Etika
Religius dalam Komunikasi
Etika
Religius dalam Komunikasi
DR.
Widodo Muktiyo[1]
Abstrak
Artikel ini membahas
berbagai persoalan etika secara umum dan upaya menarik pemahaman etika dalam
bingkai Islam. Etika sebagai bagian dari filsafat moral yang berada dalam
realitas kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai religius.
Agama itu sendiri (Islam) merupakan petunjuk bagi manusia (huda li nas) untuk
mengatur dirinya beserta alam seisinya agar terjadi interaksi yang saling
menguntungkan dalam kerangka beribadah kepada sang Khalik, maka etika dalam
bingkai religius ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang lebih
menyeluruh dengan perspektif dan orientasi yang lebih luas (dunia dan akhirat).
Peradaban modern yang
dipenuhi dengan berbagai lompatan teknologi informasi dan komunikasi tidak
serta merta menjadikan berbagai bentuk komunikasi mengalami perubahan nilai
yang seiring atau selalu bersandarkan pada orientasi etika yang berdimensi
Ilahiah. Yang kerapkali terjadi justru bahwa perkembangan peradaban manusia
yang makin maju diikuti dengan kemerosotan moral dan perilaku komunikasi yang
serba manipulatif sehingga pegangan etika sulit diterapkan.
Pemahaman etika
religius seseorang dengan ditopang keyakinan dan keimanan kepada agamanya
diharapkan dapat menjadi solusi yang mendesak dilakukan agar komunikasi sebagai
sarana penting dalam kehidupan senantiasa berjalan sesuai dengan koridor menuju
ke arah kaffah yang senantiasa diridhoi Alloh SWT.
Keyword:
etika, etika religius, komunikasi
Etika ditinjau dari
etimologi atau asal kata berasal dari bahasa Latin (ethicus) dan bahasa Yunani
(ethicos) yang berarti kebiasaan. Etika dikatakan baik apabila sesuai dengan
kebiasaan masyarakatnya. Namun dalam perkembangannya etika dipandang sebagai
ilmu yang membicarakan perbuatan atau tingkah laku manusia. Pada situasi
tertentu ia dapat dinilai baik dan juga dapat dinilai tidak baik. Namun
demikian etika berkembang menjadi ilmu normatif yang berisi ketentuan-ketentuan
(norma-norma) dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari
(Wursanto, 1987).
Sementara itu, K.
Bertens dalam bukunya Etika (1994), mengungkapkan bahwa etika merupakan niat,
apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai pertimbangan niat baik
atau sebagai akibatnya. Etika bersifat absolut, artinya tidak dapat
ditawar-tawar lagi, kalau perbuatan baik mendapat pujian dan yang salah harus
mendapat sanksi. Etika juga berdimensi nurani (bathiniah), bagaimana harus
bersikap etis dan baik yang sesungguhnya timbul dari kesadaran dirinya
(Bertens, 1994).
Pada tataran yang lebih
tinggi, etika dipandang sebagai cabang filsafat moral atau filsafat susila
(Aristoteles, 384 – 322 SM) sehingga ia melakukan penyelidikan filosofis
mengenai kewajiban-kewajiban manusia, baik dalam hal yang baik ataupun yang
buruk. Lebih jauh lagi etika bukan bicara manusianya tetapi membahas bagaimana
manusia seharusnya bertingkah laku secara benar. Hal ini senada dengan apa yang
diungkapkan oleh Franz von Magnis (nama asli sebelum berubah menjadi Franz
Magnis-Suseno saat menjadi warga negara Indonesia) dalam bukunya Etika Umum
bahwa etika adalah filsafat moral, filsafat praxis tentang manusia (von Magnis,
1975).
Hal ini senada dengan
apa yang diungkapkan oleh Rafik Issa Beekun, bahwa etika dapat didefinisikan
sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan yang baik dari yang buruk.
