Teori normatif
tentang pers mengandung beberapa pandangan tentang harapan masyarakat terhadap
pers dan peran yang seharusnya dimainkan oleh pers tersebut. Meskipun setiap
bangsa cenderung menganut teori normatif tersendiri yang khas dan rinci, namun
masih terdapat beberapa prinsip umum yang dapat digunakan untuk mengklasifikasi
berbagai konsep khusus yang dianut oleh berbagai bangsa. Setiap ragam utama
teori normatif ini cenderung dikaitkan dengan sistem politik/pemerintahan dimana
pers tersebut menjadi subsistemnya.
Dari dimensi sejarah,
pertumbuhan dan perkembangan pers dunia, maka kita mengenal beberapa macam
teori atau konsep dasar tentang pers, yang masing-masing mencerminkan sistem
sosial dan sistem politik dimana pers itu berkembang. Fred S. Siebert, Theodore
Peterson dan Wibur Schramm (1963), dalam Four Theories of the Press membedakan
teori pers ke dalam: Teori Pers Otoriter, Teori Pers Liberal, Teori Pers
Komunis, Teori Pers Tanggungjawab Sosial. Kemudian, McQuaill (1987) menambahkan
lagi dengan dua teori normatif pers. Yaitu: Teori Pers Pembangunan, dan Teori
Pers Demokratik-Partisipan.
1. Teori Pers
Otoriter (authorian)
Teori otoriter lahir
pada abad kelima belas sampai keenam belas pada masa bentuk pemerintahan
bersifat otoriter (kerajaan absolut). Dalam teori ini pers berfungsi menunjang
negara (kerajaan) dan pemerintah dengan kekuasaan untuk memajukan rakyat
sebagai tujuan utama. Oleh karena itu pemerintah langsung menguasai dan
mengawasi kegiatan pers. Akibatnya sistem pers sepenuhnya berada di bawah
pengawasan pemerintah. Kebebasan pers sangat bergantung pada kekuasaan raja
yang mempunyai kekuasaan mutlak.
Dalam sistem ini,
manusia adalah bagian dari masyarakat. Manusia baru dapat berarti kalau ia
hidup dalam kelompok. Sebagai individu, kegiatannya sangat terbatas. Kelompok
lebih penting dari individu. Masyarakat tercermin dalam organisasi-organisasi,
dan yang terpenting adalah negara. Negara disebut sebagai tujuan akhir dari
proses organisasi masyarakat. Negara adalah pusat segala kegiatan. Pengetahuan
dan kebenaran dicapai melalui interaksi individu. Interaksi ini harus
terkontrol dan terarah, sehingga kepentingan akhir tidak dirugikan. Berdasarkan
asumsi di atas, teori ini cenderung membentuk satu sistem kontrol yang efektif
dan menggunakan pers sebagai alat penguasa.
Prinsip utama dari
teori ini adalah sebagai berikut:
• Pers seyogyanya
tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak wewenang yang ada.
• Pers selamanya
(akhirnya) harus tunduk pada penguasa yang ada.
• Pers seyogyanya
menghindari perbuatan yang menentang nilai-nilai moral dan politik atau dominan
mayoritas.
• Penyensoran dapat
dibenarkan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini.
• Kecaman yang tidak
dapat diterima terhadap penguasa, penyimpangan dari kebijaksanaan resmi, atau
perbuatan yang menentang kode moral dipandang sebagai perbuatan pidana.
• Wartawan atau ahli
pers lainnya tidak memiliki kebebasan di dalam organisasi persnya.
Sistem politik
Indonesia pada jaman Orde Baru pernah menerapkan teori ini. Abdul Muis (2005)
mengatakan bahwa negara-negara yang menganut teori pers otorian, seperti
Indonesia di zaman Orde Baru, menerapkan pemasungan terhadap kebebasan pers
dengan memberlakukan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982. Dalam dua
undang-undang tersebut, secara tersurat, memberi kewenangan yang sangat
signifikan kepada pemerintah untuk mengatur pola-pola komunikasi sistem pers
pada waktu itu.
