Untuk mengkaji isi dan struktur
media massa, ada empat metode yang dapat digunakan sebagai alat penelitian,
yaitu analisis isi, analisis semiotika, analisis wacana dan analisis framing.
Analisis Isi
Analisis isi (content analysis)
dilaksanakan dengan melakukan kuantifikasi terhadap sifat-sifat yang dikandung
isi media massa. Analisis isi telah sering dipakai dalam mengkaji pesan-pesan
media. Karena metode ini pada dasarnya merupakan sebuah metode untuk menguji
secara kuantitatif , keyakinan, kepentingan para editor dan penerbit,
kecenderungan pembaca (dengan asumsi bahwa bahan-bahan yang dipublikasikan
secara berhasil bagi golongan tertentu, mencerminkan secara akurat
kecenderungan golongan yang bersangkutan).
Teknik analisis isi dalam
pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai berikut, peneliti memulainya dengan
membuat sampel yang sistematis dari isi media. Misalnya jika para peneliti
ingin meneliti tayangan kekerasan seksual yang dihadirkan televisi, maka mereka
dapat memilih beberapa tayangan prime time berkaitan dengan isu di atas.
Kemudian dikembangkan definisi obyektif mengenai “kekerasan seksual”, misalnya
scene di mana terjadi kekerasan seksual. Kemudian diklasifikasikan agar sesuai
dengan definisi yang telah dibuat dan kemudian dihitung, sehingga peneliti
dapat mengetahui adegan kekerasan seksual per jam dan membandingkannya dengan
statistik yang dihasilkan penelitian sebelumnya (Gerbner dan Gross dalam
Straubhaar dan Larose, 1997 :413). Sedangkan untuk menganalisis koran atau
majalah dapat dilakukan dengan mengukur inchi kolom dari berita yang telah
dikategorisasi dalam berbagai kategori berdasarkan tujuan penelitian.
Keunggulan analisis isi adalah
kemampuannya untuk memberi deskripsi mengenai profil media secara mendetail dan
menunjukan trend media dalam waktu tertentu. Namun kelemahannya adalah
ketidakmampuannya untuk melihat efek yang ditimbulkan media massa terhadap
khalayak. Untuk meneliti efek media massa terhadap khalayak, kita harus mengadakan
penelitian yang melibatkan khalayak.
Selain itu, dalam penelitian
analisis isi, seringkali hanya melihat sampel tayangan yang jumlahnya tidak
banyak. Misalnya saat kita akan melakukan penelitian mengenai kekerasan seksual
di tayangan televisi, bisa jadi kita hanya mengambil sampel tayangan prime time
dari tiga stasiun televisi terbesar di Indonesia. Padahal masih banyak stasiun
televisi yang lain, apalagi jika kemudian kita juga mempertimbangkan keberadaan
stasiun televisi lokal, maka jumlah tiga stasiun televisi tersebut sangatlah
kecil, sehingga apakah hasil penelitian representatif atau tidak menjadi sangat
dilematis.
Pembuatan definisi sebelum
melakukan riset juga dapat problematis. Misalnya, pada sebuah tayangan komedi
ada seorang aktor berkata jorok yang dibumbui kata-kata yang berhubungan dengan
seksualitas sembari tertawa dan tersenyum, baik aktor maupun artisnya. Apakah
hal ini dapat didefinisikan sebagai kekerasan seksual ? Bagi beberapa orang
bisa jadi ini sudah termasuk kekerasan seksual, namun bagi yang lain tidak,
karena dengan alasan artisnya saja ikut tertawa.
Semiotika
Semiotika (semiotic) atau yang
juga dikenal sebagai semiologi (semiology) telah menjadi alat analisis yang
populer untuk meneliti isi dari media massa dan telah banyak digunakan oleh
para mahasiswa ilmu komunikasi dalam meneliti makna dari pesan yang termuat
dalam media massa. Bagi para ahli semiotika, pesan (massage) dari media massa
menjadi bagian terpenting untuk dikaji, dan bagi mereka isi media massa adalah
produk dari penggunaan tanda-tanda bahasa (sign). Pendekatan ini berfokus pada
cara produsen tanda bahasa (author) membuat tanda bahasa dan cara khalayak
memahaminya.
