Pendahuluan
Post-Strukturalisme pada
tahun 1980-an
Kata-kata “Post” merujuk pada satu kata fase situasi yang melampaui , melebihi,
melewati, setelah/ menentang. Jadi Post-Strukturalisme
ialah gerakan pemikiran yang merujuk pada melampaui, melebihi,/menentang
dari pemikiran strukturalisme.
Dalam pemikiran pada era Post-Strukturalisme terdapat tokoh pikiran anatara lain:
1.
Roland
Barthes yang terkenal dengan pikiran tentang Mitologi (Mitos).
2.
Jaques
Derrida yang terkenal dengan pikiran tentang Dekontruksi (Pembongkaran /Kepalsuan).
3.
Jean
Baudrillard yang terkenal dengan pikiran tentang Simulasi.
Dalam makalah ini saya
akan membahas tentang pemikiran dari seorang tokoh yaitu Jean Baudrillard yang terkenal dengan pikiran tentang Simulasi. Salah seorang pemikir
postmodernisme yang menaruh perhatian besar pada persoalan kebudayaan dalam
masyarakat kontemporer adalah Jean Baudrillard. Agak berbeda dengan
filsuf-filsuf postmodernisme lainnya yang memusatkan diri pada metafisika dan
epistemologi, Baudrillard lebih memilih kebudayaan sebagai medan pengkajian. Ia
mengambil pilihan itu bukan tanpa tujuan. Baudrillard ingin mengungkapkan
transformasi dan pergeseran yang terjadi dalam struktur masyarakat Barat dewasa
ini yang disebutnya sebagai masyarakat simulasi
dan hiperrealitas. Ia mencoba
menggabungkan pemikiran Marx dengan strukturalisme Perancis.
Pembahasan
Tahun 1983, karya magnum
opus-nya, Simulations (1983), diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris. Dalam
buku yang segera menjadi klasik ini, Baudrillard mengintrodusir sebuah karakter
khas kebudayaan masyarakat Barat dewasa ini. Menurutnya, kebudayaan Barat
dewasa ini adalah sebuah representasi dari dunia simulasi, yakni dunia yang
terbentuk dari hubungan berbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi
relasional yang jelas. Hubungan ini melibatkan tanda real (fakta) yang tercipta
melalui proses produksi, serta tanda semu (citra) yang tercipta melalui proses
reproduksi. Dalam kebudayaan simulasi, kedua tanda tersebut saling menumpuk dan
berjalin kelindan membentuk satu kesatuan. Tidak dapat lagi dikenali mana yang
asli, yang real, dan mana yang palsu, yang semu. Semuanya menjadi bagian
realitas yang dijalani dan dihidupi masyarakat Barat dewasa ini. Kesatuan
inilah yang disebut Baudrillard sebagai simulacra atau simulacrum, sebuah dunia
yang terbangun dari sengkarut nilai, fakta, tanda, citra dan kode. Realitas tak
lagi punya refernsi, kecuali simulacra itu sendiri.
Dengan menganalisa
masyarakat dan kebudayaan Amerika, Baudrillard menyatakan bahwa dalam wacana
simulasi realitas yang sesungguhnya (fakta) tidak hanya bercampur dengan
realitas semu (citra), namun bahkan telah dikalahkan oleh citra. Lebih jauh,
citra lebih dipercaya ketimbang fakta. Inilah era hiperrealitas, dimana
realitas asli dikalahkan oleh realitas buatan.
KEBUDAYAAN POSTMODERN JEAN BAUDRILLARD
A.
Nilai
Tanda dan Nilai Simbol
Nilai-tanda dan
nilai-simbol, yang berupa status, prestise, ekspresi gaya dan gaya hidup,
kemewahan dan kehormatan adalah motif utama aktivitas konsumsi masyarakat
konsumer. Pergeseran nilai yang terjadi seiring dengan perubahan karakter
masyarakat postmodern inilah yang kemudian menarik perhatian Baudrillard untuk
mengkajinya secara lebih mendalam.
