Keterkaitan Naskah Drama Dengan Profetik Pendidikan
Berkenaan dengan nilai-nilai profetik pendidikan, ada
anggapan yang menyatakann bahwa banyak keterkaitan antara pesan profetik naskah
drama dengan dunia pendidikan. Bagi masyarakat pencinta seni (sastra), diakui
atau tidak, sebuah drama mengandung pesan moral yang dapat diserap. Sedangkan
nilai moral merupakan bagian terpenting dari dunia pendidikan dan salah satu
terpenting pula dalam pesan profetik naskah drama.
Naskah drama merupakan karya sastra (seni), yang sebagai
salah satu media pendidikan untuk menyampaikan pesan moral. Di sini, drama
dapat berwujud naskah dan dapat pula berwujud pementasan. Dalam wujud naskah,
pihak yang terlibat adalah pengarang dan pembaca. Dalam wujud pementasan, pihak
yang terlibat cukup banyak. Sekurang-kurangnya ada pengarang naskah (jika
pementasan berdasarkan naskah), kru pementasan (yakni, antara lain, pemain,
sutradara, penata musik, dan penata artistik), dan penonton.
Selain hal itu, drama selain sebagai hiburan bagi masyarakat
penonton adalah terkandung di dalamnya nilai pendidikan yang diusung, sebab
tontonan tidak hanya sekedar tononan melainkan tuntunan bagi setiap
penggemarnya. Dan naskah drama tidak hanya sebagai bahan bacaan untuk
menghilangkan jemu dan penat, melainkan penyampaian pesan untuk menjadi sebuah
ruang refleksi bagi si pembaca. Naskah drama ataupun drama itu sendiri
merupakan seruan, ajakan, pemberi kabar, dan ruang penyadaran atau pemahaman.
Hal ini sebagaimana yang diserukan Allah Swt. dalam Al-Qur’an, “Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik” (An Nahl: 125)
Sedangkan pemahaman menurut S. Nasution memerlukan pemikiran,
oleh karena itu lebih sulit dari pada pengetahuan.[1] Pemahaman sendiri
bertingkat menurut taraf kesulitannya, pemahaman dapat dengan perkataan
sendiri, dapat pula merupakan kemampuan untuk menafsirkan suatu teori/melihat
konsekuensi/implikasi, meramalkan kemungkinan atau akibat sesuatu. Maka drama sebagai
media pendidikan, tentu tidak hanya menontonkan sesuatu sesuatu. Akan tetapi
merupakan ruang refleksi atau pemahaman setiap yang terlingkup di dalamnya.
Naskah drama atau drama sebagai salah satu media tentu
dituntut mampu merasuk pada pembaca dan penggemarnya. Sebagaimana menurut
Gagne, media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa (anak didik)
yang dapat merangsangnya untuk belajar. Sementara itu, Briggs berpendapat bahwa
media adalah alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa
untuk belajar.[2] Dan anak didik atau siswa dalam naskah drama adalah pembaca
dan penggemarnya.
Terkait dengan itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
mendorong manusia untuk terus mengembangkan apa yang menjadi kebutuhan
hidupnya. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Berbagai
peralatan digunakan guru untuk menyampaikan pesan ajaran kepada siswa melalui
penglihatan dan pendengaraannya sebaik mungkin untuk menghindari verbalisme
yang akan terjadi, karena proses belajar mengajar yang hanya menggunakan bahasa
verbal banyak menyebabkan kesalahan konsep atau pengertian yang ditafsirkan
siswa.
Proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah proses
komunikasi yaitu proses penyampaian
pesan dari sumber melalui saluran/media tertentu ke penerima pesan.
Pesan, sumber, saluran/media dan penerima pesan adalah komponen-komponen proses
komunikasi, pesan yang akan dikomunikasikan adalah isi ajaran ataupun didikan
yang ada dalam kurikulum, sumber pesannya bisa guru, siswa, orang lain ataupun
buku (naskah), salurannya media pendidikan dan penerima pesannya adalah siswa
atau juga guru, atau juga naskah drama dan drama. Di sini dapat dikatakan bahwa
drama lebih efektif dalam menyampaikan pesan, sebab di dalamnya mengandung
metode verbal dan visual sekaligus.