Semiotika memiliki sejarah dengan
perkembangan yang cukup panjang dalam abad 21. Bidang ini membantu kita melihat
bagaimana tanda-tanda bahasa digunakan untuk menginterpretasi kejadian-kejadian
dan dapat menjadi alat analisis yang terutama baik untuk menganalisis kandungan
dari pesan media. Nyaris tidak dapat dipungkiri bahwa tanda bahasa memiliki peran
istimewa dalam media, dan media dalam banyak cara membentuk bagaimana
lambang-lambang berfungsi untuk kita.
Pada mulanya semiotika
dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure dan Roland Barthes serta kemudian
banyak dikembangkan Jean Baudrillard, salah seorang pemikir posmoderisme yang
terkenal.
Menurut Saussure, tanda bahasa
(sign) tidak lepas dari beberapa unsur, yaitu pertama, penanda (signifier) dan
petanda (signified). Penanda adalah aspek material dari satu tanda bahasa,
sedangkan petanda adalah aspek mental dari tanda bahasa. Relasi keduanya
bersifat arbiter (arbitrary) atau diada-adakan. Misalnya tidak ada relasi
alamiah antara kata kucing (k-u-c-i-n-g) dengan binatang berkaki empat,
berbulu, menyusui, suka mengeong dan memiliki cakar yang ditunjukan kata
kucing. Kedua, tanda bahasa terstruktur dalam langue dan parole. Langue adalah
pemakaian bahasa secara umum dan parole adalah pemakaian tanda bahasa secara
oleh individu. Saussure memberi anologi bermain catur untuk menjelaskan hal
ini. Kuda dalam catur diatur dalam langue dalam bentuk gerak L, dan para pemain
catur bebas memilih untuk bergerak dalam gerakan L ke atas, bawah, kanan
ataupun kiri yang menjadi parole yang mereka miliki. Jika bergerak selain L
maka kacaulah permainan catur tersebut Aturan yang seperti di atas mengikat
tanda bahasa ke dalam suatu struktur, makanya semiotika generasi ini dikenal
sebagai peletak dasar strukturalisme yang banyak dikembangkan oleh Louis
Althusser dan Jean Claude Levi-Strauss (Bignell, 1997 : 7-10).
Hal lain yang tidak bisa
dilepaskan dalam kajian semiotika adalah pemikiran Saussure yang menyatakan
bahwa konsep memiliki makna disebabkan karena adanya faktor – faktor relasi,
dan dasar dari relasi tersebut adalah berlawanan atau oposisi yang bersifat
duaan (binary oposition). Untuk lebih jelasnya kita dapat mengambil ilustrasi
sebagai berikut. Konsep “kaya” misalnya, tidak akan memiliki arti apapun jika
tidak ada konsep “miskin”. Konsep “cantik” juga tidak memiliki arti apapun jika
tidak ada konsep “jelek”. Namun harus dicatat bahwa konsep tidak didefinisikan
pada isi positifnya tetapi negatifnya, melalui relasi-relasinya dengan
istilah-istilah lain dalam sistemnya (Berger, 2000 : 7).
Dalam kajian semiotika, bukan
“isi” yang menentukan makna, tetapi “relasi-relasi” dalam berbagai sistem,
seperti yang diutarakan oleh Saussure bahwa sifat yang paling tepat untuk untuk
menggambarkan konsep tersebut adalah “ada dalam keberadaannya, sedang yang lain
tidak”. Sehingga tidak ada makna pada dirinya sendiri, karena semua terbentuk
dari relasi (Saussure dalam Berger 2000 : 7).
Konsepsi yang dikemukakan oleh
Saussure ini kemudian dikembangkan oleh Roland Barthes untuk memahami mitos
(myth) yang lahir dari tanda bahasa. Mitos lahir melalui konotasi tahap kedua
di mana rangkaian tanda yang terkombinasikan sebagaimana dalam film disebut
sebagai teks (text) akan membentu pemaknaan tingkat kedua (secondary
signification) (Thwaites, 1994 : 67). Ide-ide dari Barthes banyak digunakan
untuk memahami realitas budaya media kontemporer yang dikonsumsi oleh manusia
setiap harinya (Bignell, 1997:16). Film, lagu, sinetron, novel, majalah dan
sebagainya merupakan bagian dari budaya media yang dipenuhi oleh berbagai
praktik penandaan (signifying practice), yang dapat dianalisis dari banyak
sisi. Film misalnya dapat dianalisis dari berbagai unsur yang ada di dalamnya,
yaitu posisi kamera (angle), posisi obyek atau manusia dalam frame, pencahayaan
(lighting), proses pewarnaan (tinting) dan suara (sound) (Bignell, 1997:187).
