Pendahuluan
Menurut catatan sejarah, filsafat Barat
bermula di Yunani. Bangsa Yunani mulai mempergunakan akal ketika mempertanyakan
mitos yang berkembang di masyarakat sekitar abad VI SM. Perkembangan pemikiran
ini menandai usaha manusia untuk mempergunakan akal dalam memahami segala
sesuatu. Pemikiran Yunani sebagai embrio filsafat Barat berkembang menjadi
titik tolak pemikiran Barat abad pertengahan, modern dan masa berikutnya.
Disamping menempatkan filsafat sebagai
sumber pengetahuan, Barat juga menjadikan agama sebagai pedoman hidup, meskipun
memang harus diakui bahwa hubungan filsafat dan agama mengalami pasang surut.
Pada abad pertengahan misalnya dunia Barat didominasi oleh dogmatisme gereja
(agama), tetapi abad modern seakan terjadi pembalasan terhadap agama. Peran
agama di masa modern digantikan ilmu-ilmu positif. Akibatnya, Barat mengalami
kekeringan spiritualisme. Namun selanjutnya, Barat kembali melirik kepada
peranan agama agar kehidupan mereka kembali memiliki makna.
Makalah ini akan mendiskripsikan hubungan
filsafat dan agama di Barat sebagai sebuah survei sejarah lintas periode.
1. Pengertian Agama
Agama memang tidak mudah diberi definisi,
karena agama mengambil berbagai bentuk sesuai dengan pengalaman pribadi
masing-masing. Meskipun tidak terdapat definisi yang universal, namun dapat
disimpulkan bahwa sepanjang sejarah manusia telah menunjukkan rasa
"suci", dan agama termasuk dalam kategori "hal yang suci".
Kemajuan spiritual manusia dapat diukur dengan tingginya nilai yang tidak
terbatas yang diberikan kepada obyek yang disembah. Hubungan manusia dengan
"yang suci" menimbulkan kewajiban, baik untuk melaksanakan maupun
meninggalkan sesuatu.
Di dalam setiap agama, paling tidak
ditemukan empat ciri khas. Pertama, adanya sikap percaya kepada Yang Suci.
Kedua, adanya ritualitas yang menunjukkan hubungan dengan Yang Suci. Ketiga,
adanya doktrin tentang Yang Suci dan tentang hubungan tersebut. Keempat, adanya
sikap yang ditimbulkan oleh ketiga hal tersebut.
Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di
muka bumi, sesuai dengan asalnya, dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama,
agama samawi (agama langit), yaitu agama yang dibangun berdasarkan wahyu Allah.
Kedua, agama ardli (agama bumi), yaitu agama yang dibangun berdasarkan kreasi
manusia.
2. Agama Universal di Barat
Sebelum dijelaskan tentang agama universal
di Barat, perlu diketahui agama bangsa Yunani secara garis besar. Bangsa Yunani
sebelum mengenal dewa-dewa, mereka memuja dan menyembah daya-daya alam, roh
nenek moyang dan pimpinan tertinggi dari anggota keturunan. Kemudian, mereka
melakukan pemujaan terhadap para dewa yang dipusatkan di gunung Olympia , sebagaimana
diceritakan Homerus dan Hesiodes dalam syair-syair mereka. Hal ini terjadi
berabad-abad lamanya hingga datangnya agama Yahudi dan Nashara.
Sementara itu, agama universal adalah agama
yang kepercayaannya disajikan untuk semua umat manusia. Agama ini menganggap
dirinya punya kebenaran penuh tentang realitas, pengetahuan, dan nilai,
sehingga pemeluknya merasa berkewajiban menyampaikan kepada semua umat manusia.
Agama universal yang dimaksud di sini adalah agama Yahudi, Kristen, dan Islam.
Agama dan Filsafat Barat Klasik
1. Masa Pra-Sokrates
Bangsa Yunani merupakan bangsa yang pertama
kali berusaha menggunakan akal untuk berpikir. Kegemaran bangsa Yunani merantau
secara tidak langsung menjadi sebab meluasnya tradisi berpikir bebas yang
dimiliki bangsa Yunani.
