret) yang keluar dari puncak gunung merapi menuju ke
bawah yang menandakan akan keluarnya awan panas (wedus gembel) yang keluar
searah dengan arah cleret. Bulan Oktober-Nopember 2007 gunung Kelud aktif
dinyatakan pada level awas oleh pihak Pusat Volkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi (PVMBG Bandung) dan tegas-tegas mengatakan bahwa secara teoritis dengan
tingkat kegempaan, perubahan temperature, tingkat deformasi dan berdasarkan
sejarah letusan di masa lampau maka mestinya gunung kelud sudah meletus. Oleh
kerenanya semua orang yang bermukim di radius 10 km harus diungsikan. Bagi
masayarakat yang pernah mengalami letusan tahun 1919, 1951, 1966 dan 1990
menolak mengungsi karena belum ada tanda-tanda alam seperti (1) turunnya
hewan-hewan dari puncak, (2) burung-burung atau hewan lainnya masih berbunyi,
(3) pohon-pohon di sekeliling kawah belum ada yang mati layu/kering. Dan lagi
sang sesepuh seperti mbah Marijan yang dikenal dengan Mbah Ronggo mengatakan
bahwa disamping belum ada tanda-tanda tersebut, dia belum mendapatkan
"wangsit". Apa yang dilakukan oleh mbah Ronggo dan masyarakat gunung
kelud merupakan upaya masyarakat lokal (local wisdom) untuk memahami perilaku
alamiah gunung berapi berdasarkan pengalaman sejarah letusan Mbah Ronggo ngotot
tidak mau mengungsi. Dan kita lihat bersama drama gunung kelud tidak diakhiri
dengan letusan walau secara intrumental teknologi mestinya meletus. Berdasarkan
beberapa literatur perubahan perilaku hewan seperti hewan-hewan langka turun
gunung, hewan-hewan atau burung-burung terdiam tidak bersuara (ada kesunyian)
atau binatang liar yang tiba-tiba menjadi mudah ditangkap atau binatang
peliharaan yang bertingkah laku aneh di sangkarnya, sering muncul sebelum peningkatan
fase letusan gunung berapi. Ada berbagai kemungkinan penyebab kejadian ini
antara laian karena adanya gelombang dan radiasi elektromagnetik yang
keluarbersamaan dengan bergeraknya magma keatas sehingga menimbulkan regangan
dan retakan. Akibat tekanan magma pada lapisan batuan menimbulkan regangan dan
berakibat munculnya gelombang elektromagnetik, dan retakan yang menimbulkan
radiasi magnetic. Gelombang dan radiasi elektromagnetik berfrekuensi rendah
hingg tinggi. Rendah bila regangan dan radiasi diakibatkan oleh tekanan magma
yang rendah pula, sebaliknya yang regangan dan radiasi elektromagnetik tinggi
dikarenakan tekanan magma tinggi. Gelombang dan radiasi EM berfrekuensi tertentu
ini akan mudah dan sudah diterima oleh hewan-hewan sebagai ancaman sehingga
hewan-hewan tersebut bertingkah laku tidak seperti biasanya.
Contoh kearifan dan pengetahuan local yang lain
adalah di Sulawesi Selatan pada masyarakat adat Tanatowa, Kajang, Kabupaten
Bulukumba. Masyarakat adat ini memiliki bentuk perilaku positif dalam
berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitar, yang bersumber dari nilai-nilai
agama, adat-istiadat, dan petuah-petuah ba-ik yang diwariskan secara lisan
maupun bukan lisan. Sumber nilai tersebut dikenal dengan nama Pasang ri Kajang,
berupa pesan leluhur (teks lisan) yang berisi 120 pasal, dan 19 pasal di
antaranya berisi sistem pengelolaan lingkungan. Salah satu pasal dari pesan
tersebut berbunyi: Anjo boronga anre nakkulle nipanraki. Punna nipanraki
boronga, nupanraki kalennu (Hutan tidak boleh dirusak. Jika engkau merusaknya,
maka sama halnya engkau merusak dirimu sendiri). Selain itu, kita juga bisa
melihat pasal lain yang berbunyi: Anjo natahang ri boronga karana pasang.
