A.
Riwayat
Singkat
Jacques
Derrida (1930–2004) adalah seorang filsuf Prancis, yang dianggap sebagai tokoh
penting post-strukturalis- posmodernis. Derrida lahir dalam lingkungan keluarga
Yahudi pada 15 Juli 1930 di Aljazair. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis, di
mana ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia kuliah dan akhirnya mengajar di École
Normale Supérieure di Paris. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris
causa di Universitas Cambridge. Ia meninggal dunia karena penyakit kanker pada
2004.
Derrida muda
dibesarkan dalam lingkungan yang agak bersikap diskriminatif. Ia mundur atau
dipaksa mundur dari sedikitnya dua sekolah, ketika ia masih anak-anak,
semata-mata karena ia seorang Yahudi. Ia dipaksa keluar dari sebuah sekolah,
karena ada batas kuota 7 persen bagi warga Yahudi. Meskipun Derrida mungkin
tidak akan suka, jika dikatakan bahwa karyanya diwarnai oleh latar belakang
kehidupannya ini, pengalaman kehidupan ini tampaknya berperan besar pada sikap
Derrida yang begitu menekankan pentingnya kaum marginal dan yang lain, dalam
pemikirannya kemudian.
Derrida dua
kali menolak posisi bergengsi di École Normale Supérieure, di mana
Sartre, Simone de Beauvoir, dan mayoritas kaum intelektual serta akademisi
Perancis memulai karirnya. Namun, akhirnya ia menerima posisi itu pada usia 19.
Ia kemudian pindah dari Aljazair ke Perancis, dan segera sesudahnya ia mulai
berperan utama di jurnal kiri Tel Quel.
Karya awal
Derrida di bidang filsafat sebagian besar berkaitan dengan fenomenologi.
Latihan awalnya sebagai filsuf dilakukan melalui kacamata Edmund Husserl.
Inspirasi penting lain bagi pemikiran awalnya berasal dari Nietzsche,
Heidegger, De Saussure, Levinas dan Freud. Derrida mengakui utang budinya
kepada para pemikir itu dalam pengembangan pendekatannya terhadap teks, yang
kemudian dikenal sebagai ‘dekonstruksi’ .
Pada 1967,
Derrida sudah menjadi filsuf penting kelas dunia. Ia menerbitkan tiga karya
utama (Of Grammatology, Writing and Difference, dan Speech and Phenomena).
Seluruh karyanya ini memberi pengaruh yang berbeda-beda, namun Of
Grammatology tetap karyanya yang paling terkenal. Pada Of Grammatology,
Derrida mengungkapkan dan kemudian merusak oposisi ujaran-tulisan, yang menurut
Derida telah menjadi faktor yang begitu berpengaruh pada pemikiran Barat.
Keasyikan
Derrida dengan bahasa dalam teks ini menjadi ciri khas sebagian besar karya
awalnya. Sejak penerbitan karya-karya tersebut serta teks-teks penting lain
(termasuk Dissemination, Glass, The Postcard, Spectres of Marx, The Gift of
Death, dan Politics of Friendship), dekonstruksi secara bertahap meningkat,
dari memainkan peran utama di benua Eropa, kemudian juga berperan penting dalam
konteks filosofis Anglo-Amerika. Peran ini khususnya terasa di bidang kritik
sastra, dan kajian budaya, di mana metode analisis tekstual dekonstruksi
memberi inspirasi kepada ahli teori, seperti Paul de Man.
Dekonstruksi
sering menjadi subyek kontroversi. Ketika Derrida diberi gelar doctor honoris
causa di Cambridge pada 1992, banyak protes bermunculan dari kalangan filsuf
“analitis.” Sejak itu, Derrida juga mengadakan banyak dialog dengan
filsuf-filsuf seperti John Searle, yang sering mengeritiknya.
Bagaimanapun,
dari banyaknya antipati tersebut, tampak bahwa dekonstruksi memang telah
menantang filsafat tradisional lewat berbagai cara penting. Derrida dianggap
sebagai salah satu filsuf terpenting abad ke-20 dan ke-21. Istilah-istilah
falsafinya yang terpenting adalah différance dan dekonstruksi.
B.
Memposisikan
Derrida
Tidak mudah
memahami pemikiran Derrida. Untuk memudahkan mempelajarinya, kita coba
menempatkannya dalam konteks pergeseran pemikiran pada era 1950-an sampai
1970-an, dari modernitas ke posmodernitas, dan dari strukturalisme ke
post-strukturalisme . De Saussure, Chomsky, Jacobson dan
Levi-Strauss mewakili kalangan strukturalis- modernis. Sedangkan Derrida bersama Lacan, Kristeva, Foucault, Barthes, dan Baudrillard, “bisa dikatakan” mewakili post-strukturalis- posmodernis.