Semua sisi sebagaimana yang
tersebut di atas akan menjalin satu kaitan yang dinamakan sebagai
intertekstualitas. Intertektualitas melibatkan bahan teks dari banyak ragam
yang menjadi hal umum dewasa ini, menjadi budaya dan mencari arah teks baru
tanpa disadari oleh pencipta teks bersangkutan (the author) (Berger, 2000 :
26).
Berbagai tanda bahasa yang saling
berelasi kemudian akan membentuk teks (text). Istilah “teks” sendiri berasal
dari Bahasa Latin texture yang berarti rajutan, sehingga teks dapat diartikan
sebagai rajutan dari berbagai tanda bahasa yang melahirkan makna-makna. Makna
inilah kemudian melahirkan representasi (representation). Menurut Norman
Fairclough, representasi dapat secara ideologis mereproduksi relasi sosial yang
mengandung eksploitasi dan dominasi (Burton, 2000 : 171).
Ada beberapa unsur penting dalam
representasi yang lahir dari teks media massa. Pertama adalah stereotype yaitu
pelabelan terhadap sesuatu yang sering digambarkan secara negatif. Selama ini
representasi sering disamakan dengan stereotype, namun sebenarnya representasi
jauh lebih kompleks daripada stereotype. Kompleksitas representasi akan
terlihat dari unsur-unsurnya yang lain. Kedua adalah identity, yaitu pemahaman
kita terhadap kelompok yang direpresentasikan. Pemahaman ini menyangkut siapa
mereka, nilai apa yang dianutnya dan bagaimana mereka dilihat oleh orang lain
baik dari sudut pandang positif maupun negatif. Ketiga adalah pembedaan
(difference), yaitu mengenai pembedaan antarkelompok sosial, di mana satu
kelompok dioposisikan dengan kelompok yang lain. Keempat, naturalisasi
(naturalization), yaitu strategi representasi yang dirancang untuk mendesain
menetapkan difference, dan menjaganya agar kelihatan alami selamanya. Kelima
adalah ideologi. Untuk memahami ideologi dalam representasi ada baiknya kita mengingat
kembali konsepsi ideologi yang dikemukakan oleh Althusser. Representasi dalam
relasinya dengan ideologi dianggap sebagai kendaraan untuk mentransfer ideologi
dalam rangka membangun dan memperluas relasi sosial (Burton, 2000 : 170-175).
Jean Baudrillard kemudian
mewacanakan semiotika pascastrukturalisme (poststructuralism) yang menyatakan
bahwa tanda bahasa telah semakin terpisah dari objek yang mereka wakili dan
bahwa media telah mendorong proses ini ke titik dimana tidak ada sesuatu yang
nyata. Media tidak secara mendadak menciptakan kondisi ini, namun memperburuk
suatu kecenderungan yang telah lama berlangsung sepanjang sejarah modern.
Penggunaan tanda bahasa telah
berjalan melalui suatu evolusi dalam masyarakat. Pada mulanya, tanda bahasa
adalah representasi yang sifanya sederhana dari suatu objek atau kondisi. Tanda
bahasa mempunyai relasi yang jelas dengan yang obyek yang dilambangkannya.
Baudrillard menyatakan pentahapan ini sebagai tahapan dari urutan simbolis,
umum dalam masyarakat feodal. Pada tahap kedua, kepalsuan, umum dari masa
Renaissance ke masa Revolusi Industri, lambang-lambang dianggap kurang memiliki
relasi langsung dengan benda-benda dalam kehidupan, yang oleh Baudrillard
dinamakan sebagai hiperrealitas.
