Teori
kultivasi (cultivation theory) pertama kali dikenalkan oleh Profesor George
Gerbner ketika ia menjadi dekan Annenberg School of Communication di
Universitas Pennsylvania Amerika Serikat (AS). Tulisan pertama yang
memperkenalkan teori ini adalah “Living with Television: The Violenceprofile”,
Journal of Communication. Awalnya, ia melakukan penelitian tentang “Indikator
Budaya” dipertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh menonton televisi.
Dengan kata lain, ia ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan,
dipersepsikan oleh penonton televisi itu?. Itu juga bisa dikatakan bahwa penelitian
kultivasi yang dilakukannya lebih menekankan pada “dampak”.
Menurut
teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para
penonton televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur dilingkungannya.
Dengan kata lain, persepsi apa yang terbangun di benak Anda tentang masyarakat
dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak Anda
dengan televisi Anda belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya
serta adat kebiasannya.
Teori
kultivasi ini di awal perkembangannya lebih memfokuskan kajiannya pada studi
televisi dan audience, khususnya memfokuskan pada thema-thema kekerasan di
televisi. Tetapi dalam perkembangannya, ia juga bisa digunakan untuk kajian di
luar thema kekerasan. Misalnya, seorang mahasiswa Amerika di sebuah Universitas
pernah mengadakan pengamatan tentang para pecandu opera sabun (heavy soap
opera). Mereka yang tergolong pecandu opera sabun tersebut lebih memungkinkan
melakukan affairs (menyeleweng), bercerai dan menggugurkan kandungan dari pada
mereka yang bukan termasuk kecanduan opera sabun (Dominic, 1990).
Bahkan
dengan memakai kacamata kultivasi, ada perbedaan antara pandangan orang tua
dengan remaja tentang suatu permasalahan. Melalui perbedaan kultivasi, orang
tua ditampilkan secara negatif di televisi. Bahkan para pecandu televisi
(terutama kelompok muda) lebih mempunyai pandangan negatif tentang orang tua
dari pada mereka yang bukan termasuk kelompok kecanduan. Mengapa ini semua
terjadi? Karena sebelumnya, televisi telah memotret atau selalu menampilkan
sisi negatif dari orang tua. Misalnya, bagaimana mereka sering terlihat kolot
dalam memahami dan menyelesaikan kasus yang berhubungan dengan anak muda.
Seolah, para pecandu televisi ini tidak sadar bahwa televisi punya banyak
pengaruh terhadap sikap dan perilaku mereka.
Para
pecandu berat televisi (heavy viewers) akan menganggap bahwa apa yang terjadi
di televisi itulah dunia senyatanya. Misalnya, tentang perilaku kekerasan yang
terjadi di masyarakat. Para pecandu berat televisi ini akan mengatakn sebab
utama munculnya kekerasan karena masalah sosial (karena televisi yang dia
tonton sering menyuguhkan berita dan kejadian dengan motif sosial sebagai
alasan melakukan kekerasan). Padahal bisa jadi sebab utama itu lebih karena
faktor cultural shock (keterkejutan budaya) dari tradisonal ke modern. Termasuk
misalnya, pecandu berat televisi mengatakan bahwa kemungkinan seseorang menjadi
korban kejahatan adalah 1 berbanding 10, padahal dalam kenyataan angkanya
adalah 1 berbanding 50. Ia juga mengira bahwa 20 persen dari total penduduk
berdiam di Amerika, padahal senyatanya cuma 6 persen. Dengan kata lain,
penilaian, persepsi, opini penonton televisi digiring sedemikian rupa agar
sesuai dengan apa yang mereka lihat di televisi. Bagi pecandu berat televisi,
apa yang terjadi pada televisi itulah yang terjadi pada dunia sesungguhnya.
Program
acara sinetron yang diputar televisi swasta Indonesia saat ini nyaris segaram,
misalnya Tersanjung, Pernikahan Dini, Kehormatan dan lain-lain. Masing-masing
sinetron itu membahas konflik antara orang tua dan anak serta hamil di luar
nikah. Para pecandu berat televisi akan mengatakan bahwa di masyarakat sekarang
banyak gejala tentang hamil di luar nikah karena televisi lewat sinetronnya
banyak atau bahkan selalu menceritakan kasus tersebut. Bisa jadi pendapat itu
tidak salah, tetapi ia terlalu menggeneralisir ke semua lapisan masyarakat.
Bahwa ada gejala hamil di luar nikah itu benar, tetapi mengatakan bahwa semua
gadis sudah hamil di luar nikah itu salah. Para pecandu sinetron itu sangat
percaya bahwa apa yang terjadi pada masyarakat itulah seperti yang dicerminkan
dalam sinetron-sinetron.
Termasuk
di sini konflik antara orang tua dan anak. Benak penonton itu akan mengatakan
saat ini semua anak memberontak kepada orang tua tentang perbedaan antara
keduanya. Mereka yakin bahwa televisi adalah potret sesungguhnya dunia nyata.
Padahal seperti yang bisa dilihat dalam kenyataannya, tidak sedikit anak-anak
yang masih hormat atau bahkan selalu mengiyakan apa yang dikatakan orang tua
mereka.
Gerbner
berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun
kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai itu antar anggota
masyarakat kemudian mengikatnya bersama-sama pula. Dengan kata lain, media
mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton itu menyakininya. Jadi, para
pecandu televisi itu akan punya kecenderungan sikap yang sama satu sama lain.
Penelitian
kultivasi menekankan bahwa media massa sebagai agen sosalisasi dan menyelidiki
apakah penonton televisi itu lebih mempercayai apa yang disajikan televisi
daripada apa yan mereka lihat sesungguhnya. Gerbner dan kawan-kawannya melihat
bahwa film drama yang disajikan di televisi mempunyai sedikit pengaruh tetapi
sangat penting di dalam mengubah sikap, kepercayaan, pandangan penonton yang
berhubungan dengan lingkungan sosialnya.
Televisi,
sebagaimana yang pernah dicermati oleh Gerbner, dianggap sebagai pendominasi
“lingkungan simbolik” kita. Sebagaimana McQual dan Windahl (1993) catat pula,
teori kultivasi menganggap bahwa televisi tidak hanya disebut sebagai jendela
atau refleksi kejadian sehari-hari di sekitar kita, tetapi dunia itu sendiri.
Gerbner (meminjam istilah Bandura) juga berpendapat bahwa gambaran tentang
adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan simbolik tentang hukum dan
aturan.
Dengan
kata lain, perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi merupakan refleksi
kejadian di sekitar kita. Jika adegan kekerasan itu merefleksikan aturan hukum
yang tidak bisa mengatasi situasi seperti yang digambarkan dalam adegan
televisi, bisa jadi yang sebenarnya terjadi juga begitu. Jadi, kekerasan
televisi dianggap sebagai kekerasan yang memang sedang terjadi di dunia ini.
Aturan hukum yang bisa digunakan untuk mengatasi perilaku kejahatan yang dipertontonkan
di televisi akan dikatakan bahwa seperti itulah hukum kita sekarang ini.
0 comments:
Post a Comment