2. Teori Pers Liberal
Sistem pers liberal
ini berkembang pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas sebagai akibat
timbulnya revolusi industri dan perubahan besar di dalam pemikiran-pemikiran
masyarakat di Barat pada waktu itu yang lebih dikenal sebagai abad aufklarung
(abad pencerahan).
Menurut teori ini,
manusia pada dasarnya mempunyai hak-haknya secara alamiah untuk mengejar dan
mengembangkan potensinya apabila diberikan iklim kebebasan menyatakan pendapat.
Hal ini tidak mungkin berlaku apabila terdapat kontrol dari pemerintah. Menurut
paham liberalisme, manusia pada hakekatnya dilahirkan sebagai makhluk bebas
yang dikendalikan oleh ratio atau akalnya. Kebahagiaan dan kesejahteraan
individu merupakan tujuan dari manusia, masyarakat, dan negara. Manusia sebagai
makhluk yang menggunakan akalnya untuk mengatur dunia sekelilingnya dan dapat
mengambil keputusan-keputusan yang sesuai dengan kepentingannya. Oleh karena
kemampuan yang dimilikinya ini, maka manusia merupakan unsur utama dari dunia
peradaban dan sekaligus sebagai penggeraknya. Kedudukan istimewa yang diberikan
kepada individu dalam masyarakat libertarian ini, mengakibatkan timbulnya
anggapan bahwa fungsi dari masyarakat ialah untuk memajukan kepentingan
anggota-anggotanya secara individual. Mengenai hakekat kebenaran dan
pengetahuan, paham liberal memandang sebagai tidak berasal dari kelompok kecil
orang-orang yang berkuasa atau merupakan monopoli mereka, akan tetapi harus
ditemukan sendiri oleh manusia dengan manfaatkan akalnya.
Mengenai kebebasan
pers, teori libertarian beranggapan bahwa pers harus mempunyai kebebasan yang
seluas-luasnya untuk membantu manusia dalam usahanya mencari kebenaran. Untuk
mencari kebenaran, manusia memerlukan kebebasan untuk memperoleh informasi dan
pikiran-pikiran yang hanya dapat secara efektif diterima ketika itu, apabila
disampaikan melalui pers.
Prinsip utama dari
teori ini adalah sebagai berikut:
• Publikasi
seyogyanya bebas dari setiap penyensoran pendahuluan oleh pihak ketiga.
• Tindakan penerbitan
dan pendistribusian seyogyanya terbuka bagi setiap orang atau kelompok tanpa
memerlukan izin atau lisensi.
• Kecaman terhadap
pemerintah, pejabat, atau partai politik (yang berbeda dari kecaman terhadap
orang-orang secara pribadi atau pengkhianatan dan gangguan keamanan) seyogyanya
tidak dapat dipidana, bahkan setelah terjadinya peristiwa itu.
• Seyogyanya tidak
ada kewajiban mempublikasikan segala hal.
• Publikasi
”kesalahan” dilindungi sama halnya dengan publikasi kebenaran, dalam hal-hal
yang berkaitan dengan opini dan keyakinan.
• Seyogyanya tidak
ada batasan hukum yang diberlakukan terhadap upaya pengumpulan informasi untuk
kepentingan publikasi.
• Seyoyanya tidak ada
batasan yang diberlakukan dalam impor dan ekspor atau pengiriman atau
penerimaan ”pesan” di seluruh pelosok negeri.
• Wartawan seyogyanya
mampu menuntut otonomi profesional yang sangat tinggi di dalam organisasi
mereka.