Analisis Framing
Analisis framing dikembangkan
terutama oleh William A. Gamson. Gamson melihat wacana media massa (khususnya
berita) terdiri dari sejumlah kemasan (package) melalui mana konstruksi atas
suatu peristiwa dibentuk. Kemasan itu merupakan skema atau struktur pemahaman
yang dipakai oleh seseorang ketika mengkonstruksi pesan-pesan yang dia
sampaikan, dan menafsirkan pesan yang ia terima.
Ada dua perangkat bagaimana ide
sentral yang merupakan framing diterjemahkan ke dalam teks berita melalui dua
cara. Pertama, framing devices (perangkat framing) yang berelasi langsung
dengan ide sentral atau bingkai yang ditekankan dalam teks berita. Perangkat
framing ini ditandai dengan pemakaian kata, kalimat, metafora, dan
grafik/gambar. Perangkat kedua adalah reasoning devices (perangkat penalaran)
yang berhubungan dengan kohesi dan koherensi dari teks tersebut yang merujuk
pada gagasan tertentu (Eriyanto, 2004 : 225-226).
Ada beberapa komponen yang
menjadi alat analisis dalam analisis framing yang dikembangkan oleh Gamson,
yaitu :
Pertama, elemen inti berita (idea
element) yaitu ide atau pemikiran yang dikembangkan dalam teks berita itu
kemudian didukung dengan simbol tertentu untuk menekankan arti yang hendak
dikembangkan dalam teks berita. Simbol itu dapat diamati dari pemakaian kata,
kalimat, grafis, atau pemakaian foto atau aksentuasi gambar tertentu.
Semua elemen dalam perangkat
pembingkai tersebut digunakan untuk memberi citra tertentu atas seseorang atau
peristiwa tertentu. Citra itu juga dilakukan dengan memberi label (depiction)
terhadap suatu peristiwa. Citra juga dapat ditekankan dengan melakukan
ilustrasi (eksemplaar)
Kedua, perangkat pembingkai
(framing devices) dipakai untuk memberi citra negatif maupun positif terhadap
suatu berita atau obyek yang diberitakan. Ketiga, perangkat penalaran
(reasoning devices). Dapat berupa roots ataupun dengan memberi klaim moral
tertentu (appeals to principle). Keduanya berpotensi membawa konsekuensi
(consequences) mengenai isu berita.
Analisis Wacana
Michel Foucault adalah salah seorang
pemikir Prancis yang memberi banyak kontribusi dalam perkembangan analisis
wacana (discourse analysis). Kontribusinya dapat dilacak dari pemikirannya
mengenai kuasa (power), sebuah tema yang merupakan topik terpenting dalam
khasanah pemikiran Foucault yang kemudian banyak digunakan dalam analisis
wacana. Berbagai karya besar Foucault memang berkisar pada subyek kekuasaan.
Menurut Foucault, kekuasaan merupakan sesuatu yang inheren sifatnya dari semua
formasi diskursif. Misalnya, kekuasaan merupakan fungsi wacana atau ilmu dan
bukan sebagai properti manusia atau institusi. Episteme, sebagaimana
diekspresikan dalam bahasa, menjamin kekuasaan. Dengan begitu, kekuasaan dan
pengetahuan tidak bisa dipisahkan.
Banyak literatur yang sudah
ditulis berusaha mengungkap kuasa, namun bagi Foucault sedikit sekali yang
berhasil mengurai kuasa. Ada misalnya analisis Marxian yang banyak mengurai
mengenai orang-orang yang berkuasa seperti negara, parlemen, institusi agama,
namun tidak menyinggung bagaimana mekanisme kuasa atau strategi kuasa. Tema
seperti inilah yang menjadi fokus perhatian Foucault. Ia ingin menganalisis
strategi kuasa yang faktual. Ia tidak menyajikan suatu metafisika mengenai
kuasa, tapi satu mikrofisika tentang kuasa. Maksudnya, masalahnya bukanlah pada
apakah itu kuasa, melainkan bagaimana berfungsinya kuasa pada bidang tertentu.
Berikut ini adalah beberapa
pendapat Foucault mengenai kuasa. Pertama, kuasa bukanlah milik melainkan
strategi. Maksudnya kuasa biasanya disamakan dengan milik. Kuasa dianggap
sebagai sesuatu yang dapat diperoleh, disimpan, dibagi, ditambah, dan
dikurangi. Tapi dalam pandangan Foucault kuasa tidak dimiliki tapi dipraktekan
dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis
berelasi satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran.
