Pendahuluan
Epistemologi selalu menjadi bahan yang
menarik untuk dikaji, karena disinilah dasar-dasar pengetahuan maupun teori
pengetahuan yang diperoleh manusia menjadi bahan pijakan. Konsep-konsep ilmu
pengetahuan yang berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang
ditimbulkannya dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang
membentuknya. Dari epistemologi, juga filsafat –dalam hal ini filsafat modern –
terpecah berbagai aliran yang cukup banyak, seperti rasionalisme, pragmatisme, positivisme,
maupun eksistensialisme.
Pengertian
Secara etimologi, epistemologi merupakan
kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme
dan logos. Episteme artinya pengetahuan, sedangkan logos lazim dipakai untuk
menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Dengan demikian epistemologi dapat
diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Webster Third
New International Dictionary mengartikan epistemologi sebagai "The Study
of method and ground of knowledge, especially with reference to its limits and
validity". Paul Edwards, dalam The Encyclopedia of Philosophy, menjelaskan
bahwa epistemologi adalah "the theory of knowledge." Pada tempat yang
sama ia menerangkan bahwa epistemologi merupakan "the branch of philosophy
which concerned with the nature and scope of knowledge, its presuppositions and
basis, and the general reliability of claims to knowledge."
Epistemologi juga disebut logika, yaitu
ilmu tentang pikiran. Akan tetapi, logika dibedakan menjadi dua, yaitu logika
minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari struktur berpikir dan
dalil-dalilnya, seperti silogisme. Logika mayor mempelajari hal pengetahuan,
kebenaran, dan kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi.
Gerakan epistemologi di Yunani dahulu
dipimpin antara lain oleh kelompok yang disebut Sophis, yaitu orang yang secara
sadar mempermasalahkan segala sesuatu. Dan kelompok Shopis adalah kelompok yang
paling bertanggung jawab atas keraguan itu.
Oleh karena itu, epistemologi juga
dikaitkan bahkan disamakan dengan suatu disiplin yang disebut Critica, yaitu
pengetahuan sistematik mengenai kriteria dan patokan untuk menentukan
pengetahuan yang benar dan yang tidak benar. Critica berasal dari kata Yunani,
krimoni, yang artinya mengadili, memutuskan, dan menetapkan. Mengadili
pengetahuan yang benar dan yang tidak benar memang agak dekat dengan episteme
sebagai suatu tindakan kognitif intelektual untuk mendudukkan sesuatu pada
tempatnya.
Jika diperhatikan, batasan-batasan di atas
nampak jelas bahwa hal-hal yang hendak diselesaikan epistemologi ialah tentang
terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, validitas
pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan.
Sejarah
Pranarka menyatakan bahwa sejarah
epistemologi dimulai pada zaman Yunani kuno, ketika orang mulai mempertanyakan
secara sadar mengenai pengetahuan dan merasakan bahwa pengetahuan merupakan
faktor yang amat penting yang dapat menentukan hidup dan kehidupan manusia.
Pandangan itu merupakan tradisi masyarakat dan kebudayaan Athena. Tradisi dan
kebudayaan Spharta, lebih melihat kemauan dan kekuatan sebagai satu-satunya
faktor. Athena mungkin dapat dipandang sebagai basisnya intelektualisme dan
Spharta merupakan basisnya voluntarisme.
Zaman Romawi tidak begitu banyak
menunjukkan perkembangan pemikiran mendasar sistematik mengenai pengetahuan.
Hal itu terjadi karena alam pikiran Romawi adalah alam pikiran yang sifatnya
lebih pragmatis dan ideologis.
Masuknya agama Nasrani ke Eropa memacu
perkembangan epistemologi lebih lanjut, khususnya karena terdapat masalah
hubungan antara pengetahuan samawi dan pengetahuan manusiawi, pengetahuan
supranatural dan pengetahuan rasional-natural-intelektual, antara iman dan
akal. Kaum agama di satu pihak mengatakan bahwa pengetahuan manusiawi harus
disempurnakan dengan pengetahuan fides, sedang kaum intelektual mengemukakan
bahwa iman adalah omong kosong kalau tidak terbuktikan oleh akal. Situasi ini
menimbulkan tumbuhnya aliran Skolastik yang cukup banyak perhatiannya pada
masalah epistemologi, karena berusaha untuk menjalin paduan sistematik antara
pengetahuan dan ajaran samawi di satu pihak, dengan pengetahuan dan ajaran
manusiawi intelektual-rasional di lain pihak. Pada fase inilah terjadi
pertemuan dan sekaligus juga pergumulan antara Hellenisme dan Semitisme.