Menurut Barthelemy, kebebasan berpikir
bangsa Yunani disebabkan di Yunani sebelumnya tidak pernah ada agama yang
didasarkan pada kitab suci. Keadaan tersebut jelas berbeda dengan Mesir , Persia ,
dan India .
Sedangkan Livingstone berpendapat bahwa adanya kebebasan berpikir bangsa Yunani
dikarenakan kebebasan mereka dari agama dan politik secara bersamaan.
Pada masa Yunani kuno, filsafat secara umum
sangat dominan, meski harus diakui bahwa agama masih kelihatan memainkan peran.
Hal ini terjadi pada tahap permulaan, yaitu pada masa Thales (640-545 SM), yang
menyatakan bahwa esensi segala sesuatu adalah air, belum murni bersifat rasional.
Argumen Thales masih dipengaruhi kepercayaan pada mitos Yunani. Demikian juga
Phitagoras (572-500 SM) belum murni rasional. Ordonya yang mengharamkan makan
biji kacang menunjukkan bahwa ia masih dipengaruhi mitos. Jadi, dapat dikatakan
bahwa agama alam bangsa Yunani masih dipengaruhi misteri yang membujuk
pengikutnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa mitos bangsa Yunani bukanlah
agama yang berkualitas tinggi.
Secara umum dapat dikatakan, para filosof
pra-Socrates berusaha membebaskan diri dari belenggu mitos dan agama asalnya.
Mereka mampu melebur nilai-nilai agama dan moral tradisional tanpa
menggantikannya dengan sesuatu yang substansial.
2. Periode Athena
Hampir bersamaan dengan filsafat atomis,
muncul para filosof yang mengalihkan obyek pemikiran manusia dari alam ke arah
pemikiran tentang manusia sendiri. Filosof-filosof ini disebut dengan kaum
sophis yang dipelopori oleh Protagoras (485-420 SM). Menurutnya, segala
fenomena menjadi relatif bagi subyektifitas manusia. Ia mengklaim manusia
sebagai ukuran kebenaran dengan istilah "homo mensura". Kaum sophis
berpendapat bahwa manusia menjadi ukuran kebenaran. Tidak ada kebenaran yang
berlaku secara universal, kebenaran hanya berlaku secara individual. Mereka
menggunakan retorika sebagai alat utama untuk mempertahankan kebenaran. Tidak
adanya ukuran kebenaran yang bersifat umum berdampak negatif, yaitu terciptanya
kekacauan tentang kebenaran, semua teori pengetahuan diragukan, serta
kepercayaan dan doktrin agama diabaikan.
Kaum sophis mendapat imbangannya dalam diri
seorang alim yang merupakan guru teladan sepanjang jaman (the greatest teacher
of all time) yang bernama Socrates (470-399 SM). Ia tidak menerima kepercayaan
yang diabdikan pada sejumlah berhala, sebab baginya Tuhan adalah tunggal.
Menurutnya, kebenaran umum itu ada, yaitu kebenaran yang diterima setiap orang.
Pemikiran tersebut dilanjutkan oleh Plato (429-348 SM). Bagi Plato, kebenaran
umum itu memang ada; namanya adalah ide. Idealisme metafisiknya, Tuhan adalah
realitas yang tertinggi dan paling sempurna. Tuhan tidak mencipta sesuatu dari
yang tidak ada, tetapi dari sesuatu yang disebut "Dzat Primordial"
yang berisikan seluruh unsur asli alam. Selanjutnya, muncul Aristoteles
(384-322 SM) yang meyakini Tuhan yang monoteistik dan kekekalan jiwa manusia.
Sampai periode ini, agama dan filsafat sama-sama dominan.
Sebelum perjalanan survei tentang agama dan
filsafat Barat klasik diakhiri, perlu dikemukakan pemikiran seorang filosof
yang merumuskan kembali pemikiran Plato, terutama dalam menjawab persoalan
agama. Aliran ini dikenal dengan Neo-Platonisme yang dirintis oleh Plotinus
(205-70 SM).