Kedua, kuasa tidak dapat
dilokalisasi tetapi ada di mana-mana. Biasanya kuasa dihubungkan dengan orang
atau lembaga tertentu, khususnya aparat negara. Tapi menurut Foucault strategi
kuasa berlangsung di mana-mana. Di mana saja terdapat susunan, aturan, sistem
regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai relasi tertentu sama lain dan
dengan dunia luar, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar,
tetapi menentukan susunan, aturan-aturan, relasi-relasi itu dari dalam, malah
memungkinkan semua itu. Sebagai contoh adalah bahwa setiap masyarakat mengenal
berbagai strategi kuasa yang menyangkut kebenaran: beberapa diskursus diterima
dan disebarluaskan sebagai benar. Dalam hal ini terdapat institusi-institusi
yang menjamin perbedaaan antara yang benar dan tidak benar. Selain itu terdapat
pula pelbagai aturan dan prosedur untuk memperoleh dan menyebarkan kebenaran
Secara khusus, Foucault memberi
perhatian ada relasi antara kuasa (power) dengan pengetahuan (knowledge).
Pengetahuan tidak berasal dari dari salah satu subyek yang mengenal, tetapi
dari relasi-relasi kuasa yang menandai subyek itu. Pengetahuan tidak “mencerminkan”
relasi kuasa sebagaimana yang selama ini dikenal dalam pemikiran Marxian,
pengetahuan tidak merupakan pengungkapan secara samar-samar dari relasi-relasi
kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi kuasa itu sendiri. Kuasa
memroduksi pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa.
Lebih lanjut dalam pandangan Foucault tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan
tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Pada titik ini terdapat relasi: pengetahuan
mengandung kuasa seperti juga kuasa mengandung pengetahuan. Dengan demikian
tidak ada pengetahuan yang netral dan murni, karena di dalamnya ada kuasa.
Ketiga, kuasa tidak selalu
bekerja melalui penindasan atau represi, tetapi terutama melalui normalisasi
dan regulasi. Selama ini kuasa sering dianggap subyek yang berkuasa (raja,
pemerintah, ayah, laki-laki dan kehendak umum) dan subyek itu dianggap
melarang, membatasi, menindas dan sebagainya. Menurut pendapat Foucault kuasa
tidak bersifat subyektif. Inilah yang membedakannya dengan pandangan marxisme
yang melihat kuasa sebagai satu proses dialektis, di mana A menguasai B,
kemudian setelah beberapa syarat terpenuhi ganti B menguasai A. Kuasa juga
tidak bekerja secara represif dan negatif, melainkan bekerja secara produktif
dan positif, karena ada kenyataannya kuasa memproduksi realitas. Kuasa
memproduksi realitas dengan memproduksi lingkup obyek dan ritus-ritus
kebenaran. Strategi kuasa tidak berjalan melalui jalan penindasan melainkan
melalui normalisasi dan regulasi.
Keempat, kuasa tidak bersifat destruktif
melainkan produktif. Yang dimaksudkan oleh Foucault disini adalah bahwa kuasa
tidak menghancurkan, tetapi malah menghasilkan sesuatu. Hal ini sekaligus
meruakan penolakan Foucault terhadap sebagaian pandangan yang menyatakan bahwa
kuasa meruakan sesuatu yang jahat dan harus ditolak, karena menolak kuasa
sendiri termasuk dari strategi kuasa. Tidak mungkin memilih kawasan di luar
kawasan strategi kuasa itu sendiri. Ringkasnya, kuasa produktif karena
memungkinkan segala sesuatu dapat dilakukan (Bertens, 2000 : 297 – 325).