Kekuasaan keagamaan yang tumbuh berkembang selama abad pertengahan Eropa
tampaknya menyebabkan terjadinya supremasi Semitik di atas alam pikiran
Hellenistik. Di lain pihak, orang merasa dapat memadukan Hellenisme yang
bersifat manusiawi intelektual dengan ajaran agama yang bersifat
samawi-supernatural. Dari sinilah tumbuh Rasionalisme, Empirisme, Idelisme, dan
Positivisme yang kesemuanya memberikan perhatian yang amat besar terhadap
problem pengetahuan.
Selanjutnya, Pranarka menjelaskan bahwa
zaman modern ini telah membangkitkan gerakan Aufklarung, suatu gerakan yang
meyakini bahwa dengan bekal pengetahuan, manusia secara natural akan mampu
membangun tata dunia yang sempurna. Optimisme yang kelewat dari Aufklarung
serta perpecahan dogmatik doktriner antara berbagai macam aliran sebagai akibat
dari pergumulan epistemologi modern yang menjadi multiplikatif telah
menghasilkan suasana krisi budaya.
Semua itu menunjukkan bahwa perkembangan
epistemologi tampaknya berjalan di dalam dialektika antara pola absolutisasi
dan pola relativisasi, di mana lahir aliran-aliran dasar seperti skeptisisme,
dogmatisme, relativisme, dan realisme. Namun, di samping itu, tumbuh pula
kesadaran bahwa pengetahuan itu adalah selalu pengetahuan manusia. Bukan
intelek atau rasio yang mengetahui, manusialah yang mengetahui. Kebenaran dan
kepastian adalah selalu kebenaran dan kepastian di dalam hidup dan kehidupan
manusia.
Terjadinya Pengetahuan
Vauger menyatakan bahwa titik tolak
penyelidikan epistemologi adalah situasi kita, yaitu kejadian. Kita sadar bahwa
kita mempunyai pengetahuan lalu kita berusaha untuk memahami, menghayati dan
pada saatnya kita harus memberikan pengetahuan dengan menerangkan dan
mempertanggung jawabkan apakah pengetahuan kita benar dalam arti mempunyai isi
dan arti.
Bertumpu pada situasi kita sendiri itulah
sedikitnya kita dapat memperhatikan perbuatan-perbuatan mengetahui yang
menyebabkan pengetahuan itu. Berdasar pada penghayatan dan pemahaman kita dan
situasi kita itulah, kita berusaha untuk mengungkapkan perbuatan-perbuatan
mengenal sehingga terjadi pengetahuan.
Akal sehat dan cara mencoba-coba mempunyai
peranan penting dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagi
gejala alam. Ilmu dan filsafat dimulai dengan akal sehat sebab tidak mempunyai
landasan lain untuk berpijak. Tiap peradaban betapapun primitifnya mempunyai
kumpulan pengetahuan yang berupa akal sehat. Randall dan Buchlar mendefinisikan
akal sehat sebagai pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman secara tidak
sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan. Sedangkan karakteristik akal
sehat, menurut Titus, adalah (1). Karena landasannya yang berakar pada adat dan
tradisi maka akal sehat cenderung untuk bersifat kebiasaan dan pengulangan,
(2). Karena landasannya yang berakar kurang kuat maka akal sehat cenderung
untuk bersifat kabur dan samar, dan (3). Karena kesimpulan yang ditariknya
sering berdasarkan asumsi yang tidak dikaji lebih lanjut maka akal sehat lebih
merupakan pengetahuan yang tidak teruji.
Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya
rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang
bersifat mitos. Menurut Popper, tahapan ini adalah penting dalam sejarah
berpikir manusia yang menyebabkan ditinggalkannya tradisi yang bersifat
dogmatik yang hanya memperkenankan hidupnya satu doktrin dan digantikan dengan
doktrin yang bersifat majemuk yang masing-masing mencoba menemukan kebenaran
secara analisis yang bersifat kritis.
Dengan demikian berkembanglah metode
eksperimen yang merupakan jembatan antara penjelasan teoritis yang hidup di
alam rasional dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Metode ini
dikembangkan lebih lanjut oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad keemasan Islam.