Baudrillard menyatakan
bahwa mekanisme sistem konsumsi pada dasarnya berangkat dari sistem nilai-tanda
dan nilai-simbol, dan bukan karena kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan
(Baudrillard, 1970: 47). Dengan pernyataan ini Baudrillard samasekali tidak
bermaksud menafikan pentingnya kebutuhan. Ia hanya ingin mengatakan bahwa dalam
masyarakat konsumer, konsumsi sebagai sistem pemaknaan tidak lagi diatur oleh
faktor kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan, namun oleh seperangkat hasrat
untuk mendapat kehormatan, prestise, status dan identitas melalui sebuah
mekanisme penandaan.
Pemikiran tentang
fenomena masyarakat konsumer dan kemenangan nilai-tanda serta nilai-simbol ini
selanjutnya mencapai titik kematangannya pada For a Critique of the Political
Economy of the Sign (1981). Dalam bukunya ini Baudrillard memisahkan diri dari
Marx dengan menyatakan bahwa dalam masyarakat konsumer dewasa ini, nilai-guna
dan nilai-tukar, sebagaimana disarankan Marx, sudah tidak bisa lagi digunakan
sebagai sarana analisa kondisi sosial masyarakat. Kini, menurut Baudrillard,
adalah era kejayaan nilai-tanda dan nilai-simbol yang ditopang oleh meledaknya
makna serta citra oleh perkembangan teknologi dan media massa (Lechte, 1994:
234). Baudrillard kemudian mengubah pula periodisasi sejarah masyarakat yang
dibuat Marx. Menurut Marx, terdapat tiga tahap struktur masyarakat, yakni
masyarakat feodal, masyarakat kapitalis dan masyarakat komunis.
Berangkat dari kerangka
ini, Baudrillard mengajukan periodisasi perubahan struktur masyarakat, yakni
dari masyarakat primitif, masyarakat hierarkis dan masyarakat massa (Lechte,
1994: 238). Berbeda dengan Marx yang mempergunakan pisau analisa ekonomi
politik, Baudrillard memanfaatkan semiologi sebagai alat analisa. Menurut
Baudrillard, masyarakat primitif ditandai dengan tidak adanya elemen tanda
dalam interaksi seluruh aspek kehidupan masyarakatnya. Objek dipahami secara
murni dan alamiah berdasarkan kegunaannya. Selanjutnya dalam masyarakat
hierarkis, lahir elemen tanda yang beroperasi masih dalam lingkup yang
terbatas. Tanda dipahami sebagai makna yang ditanamkan oleh segolongan kelas
kepada kelas yang lain. Tanda juga mulai menggantikan kedudukan objek murni,
yang kini memiliki nilai-tukar. Akhirnya, pada tahapnya yang tertinggi,
terbentuklah masyarakat massa. Dalam masyarakat massa, tanda mendominasi
seluruh aspek kehidupan. Tidak ada lagi objek murni, kecuali objek tanda.
Individu dalam masyarakat massa berperan sebagai konsumen tanda tanpa memiliki
status kelas tertentu.
Realitas-realitas buatan
adalah ciri zaman ini, sebuah tanda zaman tengah menjelangnya sebuah era
kebudayaan baru: kebudayaan postmodern. Dengan mengambil alih dan mengembangkan
gagasan para pendahulunya: semiologi Saussure, fetishism commodity Marx, teori
differance Derrida, mythologies Barthes, serta genealogy Foucault, Baudrillard
mencoba membaca karakter khas masyarakat Barat (Rojek, 1993: 125). Melalui
bukunya yang banyak menarik perhatian, Simulations (1983), Baudrillard
memaparkan kondisi sosial-budaya masyarakat Barat yang disebutnya tengah berada
dalam dunia simulacra, simulacrum dan simulasi. Inilah dunia yang terbangun
dari konsekuensi relasi perkembangan ilmu dan teknologi, kejayaan kapitalisme
lanjut, konsumerisme, serta runtuhnya narasi-narasi besar modernisme.