Etika adalah bidang ilmu yang bersifat normatif karena ia berperan menentukan apa
yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh seorang individu. Demikian
halnya diungkapkan Hamzah Ya’qub dalam Etika Islam (1978), dimana ia kembali
menegaskan bahwa etika merupakan salah satu cabang filsafat, maka pengertian
etika menurut filsafat adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana
yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat
memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal
pikiran (Ya’qub, 1978: 12; Beekun, 2004: 3). Kemudian istilah “etika” itu
sendiri sering digunakan dalam tiga perbedaan yang saling terkait, yang
berarti; merupakan pola umum atau jalan hidup, seperangkat aturan atau “kode
moral” dan penyelidikan tentang jalan hidup dan aturan-aturan perilaku. Atau
merupakan penyelidikan filosofis tentang hakekat dan dasar-dasar moral
(Abelson, 1972: 82; Taylor, 1975: 1).
Sementara itu, usaha
manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup dengan berbagai tanggung jawabnya,
mendorong dirinya untuk menggunakan kemampuan akalnya. Perbuatan manusia itu
tidak pernah terlepas dari sifat baik, buruk, harus dilakukan, harus
ditinggalkan, atau boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan, kesemuanya itu erat
kaitannya dengan masalah etika. Maka oleh karena itu, tidak mengherankan jika
hampir semua ahli pikir (filosof) pernah menulis masalah etika (Suseno, 1997:
5).
Kaitan
dengan Kelahiran Islam
Islam yang lahir pada
abad ketujuh di Arabia, tak diragukan lagi merupakan salah satu dari reformasi
agama yang paling radikal yang pernah muncul di Timur. Qur’an sebagai tulisan
autentik yang paling awal dari peristiwa besar ini, menjelaskan istilah-istilah
konkret dengan gamblang bagaimana dalam periode penting tersebut terjadi
konflik yang banyak menumpahkan darah antara norma-norma suku yang saat itu
dihormati. Pandangan baru tersebut berjalan terhuyung-huyung dan setelah usaha
pertahanan yang sia-sia dan melelahkan, akhirnya menghasilkan hegemoni kekuatan
yang baru. Arabia dari masa penyembahan berhala pra-Islam sampai permulaan
munculnya Islam, adalah masa yang sangat penting bagi siapa saja yang
berkepentingan dengan masalah-masalah pemikiran etik, karena masa itu
memberikan materi khusus yang bagus sekali untuk mempelajari lahir dan
tumbuhnya peraturan moral (Syukur, 2004: 183-184).
Tentu kita masih ingat
bahwa zaman itu dikenal dengan zaman jahiliyah yakni periode pagan sebelum
datangnya Islam, adat istiadat dan pandangan aneh yang berkaitan dengan
kepercayaan musyrik merajalela di kalangan orang Arab nomadik. Adat istiadat
dan kepercayaan tersebut ditolak oleh Islam karena bertentangan dengan wahyu.
Adat istiadat yang mampu bertahan hidup di tengah-tengah munculnya Islam
mengalami perubahan bentuk dan substansi sehingga berhasil mewujudkan
gagasan-gagasan moral yang digabungkan dengan peraturan etika yang baru
(Izutsu, 1993: 19).
Sebelum berbincang
lebih lanjut, sebagaimana diketahui etika sebagai filasafat moral nampaknya
tidak secara gampang ditarik dalam wilayah agama (religius). Universalitas
tatanan nilai ketika dihadapkan pada doktrin agama kerap kali menjadi persoalan
tersendiri. Dua hal yang relatif mengalami perbedaan tersebut tatkala
nilai-nilai kebaikan itu senantiasa diorientasikan pada nilai-nilai tentang
kesempurnaan hidup yang berdimensi dunia dan akhirat.
Kemudian dalam konteks
alam religius inilah yang menjadi perhatian tersendiri. Ia berada dalam wilayah
’tetap’ dari kitab sucinya. Sehingga kita akan diajak memaknai berbagai tatanan
nilai yang jauh lebih dalam dan sempurna sehingga nalar saja tidak akan cukup
dalam menangkap fenomena etis dalam khasanah agama. Di Islam dalam mengambil
nilai-nilai religius dikenal adanya pendekatan atau cara pandang bayani,
burhani ataupun irfani. Bayani lebih mendasarkan diri pada nash-nash yang
saling menjelaskan. Teks-teks resmi Al Qur’an dan Ash Sunnah menjadi landasan
dalam melakukan pemahaman terhadap sebuah nilai ataupun aturan yang hendak
dikonstruksi dalam alam nyata. Sementara itu cara pandang burhani lebih
menekankan pada adanya bukti-bukti yang bisa diformulasikan dalam sebuah dalil
ilmiah. Nilai-nilai Islam secara empiris dapat diuji dan dibuktikan sehingga
lebih mudah dipahami dalam kehidupan yang nyata. Sedangkan cara pandang irfani
lebih menekankan adanya unsur nurani, dimana sebuah nilai Islam dapat
dimasukkan dalam qalbu dan dicerna secara emosi dan mengedepankan pertimbangan
perasaan. Sehingga baik dan buruk dapat direfleksikan dalam tataran kehidupan
yang lebih humanis.