Doktrin pokok Plotinus adalah tiga
realitas, yaitu jiwa (soul), akal (nous), dan Yang baik (The Good). Hubungan
ketiga unsur tersebut dikenal dengan Plotinus Trinity. Menurut Plotinus, Tuhan
bukan untuk dipahami, tetapi untuk dirasakan. Tujuan berfilsafat (tujuan hidup
secara umum) adalah bersatu dengan Tuhan. Rasa inilah satu-satunya yang
dituntun kitab suci. Filsafat rasional dan sains tidak penting, bahkan salah
seorang murid Plotinus, Simplicus, menutup sama sekali ruang gerak filsafat
rasional. Filsafat Plotinus tumbuh bersamaan dengan munculnya agama Kristen,
dan dijadikan dasar oleh para pemuka agama Kristen untuk mempertahankan
ajaran-ajaran mereka.
Akibatnya, orang-orang yang menghidupkan
filsafat dimusuhi dan dibunuh. Di antara korban kefanatikan agama Kristen
adalah Hypatia (370-415). Pada saat itu, gereja sedang mengadakan konsolidasi
diri dan mencoba untuk mengikis habis paganisme, dan filsafat dianggap sama
dengan paganisme. Tidak lama kemudian, gereja membakar habis perpustakaan
Iskandaria bersama seluruh isinya. Puncaknya pada tahun 529 M, Kaisar Justianus
mengeluarkan undang-undang yang melarang filsafat di Athena.
Yang menarik dari pemikiran Plotinus dan
Neo-Platonisme adalah pengalihan arah pemikiran dari alam (kosmo sentris) dan
manusia (antroposentris) kepada pemikiran tentang Tuhan (theosentris), sehingga
Tuhan dijadikan dasar segala sesuatu.
Agama dan Filsafat Barat Skolastik
Puncak terakhir filsafat Yunani adalah
ajaran yang disebut Neo-Platonisme, yang ajarannya banyak bernuansa nilai-nilai
spiritual yang transenden. Pemikiran Neo-Platonisme sangat berpengaruh terhadap
perkembangan filsafat Kristen pada masa berikutnya.
Sejak gereja (agama) mendominasi, peranan
akal (filsafat) menjadi sangat kecil. Karena, gereja telah membelokkan
kreatifitas akal dan mengurangi kemampuannya. Pada saat itu, pendidikan
diserahkan pada tokoh-tokoh gereja yang dikenal dengan "The
Scholastics", sehingga periode ini disebut dengan masa skolastik. Para
filosof aliran skolastik menerima doktrin gereja sebagai dasar pandangan
filosofisnya. Mereka berupaya memberikan pembenaran apa yang telah diterima
dari gereja secara rasional.
Diantara filosof skolastik yang terkenal
adalah Augustinus (354-430). Menurutnya, dibalik keteraturan dan ketertiban
alam semesta ini pasti ada yang mengendalikan, yaitu Tuhan. Kebenaran mutlak
ada pada ajaran agama. Kebenaran berpangkal pada aksioma bahwa segala sesuatu
diciptakan oleh Allah dari yang tidak ada (creatio ex nihilo). Kehidupan yang
terbaik adalah kehidupan bertapa, dan yang terpenting adalah cinta pada Tuhan.
Ciri khas filsafat abad pertengahan ini
terletak pada rumusan Santo Anselmus (1033-1109), yaitu credo ut intelligam (saya
percaya agar saya paham). Filsafat ini jelas berbeda dengan sifat filsafat
rasional yang lebih mendahulukan pengertian dari pada iman.
Menghadapi abad XII, Eropa membuka kembali
kebebasan berpikir yang dipelopori oleh Peter Abelardus (1079-1142). Ia
menginginkan kebebasan berpikir dengan membalik diktum Augustinus-Anselmus
credo ut intelligam dan merumuskan pandangannya sendiri menjadi intelligo ut
credom (saya paham supaya saya percaya). Peter Abelardus memberikan status yang
lebih tinggi kepada penalaran dari pada iman.