Baudrillard menyatakan
bahwa paradigma modernisme yang berdiri di atas logika produksi seperti
disuarakan Marx kini sudah tidak relevan lagi. Jika era pra-modern ditandai
dengan logika pertukaran simbolik (symbolic exchange), era modern ditandai
dengan logika produksi, maka kini tengah menjelang sebuah era baru, yakni era
postmodern, yang ditandai dengan logika simulasi. Bersamaan dengan lahirnya era
postmodern, menurut Baudrillard, maka prinsip-prinsip modernisme pun tengah
menghadapi saat-saat kematiannya. Dalam bahasanya yang khas, Baudrillard
mengumandangkan kematian modernisme dengan logika produksinya sebagai : The end
of labor.
Ungkapan Baudrillard ini
sekaligus menandakan keyakinannya akan datangnya era baru, era postmodern.
Dalam era postmodern, prinsip simulasi
menjadi panglima, dimana reproduksi (dengan
teknologi informasi, komunikasi dan industri pengetahuan) menggantikan prinsip
produksi, sementara permainan tanda dan citra mendominasi hampir seluruh proses
komunikasi manusia. Dalam masyarakat simulasi seperti ini, segala sesuatu
ditentukan oleh relasi tanda, citra dan kode. Tanda adalah segala sesuatu yang
mengandung makna, yang mengikuti teori semiologi Saussurean memiliki dua unsur,
yakni penanda (bentuk) dan petanda (makna). Citra adalah segala sesuatu yang
nampak oleh indera, namun sebenarnya tidak memiliki eksistensi substansial.
Sementara kode adalah cara pengkombinasian tanda
yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan dapat disampaikan
dari seseorang kepada orang yang lain (Piliang, 1998: 13). Dalam dunia
simulasi, identitas seseorang misalnya, tidak lagi ditentukan oleh dan dari
dalam dirinya sendiri. Identitas kini lebih ditentukan oleh konstruksi tanda,
citra dan kode yang membentuk cermin bagaimana seorang individu memahami diri
mereka dan hubungannya dengan orang lain. Lebih lanjut, realitas-realitas
ekonomi, politik, sosial dan budaya, kesemuanya diatur oleh logika simulasi
ini, dimana kode dan model-model menentukan bagaimana seseorang harus bertindak
dan memahami lingkungannya.
Ruang realitas
kebudayaan dewasa ini, menurut Baudrillard merupakan cerminan apa yang
disebutnya sebagai simulacra atau simulacrum. Simulacra adalah ruang realitas
yang disarati oleh proses reduplikasi dan daur-ulang berbagai fragmen kehidupan
yang berbeda (dalam wujud komoditas citra, fakta, tanda, serta kode yang
silang-sengkarut), dalam satu dimensi ruang dan waktu yang sama (Piliang, 1998:
196). Simulacra tidak memiliki acuan, ia adalah duplikasi dari duplikasi,
sehingga perbedaan antara duplikasi dan yang asli menjadi kabur. Dalam ruang
ini tidak dapat lagi dikenali mana yang asli dan mana yang palsu, mana hasil
produksi dan mana hasil reproduksi, mana objek dan mana subjek, atau mana
penanda dan mana petanda.
Ruang simulacra ini
memungkinkan seseorang menjelajahi berbagai fragmen realitas, baik nyata maupun
semu; mereproduksi, merekayasa dan mensimulasi segala sesuatu sampai batasannya
yang terjauh. Dunia simulacra, yang menjadi wacana dominan kesadaran masyarakat
Barat dewasa ini, papar Baudrillard, sebenarnya telah ada semenjak era
Renaisans. Realitas simulacra memiliki tiga tingkatan periode historis,
semenjak era Renaisans hingga sekarang, yakni simulacra Orde Pertama, simulacra
Orde Kedua dan simulacra Orde Ketiga (Baudrillard, 1983: 54-56).
Simulacra Orde Pertama,
berlangsung semenjak era Renaisans-Feodal hingga permulaan Revolusi Industri.
Dalam orde ini, realitas dunia dipahami berdasarkan prinsip hukum alam, dengan
ciri ketertiban, keselarasan, hierarki alamiah serta bersifat transenden. Alam
menjadi pendukung utama sekaligus determinan kebudayaan. Tanda-tanda yang
diproduksi dalam orde ini adalah tanda-tanda yang mengutamakan integrasi antara
fakta dan citra secara serasi dan seimbang. Hal ini berkaitan erat dengan
kehendak manusia zaman itu untuk mempertahankan struktur dunia yang alamiah.