Semangat untuk mencari kebenaran yang dimulai oleh para pemikir Yunani
dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. Dalam perjalanan sejarah, lewat
orang-orang Muslimlah, dunia modern sekarang ini mendapatkan cahaya dan
kekuatannya. Pengembangan metode eksperimen yang berasal dari Timur ini
mempunyai pengaruh penting terhadap cara berpikir manusia, sebab dengan
demikian berbagai penjelasan teoritis dapat diuji, apakah sesuai dengan
kenyataan empiris atau tidak. Dengan demikian berkembanglah metode ilmiah yang
menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif.
Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam
mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang
didapatkan lewat metode ilmiah. Metode, menurut Senn, merupakan prosedur atau
cara mengetahui sesuatu, yang memiliki langkah-langkah yang sistematis.
Metodologi ilmiah merupakan pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan
dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari
peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah.
Proses kegiatan ilmiah, menurut Riychia
Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Secara ontologis ilmu
membatasi masalah yang diamati dan dikaji hanya pada masalah yang terdapat
dalam ruang lingkup jangkauan pengetahuan manusia. Jadi ilmu tidak
mempermasalahkan tentang hal-hal di luar jangkauan manusia. Karena yang
dihadapinya adalah nyata maka ilmu mencari jawabannya pada dunia yang nyata
pula. Einstein menegaskan bahwa ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan
fakta, apapun juga teori-teori yang menjembatani antara keduanya. Teori yang
dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia
fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan
secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu
merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesusaian dengan obyek yang
dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkannya, harus didukung
oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.
Di sinilah pendekatan rasional digabungkan
dengan pendekatan empiris dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah.
Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif,
sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta
dari yang tidak.
Kebenaran Pengetahuan
Jika seseorang mempermasalahkan dan ingin
membuktikan apakah pengetahuan itu bernilai benar, menurut para ahli estimologi
dan para ahli filsafat, pada umumnya, untuk dapat membuktikan bahwa pengetahuan
bernilai benar, seseorang harus menganalisa terlebih dahulu cara, sikap, dan
sarana yang digunakan untuk membangun suatu pengetahuan. Seseorang yang
memperoleh pengetahuan melalui pengalaman indera akan berbeda cara
pembuktiannya dengan seseorang yang bertitik tumpu pada akal atau rasio,
intuisi, otoritas, keyakinan dan atau wahyu atau bahkan semua alat tidak
dipercayainya sehingga semua harus diragukan seperti yang dilakukan oleh faham
skeptisme yang ekstrim di bawah pengaruh Pyrrho.
The correspondence theory of truth. Menurut
teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti yang
dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau
faktanya.
The consistence theory of truth. Menurut
teori ini, kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu
yang lain, yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara
putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata lain bahwa kebenaran ditegaskan atas
hubungan antara yang baru itu dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita
ketahui dan kita akui benarnya terlebih dahulu.
The pragmatic theory of truth. Yang
dimaksud dengan teori ini ialah bahwa benar tidaknya sesuatu ucapan, dalil,
atau teori semata-mata bergantung kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil, atau
teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya.
Dari tiga teori tersebut dapat disimpulkan
bahwa kebenaran adalah kesesuaian arti dengan fakta yang ada dengan
putusan-putusan lain yang telah kita akui kebenarannya dan tergantung kepada
berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia.
Sedangkan nilai kebenaran itu
bertingkat-tingkat, sebagai mana yang telah diuraikan oleh Andi Hakim Nasution
dalam bukunya Pengantar ke Filsafat Sains, bahwa kebenaran mempunyai tiga
tingkatan, yaitu haq al-yaqin, ‘ain al-yaqin, dan ‘ilm al-yaqin. Adapun
kebenaran menurut Anshari mempunyai empat tingkatan, yaitu:
Kebenaran wahyu
Kebenaran spekulatif filsafat
Kebenaran positif ilmu pengetahuan
Kebenaran pengetahuan biasa.
Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini
bersifat absolut dan mutlak benar, sedang pengetahuan yang diperoleh melalui
akal bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah. Jadi, apa yang diyakini
atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar
kita yang salah. Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum
tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Karena
itu, kebenaran mutlak hanya ada pada Tuhan. Itulah sebabnya ilmu pengetahan
selalu berubah-rubah dan berkembang.
Penutup
Epistemologi adalah pengetahuan sistematik
mengenai pengetahuan. Ia merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas
tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan,
metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan.
0 comments:
Post a Comment