Levi-Strauss mewakili kalangan strukturalis- modernis. Sedangkan Derrida bersama Lacan, Kristeva, Foucault, Barthes, dan Baudrillard, “bisa dikatakan” mewakili post-strukturalis- posmodernis.
Pemikiran
kalangan posmodernis itu sendiri bisa dibagi tiga. Pertama, yang merevisi
pemikiran modernitas, namun cenderung kembali ke pola pemikiran
pra-modern seperti metafisika New Age. Tokohnya seperti Capra, Zukav, dan sebagainya.
pra-modern seperti metafisika New Age. Tokohnya seperti Capra, Zukav, dan sebagainya.
Kedua,
pemikiran yang merevisi modernisme tanpa menolaknya mentah-mentah, melainkan
melakukan perbaikan di sana-sini yang dirasa perlu. Jadi, semacam kritik imanen
terhadap modernism, dalam rangka mengatasi konsekuensi negatifnya. Mereka di
antaranya: Habermas, Whitehead, Gadamer, Rorty, dan Ricoeur.
Ketiga,
pemikiran yang memandang bahwa sisi gelap dari modernitas bukanlah sekadar efek
samping dari pemikiran Pencerahan, melainkan sebagai sesuatu yang melekat di
dalamnya. Para pemikir dari kalangan ini terkait erat dengan dunia sastra dan linguistik.
Mereka ingin melampaui bahasa, yang secara tradisional dipandang sebagai cermin
untuk menggambarkan dunia atau realitas.
Caranya,
dengan melakukan dekonstruksi gambaran-dunia, sehingga cenderung anti-gambaran-
dunia sama sekali. Gambaran-dunia yang ingin dibongkar itu, misalnya, adalah
diri, Tuhan, tujuan, makna, kebenaran, dunia-nyata, dan sebagainya. Para
pemikir dari kelompok ini adalah Foucault, Vattimo, Lyotard, dan Derrida.
C.
Dari Oposisi
Biner ke Metafisika Kehadiran
Untuk
memahami Derrida, kita mencoba melacak kronologi pemikirannya dari
strukturalisme Saussurean yang bernuansa modernitas tersebut. Menurut paham
strukturalisme, kenyataan tertinggi dari realitas adalah struktur. Struktur itu
sendiri adalah saling hubungan antar-konstituen, bagian-bagian, atau
unsur-unsur pembentuk keseluruhan, sebagai penyusun sifat khas, atau karakter
dan koeksistensi, dalam keseluruhan bagian-bagian yang berbeda.
Bila bahasa
dilihat secara struktural, bisa disimpulkan bahwa bahasa bisa ada karena adanya
sistem perbedaan (system of difference), dan inti dari sistem perbedaan ini
adalah oposisi biner (binary opposition). Seperti, oposisi antara
penanda/petanda, ujaran/tulisan, langue/parole.
Oposisi
biner dalam linguistik ini berjalan seiring dengan hal yang sama dalam tradisi
filsafat Barat, seperti: makna/bentuk, jiwa/badan, transendental/ imanen,
baik/buruk, benar/salah, maskulin/feminin, intelligible/ sensible, idealisme/
materialisme, lisan/tulisan, dan sebagainya.
Dalam
oposisi biner ini terdapat hirarki. Yang satu dianggap lebih superior dari
pasangannya. Misalnya, jiwa diangap lebih mulia dari badan, rasio dianggap
lebih unggul dari perasaan, maskulin lebih dominan dari feminin, dan
sebagainya. Dalam linguistik Saussurean, lisan (ujaran) dianggap lebih utama
dari tulisan, karena tulisan dipandang hanya sebagai representasi dari lisan.
Derrida,
seperti banyak teoritisi kontemporer Eropa, asyik berusaha membongkar
kecenderungan oposisional biner yang mewarnai sebagian besar tradisi filsafat
Barat tersebut. Dekonstruksi yang dicanangkan Derrida tidaklah mengajukan
sebuah narasi besar atau teori baru tentang hakikat dunia kita. Ia membatasi
diri pada membongkar narasi-narasi yang sudah ada, dan mengungkapkan
hirarki-hirarki dualistik yang disembunyikan.