Puncak kejayaan masa skolastik dicapai
melalui pemikiran Thomas Aquinas (1225-1274). Ia mendapat gelar "The
Angelic Doctor", karena banyak pikirannya, terutama dalam "Summa
Theologia" menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gereja. Menurutnya,
pengetahuan berbeda dengan kepercayaan. Pengetahuan didapat melalui indera dan
diolah akal. Namun, akal tidak mampu mencapai realitas tertinggi yang ada pada
daerah adikodrati. Ini merupakan masalah keagamaan yang harus diselesaikan
dengan kepercayaan. Dalil-dalil akal atau filsafat harus dikembangkan dalam
upaya memperkuat dalil-dali agama dan mengabdi kepada Tuhan.
Pada tahap akhir masa skolastik terdapat
filosof yang berbeda pandangan dengan Thomas Aquinas, yaitu William Occam
(1285-1349). Tulisan-tulisannya menyerang kekuasaan gereja dan teologi Kristen.
Karenanya, ia tidak begitu disukai dan kemudian dipenjarakan oleh Paus. Namun,
ia berhasil meloloskan diri dan meminta suaka politik kepada Kaisar Louis IV,
sehingga ia terlibat konflik berkepanjangan dengan gereja dan negara. William
Occam merasa membela agama dengan menceraikan ilmu dari teologi. Tuhan harus
diterima atas dasar keimanan, bukan dengan pembuktian, karena kepercayaan
teologis tidak dapat didemonstrasikan.
Pada abad pertengahan, perkembangan alam
pikiran di Barat amat terkekang oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran
agama (doktrin gereja). Perkembangan penalaran tidak dilarang, tetapi harus
disesuaikan dan diabdikan pada keyakinan agama.
Agama dan Filsafat Barat Modern
Di abad pertengahan, filsafat mencurahkan
perhatian terhadap masalah metafisik. Saat itu sulit membedakan mana yang
filsafat dan mana yang gereja. Sedangkan periode sejarah yang umumnya disebut
modern memiliki sudut pandang mental yang berbeda dalam banyak hal, terutama
kewibawaan gereja semakin memudar, sementara otoritas ilmu pengetahuan semakin
kuat.
Masa filsafat modern diawali dengan
munculnya renaissance sekitar abad XV dan XVI M, yang bermaksud melahirkan
kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi. Problem utama masa renaissance,
sebagaimana periode skolastik, adalah sintesa agama dan filsafat dengan arah
yang berbeda. Era renaissance ditandai dengan tercurahnya perhatian pada
berbagai bidang kemanusiaan, baik sebagai individu maupun sosial.
Di antara filosof masa renaissance adalah
Francis Bacon (1561-1626). Ia berpendapat bahwa filsafat harus dipisahkan dari
teologi. Meskipun ia meyakini bahwa penalaran dapat menunjukkan Tuhan, tetapi
ia menganggap bahwa segala sesuatu yang bercirikan lain dalam teologi hanya
dapat diketahui dengan wahyu, sedangkan wahyu sepenuhnya bergantung pada
penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa Bacon termasuk orang yang membenarkan
konsep kebenaran ganda (double truth), yaitu kebenaran akal dan wahyu. Puncak
masa renaissance muncul pada era Rene Descartes (1596-1650) yang dianggap
sebagai Bapak Filsafat Modern dan pelopor aliran Rasionalisme. Argumentasi yang
dimajukan bertujuan untuk melepaskan diri dari kungkungan gereja. Hal ini
tampak dalam semboyannya "cogito ergo sum" (saya berpikir maka saya
ada). Pernyataan ini sangat terkenal dalam perkembangan pemikiran modern,
karena mengangkat kembali derajat rasio dan pemikiran sebagai indikasi
eksistensi setiap individu. Dalam hal ini, filsafat kembali mendapatkan
kejayaannya dan mengalahkan peran agama, karena dengan rasio manusia dapat
memperoleh kebenaran.
Kemudian muncul aliran Empirisme, dengan
pelopor utamanya, Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704). Aliran
Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan dan pengenalan berasal dari pengalaman,
baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Aliran ini juga menekankan pengenalan
inderawi sebagai bentuk pengenalan yang sempurna.
Di tengah gegap gempitanya pemikiran
rasionalisme dan empirisme, muncul gagasan baru di Inggris, yang kemudian
berkembang ke Perancis dan akhirnya ke Jerman. Masa ini dikenal dengan
Aufklarung atau Enlightenment atau masa pencerahan sekitar abad XVIII M.
