Pengantar
Perubahan
adalah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Perubahan-perubahan yang terjadi
bukan saja berhubungan dengan lingkungan fisik, tetapi juga dengan budaya
manusia. Hubungan erat antara manusia dan lingkungan kehidupan fisiknya itulah
yang melahirkan budaya manusia. Budaya lahir karena kemampuan manusia
mensiasati lingkungan hidupnya agar tetap layak untuk ditinggali waktu demi
waktu. Kebudayaan dipandang sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau
kelompok orang yang selalu mengubah alam. Kebudayaan merupakan usaha manusia,
perjuangan setiap orang atau kelompok dalam menentukan hari depannya.
Kebudayaan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan direncanakan (Van
Peursen, 1976:10-11). Oleh sebab itu dituntut adanya kemampuan, kreativitas,
dan penemuan-penemuan baru. Manusia tidak hanya membiarkan diri dalam kehidupan
lama melainkan dituntut mencari jalan baru dalam mencapai kehidupan yang lebih
manusiawi. Dasar dan arah yang dituju dalam perencanaan kebudayaan adalah
manusia sendiri sehingga humanisasi menjadi kerangka dasar dalam strategi
kebudayaan (Ali Moertopo,1978;12).
Dalam
perspektif di atas, realitas yang sebenarnya adalah masa kini (present) dengan
segala permasalahan yang dihadapkan kepada manusia di dalam lingkungan
hidupnya. Masa kini sebagai realitas adalah hasil interaksi antara manusia
dengan lingkungannya. Bila perubahan lingkungan fisik membuat manusia harus
mensiasatinya dan melahirkan budaya-budaya yang terus menerus disesuaikan, maka
perubahan-perubahan budaya itu juga mesti disiasati demi keberlangsungan hidup
manusia.
Dengan
pengakuan terhadap perubahan sebagai keniscayaan dan kemampuan manusia
mensiasati lingkungan dan budayanya, maka kearifan lokal (local wisdom) bisa
mendapatkan tempatnya sebagai bagian dari siasat kebudayaan itu. Makalah ini
hendak mendiskusikan tentang posisi kearifan lokal sebagai pengetahuan lokal
masyarakat dalam rangka pemecahan masalah masa kini (present problem solving).
Tentang
Kearifan Lokal
Menelisik
pengertian kearifan lokal, hal pertama yang perlu dilakukan adalah melihat
pengertian kamus tentang istilah itu. Dalam pengertian kamus, kearifan lokal
(local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local).
Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Shadily, local berarti
setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Kearifan lokal
secara sederhana dapat diartikan sebagai kebijaksanaan lokal.
Secara
filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat
lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik dan
pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal
berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan
pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam
sistem pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily
problem solving).
Dalam
pengertian yang lebih luas, kearifan lokal dapat dipahami sebagai berikut:
“Local
wisdom is the knowledge that discovered or acquired by local people through the
accumulation of experiences in trials and integrated with the understanding of
surrounding nature and culture” (Naritoom, --)
Naritoom
mengartikan kearifan lokal sebagai pengetahuan yang terakumulasi karena
pengalaman-pengalaman hidup, dipelajari dari berbagai situasi di sekeliling
kehidupan manusia dalam suatu wilayah. Hal serupa dapat dilihat pada definisi
yang dimunculkan dalam situs Wikipedia.com:
‘Traditional
knowledge, indigenous knowledge, and local knowledge generally refer to the
matured long-standing traditions and practices of certain regional, indigenous,
or local communities. Traditional knowledge also encompasses the local,
knowledge, and teachings of these communities. In many cases, traditional
knowledge has been orally passed for generations from person to person. Some
forms of traditional knowledge are expressed through stories, legends,
folklore, rituals, songs, and even laws. Other forms of traditional knowledge
are often expressed through different means.” (Sitasi dari Wikipedia, 2010)
Dari
definisi-definisi itu, kita dapat memahami bahwa kearifan lokal adalah
pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan
hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan
memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi. Beberapa bentuk
pengetahuan tradisional itu muncul lewat cerita-cerita, legenda-legenda,
nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum setempat.
Kearifan
lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang
mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai
bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut
sebagai jiwa dari budaya lokal. Hal itu dapat dilihat dari ekspresi kearifan
lokal dalam kehidupan setiap hari karena telah terinternalisasi dengan sangat
baik. Tiap bagian dari kehidupan masyarakat lokal diarahkan secara arif
berdasarkan sistem pengetahuan mereka, dimana tidak hanya bermanfaat dalam
aktifitas keseharian dan interaksi dengan sesama saja, tetapi juga dalam
situasi-situasi yang tidak terduga seperti bencana yang datang tiba-tiba.