Rettopi tanayya rettoi ada (Hutan bisa lestari karena dijaga oleh adat. Bila
bumi hancur, maka hancur pula adat).
Dalam kaitan itu, pada masyarakat adat ini dikenal
adanya pembagian kawasan, yaitu pertama, kawasan untuk budidaya untuk dinikmati
bersama; kedua, kawasan hutan kemasyarakatan yang setiap warga diperbolehkan
menebang pohon, tetapi harus terlebih dahulu menanam pohon pengganti; dan
ketiga, kawasan hutan adat (borong karamaq) yang sama sekali tidak boleh
dirambah (Basri Andang, 2006). Pelanggaran terhadap ketentuan adat ini akan
dijatuhi sanksi adat, dalam bentuk pangkal cambuk atau denda uang dalam jumlah
tertentu, sesuai dengan ada' tanayya, sebuah sistem peradilan adat Kajang.
Mereka juga memiliki lembaga adat yang disebut dengan tau limayya (organisasi
yang beranggotakan lima orang), dipimpin oleh seseorang yang bergelar ammatowa,
yang tugas utamanya mengatur penebangan pohon, pengambilan rotan, dan pemanenan
lebah madu di hutan adat, serta penangkapan udang.
Kearifan
masyarakat adat Kajang dalam mengelola sumber daya alamnya memang
diartikulasikan lewat media-media tradisional seperti mitos, ritual, dan
pesan-pesan leluhur, tetapi sesungguhnya me-ngandung pengetahuan ekologis,
yaitu sistem pengetahuan mengenai fungsi hutan sebagai penyeimbang ekosistem.
Bahkan uraian di atas memperlihatkan empat ele-men kearifan lingkungan, yaitu
sistem ni-lai, teknologi, dan lembaga adat. Tidak hanya pada masyarakat adat
Kajang, di Sulawesi Selatan terdapat sejumlah masyarakat lokal yang memiliki
kearifan lingkungan, seperti lontaraq (kitab) Sawitto yang menyimpan
pengetahuan tentang cara me-motong pohon untuk tiang rumah, dan per-lunya
mengganti pohon yang ditebang dengan pohon baru; peran lembaga adat uwaq atau
uwattaq pada masyarakat Towani Tolotang di Kabupaten Sidenreng Rappang dalam
mengontrol pemanfaatan sumber daya alam; peran ritual dan aluk pada orang
Toraja yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang; upacara macceraq
tasiq (membersihkan laut) yang pernah dipraktikkan oleh orang Luwu di masa
lalu; dan lain-lain. Dalam kaitan dengan upaya konservasi atau pengembangan
sistem pengelolaan lingkungan yang berkelan-jutan, bentuk-bentuk kearifan
lingkungan sebagaimana dikemukakan ini menjadi penting dan dapat disinergikan
dengan sistem pengetahuan modern. Hal ini juga telah ditegaskan dalam UU Nomor
23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa aspek perilaku manusia
me-rupakan bagian yang integral dalam pengelolaan lingkungan hidup. Contoh
konservasi yang menarik dikemukakan adalah inisiatif masyarakat dalam
peng-hijauan bakau di Tongke-tongke, pesisir Timur Kabupaten Sinjai pada paruh
awal tahun 1990-an (Robinson & Paeni, 2005). Penanaman bakau ini
dimaksudkan untuk melindungi kampung dan tambak masyarakat setempat dari
abrasi. Mereka membuat aturan penebangan pohon yang dilakukan dalam siklus
tujuh tahunan. Usa-ha ini melahirkan dampak ekonomis, di mana penduduk dapat
memperoleh tambahan pendapatan ekonomi keluarga dengan mengumpulkan akar-akar
bakau yang sudah mati untuk kebutuhan kayu bakar rumah tangga. Namun,
belakangan usaha ini melahirkan konflik yang melibatkan masyarakat menyangkut
status kepemilikan antar Dinas Kehutanan Kabupaten Sinjai yang memiliki
otoritas untuk mengatur penebangan, dan Dinas Perikanan yang memiliki wewenang
menebang bakau untuk dijadikan tambak.