Ketiga sumber
penafsiran terhadap sebuah nilai religius (Islam) menjadi lahan yang senantiasa
lahir dan terus berkembang dalam pergulatan alam sadar manusia. Meskipun secara
jelas nilai Islam sudah diyakini sebagai ”kesempurnaan pedoman dalam kehidupan
bagi pemeluknya namun dalam mengimplementasikan pada ranah empiris mengalami
dinamika yang tinggi.
Etika
Religius dalam Komunikasi
Berbicara mengenai
etika dalam islam tidak dapat lepas dari ilmu akhlak sebagai salah satu cabang
ilmu pengetahuan agama Islam. Oleh karena itu, etika dalam Islam (bisa
dikatakan) identik dengan ilmu akhlak, yakni ilmu tentang keutamaan-keutamaan
dan bagaimana cara mendapatkannya agar manusia berhias dengannya dan ilmu
tentang hal-hal yang hina dan bagaimana cara menjauhinya agar manusia terbebas
daripadanya (Fakhry, 1996; Syukur, 2004: 3). Salah satu tokoh kunci dalam etika
religius adalah Abu al-Hasan al-Mawardi dengan karya besarnya, dalam bidang
etika Adab al-Dunya wa al-Din. Ia hidup di abad klasik (974-1058) satu zaman
dengan al-Ragib al-Isfahani. Buku al-Mawardi tersebut paling tidak mengandung
tiga isu pokok: moralitas duniawi, moralitas ukhrawi dan moralitas individual.
Al-Mawardi dalam karyanya berusaha menganalisis ketiga isu pokok yang
berlandskan Qur’an dan hadis dengan memberikan keistimewaan akal untuk mengikat
ketiga isu pokok tersebut. Misalnya mengenai permasalahan “Truth and
Falsehood”, al-Mawardi berusaha mengekspresikan idenya bahwa akal selalu
menuntut kejujuran. Menjelang abad klasik al-Mawardi telah merintis untuk
mendemonstrasikan sifat yang sebenarnya tentang pentingnya akal. Dimana ia
telah memperbincangkan tentang kesadaran akal praktis (reasoned on practical
considerations) (Donaldson, 1953: 85; Syukur, 2004: 8-9). Etika religius
sendiri masuk dalam salah satu ranah dari tipologi etika Islam. Selain etika
religius, yakni ada etika teologis, moralitas skriptural dan etika filosofis
(Fakhry, 1996). Perbedaan mencolok yang dimiliki oleh etika religius terutama
berakar dalam Qur’an dan Sunnah, dimana di satu sisi cenderung melepaskan
kepelikan “dialetika” atau “metodologi” dan memusatkan pada usaha untuk
mengeluarkan spirit moralitas Islam dengan cara yang lebih langsung (Syukur,
2004: 196).
Spirit yang diusung
oleh etika religius ini menjadi sangat penting bagi ranah komunikasi.
Sebagaimana kita ketahui, komunikasi merupakan kegiatan yang sangat mendasar
dan vital sehingga tidak dapat dipisahkan bagi kehidupan manusia. Sejak bangun
tidur sampai tidur lagi secara kodrati senantiasa terlibat dalam komunikasi.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa komunikasi berhubungan dengan seluruh
kehidupan manusia, dan setiap studi terhadap aktivitas manusia harus
menyentuhnya (Wright, 1989; Effendy, 2000: 3, Chalil, 2005: v; Littlejohn dan
Foss, 2005: 2).