Berangkat
dari semua itu, kearifan lokal adalah persoalan identitas. Sebagai sistem
pengetahuan lokal, ia membedakan suatu masyarakat lokal dengan masyarakat lokal
yang lainnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari tipe-tipe kearifan lokal yang
dapat ditelusuri:
1.Kearifan
lokal dalam hubungan dengan makanan: khusus berhubungan dengan lingkungan
setempat, dicocokkan dengan iklim dan bahan makanan pokok setempat. (Contoh:
Sasi laut di Maluku dan beberapa tempat lain sebagai bagian dari kearifan lokal
dengan tujuan agar sumber pangan masyarakat dapat tetap terjaga).
2.Kearifan
lokal dalam hubungan dengan pengobatan: untuk pencegahan dan pengobatan.
(Contoh: Masing-masing daerah memiliki tanaman obat tradisional dengan khasiat
yang berbeda-beda).
3.Kearifan
lokal dalam hubungan dengan sistem produksi: Tentu saja berkaitan dengan sistem
produksi lokal yang tradisional, sebagai bagian upaya pemenuhan kebutuhan dan
manajemen tenaga kerja. (Contoh: Subak di Bali; di Maluku ada Masohi untuk
membuka lahan pertanian, dll.).
4.Kearifan
lokal dalam hubungan dengan perumahan: disesuaikan dengan iklim dan bahan baku
yang tersedia di wilayah tersebut (Contoh: Rumah orang Eskimo; Rumah yang
terbuat dari gaba-gaba di Ambon, dll.).
5.Kearifan
lokal dalam hubungan dengan pakaian: disesuaikan dengan iklim dan bahan baku
yang tersedia di wilayah itu.
6.Kearifan
lokal dalam hubungan sesama manusia: sistem pengetahuan lokal sebagai hasil
interaksi terus menerus yang terbangun karena kebutuhan-kebutuhan di atas.
(Contoh: Hubungan Pela di Maluku juga berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan
pangan, perumahan, sistem produksi dan lain sebagainya).
Tantangan
Terhadap Kearifan Lokal
Bila
ada sistem pengetahuan lokal, maka ada juga sistem pengetahuan global. Apabila
sistem pengetahuan lokal merupakan kategori pembeda antara suatu komunitas
lokal dengan komunitas lokal yang lain, maka sistem pengetahuan global berupaya
mengatasi semua pengetahuan lokal dan menjadikan semua masyarakat lokal
terintegrasi ke dalam satu sistem pengetahuan saja. Apabila sistem pengetahuan
lokal muncul dalam bentuk mitos-mitos tradisional, maka sistem pengetahuan
global muncul pula dalam mitos-mitos modern. Salah satu mitos yang sangat
terkenal, khususnya di negara-negara berkembang dan bekas jajahan adalah “pembangunan”.
Mitos pembangunan muncul guna membungkus ideologi “ekonomi politik pembangunan”
negara-negara maju.
Definisi
tentang pembangunan akan terus mengalami perubahan, disesuaikan dengan
kebutuhan zaman. Tetapi pada umumnya, pembangunan diartikan sebagai suatu
proses perubahan dari kondisi yang tidak baik menjadi yang lebih baik.
Indikator-indikator yang menunjukkan suatu kondisi tidak baik tidak ditentukan
begitu saja, tetapi ada prosesnya tersendiri. Dalam perspektif pembangunan
secara umum, pembangunan ekonomi mendapatkan porsi yang lebih karena indikator
kemajuan suatu negara adalah pertumbuhan ekonomi yang baik. Namun, untuk
memahami pembangunan ekonomi, mesti melibatkan perspektif politik. Hal itu
disebabkan karena perumusan kebijakan pembangunan merupakan proses politik yang
melibatkan beragam aktor – mulai dari negara, birokrat, politisi, pengusaha,
lembaga swadaya masyarakat hingga masyarakat itu sendiri – dengan beragam
kepentingan pula, yang interaksinya bisa jadi saling berbenturan. Untuk mencapai
hasil yang maksimal dalam mengatasi konflik tersebut, para aktor dituntut
melakukan berbagai negosiasi dan kompromi. Dengan demikian untuk memahami
kebijakan pembangunan dengan benar perlu ditelusuri secara cermat perilaku,
motivasi atau pun preferensi para aktornya sehingga diperoleh jawaban: siapa
memperoleh apa, berapa banyak, mengapa dan dengan cara bagaimana dari kebijakan
pembangunan yang berlangsung di suatu negara dalam kurun waktu tertentu.
Dalam
kerangka politik ekonomi pembangunan, kearifan lokal tidak mendapatkan tempat
sama sekali karena telah disingkirkan oleh sistem pasar dan negara. Investasi
demi pertumbuhan ekonomi negara adalah lebih penting daripada suatu tindakan
berkelanjutan bagi masa depan manusia yang menjadi inti dari kearifan
masyarakat lokal. Dalam beberapa kasus, bukan saja sistem pengetahuan lokal
masyarakat yang terpinggirkan, tetapi juga masyarakat lokal secara fisik
dipinggirkan atau direlokasi dengan alasan pembangunan. Selain itu, dengan
alasan investasi pula, keamanan menjadi faktor penting dalam pembangunan.