Kembali pada system hukum yang ada, bahwa sumberdaya
alam yang menguasai hak hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, maka
partisipasi/ keberadaan masyarakat local baik secara individu mau-pun komunal
diabaikan dan kalah oleh kepentingan pemodal (perusahaan dan agen kapitalisme
global). Pemerintah lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masyarakat
dalam mengelola lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah
ketinggalan di abad sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan seringkali
tidak melibatkan masyarakat, padahal mereka menggantungkan hidupnya juga dari
sumber daya alam itu, sehingga banyak terjadi konflik konflik.
Konflik
tersebut bisa kita lihat dari sejarah pengeksploitasian sumberdaya alam dan
hutan terjadi antara masyarakat yang pro dan kontra, antara masyarakat yang
dirugikan dengan pihak perusahaan yang dalam hal ini sudah mendapatkan izin eksploitasi
oleh Negara, dan juga antara masyarakat dengan Negara sendiri seperti yang
terjadi dalam eksploitasi mineral di Papua dimana masyarakat local berhadapan
dengan Freeport, masyarakat Sumatera Utara dengan Indorayon, Masyarakat
Sum-bawa dengan Newmont Nusa Tenggara, dan lain sebagainya. Apabila kita
melihat kasus tersebut, bisa diketahui bahwa sumber konflik tersebut antara
lain pertama, karena menguatnya intervensi modal dalam system ekonomi nasional,
sebab kemajuan Negara dilihat dari pendapatan perkapitanya, sehingga berujung
pada pemihakan yang berlebihan pada pemodal. Kedua, dominannya Negara atau Pemerintah
dalam memposisikan diri sebagai yang paling berhak atas penentuan arah pembangunan,
sehingga sentralisasi keputusan dan kebijakan pemerintah menjadi hal yang wajar
saja, tidak memperdulikan keberadaan masyarakat lokal yang juga mempunyai andil
dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut yang melahirkan mekanisme penaklukan
terhadap mereka. Pengetahuan mereka dianggap tidak ilmiah dan tidak mempunyai
metode dan tidak bisa dipertanggung jawabkan, sehingga mereka menjadi
termajinalkan. Ketiga, melemahnya jaminan dan perlindungan formal Negara
terhadap hak-hak masyarakat local dalam perundang-undangan nasional.Berbagai
masalah, seperti Freeport, telah lama mendapat perhatian para ahli yang
tergolong strukturalis. Salah satu pendekatan strukturalis adalah pendekatan
aktor yang diperkenalkan Bryant and Beiley melalui buku yang berjudul The Third
World Political Ecology (2001). Pendekatan ini berpijak pada konsep politicized
environment yang memiliki asumsi bahwa persoalan lingkungan tidak dapat dipahami
secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi. Jadi masalah lingkungan
bukanlah masalah teknis pengelolaan semata.
Menurut Bryant dan Beily, ada beberapa asumsi yang
mendasari pendekatan aktor ini. Pertama, bahwa biaya dan manfaat yang terkait
dengan perubahan lingkungan dinikmati oleh para aktor secara tidak merata.
Kedua, bahwa distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata tersebut mendorong
terciptanya ketimpangan sosial ekonomi. Ketiga, bahwa dampak sosial ekonomi
yang berbeda dari perubahan lingkungan tersebut juga memiliki implikasi
politik, dalam arti bahwa terjadi perubahan kekuasaan dalam hubungan satu aktor
dengan lainnya.
Salah satu aktor yang penting adalah negara (state).
Negara memiliki dua fungsi sekaligus, baik sebagai aktor pengguna maupun
pelindung sumber daya alam, yang karena itu negara juga sering mengalami
konflik kepentingan. Namun, secara teoretis, banyak kritik terhadap eksistensi
negara ini, seperti yang disam-paikan Bryant and Beiley (2001). Salah satunya
karena negara mempersulit upaya memecahkan masalah lingkungan, akibat
negara-negara di dunia ini berusaha mengejar pembangunan ekonomi, termasuk
berusaha menarik perusahaan multinasional untuk melakukan investasi di
wilayahnya yang sering kali mengorbankan lingkungan.