Dengan demikian, prinsip dominan yang menjadi ciri simulacra Orde Pertama
adalah prinsip representasi. Bahasa, objek dan tanda adalah tiruan dari
realitas alamiah yang dibentuk secara linear dan tunggal. Sebagai tiruan,
bahasa, objek dan tanda masih memiliki jarak dengan objek aslinya (Kellner,
1994: 103).
Simulacra Orde Kedua,
berlangsung bersamaan dengan semakin gemuruhnya era industrialisasi yang
merupakan konsekuensi logis Revolusi Industri. Revolusi Industri, di satu sisi
telah memberikan sumbangan besar bagi perkembangan kebudayaan. Namun disisi
lain, Revolusi Industri juga telah menimbulkan ekses-ekses negatif bagi
kebudayaan. Logika produksi, yang menjadi prinsip simulacra Orde Kedua, telah
mendorong perkembangan teknologi mekanik sampai pada batasannya yang terjauh.
Mengikuti Walter Benjamin, dalam esainya, The Work of Art in The Era of
Mechanical Reproduction (1969), Baudrillard menyatakan bahwa dengan teknologi
reproduksi mekanik sebagai media dan prinsip produksi objek-objek alamiah telah
kehilangan aura dan sifat transendensinya. Objek kini bukan lagi tiruan yang
berjarak dari objek asli, melainkan sepenuhnya sama persis seperti yang asli.
Dengan kemajuan teknologi reproduksi mekanik inilah, prinsip komoditi dan
produksi massa menjadi ciri dominan era simulacra Orde Kedua. Simulacra Orde
Ketiga, lahir sebagai konsekuensi logis perkembangan ilmu dan teknologi
informasi, komunikasi global, media massa, konsumerisme dan kapitalisme pada
era Pasca Perang Dunia II. Lebih dari masa-masa sebelumnya, pada orde ini
relasi berbagai unsur dan struktur budaya mengalami perubahan mendasar. Tanda,
citra, kode dan subjek budaya tidak lagi merujuk pada referensi dan realitas
yang ada. Simulacra Orde Ketiga ini ditandai dengan hukum struktural. Tanda
membentuk struktur dan memberi makna realitas. Inilah era yang disebut
Baudrillard sebagai era simulasi.
Dalam era simulasi ini, realitas tak lagi
memiliki eksistensi. Realitas telah melebur menjadi satu dengan tanda, citra
dan model-model reproduksi. Tidak mungkin lagi kita menemukan referensi yang
real, membuat pembedaan antara representasi dan realitas, citra dan kenyataan,
tanda dan ide, serta yang semu dan yang nyata. Yang ada hanyalah campur aduk
diantara semuanya.
Baudrillard memandang
berkembangnya teknologi digital yang bertumpu pada model-biner ini sebagai
suatu dasar proses transformasi sosial masyarakat kapitalisme lanjut. Gagasan
McLuhan tentang medium is message ditariknya sampai ke batasannya yang paling
ekstrem, yakni media yang berupa kode-kode digital. Dengan kode-kode digital
maka proses reproduksi beranjak ke batasannya yang paling ekstrem pula. Ketika
objek-objek direproduksi dengan teknologi model-biner, maka objek-objek menjadi
tidak dapat dibedakan satu sama lain, bahkan dari model-model yang menjadi
sumbernya. Lebih lanjut, realitas menjadi kehilangan referensi. Realitas,
menurut Baudrillard, kini harus didefinisikan kembali sebagai segala sesuatu
yang mungkin dan dapat direproduksi secara sempurna, dapat disimulasi
(Baudrillard, 1983: 146).