Menurut Foucault struktur wacana
adalah suatu satuan aturan inheren yang menentukan bentuk dan substansi praktek
diskursif. Struktur wacana ini tidak sekedar aturan untuk bagaimana cara
berbicara; tetapi juga aturan-aturan yang menentukan sifat pengetahuan,
kekuasaan, dan etika. Aturan-aturan ini mengontrol apa yang bisa dibicarakan
atau dituliskan dan siapa yang boleh bicara atau menulis (atau pembicara yang
harus ditanggapi dengan serius). Aturan-aturan seperti di atas kemudian mampu
mengontrol apa yang bisa kita bicarakan atau tuliskan, yang tentu juga
menentukan bentuk wacana yang harus dipakai
Berlawanan dengan pendapat yang
lebih populer, dalam pandangan Foucault masyarakat tidak bertanggung jawab
dalam membuat kondisi wacana. Sebaliknya, wacanalah memerlukan tempat seseorang
dalam skema dunia. Struktur diskursif terbaru kita mampu memberi penjelasan
mengenai manusia sebagai pondasi dan asal ilmu pengetahuan, tetapi masyarakat
tidak pernah mendapatkan kedudukan seperti ini sebelumnya di periode yang lain
dan dengan sendirinya akan segera kehilangan kedudukan ini. Di jaman kita,
orang diyakini mendapatkan ilmu pengetahuan dan mempunyai kekuasaan, tetapi ide
ini merupakan penciptaan bentuk diskursif yang pra dominan di jaman kita, dan
aturan-aturan berekspresi dalam komunikasi kita mempunyai ide seperti ini. Di
lain waktu, seluruh ide-ide yang berbeda tentang pengetahuan dan kekuasaan
muncul dari penggunaan wacana.
Penelitian Foucault tentang
sistem hukum dalam karyanya The Birth of Prison, dapat digunakan sebagai contoh
mengenai analisis wacana. Dia menemukan adanya perbedaan yang sangat dramatis
di abad 18 dan 19 dari kekejaman dan hukuman publik menjadi pemahaman dan
perlindungan kriminal dari penyiksaan tubuh. Sebelum masa sekarang, narapidana
disiksa atau atau bahkan dieksekusi di depan publik dan bahkan seringkali oleh
publik sendiri dan dijadikan sebagai bentuk tontonan. Dalam formasi diskursif
saat itu orang/kriminal dilihat sebagai obyek sentral dalam hubungan politis.
Sangat alami bahwa kekuasaan seharusnya digunakan untuk melawan orang/kriminal
dan bahwa hukuman seharusnya mencakup kesakitan tubuh. Tetapi kemudian dalam
formasi diskursif yang ada di masa sekarang, orang/kriminal kehilangan
statusnya, karena kekuasaan lebih menjadi persoalan fisik atau jiwa individu
manusianya. Dengan begitu menahan kriminal dilihat sebagai hukuman yang lebih
sesuai daripada mencambuk mereka di depan publik.
Studi yang dikerjakan oleh
Foucault berkisar pada analisis wacana yang memiliki fungsi untuk melakukan
pengungkapan terhadap aturan-aturan dan struktur wacana. Studi ini oleh
Foucault dinamakan archaelogy. Archaelogy berusaha mengungkap berbagai
aturan-aturan wacana dengan melewati deskripsi yang seksama. Studi ini
menunjukkan perbedaan atau kontradiksi, daripada adanya koherensi, dan
mengungkap tentang suksesi dari satu bentuk wacana ke wacana yang lain. Untuk
alasan inilah Foucault menitikberatkan deskripsi komparatif lebih dari satu
buah wacana.
Interpretasi, atau pemaknaan
teks, tidak bisa dihindari dalam analisis teks, tapi pemaknaan itu seharusnya
diminimalisir kerena interpretasi tidak membuka struktur diskursif dan pada
kenyataannya malah mengaburkannya. Foucault berpandangan bahwa seorang analis
sudah seharusnya menghindari untuk merelasikan wacana dengan pengarang/penulis
karena penulis dalam wacana yang muncul hanya menjalankan fungsi wacana semata
dan bukan merupakan instrumen di setiap cara yang fundamental di dalam
pembuatan struktur teks yang mereka hasilkan. Sehingga, wacana sering
dimengerti sebagai bahasa yang digunakan dalam merepresentasikan praktik sosial
dari sudut pandang tertentu. Dalam memahami wacana, kita juga tidak bisa lepas
dari konsep ideologi karena setiap makna dari wacana selalu bersifat ideologis
(Fairclough dalam Burton, 2000 : 31).
0 comments:
Post a Comment