Oposisi
biner paling terkemuka, yang dibongkar dalam karya awal Derrida, adalah antara
ujaran (speech) dan tulisan (writing). Menurut Derrida, pemikir-pemikir seperti
Plato, Rousseau, De Saussure, dan Levi-Strauss, semua telah melecehkan kata
tertulis dan lebih mengutamakan ujaran, dengan mengontraskan, dan menempatkan
ujaran sebagai semacam saluran murni bagi makna.
Argumen
mereka adalah kata-kata yang diucapkan adalah simbol dari pengalaman mental
(makna, kebenaran). Sedangkan kata-kata tertulis –sebagai sekadar representasi
dari ujaran– hanyalah turunan kedua, atau sekadar simbol dari simbol yang sudah
ada (ujaran) tersebut.
Ujaran
menurut De Saussure adalah kesatuan petanda (signifie) dan penanda
(signifiant), yang dianggap kelihatan menjadi satu dan sepadan, yang membangun
sebuah tanda (sign). Makna atau kebenaran adalah petanda, yaitu isi yang
diartikulasikan oleh penanda yang berupa suara/bentuk.
Kebenaran
yang semula berada di luar penanda (eksternal), kemudian menjadi lekat dengan
penanda itu sendiri dalam bahasa. Dia bisa hadir lewat penanda. Kesatuan antara
bentuk (penanda) dan isi (petanda) inilah yang disebut Derrida sebagai
metafisika kehadiran (metaphysic of presence). Metafisika kehadiran,
yang terkadang disebut logosentrisme, berasumsi bahwa sesuatu yang bersifat
fisik (penanda) dan yang melampaui fisik (petanda) dapat hadir secara
bersamaan, dan hal ini hanya mungkin dalam ujaran, bukan tulisan.
Tanpa
mempersoalkan rincian tentang cara para pemikir itu menetapkan dan membenarkan
oposisi hirarkis semacam ini, penting untuk diingat bahwa strategi pertama
dekonstruksi adalah membalikkan oposisi-oposisi yang sudah ada. Derrida
menyangkal oposisi-oposisi biner semacam itu, dan akhirnya juga menolak
kebenaran tunggal atau logos itu sendiri.
D. Differance dan Difference
Dalam
karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan bahwa struktur
penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan “lebih tua” ketimbang yang
dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri (presence-to- self), yang dicirikan
sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau ujaran.
Sebagai
contoh, dalam keseluruhan bab Course in General karya Ferdinand de
Saussure, Saussure mencoba membatasi ilmu linguistik hanya pada fonetik (Linguisticsphonetic)
dan kata yang bisa didengar (audible word). Dalam penyelidikan ini,
Saussure sampai mengatakan bahwa “bahasa dan tulisan adalah dua sistem tanda
yang berbeda: yang kedua eksis semata-mata hanya untuk representasi dari yang
pertama”. Bahasa, tegas Saussure, memiliki tradisi oral yang independen dari
penulisan, dan keindependenan inilah yang membuat sebuah ilmu murni ujaran
dimungkinkan.
Derrida
dengan berapi-api menolak hirarki ini. Derrida sebaliknya berargumentasi bahwa
semua yang bisa diklaim terhadap tulisan (seperti, bahwa itu sekadar merupakan
turunan (derivatif) dan hanya merujuk ke tanda-tanda lain) sebenarnya
juga sama berlaku terhadap ujaran.
Derrida
menyatakan bahwa signifikasi selalu merujuk ke tanda-tanda lain dan kita tidak
akan pernah sampai ke suatu tanda yang hanya merujuk ke dirinya sendiri. Maka,
tulisan bukanlah tanda dari sebuah tanda, namun lebih benar jika dikatakan
bahwa tulisan adalah tanda dari semua tanda-tanda. Dan proses perujukan yang
tidak terhingga (infinite) dan tidak habis-habisnya ini tidak akan
pernah sampai ke makna itu sendiri.
Inilah
pengertian “tulisan” yang ingin ditekankan Derrida. Derrida menggunakan istilah
arche-writing, yakni tulisan yang merombak total keseluruhan logika
tentang tanda. Jadi, tulisan yang dimaksud Derrida bukanlah tulisan (atau
tanda) sederhana, yang dengan mudah dianggap mewakili makna tertentu.
Dilihat
dengan cara lain, tulisan merupakan prakondisi dari bahasa, dan bahkan telah
ada sebelum ucapan oral. Maka tulisan malah lebih “istimewa” daripada ujaran.
Tulisan adalah bentuk permainan bebas dari unsur-unsur bahasa dan komunikasi.
