Epistimologis dari cultivation adalah penanaman.
Cultivation Theory (Teori Kultivasi), adalah sebuah teori dalam konteks
keterkaitan media massa dengan penanaman terhadap suatu nilai yang akan
berpengaruh pada sikap dan perilaku khalayak. Teori ini, digagas oleh seorang
Pakar komunikasi dari Annenberg School of Communication, Profesor George
Gerbner. Pada 1960, Profesor Gerbner melakukan penelitian tentang “indikator
budaya” untuk mempelajari pengaruh televisi. Profesor Gerbner ingin mengetahui
pengaruh-pengaruh televisi terhadap tingkah laku, sikap, dan nilai khalayak.
Dalam bahasa lain, Profesor Gerbner memberikan penegasan dalam penelitiannya
berupa dampak yang di timbulkan televisi kepada khalayak.
Teori Kultivasi berpandangan bahwa media massa, yang
dalam konteks teori ini adalah televisi, memiliki andil besar dalam penanaman
dan pembentukan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. “Menurut teori ini,
televisi menjadi alat utama dimana para penonton televisi itu belajar tentang
masyarakat dan kultur di lingkungannya”(Nurudin, 2004). Persepsi dan cara
pandang yang ada dalam masyarakat, sangat besar dipengaruhi oleh televisi. Atau
dalam kalimat lain, apa yang kita pikirkan adalah apa yang dipikirkan media
massa.
Melaui kaca mata kultivasi, cara pikir masyarakat di
konstruksi sedemikian rupa sehingga leading opinion yang dilakukan televisi
(media massa) dapat diterima oleh khalayak, meski seringkali proporsionalitas
dari pemberitaan amat minim. Issu terorisme cukup menjadi permisalan yang
relevan ditampilkan. Ketika mendengar atau melihat kata terorisme, yang
terlintas dalam benak dan pikiran masyarakat adalah “jenggot” dan “sorban”.
Penayangan media massa televisi berulang-ulang telah membawa opini masyarakat
dan menanamkan pendefinisian istilah terorisme dengan “jenggot” dan “sorban”.
Atau setidaknya dekat dengan hal itu. Dalam pandangan kultivasi ini, media
massa televisi seringkali melakukan generalisasi. Bisa jadi, adalah suatu
kebenaran seorang yang melakukan tindakan terorisme adalah mereka yang
“berjenggot dan bersorban”. Namun, bukan berarti, semua yang “berjenggot dan
bersorban” adalah teroris dan pelaku terorisme. Tak dapat dipungkiri, opini
yang dibangun media menuntun sebagian besar masyarakat untuk melakukan
generalisasi terhadap hal-hal seperti ini.
1 comments:
Kok jadi terorisme yang dibahas?
Aneh bat dah
Post a Comment