Komunikasi mempunyai
peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dimanapun manusia berada,
komunikasi senantiasa dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk
sosial yang selalu hidup berkelompok dan berhubungan dengan manusia lainnya.
Setiap pesan yang berwujud lambang-lambang diformulasikan manusia agar maksud
dan tujuan yang ingin dicapai dan disampaikan dapat dimengerti oleh sesamanya.
Komunikasi menumbuhkan persahabatan, saling pengertian sekaligus bisa
menyebarkan perpecahan dan menghambat informasi (Wright, 1989).
Apalagi komunikasi
memegang peranan penting dalam ranah kehidupan sehari-hari, dimana fungsi yang
melekat padanya begitu penting yakni menginformasikan (to inform), mendidik (to
educate), menghibur (to entertain) dan mempengaruhi (to influence). Apabila
ditilik dari ranah Islam, jika kita mau melongok sejarah Islam, ternyata 14
abad silam, baginda Rasullulah SAW sudah memberikan contoh yang sangat nyata
tentang pentingnya komunikasi dalam mendakwahkan Islam. Rasullulah pernah
bersabda, “Berbicaralah kepada mereka sesuai kadar akalnya” (Effendy, 1993: 55;
Chalil, 2005: 5). Sehingga dapat dipastikan jika komunikasi tidak didasarkan
atas prinsip-prinsip luhur etika religius tentu akan menimbukan suatu implikasi
yang buruk akhirnya.
Sebagaimana diterangkan
dalam Qur’an bahwa manusia menurut kejadian asalnya (fitrah-nya) adalah makhluk
mulia, tetapi karena berbagai hal yang muncul akibat kelemahannya sendiri, maka
manusia akan menjadi makhluk yang paling hina. Bersama itu pula ia kehilangan
fitrah dan kebahagiaannya. Manusia akan selamat itu, jika ia mempunyai
“semangat ketuhanan” (rabbaniyyah atau ribbiyyah) dan berbuat baik kepada
sesamanya (Madjid, 1992: 104).
Oleh karena itu,
komunikasi harus ditempatkan pada koridor yang benar apabila manusia tidak
ingin kehilangan fitrahnya. Nurcholish Madjid pernah menegaskan bahwa dalam
kenyataan historis, perjuangan memperoleh dan mempertahankan harkat dan
martabat kemanusiaan merupakan ciri dominan deretan pengalaman hidup manusia
sebagai makhluk sosial. Sebab dalam kenyataan, manusia lebih banyak mengalami
kehilangan fitrah dan kebahagiaan daripada sebaliknya, karena mereka
meninggalkan sesuatu yang sangat urgen yakni unsur emansipasi. Melalui perilaku
yang emansipatoris, berarti menghargai keberadaan orang lain, karena orang lain
memiliki kelebihan dari dirinya sendiri (Madjid, 1992: 93).
Hal ini senada dengan
konsep etika filosofis yang telah dikembangkan sarjana Barat mazhab Frankfurt
Jurgen Habermas dengan “Etika Komunikatif”, yang menekankan unsur emansipatoris
dengan pendekatan strukturalis melalui cara yang bersifat dialogis. Habermas,
dengan pendekatan itu, ingin mempertahankan karakter kognitif norma-norma moral
dengan pijakan yang dibangun oleh Kant, dengan demikian ia disebut neo-Kantian
(Clement, 1989: 159).
Pada sisi lain,
pendekatan itu berarti Habermas ingin mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan
kehidupan modern tidak sekedar menilai baik dan dikehendaki lepas dari
pertanggungjawaban normatif, akan tetapi diperlukan struktur-struktur rasional
kehidupan bermasyarakat dimana perlu ditemukan syarat-syarat transendental
sebagaimana dikehendaki Kant. Pemahaman seperti inilah kiranya dapat menepis
anggapan bagi kebanyakan masyarakat Muslim, bahwa wacana transendental bukan
saja hal-hal yang berhubungan dengan ketuhanan belaka, akan tetapi di dalam
berbagai dinamika yang terjadi di dalam struktur masyarakat sarat dengan nuansa
transendentalis.
Hal ini sejalan dengan
salah satu prinsip etika komunikasi dalam piagam Madinah yakni prinsip ummah.