Sistem politik
Indonesia, terutama pada tahun 1950 - 1959 dengan berlakunya UUDS, pernah
menerapkan teori pers liberal. Peraturan perundangan tentang pers masih mengacu
pada KUHP warisan kolonial. Realitas kehidupan pers benar-benar menggambarkan
penerapan teori pers liberal. Namun, Pers pada masa itu cenderung tidak lagi
dipergunakan untuk perjuangan negara –masyarakat dan bangsa- namun dipergunakan
sebagai terompet partai/golongan. Banyak surat kabar yang beredar merupakan
organ dari partai politik pada sistem politik waktu itu (baca Tribuana Said,
1988, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila,). Pada waktu itu,
Merdeka dan Indonesia Raya merupakan surat kabar yang masih bisa disebut
sebagai surat kabar yang netral (memperjuangkan kepentingan bangsa).
3. Teori Pers Komunis
Teori ini berkembang
pada awal abad kedua puluh sebagai akibat dari sistem komunis di Uni Soviet.
Sistem ini mendasarkan diri pada teori Karl Marx tentang perubahan sosial yang
diawali oleh teori Dialektika Hegel. Sesuai dengan sejarah kelahirannya dan
pertumbuhannya yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah ideologi komunis dan
berdirinya negara Uni Soviet, maka teori pers ini lebih sering disebut dengan
istilah Pers Totalitar Soviet atau Pers Komunis Soviet.
Dalam teori komunis
ini, pers merupakan alat pemerintah (partai) dan bagian integral dari negara.
Ini berarti bahwa pers harus tunduk pada perintah dan kontrol dari pemerintah atau
partai. Tunduknya pers pada partai komunis membawa arti yang lebih dalam,
yaitusebagai alat dari partai komunis yang berkuasa. Kritik diijinkan dalam
pers, tetapi kritik terhadap dasar ideologi dilarang. Pers melakukan apa yang
terbaik menurut pemimpin elit negara dan partai, dan apa yang terbaik bagi elit
negara dan partai. Yang dilakukan pers untuk mendukung komunis dan negara
sosialis mwerupakan perbuatan moral, sedangkan perbuatan membahayakan atau
merintangi pertumbuhan komunis adalah pembuatan immoral. Fungsi pers komunis
ditetapkan sebagai alat untuk melakukan indoktrinasi massa atau pendidikan
massa yang dilancarkan oleh partai. Bimbingan dan pendidikan massa ini
dilakukan melalui propaganda dan agitasi yang merupakan salah satu aspek
terpenting dari fungsi partai dan kegiatan formal negara.
Tunduknya pers secara
total kepada partai komunis ini membawa konsekuensi bahwa kebebasan dibatasi
untuk menerbitkan berita-berita atau pandangan-pandangan sendiri, demikian juga
usahanya memanfaatkan kebebasan untuk sedapat mungkin melayani kepentingan atau
pendapat para pembacanya.
Postulat teori ini
dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
• Pers seyogyanya
melayani kepentingan dari, dan berada di bawah pengendalian, kelas pekerja.
• Pers seyogyanya
tidak dimiliki secara pribadi.
• Pers harus
melakukan fungsi positif bagi masyarakat dengan: sosialisasi terhadap norma
yang diinginkan; pendidikan; informasi; motivasi; mobilisasi.
• Di dalam tugas
menyeluruhnya bagi masyarakat, pers seyogyanya tanggap terhadap keinginan dan
kebutuhan audiensnya.
• Masyarakat berhak
melakukan sensor dan tindakan hukum lainnya untuk mencegah, atu menghukum
setelah terjadinya peristiwa, publikasi anti masyarakat.
• Pers perlu
menyediakan pandangan yang purna (complete) dan objektif tentang masyarakat dan
dunia, dalam batas-batas prinsip marxisme-leninisme.
• Wartawan adalah
profesi yang bertanggung jawab dengan tujuan dan cita-citanya, seyogyanya
serupa dengan kepentingan terbaik masyarakat.
• Pers hendaknya
mendukung gerakan progresif di dalam dan di luar negeri.