Simulasi, dalam bahasa
Baudrillard, di bangun berdasarkan model-model yang begitu cermat, semua model
yang nyaris mendekati fakta, dan dimana model tampil mendahului fakta. Fakta
kini tidak lagi memiliki alur sejarahnya sendiri, ia hadir dalam silang
sengkarut bersama model-model; bahkan bisa jadi sebuah fakta diproduksi oleh
model-model. Simulasi tidak berkaitan dengan sebuah teritori, sebuah acuan atau
pun substansi. Simulasi adalah era yang dibangun oleh model-model realitas
tanpa asal-usul; sebuah dunia hiperreal. Teritori tidak lagi hadir sebelum
peta, atau membentuknya. Sebaliknya, petalah yang hadir sebelum teritori sebuah
acuan simulacra petalah yang membentuk teritori. Dan jika saat ini kita masih
ingin menghidup-hidupkan bahasa fabel, maka artinya saat ini adalah saat dimana
teritori yang sedang membusuk secara perlahan-lahan membentang di atas sebuah
peta. Adalah realitas nyata, dan bukan peta, yang bekas-bekasnya masih nampak
dimana-mana, di sebuah gurun, bukan bekas sebuah kerajaan, melainkan bekas kita
sendiri. Sebuah gurun realitas itu sendiri).
Simulasi menyandarkan
diri pada prinsip ketiadaan dan negasi, dengan cara mengaburkan bahkan
menghilangkan referensi, realitas dan kebenaran, serta mengedepankan penampakan
sebagai prinsip kebenaran ontologism. Dengan demikian, era simulasi berawal
dari proses penghancuran segala acuan referensi dan bahkan lebih buruk lagi:
dengan merajalelanya acuan-acuan semu dalam sistem penandaan, maka sifat material
ketimbang makna merasuk ke dalam semua sistem kesetaraan, oposisi biner dan
semua bentuk kombinasi aljabar. Era simulasi tidak lagi berkaitan dengan
persoalan imitasi, reduplikasi atau bahkan parodi. Era simulasi lebih tertarik
mempersoalkan proses penggantian tanda-tanda real, bagi realitas itu sendiri,
yakni suatu proses untuk menghalangi setiap proses real dengan mekanisme
operasi ganda, sebuah konsep metastabil, terprogram, sebagai sebuah mesin
penggambaran yang sempurna yang menyediakan semua tanda real dan serangkaian
kemungkinan perubahannya. Hiperrealitas dengan demikian berbeda sama sekali
dari yang real maupun yang imajiner, yakni suatu tempat bagi pengulangan secara
kontinyu model-model dan perbedaan).
Dalam dunia simulasi
seperti ini, prinsip-prinsip representasi modernisme menjadi tidak lagi
relevan. Pembedaan antara objek dan subjek, real dan semu, penanda dan petanda,
dalam paradigma modernisme tidak bisa lagi dilakukan. Dalam mekanisme simulasi,
manusia dijebak dalam satu ruang yang dianggapnya nyata, padahal sesungguhnya
semu belaka. Ruang realitas semu ini merupakan ruang antitesis dari
representasi semacam dekonstruksi representasi itu sendiri, dalam wacana
Derrida. Dengan contoh yang gampang Baudrillard menggambarkan dunia simulasi dengan
sebuah analogi peta. Menurutnya, bila dalam ruang nyata, sebuah peta merupakan
representasi dari sebuah teritori, maka dalam mekanisme simulasi yang terjadi
adalah sebaliknya. Peta mendahului teritori. Realitas-realitas teritorial
sosial, budaya atau politik, kini dibangun berlandaskan model-model dari peta
yang sudah ada. Dalam dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi cermin
kenyataan, melainkan model-model yang ditawarkan televisi, iklan atau
tokoh-tokoh kartun. Adalah tempat-tempat seperti Disneyland, atau Universal
Studio; bintang film seperti Madonna atau Leonardo de Caprio; iklan celana
Levis atau jam tangan Guess; film telenovela Maria Mercedes atau Esmeralda;
tokoh boneka Barbie, kartun Doraemon atau Mickey Mouse yang kini menjadi
model-model acuan dalam membangun citra, nilai dan makna dalam kehidupan
sosial, budaya serta politik masyarakat dewasa ini (Piliang, 1998: 194).