Pada abad ini dirumuskan adanya
keterpisahan rasio dari agama, akal terlepas dari kungkungan gereja, sehingga
Voltaire (1694-1778) menyebutnya sebagai the age of reason (zaman penalaran).
Sebagai salah satu konsekwensinya adalah supremasi rasio berkembang pesat yang
pada gilirannya mendorong berkembangnya filsafat dan sains.
Meskipun demikian, di antara pemikir zaman
aufklarung ada yang memperhatikan masalah agama, yaitu David Hume (1711-1776).
Menurutnya, agama lahir dari hopes and fears (harapan dan penderitaan manusia).
Agama berkembang melalui proses dari yang asli, yang bersifat politeis, kepada
agama yang bersifat monoteis. Kemudian Jean Jacques Rousseau (1712-1778)
berjuang melawan dominasi abad pencerahan yang materialistis dan atheis. Ia
menentang rasionalisme yang membuat kehidupan menjadi gersang. Ia dikenal
dengan semboyannya retournous a la nature (kembali ke keadaan asal), yakni
kembali menjalin keakraban dengan alam.
Tokoh lainnya adalah Imanuel Kant
(1724-1804). Filsafatnya dikenal dengan Idealisme Transendental atau Filsafat
Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan manusia merupakan sintesa antara apa yang
secara apriori sudah ada dalam kesadaran dan pikiran dengan impresi yang
diperoleh dari pengalaman (aposteriori). Ia berusaha meneliti kemampuan dan
batas-batas rasio. Ia memposisikan akal dan rasa pada tempatnya, menyelamatkan
sains dan agama dari gangguan skeptisisme.
Tokoh idealisme lainnya adalah George
Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Filsafatnya dikenal dengan idealisme
absolut yang bersifat monistik, yaitu seluruh yang ada merupakan bentuk dari
akal yang satu, yakni akal yang absolut (absolut mind). Ia memandang agama
Kristen yang dipahaminya secara panteistik sebagai bentuk terindah dan
tertinggi dari segala agama.
Sementara di Inggris, Jeremy Benthem
(1748-1832) dengan pemikiran-pemikirannya mengawali tumbuhnya aliran
Utilitarianisme. Utility dalam bahasa Inggris berarti kegunaan dan manfaat.
Makna semacam inilah yang menjadi dasar aliran Utilitarianisme. Tokoh lain
aliran ini adalah John Stuart Mill (1806-1873) dan Henry Sidgwick (1838-1900).
Menurut aliran utilitarianis bahwa pilihan terbaik dari berbagai kemungkinan
tindakan perorangan maupun kolektif adalah yang paling banyak memberikan
kebahagiaan pada banyak orang. Kebahagiaan diartikan sebagai terwujudnya rasa
senang dan selamat atau hilangnya rasa sakit dan was-was. Hal ini bukan saja
menjadi ukuran moral dan kebenaran, tetapi juga menjadi tujuan individu,
masyarakat, dan negara.
Aliran filsafat yang lain adalah
Positivisme. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan
dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan bahwa pengetahuan
manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik,
dan positif. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang
disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut
kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena
kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.
Auguste Comte mencoba mengembangkan
Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti
dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja
kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran
ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat
materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Tokoh aliran Materialisme adalah Feurbach
(1804-1872). Ia menyatakan bahwa kepercayaan manusia kepada Allah sebenarnya
berasal dari keinginan manusia yang merasa tidak bahagia. Lalu, manusia
mencipta Wujud yang dapat dijadikan tumpuan harapan yaitu Tuhan, sehingga
Feurbach menyatakan teologi harus diganti dengan antropologi. Tokoh lain aliran
Materialisme adalah Karl Marx (1820-1883) yang menentang segala bentuk
spiritualisme. Ia bersama Friederich Engels (1820-1895) membangun pemikiran
komunisme pada tahun 1848 dengan manifesto komunisme. Karl Marx memandang bahwa
manusia itu bebas, tidak terikat dengan yang transendental. Kehidupan manusia
ditentukan oleh materi. Agama sebagai proyeksi kehendak manusia, bukan berasal
dari dunia ghaib.