Aktor kedua adalah pengusaha, baik perusahaan
multinasional maupun nasional. Aktor ini yang sering disebut-sebut sebagai kekuatan
kapitalisme. Aktor lainnya aktor rakyat jelata yang merupakan pihak yang
terlemah dalam politicized environment ini. Aktor rakyat jelata ini hampir
selalu mengalami proses marginalisasi ataupun rentan terhadap berbagai bentuk
degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan dan marginalisasi merupakan setali
tiga uang. Sebab, menurut Marcuse melalui buku One Dimensional Man, do-minasi
terhadap alam terkait dengan dominasi sesama manusia. Ini terjadi karena manusia
dan alam dilihat sebagai komoditas dan nilai tukar semata sehingga
dehu-manisasi menjadi tak terhindarkan dan begitu pula eksploitasi terhadap
alam.
Hal ini terjadi juga karena aktor-aktor lain,
seperti negara, pengusaha, ataupun perusahaan multinasional, memiliki kekuatan
politik yang lebih besar dalam mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam
dibanding rakyat. Bahkan, dalam kasus Freeport ini perusahaan multinasional memiliki
kekuatan yang lebih besar daripada negara. Inilah yang kemudian membuat geram
lembaga swadaya masya-rakat sebagai aktor penting lainnya sehingga menuntut
ditutupnya sementara Free-port.
Proses pengelolaan lingkungan ada baiknya dilakukan
dengan lebih memandang situasi dan kondisi lokal agar pendekatan pengelolaannya
dapat disesuaikan dengan kondisi lokal daerah yang akan dikelola. Pandangan ini
tampaknya relevan untuk dilaksanakan di Indonesia dengan cara memperhatikan
kondisi masyarakat dan kebudayaan serta unsur-unsur fisik masing-masing wilayah
yang mungkin memiliki perbedaan disamping kesamaan. Dengan demikian, strategi
pengelolaan pada masing-masing wilayah akan bervariasi sesuai dengan situasi
setempat. Yangperlu diperhatikan adalah nilai-nilai dan norma-norma yang dianut
oleh suatu masyarakat yang merupakan kearifan masyarakat dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan.
Pada dasarnya, budaya asli Indonesia terbukti
memiliki falsafah yang pro lingkungan hidup, seperti di Jawa terkenal dengan
falsafah Hamemayu Hayunig Bawana, Tri Hita Karana di Bali dan Alam Terkembang
Jadi Guru di Tanah Minang. Kemudian ada juga berbagai kearifan tradisi, seperti
Sasi di Maluku, Awig-Awig di Nusa Tenggara, Bersih Desa di Jawa, Nyabuk Gunung
di Sunda yang menambah kekayaan budaya Indonesia yang pro lingkungan hidup.
Sementara itu, Agama-agama yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia, mulai dari
Islam, Hindu, Kristen, Budha dan Konghuchu, juga terbukti mengajarkan
pemeluknya untuk senantiasa menjaga dan memelihara alam sekitarnya. Bahkan
menurutnya, sekarang ini beberapa organisasi keagamaan di Indonesia telah
membentuk institusi yang bergerak dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan
demikian apa yang dimaksud dengan pengetahuan ilmiah yang oleh lowe dinamakan
sebagai reason bukan satu-satunya yang bisa menjelaskan suatu permasalahan
secara ilmiah, tetapi ada juga yang unreason dalam hal ini pengetahuan local
yang tidak bisa diabaikan kebe-radaannya.
2 comments:
Bagus artikelnya. Di saya ada satu tulisan mengenai pengetahuan lokal https://www.anakadam.com/2016/08/kampung-naga-dan-pembangunan-berkelanjutan/ Terimakasih.
Bagus artikelnya. Di saya ada satu tulisan mengenai pengetahuan lokal https://www.anakadam.com/2016/08/kampung-naga-dan-pembangunan-berkelanjutan/ Terimakasih.
Post a Comment