Media massa sering dikatakan
memiliki peran sebagai "anjing penjaga" dan berdiri di sisi yang
berlawanan dengan pemerintah. Salah satu manfaat utama pers yang bebas dalam
sistem demokrasi sering dinyatakan dengan kewajiban untuk menyediakan informasi
pada masyarakat mengenai kinerja pemerintah.
Tetapi, sukar ditemukan alasan
yang mendasari pers sebagai "anjing penjaga" kinerja pemerintah.
Istilah tersebut mengesankan bahwa pers telah menjadi perwakilan dari rakyat
untuk 'menjaga' dan 'memerhatikan' kinerja pemerintah. Dengan asumsi itu,
pemerintah terkesan selalu salah, sementara pers selalu benar. Pers pun
memandang bahwa institusinya berdedikasi tinggi apabila sukses memperlihatkan
'kegagalan' pemerintah. Dengan senang hati, pers memublikasikan informasi yang
bisa meningkatkan oplah, mengisi komersial slot tanpa khawatir bahwa yang
dipublikasikan dapat berdampak buruk pada masyarakat. Kenyataannya, pers pada
umumnya adalah institusi swasta yang berorientasi pada laba.
Pers itu bebas, termasuk untuk
berpihak. Contohnya, sebuah media massa dapat mendukung semua kebijakan
pemerintah atau mungkin menentang kebijakan lainnya. Atau bisa saja bersikap
mendua terhadap suatu kebijakan, kadang bersikap pro dan kadang bersikap
kontra. Sebuah media massa bisa menentukan diri sebagai lawan pemerintah, atau
sebagai 'pengawal' kebijakan pemerintah. Sebuah media massa dapat mengritisi
dan menentukan bagaimana suatu kebijakan menjadi kesalahan. Media massa dapat
bertindak sebagai "anjing penjaga" atau "senjata" untuk
mendukung atau sebaliknya menyerang pemerintah.
Suara pemerintah bisa menjadi
bahan perbincangan, perdebatan dan interpretasi oleh figur-figur media.
Pernyataan pemerintah segera ditanggapi dalam tajuk rencana yang
menginterpretasikan apa yang 'sebenarnya' dikatakan oleh pejabat tersebut dan
apa yang 'sebenarnya' dimaksudkan. Sayangnya, kadang interpretasi tersebut
cenderung premature dan instant. Analisis instan segera menjadi bias instan.
Distorsi kerap terjadi hingga menyesatkan masyarakat. Hal-hal demikian
berdampak negatif pada pemberitaan mengenai pemerintah.
Benarkah pemerintah membutuhkan
pers sebagai kanal informasi untuk masyarakat? Benarkah pemerintah tanpa pers
benar-benar tidak berdaya untuk menyosialisasikan kebijakan dan pelayanan
publik? Benarkah hubungan yang terjalin antara media massa swasta dan
pemerintah layak dijalankan meskipun ada kemungkinan besar terjadi pengemasan
berita yang bias hingga mengarah pada runtuhnya kepercayaan masyarakat?
Kenyataannya, banyak jurnalis
bergantung pada aparat pemerintah untuk pemberitaan. Faktanya, semua informasi
yang diberitakan oleh media massa tentang pemerintah didapat dari (bahkan
divalidasi oleh) pejabat pemerintah, termasuk mengenai event-event nasional,
kecuali bila mereka mendapat informasi dari sumber berita otoritas berwenang.
Secara tradisional, jurnalis tergantung serta harus bekerja sama dangan sumber
resmi pemerintah. Pemerintah memberikan respons dengan menyediakan informasi
yang padat dan seimbang, undangan untuk berpartisipasi pada berbagai kegiatan,
bahkan menyediakan 'tunjangan' demi menghindari publikasi negatif. Ungkapan "WTS"
(Wartawan Tanpa Surat Kabar), Wartawan CNN (Wartawan Cuma Nanya-nanya) pun
tetap populer di kalangan jurnalis yang sering mencari berita di
instansi-instansi pemerintah. Agar masyarakat menerima informasi yang jernih
dan berimbang, pemerintah harus lebih melibatkan diri dalam dunia media massa.
Peran Humas
Pemerintah saat ini telah
memiliki kapasitas untuk mengungkapkan informasi secara langsung. Kembalinya
Departemen Penerangan dengan kemasan baru, kehadiran beragam situs resmi
instansi pemerintah yang telah menghabiskan anggaran miliaran rupiah, kehadiran
puluhan media massa internal pemerintah serta beragam jurnal menunjukkan
kemampuan pemerintah menyediakan informasi yang dibutuhkan masyarakat. Dhus,
pemerintah sebaiknya mulai mengurangi peran instansi swasta dalam pemberian
informasi.
Hampir seluruh instansi
pemerintah memiliki kantor humas, divisi yang melakukan manajemen media massa,
pembangun citra, jembatan pemerintah dengan masyarakat, serta penghubung
pemerintah dengan pers. Kantor humas telah melakukan publikasi internal,
memberdayakan kantor-kantor wilayah serta unit pelayanan teknis agar berperan
sebagai outlet informasi. Pejabat humas pemerintah sebenarnya memiliki
kemampuan bersaing dengan editor institusi swasta, khususnya dalam uji kompetensi.
Tetapi, citra pegawai negeri sipil selama ini selalu dianggap korup dan terlalu
santai. Kesan negatif pun telanjur menancap di benak masyarakat kita. Citra
warisan yang telah berumur puluhan tahun yang semestinya diubah.
Sebelum bola reformasi bergulir,
pemerintah memiliki imej sebagai manipulator informasi. Bahkan setelah
reformasi, imej ini tidak banyak berubah. Pemerintah seolah dianggap 'musuh'
yang harus dilawan. Dengan bergulirnya reformasi, pemerintah menransformasikan
diri agar menjadi pemerintahan yang bersih dan benar.
Masyarakat telah memahami
hak-haknya yang sekaligus juga menjadi kewajiban pemerintah. Dalam bidang
pelayanan publik, masyarakat menuntut sistem pemerintahan yang bersih dan
transparan. Masyarakat berhak atas akses informasi, sebaliknya pemerintah wajib
menjamin akses tersebut terjaga dan terkontrol agar tidak menimbulkan ekses
negatif akibat eksploitasi pemberitaan yang bombastis. Karena, pada akhirnya
rakyat juga yang dirugikan.
Wajah aparat birokrasi kita yang
memang carut-marut sudah saatnya diperhatikan melalui perbaikan gaji sekaligus
perbaikan kinerja dengan terus meningkatkan citra pegawai negeri dan membangun
sistem yang transparan. Tentu implementasinya tidaklah mudah karena tradisi
yang tercipta selama puluhan tahun.
Seiring dengan perubahan menuju
tatanan baru demokrasi, reformasi segala bidang termasuk di dalamnya reformasi
performa pegawai negeri, sistem kehumasan serta sistem hubungan dengan media
massa, maka memberdayakan divisi humas untuk mengubah citra aparat birokrasi
agar lebih tanggap menyikapi fenomena masyarakat, sangat penting. Perkembangan
teknologi informasi menuntut divisi humas dituntut lebih responsif terhadap
keluhan masyarakat.Bahwa institusi pemerintah tidaklah seburuk yang disangka
dan pegawai negeri adalah juga rakyat Indonesia. Seyogianya kantor-kantor humas
memang harus diberdayakan untuk menjaga nama baik aparat pemerintah serta
menjalin kerja sama dengan pers agar tercipta pemberitaan yang berimbang,
bermanfaat, dan bertanggung jawab.
0 comments:
Post a Comment