Tulisan merupakan proses perubahan makna terus-menerus dan perubahan ini
menempatkan dirinya di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos).
Jadi,
tulisan bisa dilihat sebagai jejak, bekas-bekas tapak kaki, yang harus kita
telusuri terus-menerus, jika ingin tahu siapa si empunya kaki (yang kita anggap
sebagai makna yang mau dicari). Proses berpikir, menulis dan berkarya
berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebut Derrida sebagai differance.
Differance adalah kata Perancis yang jika diucapkan
pelafalannya persis sama dengan kata difference. Kata-kata ini berasal
dari kata differer differance dan difference yang bisa berarti
“berbeda” sekaligus “menangguhkan/ menunda.” Kita tak bisa membedakan hanya
dengan mendengar ujaran (karena pelafalannya sama), tetapi harus melihat
tulisannya. Di sinilah letak keistimewaan kata ini, yang sekaligus membuktikan
tulisan lebih unggul ketimbang ujaran, sebagaimana diyakini Derrida.
Jika kata
terucap (ujaran) membutuhkan tulisan untuk bisa berfungsi secara memadai,
seperti ambiguitas dalam kata differance dan difference tersebut,
maka ujaran itu sendiri selalu berjarak dari setiap apapun yang diklaim sebagai
kejelasan kesadaran (clarity of consciousness). Pernyataan Derrida ini
secara tegas telah membantah habis argumen De Saussure, yang berusaha
memisahkan ujaran dan tulisan, dan melecehkan tulisan sebagai sesuatu yang
nyaris tidak dibutuhkan oleh ujaran.
Differance adalah permainan perbedaan-perbedaan,
jejak-jejak dari perbedaan-perbedaan , dan penjarakan (spacing), yang
dengan cara tersebut unsur-unsur dikaitkan satu sama lain. Proses differance
ini menolak adanya petanda absolut atau “makna absolute,” makna transendental,
dan makna universal, yang diklaim ada oleh De Saussure dan oleh pemikiran
modern pada umumnya.
Menurut
Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan (spacing),
di mana apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya hanyalah selalu
berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada celah atau kesenjangan antara
penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini membuat pencarian
makna absolut mustahil dilakukan. Setelah “kebenaran” ditemukan, ternyata masih
ada lagi jejak “kebenaran” lain di depannya, dan begitu seterusnya.
Jadi, apa
yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang “ada di
depan,” tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pegangan.
Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan pasti, ternyata adalah ketidakpastian,
atau permainan. Semuanya harus ditunda atau ditangguhkan (deferred) sembari
kita terus bermain bebas dengan perbedaan (to differ). Inilah yang
ditawarkan Derrida, dan posmodernitas adalah permainan dengan ketidakpastian.
E.
Penerapan
dan Sistematika Dekonstruksi
Pada
awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi
berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus
berlangsung, terhadap teks-teks tertentu. Ia berkomitmen pada analisis
habis-habisan terhadap makna literal teks, dan juga untuk menemukan
problem-problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa mengarahkan
ke makna-makna alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang
diabaikan.
Dekonstruksi
menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi
(pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability), yang
mengkhianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang
dalam teks yang ditulisnya.
Proses
penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan,
dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk
kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu
berlandaskan pada teks, dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena
selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi,
sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda.
Ini juga
memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi harus
dilakukan dengan hati-hati. Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau
mengurung dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat
dekonstruksi justru berlandaskan pada hasrat untuk mengekspos kita terhadap
keseluruhan yang lain (tout autre), dan untuk membuka diri terhadap
berbagai kemungkinan- kemungkinan alternatif.
Penjelasan
ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida. Adanya
perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-karya awal dan karya-karya
terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang jelas bagi kesulitan yang akan
muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi mengatakan ini” atau
“dekonstruksi melarang itu.”
Namun, ada
ciri tertentu dari dekonstruksi yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan
upaya Derrida dilandaskan pada keyakinannya tentang adanya dualisme, yang hadir
dan tak bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat.
Kekhasan
cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat
bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian
dibongkar bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis
tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan
pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu
atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya,
kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan.
Oleh karena
itu, dalam metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan dekonstruktif,
filsafat diartikan sebagai tulisan, dan oleh karenanya, filsafat tidak pernah
berupa ungkapan transparan pemikiran langsung. Sebab, setiap pemikiran
filosofis tentu disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material,
baik grafis maupun fonetis. Dan sistem tanda itu tentu juga tak hanya digunakan
untuk kepentingan filosofis.