Pesan berupa isi ajaran dan didikan yang ada pada kurikulum
dituangkan guru atan sumber lain ke dalam simbol-simbol komunikasi baik simbol
verbal (kata-kata lisan ataupun tertulis) maupun simbol non-verbal atau visual
(seperti pementasan dan dramatisasi lainnya). Dalam proses tersebut adakalanya
penafsiraan itu berhasil dan adakalanya tidak berhasil. Penafsiran yang gagal
atau kurang berhasil berarti kegagalan atau kekurangberhasilan dalam memahami
apa-apa yang di dengar, dibaca, dilihat atau yang diamatinya.
Alat bantu visual dalam konsep pengajaran visual adalah
setiap gambar, model, benda, atau alat-alat dramatisasi yang memberikan
pengalaman visual yang nyata kepada siswa. Alat bantu visual ini bertujuan
untuk:
Memperkenalkan, membentuk, memperkaya, serta memperjelas
pengertian atau konsep yang abstrak kepada siswa.
Mengembangkan sikap-sikap yang dikehendaki.
Mendorong kegiatan siswa lebih lanjut, dan sebagainya.
Konsep pengajaran visual didasarkan atas asumsi bahwa
pengertian-pengertian yang abstrak dapat disajikan lebih konkret. Pengkonkretan
pengajaran visual sampai sekarang masih tetap berguna. Di samping itu, gerakan
pengajaran visual memperkenalkan dua macam konsep pemikiran lainnya yang masih
dipakai, yaitu: pertama, pentingnya pengelompokkan jenis-jenis alat bantu
visual yang dipakai dalam kegiatan instruksional. Kedua, perlunya
pengintegrasian bahan-bahan visual ke dalam kurikulum sehingga penggunaannya
tidak terpisahkan (integrated teaching materials).[3]
Enam fungsi pokok dari alat peraga dalam proses belajar
mengajar[4]:
Sebagai alat bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar
yang efektif.
Sebagai salah satu unsur yang harus dikembangkan oleh guru.
Sebagai bagian integral dari tujuan dan bahan pelajaran, alat
peraga harus relevan dengan keduanya.
Sebagai salah satu unsur yang dapat menarik perhatian siswa.
Sebagai salah satu unsur untuk mempercepat proses belajar
mengajar dan membantu siswa dalam menangkap pengertian yang diberikan guru.
Sebagai salah satu unsur untuk mempertahankan daya ingat
siswa, sehingga pelajaran mempunyai nilai tinggi.
Tubuh kita mempunyai jaringan komunikasi, yang menghubungkan
jaringan yang satu dengan jaringan yang lain. Jaringan komunikasi tersebut
mirip jaringan telepon. Jaringan telepon mempunyai pusat pengendali. Demikian
pula sistem komunikasi kita memiliki pusat pengendali, yaitu otak dan sumsum
tulang belakang. Otak berfungsi seperti sentral otomatis pada sistem
tele-komunikasi telepon. Sedangkan urat saraf atau tali saraf berfungsi seperti
kabel telepon. Urat saraf merupakan gabungan dari sel-sel saraf. Pesan
komunikasi yang diterima reseptor (penerima rangsangan) diubah dan dikirim
dalam bentuk impuls saraf [5].
Maka, pesan yang dikandung dalam naskah drama atau drama itu
sendiri sangat tidak bisa dipisahkan dari pesan pendidikan. Naskah drama atau
drama adalah media, dan pendidikan adalah nilai yang harus disebarkan atau
diserukan. Pesan ini adalah pesan profetik pendidikan (baca Sub Bab
sebelumnya), yang seringkali disampaikan dalam suatu drama. Yaitu nilai moral
dan akhlak, tauladan-tauladan, serta nilai ilahiyah yang terimplikasi dalam
realitas sosial. (lanjutkan……)
[1] Baca S. Nasution, Teknologi Pendidikan, (Bandung, CV.
Jemmars, 1987)
[2] Baca Arief S. Sadiman, et. all., Media Pendidikan;
Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya, (Bandung, Remaja Rosda Karya,
1990).
[3] Nana Sudjana, Teknologi Pengajaran, (Bandung, Sinar Baru,
1989)
[4] Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar,
(Bandung, PT. Sinar Baru Algensindo, 2000).
[5] Istamar Syamsuri, dkk., Sains Biologi SMP untuk Kelas
VIII, (Jakarta, Erlangga, 2004).
0 comments:
Post a Comment