4. Teori Pers
Tanggungjawab Sosial
Teori tanggung jawab
sosial ini muncul pada permulaan abad kedua puluh sebagai protes terhadap
kebebasan yang mutlak dari teori lebertarian yang mengakibatkan kemerosotan
moral pada masyarakat. Dasar pemikiran teori ini adalah kebebasan pers harus
disertai tanggung jawab kepada masyarakat. Teori ini merupakan hasil pemikiran
para ahli pikir ketika itu yang merasa bahwa teori lebertarian murni dan
tradisional sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan zaman dan kebutuhan
masyarakat pada waktu itu. Teori ini sering dianggap sebagi bentuk revisi
terhadap teori-teori sebelumnya, yang menganggap bahwa tanggung jwab pers
terhadap masyarakat sangat kurang. Hal ini ingin ditekankan sebagai orientasi
yang utama dari pers. Penekanan tanggung jawab moral kepada masyarakat dengan
usaha untuk menghindari kemungkinan terjadinya keadaan yang membahayakan
kesejahteraan umum. Teori ini berasal dari dari sebagian besar laporan ”Komisi
Hutchins” yang diterbitkan pada tahun 1947. dari laporan ini dikembangkan
pendapat betapa pentingnya peran pers dalam masyarakat modern seperti sekarang
ini, menekankan pada keharusan akan adanya tanggung jawab sosial dari setiap
pers komunikasi.
Para pemilik pers
pada teori tanggung jawab sosial yang tidak puas terhadap fungsi pers dalam
teori libertarian, berpendapat bahwa pers tidak dapat menjalankan fungsinya
secara sempurna. Dalam memberikan pelayanan kepada sistem ekonomi, mereka
mengharapkan agar tugas-tugas yang dijalankan oleh pers tidak mendahului
fungsi-fungsi pers yang lain, seperti meningkatkan proses demokrasi dan
pemberian penerangan kepada masyarakat. Hiburan yang disajikan haruslah hiburan
yang baik. Dalam mencukupi keuangan pers-pers individu tertentu, hendaknya
diberikan kebebasan untuk mencari pasar.
Theodore Peterson
(dalam Rachmadi, 1990) mengatakan bahwa teori tanggung jawab sosial mendasarkan
pada pandangannya kepada suatu prinsip bahwa ”kebebasan pers harus disertai
dengan kewajiban-kewajiban, dan pers mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab
kepada masyarakat guna melaksanakan tugas-tugas pokok yang dibebankan kepada
komunikasi massa dalam masyarakat modern seperti sekarang ini”.
Prinsip utama teori
tanggung jawab sosial adalah sebagai berikut:
• Pers seyogyanya
menerima dan memenuhi kewajiban tertentu kepada masyarakat.
• Kewajiban tersebut
terutama dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau profesional
tentang keinformasian, kebenaran, ketepatan, obyektivitas, dan keseimbangan.
• Dalam menerima dan
menerapkan kewajiban tersebut, pers seyogyanya dapat mengatur diri sendiri di
dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada.
• Pers sebaiknya
menghindari segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan, kerusakan atau
ketidaktertiban umum atau penghinaan terhadap minoritas eynik atau agama. Pers
secara keseluruhan hendaknya bersifat pluralis dan mencerminkan kebhinekaan
masyarakatnya, dengan memberikan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan
berbagai sudut pandang dan hak untuk menjawab.
• Masyarakat dan
publik, berdasarkan prinsip yang disebut pertama, memiliki hak untuk mengharapkan
standar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat dibenarkan untuk mengamankan
kepentingan umum.
• Wartawan dan pers
profesional seyogyanya bertanggungjawab terhadap masyarakat dan juga kepada
majikan serta pasar.