Postmodernisme:
Sebuah Dunia Hiperrealitas
Hiperrealitas adalah sebuah gejala di
mana banyak bertebaran realitas-realitas buatan yang bahkan nampak lebih real
dibanding realitas sebenarnya.Boneka Barbie, yang telah diproduksi dan terus
diproduksi oleh
Mattel Toys sejak tahun
1959, adalah contoh nyata hiperrealitas, ketika suatu realitas buatan telah
melampaui realitas yang sebenarnya. Dibuat tanpa referensi proporsi tubuh dan
kecantikan yang wajar, Barbie tampil sebagai boneka dengan kecantikan dan
kesempurnaan tubuh yang melebihi gambaran kecantikan manusia. Barbie juga
melampaui ukuran kehidupan manusia dengan peran-peran yang ditanamkan padanya
sebagai wanita karier, fotomodel, guru taman kanak-kanak, bintang film, duta
kehormatan PBB, aktivis lingkungan hidup dan lain sebagainya pada saat yang
sama. Singkat kata, ia adalah figure manusia sempurna. Makna-makna yang ditanamkan
ke dalam sosok Barbie ini merupakan silang-sengkarut tanda, citra dan kode-kode
yang sengaja diciptakan untuk menjaga eksistensinya sebagai simbol wanita
modern. Dengan representasi seperti ini Barbie seolah lahir sebagai Barbie yang
real, Barbie yang hidup, Barbie yang benar-benar ada dengan segala
keleluarbiasaannya. Ia bahkan lebih jauh menjadi model bagi manusia untuk
menentukan dan membentuk ukuran kecantikan dan kesempurnaan penampilan
tubuhnya.
Pemikiran Baudrillard
mendasarkan diri pada beberapa asumsi hubungan manusia dan media, yang disebut
Baudrillard sebagai realitas mediascape (Baudrillard, 1983: 14). Dalam realitas
mediascape media massa menjadi produk budaya paling dominan. Dengan media
massa, media kini tak lagi sebatas sebagai perpanjangan badan manusia ala
McLuhan, namun media kini sekaligus merupakan ruang bagi manusia untuk
membentuk identitas dirinya.
Jean Baudrillard juga
mengungkapkan dua istilah, yakni: Simulasi
dan Simulacra dalam menjelaskan
konsep hiperrealitas itu sendiri.
Simulasi adalah suatu proses dimana
representasi (gambaran) atas suatu objek justru menggantikan objek itu sendiri,
dimana representasi itu menjadi hal yang lebih penting dibandingkan objek
tersebut. Analoginya, bila suatu peta merepresentasikan (menggambarkan) suatu
wilayah, maka dalam simulasi, justru peta-lah yang mendahului wilayah. Di dalam
wacana simulasi, manusia mendiami suatu ruang realitas dimana perbedaan antara
yang benar dan palsu menjadi tipis (manusia hidup dalam suatu ruang khayal yang
nyata). Misalnya discovery channel pada televisi, sebenarnya hampir sama
nyatanya dengan pelajaran IPA di sekolah, karena sama-sama menawarkan informasi
mengenai kehidupan flora dan fauna pada anak-anak.
Ada
4 hierarki/tahap dalam simulasi (Baudrillard, 1983) :
- Ketika
suatu tanda dijadikan refleksi dari suatu realitas.
Misal:
seni adalah wujud dari realitas.
- Ketika
suatu tanda sudah menutupi dan menyesatkan realitas itu sendiri. Misal:
Gaul itu adalah dengan menonton MTV.
- Ketika
suatu tanda menutupi ketiadaan dari suatu realitas. Misalnya:
Disneyland,
yang sebenarnya hanya ada dalam khayalan anak-anak namun dibuat menjadi nyata
untuk menutupi ketiadaan Disneyland tersebut.
- Dan
akhirnya tanda tersebut menjadi sesuatu yang tidak ada hubungannya sama
sekali dengan realitas, dan ini lah yang disebut Baudrillard sebagai
Simulacra. Misalnya: Dunia The Matrix dalam film yang dibintangi Keanu
Reeves. Simulacra ini memungkinkan manusia untuk mendiami satu ruang yang
sarat akan duplikasi dan daur ulang dari berbagai fragmen dunia yang
berbeda-beda pada waktu yang sama. Misalnya masyarakat Bandung yang
mengkonsumsi kopi ala starbucks di tempat perbelanjaan Cihampelas Walk;
atau remaja SMA yang saling berkenalan dalam dunia friendster. Nah,
seperti Shopping Malls, Televisi, dan Friendster itu lah yang merupakan
miniatur dari dunia yang dilipat, seperti yang sudah disebutkan diatas.