Dimana merujuk pada pola komunikasi yang saling menghargai dan menghormati
(Mahfud, 2008: 10). Ditambah domain komunikasi Islam yakni dakwah, tabligh,
amar ma’ruf nahi munkar, akhlak/adab Tujuannya adalah perubahan sikap,
pendapat, perilaku sosial guna terbentuknya khairu ummah (Taufik, 2007).
Dalam realitasnya
memang perspektif sosial ini erat kaitannya dengan agama. Keterkaitan yang
dinamis antara agama dan sosial, menurut Meredith B. McGuire, seorang sosiolog,
paling tidak ada dua alasan. Pertama, agama sangat penting bagi manusia.
Praktek-praktek keagamaan merupakan bagian penting bagi kehidupan individual.
Nilai-nilai keagamaan ternyata mempengaruhi tindakan manusia, dan makna
keagamaan dapat membantu dalam menginterpretasikan berbagai pengalaman mereka.
Kedua, agama merupakan objek paling penting dalam kajian sosiologis karena
pengaruhnya terhadap perkembangan masyarakat, di samping adanya unsur yang kuat
pengaruh dinamika masyarakat tersebut terhadap agama (McGuire, 2002: 1). Apa
yang diungkapkan McGuire ini menguatkan bahwa sejatinya, agama tidak boleh
dipisahkan dari konteks sosial yang melingkupinya atau dijauhkan dari
perkembangan ilmu pengetahuan.
Dalam perkembangan
lanjut, nilai-nilai etika religius ini dekat dengan komunikasi profetik karena
nilai-nilai di dalam Qur’an dan Sunnah diderivasi melalui semangat kenabian
sehingga dapat dikatakan memiliki irisan yang sama. Selain itu, karena
komunikasi profetik bukan hanya persoalan dakwah, melainkan persoalan
kemanusiaan secara luas. Dimana didalamnya terkandung komunikasi yang
berorientasi pada humanisasi, liberasi dan transendensi. Tujuan humanisasi
adalah memanusiakan manusia setelah mengalami dehumanisasi. Manusia dilihat
secara parsial, sehingga hakikat kemanusiaan itu sendiri hilang. Sementara
tujuan liberasi adalah membebaskan manusia dari struktur sosial yang tidak adil
dan tidak memihak rakyat lemah. Sedangkan transendental bertujuan membersihkan
diri dengan mengingatkan kembali dimensi transendental yang telah menjadi
bagian dari fitrah kemanusiaan. Upaya humanisasi dan liberasi harus dilakukan
sebagai manifestasi keimanan kepada Tuhan karena Tuhan memerintahkan manusia
menata kehidupan sosial secara adil (Kuntowijoyo, 1991).
Sebagaimana diungkapkan
Haryatmoko (2007: 44), bahwa etika komunikasi memiliki tiga dimensi yang
terkait satu dengan yang lain, yaitu tujuan, sarana dan aksi komunikasi itu
sendiri maka dapat dikatakan bahwa komunikasi profetik yang merupakan derivasi
dari etika religius sudah memuat berbagai elemen tadi.
Dimana komunikasi
profetik menginginkan praktik prinsip yang membebaskan manusia dari segala
bentuk tekanan negara, pasar (iklan) dan apa pun yang dapat merendahkan
martabat kemanusiaan, apalagi yang jauh dari nilai transenden. Hal ini bukan
berarti komunikasi profetik anti dan berada dalam posisi bertentangan dengan
negara, pasar, dan berbagai produk industri lainnya. Iklan, negara, dan pasar
dapat saja menyajikan pesan melalui media dengan cara menampilkan pesan yang
lebih memanusiakan manusia, memberikan pembebasan psikologis dan bila perlu
memberikan pesan dengan muatan transenden. Dengan demikian, komunikasi profetik
bukan menjadi ancaman bagi pelaku media, pasar, atau pun negara (Syahputra,
2007: 154).
Selama ini ada
kecenderungan bahwa media telah berfungsi sebagai penyebar kabar bohong atau
tepatnya distorsi makna budaya oleh kepentingan politik kepada publik. Karena
itu, misi komunikasi profetik adalah membebaskan manusia sejauh mungkin dari
praktik komunikasi yang menimbulkan syak wasangka, kebohongan publik,
penyebaran fitnah, kebohongan dan dusta. Komunikasi profetik tidak menoleransi
segala perilaku yang dinilai mempraktikkan kebohongan (Syahputra, 2007: 153).