Sejak sistem politik
Indonesia mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara normatif, kita telah
menganut teori Pers Tanggungjawab Sosial. Berbeda dengan UU no 11 tahun 1966
juncto UU no 21 tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk
mengontrol sistem pers, UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada
masyarakat. Penanda itu terletak antara lain pada pasal 15 dan 17 UU no 40
tahun 1999 yang berbunyi:
Pasal 15
(3) Anggota Dewan
Pers terdiri dari:
a. Wartawan yang
dipilih oleh organisasi wartawan;
b. Pimpinan
perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers;
c. Tokoh masyarakat,
ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang-bidang lainnya yang dipilih
oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
(4) Ketua dan Wakil
Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.
Pasal 17
(1) Masyarakat dapat
melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak
memperoleh informasi yang diperlukan.
(2) Kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. Memantau dan
melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis
pemberitaan yang dilakukan oleh pers.
b. Menyampaikan
usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan
kualitas pers nasional.
5. Teori Pers
Pembangunan.
Titik tolak bagi
teori pembangunan yang tersendiri tentang pers ialah adanya fakta beberapa
kondisi umum negara berkembang yang membatasi aplikasi teori lain atau yang
mengurangi kemungkinan maslahatnya. Salah satu kenyataan adalah tiadanya
beberapa kondisi yang diperlukan bagi pengembangan sistem komunikasi massa:
infrastruktur komunikasi; ketrampilan profesional; sumber daya produksi dan
budaya; audiens yang tersedia. Faktor lain, yang berhubungan, adalah
ketergantungan pada dunia telah berkembang atas hal-hal yang menyangkut produk
teknologi, ketrampilan, dan budaya. Ketiga, masyarakat sedang berkembang sangat
gandrung menekankan pembangunan ekonomi, politik, dan sosial sebagai tugas
utama nasional, untuk mana semua lembaga lain harus bermuara. Keempat, fakta
semakin menunjukkan bahwa negara sedang berkembang menyadari keserupaan
jatidiri dan kepentingan mereka dalam politik internasional.
Dari berbagai kondisi
tersebut muncul seperangkat harapan dan prinsip normatif tentang pers yang
menyimpang dari hal-hal yang tampaknya berlaku, baik di dunia kapitalis maupun
di dunia komunis. Tentu saja benar bahwa di kebanyakan negara yang dipandang
sebagai negara berkembang, pers diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip
yang berasal dari teori yang telah dikemukakan sebelumnya –teori otoriter,
liberal, tanggung jawab sosial, dan soviet komunis. Meskipun demikian, perlu
dikemukakan pernyataan sementara, khususnya dalam pandangan tentang fakta bahwa
kebutuhan negara sedang berkembang akan komunikasi di masa lampau cenderung
dinyatakan dalam hubungan dengan pengaturan kelembagaan yang ada, dengan
penekanan khusus pada peran positif pers komersial untuk merangsang pembangunan
atau pada kampanye pers untuk mendorong timbulnya perubahan ekonomi ke arah
model masyarakat industri.
Satu hal yang paling
menyatukan teori pers pembangunan adalah penerimaan pembangunan ekonomi itu
sendiri (yang karenanya perubahan sosial), dan sering kali pembangunan bangsa
(notion-building) yang bersangkutan sebagai tujuan utama. Untuk mencapai tujuan
tersebut, kebebasan tertentu dari pers dan para wartawan tunduk pada tanggung
jawab mereka untuk membantu pencapaiannya. Pada saat saat yang sama, yang
ditekankan adalah tujuan kolektif dan bukan kebebasan individu.
Prinsip utama dari
teori ini adalah sebagai berikut:
• Pers seyogyanya
menerima dan melaksanakan tugas pembangunan positif sejalan dengan
kebijaksanaan yang ditetapkan secara nasional.
• Kebebasan pers
seyogyanya dibatasi sesuai dengan (1) prioritas ekonomi, dan (2) kebutuhan
pembangunan masyarakat.
• Pers perlu
memprioritaskan isinya pada kebudayaan dan bahasa nasional.
• Pers hendaknya
memprioritaskan berita dan informasinya negara sedang berkembang lainnya yang
erat kaitannya secara geografis, kebudayaan, atau politik.