Struktur pengamanan dibangun sampai ke pelosok-pelosok negeri dengan melibatkan
aparat-aparat negara yang cenderung tidak memahami cara-cara masyarakat lokal
menyelesaikan sengketa di antara mereka.
Masyarakat
lokal yang terorganisir dengan baik dan mendapatkan tempatnya dalam sistem
pemerintahan negara Indonesia adalah negeri (desa). Negeri telah lama menjadi
basis pertempuran antara masyarakat vs negara, sosialisme vs kapitalisme.
Secara sosio-historis, negeri-negeri pada umumnya berbasis ekonomi sosialis
(prakteknya mendahului istilah). Kepemilikan tanah dikelola secara komunal
dengan semangat egalitarian dan pemerataan. Hukum adat tidak mengenal
kepemilikan pribadi yang mutlak, yang dapat menimbulkan ketimpangan dalam
sistem masyarakat tradisional. Hak-hak ulayat atau petuanan adat atas tanah
menjadi contoh penting bagaimana pengelolaan tanah itu dilakukan di
negeri-negeri adat.
Masalah
muncul ketika sistem desa di Jawa dipaksakan untuk diberlakukan di luar Jawa.
Di Jawa, telah lama terjadi penundukkan kerajaan terhadap desa dan membuat
ketimpangan ekonomi-politik. Cerita-cerita lokal yang bisa diketahui melalui
legenda atau sejarah menunjukkan dengan jelas bahwa desa sebagai wilayah dan
komunitas lokal menjadi domain mutlak kerajaan. Raja di Jawa adalah penguasa
pribadi yang melakukan pengendalian dan pemilikan atas desa beserta seluruh
isinya, terutama tanah dan penduduknya secara absolut. Raja memiliki hak
penggunaan kekerasan dengan aparat-aparat kerajaan yang terlatih untuk
melakukan tindakan represi terhadap desa. Para penguasa lokal tunduk kepada
raja dan harus memberikan upeti karena semua wilayah itu adalah milik raja.
Ketika sistem desa diperkenalkan ke luar Jawa, maka jiwa dan semangat sebagai
klien terhadap patron itu pun terbawa ke sana. Campur tangan negara mulai nyata
dan merubah hampir seluruh sistem pemerintahan adat, dengan hukum-hukum adat
yang berlaku.
Kondisi
itu menjadi basis yang kuat bagi kolonialisme mengembangkan sistem kapitalis
dan mengeksploitasi tanah dan penduduk desa. Kolonialismelah yang membawa
sistem pengetahuan modern ke negara-negara jajahan, memperkenalkan dan
mempraktekannya.
Posisi
Kearifan Lokal Guna Pemecahan Masalah Masa Kini
Tidak
dapat dipungkiri, saat ini dunia mengalami permasalahan yang belum pernah
dialami sebelumnya. Setelah terjadi dua kali perang dunia yang meluluhlantahkan
segi-segi kemanusiaan, maka sistem pengetahuan modern yang menjadikan manusia
dengan kemampuan rasionya sebagai tuan atas dirinya dan dunia pun mulai
dikritik. Kritik-kritik itu datang karena ketidakmampuan rasio modern
mengeliminasi kehancuran-kehancuran yang ditimbulkan akibat kepentingan di
balik setiap penemuan-penemuan di bidang ilmu dan teknologi. Saat ini dunia
kembali berhadapan dengan situasi lain, yaitu perubahan iklim yang tidak lagi
menentu. Sekali lagi rasio modern yang menjadikan pembangunan sebagai salah
satu proses penting mendapat tantangannya. Dengan alasan pembangunan,
lingkungan tempat hidup manusia diobrak-abrik, kota-kota baru dibangun,
tambang-tambang baru dibuka, hanya untuk memenuhi nafsu konsumsi manusia.
Pada
tahap itulah, ketika manusia dengan rasio modernnya telah bingung berhadapan
dengan alam karena sudah tidak mampu lagi menguasainya, kearifan lokal
memperoleh tempatnya kembali. Keharmonisan dengan lingkunganlah yang dapat
menjamin masa depan manusia. Hal itu tentu saja telah dibuktikan lewat proses
panjang kehidupan leluhur dalam komunitas-komunitas lokal dalam mensiasati alam
lewat budaya yang arif dan bijaksana. Dalam beberapa kasus, konflik di Maluku
misalnya, ketika kemampuan pengetahuan ilmiah dalam hubungan dengan manajemen
konflik sepertinya sudah tidak mampu menemukan solusi terbaik, hanya kearifan
lokal yang menjadi titik balik semua itu.
0 comments:
Post a Comment