Filsafat
yang pada dasarnya adalah tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan,
dan keluar dari kerangka fisik kebahasaan yang digunakannya. Bahasa ingin
digunakan sebagai sarana transparan untuk menghadirkan makna dan kebenaran riil
yang ekstra-linguistik, atau dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut,
kebenaran yang betul-betul benar.
Sedangkan
tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya
penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang
mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks.
Sistematika
penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama,
mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, di mana biasanya terlihat
peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak.
Kedua,
oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di
antara yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik.
Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama.
Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama.
Dengan
langkah-langkah semacam ini, pembacaan dekonstruktif berbeda dari pembacaan
biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan
terkadang berusaha menemukan makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri
barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin
mencari ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan
makna atau kebenaran tunggal.
F.
Pengaruh
Dekonstruksi terhadap Kajian Budaya
Dalam kajian
budaya, dekonstruksi Derrida memberi pengaruh penting. Berkat dekonstruksi
Derrida, makna kini tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, tunggal,
universal, dan stabil, tetapi makna selalu berubah. Klaim-klaim kebenaran
absolut, kebenaran universal, dan kebenaran tunggal, yang biasa mewarnai gaya
pemikiran filsafat sebelumnya, semakin digugat, dipertanyakan, dan tidak lagi
bisa diterima.
Secara
sepintas, seolah-olah tidak ada tawaran “konkret” dari metode dekonstruksi.
Namun, yang dimaui oleh dekonstruksi adalah menghidupkan kekuatan-kekuatan
tersembunyi yang turut membangun teks. Teks dan kebudayaan tidak lagi dipandang
sebagai tatanan makna yang utuh, melainkan sebagai arena pertarungan yang
terbuka. Atau tepatnya, permainan antara upaya penataan dan chaos, antara
perdamaian dan perang, dan sebagainya.
Dalam
kesusastraan, misalnya, dekonstruksi ditujukan sebagai metode pembacaan kritis
yang bebas, guna mencari celah, kontradiksi dalam teks yang berkonflik dengan
maksud pengarang. Dalam hal ini, membaca teks bukan lagi dimaksudkan untuk
menangkap makna yang dimaksudkan pengarang, melainkan justru untuk memproduksi
makna-makna baru yang plural, tanpa klaim absolut atau universal.
Dalam proses
itu, penafsir juga tidak bisa mengambil posisi netral tatkala menganalisis
suatu teks tanpa dirinya sendiri dipengaruhi atau dibentuk oleh teks-teks yang
pernah ia baca. Teks itu sendiri juga tidak bisa diasalkan maknanya semata-mata
pada gagasan si pengarang, karena pikiran pengarang juga merujuk kepada
gagasan-gagasan pengarang lain yang mempengaruhinya.
Dekonstruksi,
seperti juga pendekatan posmodernisme lainnya, dengan demikian cocok dengan
konsep pluralitas budaya, pluralitas permainan bahasa, banyaknya wacana,
penghargaan terhadap perbedaan, dan membuka diri terhadap yang lain (the
other).
Penghargaan
terhadap perbedaan, pada “yang lain” ini membuka jalan bagi penghargaan pada
pendekatan lokal, regional, etnik, baik pada masalah sejarah, seni, politik,
masyarakat, dan kebudayaan pada umumnya.
Penelitian
yang bersifat lokal, atau etnik, dan sebagainya kini mendapat tempat, dan pada
gilirannya akan memperkaya dan menghasilkan deskripsi atau narasi-narasi khas
masing-masing. Mungkin, inilah salah satu sumbangan penting dekonstruksi
Derrida terhadap kajian budaya.
Daftar Pustaka
Adian, Donny Gahral. 2006. Percik
Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Bennington, Geoffrey. 2000.
Interrupting Derrida. London/New York: Routledge.
Christomy, T., dan Untung Yuwono
(ed.). 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI.
Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat
Fragmentaris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Honderich, Ted. 1995. The Oxford
Companion to Philosophy. Oxford/New York: Oxford University Press.
Kathryn Woodward. 1999. Identity
and Difference. London: Sage Publication.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2006.
Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori Kritis,
Poskolonialisme, Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
Magnis-Suseno, Franz. 2005.
Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke
Postmodernisme. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Norris, Christopher. 2008.
Membongkat Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Storey, John. 2006. Cultural
Theory and Popular Culture: an Introduction. Fourth Edition. Athens, Georgia:
The University of Georgia Press.
Williams, James. 2005.
Understanding Poststructuralism. Chesham: Acumen.
0 comments:
Post a Comment