• Para wartawan dan
karyawan pers lainnya memiliki tanggung jawab serta kebebasan dalam tugas
mengumpulkan informasi dan penyebarluasannya.
• Bagi kepentingan
tujuan pembangunan, negara memiliki hak untuk campur tangan dalam, atau
membatasi, pengoperasian pers serta sarana penyensoran, subsidi, dan
pengendalian langsung dapat dibenarkan.
Rogers (1976) dalam
Communication and Development: Critical Perspective, menyatakan bahwa peranan
pers dalam pembangunan dapat efektif apabila:
a. Isi pers relevan
dengan jenis-jenis pembangunan yang cocok dengan masyarakatnya;
b. Isi pers relevan
dengan perubahan struktur sosial yang diperlukan bagi tercapainya tujuan
pembangunan.
Konsep pembangunan
pernah juga menjadi wacana (berlanjut menjadi program) dalam kehidupan pers
Indonesia. Misal, seperti yang diputuskan dalam sidang Pleno XXV Dewan Pers di
Surakarta pada 7-8 Desember 1984 yang tersurat sebagai berikut: ”Pers Indonesia
adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya
berdasarkan pada nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. pers Pembangunan
adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan dan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri.”. Begitu juga
kebijaksanaan pemerintah di bidang penerangan dan pers pada Repelita IV yang
tersurat sebagai berikut:
I. Kegiatan
penerangan dan komunikasi sosial dengan pendekatan budaya: disini sasaran pokok
adalah pengemangan pribadi manusia Indonesia berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
II. Kegiatan
penerangan dan komunikasi sosial untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional:
di sini sasaran pokok adalah kesadaran masyarakat untuk melaksanakan
pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup, wawasan menabung, wawasan
produksi untuk ekspor dan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri.
III. Pengembangan
informasi budaya politik Pancasila: sasaran pokoknya adalah pembinaan kesadaran
masyarakat akan modal dasar bangsa, faktor-faktor dominan bangsa dan kesadaran
politik yang menunjang pemantapan Demokrasi Pancasila, dan kehidupan
konstitusional, demokrasi dan penegakan hukum.
IV. Penerapan sistem
penerangan terpadu: peningkatan koordinasi dan kerja sama semua unsur
penerangan bersama pers dan pers lainnya.
V. Pengembangan dan
peningkatan kegiatan komunikasi timbal balik: peningkatan peran serta
masyarakat untuk ikut memikirkan dan memecahkan masalah-masalah pembangunan.
VI. Peningkatan arus
penerangan ke daerah pedesaan dalam rangka pemerataan informasi: peningkatan
arus penerangan pembangunan ke desa-desa, terutama daerah-daerah perbatasan,
daerah terpencil dan daerah transmigrasi.
6. Teori Pers
Demokratik-Partisipan.
Seperti kebanyakan
teori, teori ini muncul sebagai reaksi terhadap teori lain dan pengalaman
aktual dan sekaligus sebagai gerakan positif ke arah bentuk baru lembaga pers.
Lokasinya terutama dalam masyarakat liberal yang telah berkembang tetapi ia
bergabung dengan beberapa unsur yang ada dalam teori pers pembangunan,
khususnya penekanan pada basis masyarakat, pada nilai komunikasi horisontal,
dan bukan pada komunikasi vertikal. Stimulus teori ini adalah reaksi terhadap
komersialisasi dan pemonopolian pers yang dimiliki secara pribadi dan terhadap
sentralisme dan birokratisasi lembaga siaran publik, yang diadakan sesuai
dengan norma tanggungjawab sosial.