Karena memang tidak jarang harkat dan martabat kemanusiaan yang seharusnya
menjadi kekuatan otonom yang mengisi public sphere, dirampas oleh pasar atau
negara melalui kerja media.
Renungan Bagi umat
Islam, etika yang dijadikan dasar adalah nilai-nilai moral yang terdapat dalam
kitab suci Qur’an dan Sunnah Rasul. Sebenarnya kalau kita mau jujur, Qur’an
sebagai wahyu Allah telah memberikan prinsip-prinsip dasar yang melandasi etika
komunikasi, termasuk komunikasi massa. Dalam konteks komunikasi, maka etika
yang berlaku harus sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Berkomunikasi yang
baik menurut norma agama, sudah tentu harus sesuai pula dengan norma agama yang
dianut oleh masing-masing individu.
Pada dasarnya semua
agama memiliki tujuan yang sama bila berbicara tentang etika. Karena tentu saja
tidak ada satu agama pun yang mentolerir, baik itu perlakuan kasar, kata-kata
kotor, tindakan yang asusila atau perbuatan apa saja yang membuat orang lain
tidak nyaman. Pendek kata agama mengajarkan bagaimana manusia itu dapat meraih
kehidupan yang tenang, tentram, dan damai dengan sesamanya. Sehingga jika
dilihat dalam konteks komunikasi massa, maka berbohong merupakan sifat tercela,
karena sangat berbahaya. Kebohongan dalam komunikasi massa akan menyesatkan
masyarakat disebabkan telah menyerap informasi yang salah. Tentu komunikasi
seperti ini menyalahi etika komunikasi dan ajaran Islam (Widowati, 2008).
Kemudian dalam berbagai
kesempatan kita entah disadari atau tidak kerap mengagungkan komunikasi ala
Barat dan malas untuk menggali dari Islam dimana sebenarnya Islam merupakan
sumber rujukan yang komprehensif dalam berbagai aspek kehidupan termasuk
komunikasi.
Ini menjadi penting
karena harus kita ketahui bahwa komunikasi ala Barat dibangun dengan kerangka
empirikal, mengabaikan aspek normatif dan historikal yang menghasilkan
premature universalism dan naive empirism. Sementara komunikasi Islam dibangun
melalui Islamic world-view, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan
kaedah komunikasi dalam Qur’an dan Hadist. Dengan demikian akan lahir Islamic
Triangular Relationship, yakni hubungan segitiga antara “Allah, manusia dan
masyarakat”. Tujuannya adalah untuk mewujudkan persamaan makna secara
universal, menuju perubahan masyarakat muslim, demi kebahagiaan hidup dunia dan
akhirat (Rafiq, 2003: 149).
Kedepan tantangan
komunikasi Islam para era ini adalah mewujudkan komunikasi yang berbasis moral
dan etika untuk kesejahteraan umat manusia, dan bukan hanya menjadi sebagai komoditi
kekuasaan an sich. Kita ambil contoh, sebagaimana diungkapkan oleh Ari Hidayat,
dimana ia mengatakan bahwa salah satu persoalan besar umat Islam di era
informasi ini adalah kurang memadainya media massa untuk menegakkan dan
memperjuangkan nilai-nilai Islam. Suatu media massa yang membela kepentingan
agama dan kaum Muslim kurang dimiliki oleh umat Islam. Akibatnya, tidak hanya
aspirasi umat yang kurang tersalurkan, tapi umat Islam pun lebih sering menjadi
“permainan” konsumen media lain. Walhasil, akses dan kekuatan informasi dunia
Islam dalam pembentukan opini publik dunia sangat kecil kontribusinya (Hidayat,
2010).