Periode filsafat modern di Barat menunjukkan
adanya pergeseran, segala bentuk dominasi gereja, kependetaan dan anggapan
bahwa kitab suci sebagai satu-satunya sumber pengetahuan diporak-porandakan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa abad modern merupakan era pembalasan
terhadap zaman skolastik yang didominasi gereja.
Agama dan Filsafat Barat Kontemporer
Pada awal abad XX, di Inggris dan Amerika
muncul aliran Pragmatisme yang dipelopori oleh William James (1842-1910).
Sebenarnya, Pragmatisme awalnya diperkenalkan oleh C.S. Pierce (1839-1914).
Menurutnya, kepercayaan menghasilkan kebiasaan, dan berbagai kepercayaan dapat
dibedakan dengan membandingkan kebiasaan yang dihasilkan. Oleh karena itu,
kepercayaan adalah aturan bertindak.
William James berpendapat bahwa teori
adalah alat untuk memecahkan masalah dalam pengalaman hidup manusia. Karena
itu, teori dianggap benar, jika teori berfungsi bagi kehidupan manusia.
Sedangkan agama, menurutnya, mempunyai arti sebagai perasaan (feelings),
tindakan (acts) dan pengalaman individu manusia ketika mencoba memahami
hubungan dan posisinya di hadapan apa yang mereka anggap suci. Dengan demikian,
keagamaan bersifat unik dan membuat individu menyadari bahwa dunia merupakan
bagian dari sistem spiritual yang dengan sendirinya memberi nilai bagi atau
kepadanya.
Agak berbeda dengan William James, tokoh
Pragmatisme lainnya, John Dewey (1859-1952) menyatakan bahwa tugas filsafat
yang terpenting adalah memberikan pengarahan pada perbuatan manusia dalam
praktek hidup yang harus berpijak pada pengalaman.
Pada saat yang bersamaan, juga berkembang
aliran Fenomenologi di Jerman yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859-1938).
Menurutnya, untuk mendapatkan pengetahuan yang benar ialah dengan menggunakan
intuisi langsung, karena dapat dijadikan kriteria terakhir dalam filsafat.
Baginya, Fenomenologi sebenarnya merupakan teori tentang fenomena; ia
mempelajari apa yang tampak atau yang menampakkan diri.
Pada abad tersebut juga lahir aliran
Eksistensialisme yang dirintis oleh Soren Kierkegaard (1813-1855). Tokoh
terpenting dalam aliran ini adalah Jean Paul Sartre (1905-1980) yang
berpandangan atheistik. Menurutnya, Tuhan tidak ada, atau sekurang-kurangnya
manusia bukan ciptaan Tuhan. Eksistensi manusia mendahului esensinya; manusia
bebas menentukan semuanya untuk dirinya dan untuk seluruh manusia.
Walaupun rasionalisme Eropa memperoleh
kemenangan, ternyata menyimpan beberapa keretakan yang pada gilirannya
menimbulkan reaksi, seperti lahirnya anti rasionalisme, humanisme, dan
lain-lain. Periode kontemporer di Barat juga ditandai dengan adanya keinginan
yang demikian kuat untuk kembali kepada ajaran agama. Filosof di Barat mulai
menyadari bahwa era modern telah melahirkan kehidupan yang kering spiritual dan
tidak bermakna.
Kesimpulan
Dari uraian terdahulu, maka dapat ditarik
dua kesimpulan. Pertama, hubungan filsafat dan agama di Barat telah terjadi
sejak periode Yunani Klasik, pertengahan, modern, dan kontemporer, meskipun
harus diakui bahwa hubungan keduanya mengalami pasang surut.
Kedua, dewasa ini di Barat terdapat kecenderungan
yang demikian kuat terhadap peranan agama. Masyarakat modern yang
rasionalistik, vitalistik, dan materialistik, ternyata hampa spiritual,
sehingga mulai menengok dunia Timur yang kaya nilai-nilai spiritual.
0 comments:
Post a Comment