Istilah
demokratik-partisipan juga mengungkapkan rasa kecewa terhadap partai politik
yang ada dan terhadap sistem demokratik parlementer yang tampaknya telah
tercabut dari akarnya yang asli, sehingga menghalangi ketimbang memudahkan
keterlibatan dalam kehidupan politik dan sosial. Teori pers bebas dipandang
gagal karena subversinya berdasarkan pasar dan teori, dan teori tanggung jawab
sosial tidak memadai sebagai akibat dari keterlibatan dalam birokrasi
pemerintahan dan dalam perswalayanan organisasi dan profesi pers. Pengaturan
diri sendiri oleh pers dan tanggung gugat (accountability) organisasi penyiaran
besar tidak mencegah pertumbuhan lembaga pers yang mendominasi dari pusat
kekuasaan masyarakat atau yang tidak berhasil dalam tugas mereka memenuhi
kebutuhan yang timbul dari pengalaman warga negara sehari-hari.
Dengan demikian,
titik sentral teori demokratik-partisipan terletak pada kebutuhan, kepentingan,
dan aspirasi ”penerima” dalam masyarakat politik. Ini ada hubungannya dengan
hak atas informasi yang relevan, hak untuk menjawab kembali, hak menggunakan
sarana komunikasi untuk berinteraksi dalam kelompok maasyarakat yang berskala
kecil, kelompok kepentingan subbudaya. Teori ini menolak keharusan adanya pers
yang seragam, disentralisasi, mahal, sangat diprofesionalkan, dan dikendalikan
oleh pemerintah. Teori ini lebih condong pada keserbaragaman, skala kecil,
lokalitas, deinstitusionalisasi, pertukaran peran antara pengirim dengan
penerima, hubungan komunikasi horisontal pada semua tingkat masyarakat, dan
interaksi.
Ikhtisar rumusan
prinsip teori ini dapat disajikan sebagai berikut:
• Warga negara secara
individu dan kelompok minoritas memiliki hak pemanfaatan pers (hak untuk
berkomunikasi) dan hak untuk dilayani oleh pers sesuai dengan kebutuhan yang
mereka tentukan sendiri.
• Organisasi dan isi
pers seyogyakan tidak tunduk pada pengendalian politik yang dipusatkan atau
pengendalian birokrasi negara.
• Pers seyogyanya ada
terutama untuk audiensnya dan bukan untuk organisasi pers, para ahli atau
nasabah pers tersebut.
• Kelompok,
organisasi, dan masyarakat lokal seyogyanya memiliki pers sendiri.
• Bentuk pers yang
berskala kecil, interaktif, dan partisipasif lebih baik ketimbang pers berskala
besar, satu arah, dan diprofesionalkan.
• Kebutuhan sosial
tertentu yang berhubungan dengan pers tidak cukup hanya diungkapkan melalui
tuntutan konsumen perorangan, tidak juga melalui negara dan berbagai lembaga
utamanya.
• Komunikasi terlalu
penting untuk diabaikan oleh para ahli.
Teori pers
demokratik-partisipan juga telah mewarnai kehidupan pers Indonesia. Dengan
diundangkannya Undang-Undang no 32 tahun 2003, kehidupan pers kita telah
mempraktekkan teori ini. Pertumbuhan dan berkembangnya penyiaran-penyiaran
komunitas yang menerapkan jurnalisme partisipasi merupakan suatu contoh
penerapan dari teori pers demokratik-partisipan.
Daftar Pustaka
A Muis, 2005, Gejolak
Aspirasi Kebebasan Pers, Kompas 2 April 2005
Everet Rogers, 1976,
Communication and Development: Critical Perspektif, Sage Publication.
Dennis McQuail, 1987,
Teori-Teori Komunikasi Massa, Jakarta: Erlangga.
Maswadi Rauf dan
Mappa Nasrun, 1993, Indonesia dan Komunikasi Politik, Grapers, Jakarta.
F. Rachmadi, 1990,
Perbandingan Sistem Pers: Analisis Deskriptif Sistem Pers di Berbagai Negara,
Grapers, Jakarta.
Tribuana Said, 1988,
Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila, CV Haji Masagung,
Jakarta.
0 comments:
Post a Comment