Beberapa
Catatan Kritis dari kelemahan pemikiran Jean Baudrillard (Kellner, 1994: 83).
Argumentasi kalaupun ada
yang mendasari pemikirannya pun dipenuhi kelemahan. Baudrillard sama sekali
menolak struktur dan sistem, membiarkan pernyataan-pernyataannya serba
mengambang dan terpenggal-penggal, serta lebih mengutamakan spekulasi. Itulah
mengapa tidak sedikit komentatornya, misalnya Chris Rojek, yang menyatakan
karya-karya Baudrillard sebagai fiksi-sains dan bukan teks sosiologi atau
filsafat (Rojek, 1993: xi). Suara kritis lain yang lebih sistematis dikemukakan
oleh Mark Poster. Dalam salah satu
tulisannya yang mencoba membandingkan pemikiran Baudrillard dan Habermas,
Poster mencatat setidaknya terdapat lima kelemahan pemikiran Baudrillard
(Kellner, 1994: 83).
- Baudrillard
dianggap tidak mampu menjelaskan pengertian istilah-istilah kunci yang ada
dalam karya-karyanya, terutama istilah kode.
- Hampir
sama dengan Gane dan Hughes Poster memandang gaya menulis Baudrillard yang
aneh dan ganjil seringkali tidak dibarengi dengan argumentasi yang
sistematik dan logis. Kelemahan ini, dengan sendirinya, menjadikan
pemikiran-pemikiran Baudrillard kehilangan dasar argumentasi yang
rasional. Karya-karyanya menjadi tak lebih sebagai cerita fiksi kehidupan
yang bersemangat dan penuh warna, namun tak masuk akal.
- Baudrillard
terkesan hendak mentotalisasikan ide-ide pemikirannya, dan menolak untuk
mengubah atau membatasi pemikirannya.
- Baudrillard
menafikan kenyataan bahwa terdapat keuntungan-keuntungan dari perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi.
- Sikap
fatalis dan nihilis yang secara sadar dipilihnya, menjadikan
pemikiran-pemikiran Baudrillard jauh dari nilai-nilai moral dan agama. Ia
tidak mampu melihat moralitas dan agama sebagai sumber acuan nilai dan
prinsip kehidupan.
Penutup
Jadi Simulasi diartikan sebagai suatu proses dimana representasi
(gambaran) atas suatu objek justru menggantikan objek itu sendiri, dimana
representasi itu menjadi hal yang lebih penting dibandingkan objek tersebut. Simulasi,
dalam bahasa Baudrillard, di bangun berdasarkan model-model yang begitu cermat,
semua model yang nyaris mendekati fakta, dan dimana model tampil mendahului fakta.
Dalam era simulasi ini, realitas tak
lagi memiliki eksistensi. Realitas telah melebur menjadi satu dengan tanda,
citra dan model-model reproduksi. Tidak mungkin lagi kita menemukan referensi
yang real, membuat pembedaan antara representasi dan realitas, citra dan
kenyataan, tanda dan ide, serta yang semu dan yang nyata. Yang ada hanyalah
campur aduk diantara semuanya.
Dalam pemikiran Jean
Baudrillard ini masih terdapat beberapa kelemahan-kelemahan yang dibuatnya.
Namun terlepas dari kelemahan-kelemahan yang dibuatnya, pemikiran-pemikiran
Baudrillard tetap sangat berguna bagi pemahaman realitas kebudayaan dewasa ini.
Demikian pula halnya dengan pendekatannya yang orisinal dan kritis, yang dapat
menjadi pilihan alternatif bagi proses pembacaan realitas kebudayaan dewasa ini
yang tengah berubah cepat.
0 comments:
Post a Comment