Sebagai penutup, Awadh
Bin Muhammad Al-Qarni pernah mengungkapkan bahwa orang yang berakal—dengan akal
yang dianugerahkan Allah kepadanya dan dengan fitrah dititipkan kepadanya—ia
mengetahui bahwa alam raya yang dibangun dengan sangat teratur dan manusia yang
diciptakan dengan bentuk paling sempurna ini pasti dibaliknya terkandung tujuan
yang agung dan tinggi. Dimana tujuan besar, agung dan paling tinggi yang harus
dicari oleh manusia dalam hidupnya adalah berusaha mencari ridha Allah, Tuhan
yang menguasai alam semesta, dengan cara-cara yang ditentukan oleh-Nya
(Al-Qarni, 2004: 26-27). Demikian pula halnya tatkala kita berkomunikasi. Sehingga
tidak dapat dipungkiri bahwa etika religius dalam komunikasi, dengan demikian
bertugas merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar ia berhasil sebagai
manusia benar-benar mampu mengemban tugas khalifah fi al-ardi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abelson, Rizal. 1972.
”History of Ethics”, dalam Paul Edwards, The Encyclopedia of
Philosophy. New York:
The Macmillan Company & The Free Press.
Al-Qarni, Awadh Bin
Muhammad. 2004. Kembangkan Potensi Diri Anda
Sepenuhnya. Yogyakarta:
Mitra Pustaka.
Beekun, Rafik Issa.
2004. Etika Bisnis Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bertens, K. 1994.
Etika. Jakarta: Gramedia.
Chalil, Komarudin. 15
Kiat Menjadi Pembicara yang Menggugah dan Mengubah. Bandung: MQS Publishing.
Clement, Gace. 1989.
“Is The Moral Point of View Monological or Dialogical? The Kantian Backgroud of
Habermas”, dalam David Pallauer (ed), Philosophy Today. Chicago: De Paul
University Press.
Donaldson, Dwight M.
1953. Studies in Muslim Ethics. London: S.P.C.K.
Effendy, Onong Uchjana.
1993. Ilmu, Teori & Filsafat Komunikasi. Bandung. Citra
Aditya Bakti.
——————————. 2000.
Dinamika Komunikasi. Cet. ke-4. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Fakhry, Majid. 1996.
Etika dalam Islam. Terj. Zakiyuddin Baidhawy.
Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Haryatmoko. 2007. Etika
Komunikasi. Yogyakarta: Kanisius.
Hidayat, Ari.
“Jurnalisme Islami”, Republika, 19 Juli 2010.
Izutsu, Toshihiko.
1993. Konsep-konsep Etika Religius Dalam Qur’an. Terj. Agus
Fahri Husein dkk.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo. 1991.
Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Madjid, Nurcholish.
1992. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
Masalah Keimanan,
Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina.
Mahfud, Mokhamad. 2008.
”Komunikasi Lintas Agama (Perspektif Filsafat Ilmu
Etika Profetik)”.
Jurnal Komunikasi Profetik. Vol.1/No.1/April/2008.
Program Studi Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN
Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
McGuire, Meredith B.
2002. Religion: The Social Context. Fifth edition. California:
Wadsworth Publishing
Company.
Rafiq, Mohd. 2003.
”Tantangan dan Peluang Komunikasi Islam Pada Era Globalisasi
Informasi”. Analytica
Islamica, Vol. 5, No. 2. hal. 149-168. Program Studi
Komunikasi Islam. IAIN
Sumatera Utara.
Suseno, Franz Magnis.
1997. Tiga Belas Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai
Abad ke-13. Yogyakarta:
Kanisius.
Syahputra, Iswandi.
2007. Komunikasi Profetik: Konsep dan Pendekatan. Bandung:
Simbiosa Rekatama
Media.
Syukur, Suparman. 2004.
Etika Religius. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Taufik, M. Tata. 2007.
”Konsep Islam Tentang Komunikasi: Kritik Terhadap Teori
Komunikasi Barat”.
Disertasi. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Taylor, Paul W. 1975.
Principles of Ethics: An Introduction. California: Wads Worth
Publishing Company.
Ya’qub, Hamzah. 1978.
Etika Islam. Jakarta: Publicita.
von Magnis, Franz.
1975. Etika Umum. Yogyakarta: Kanisius.
Widowati, Dewi. 2008.
”Etika Komunikasi Massa” dalam
”http://dossuwanda.wordpress.com/2008/03/29/etika-komunikasi-massa/”diakses
16 Juni 2010.
Wursanto. 1987. Etika
Komunikasi Kantor. Jakarta: Kanisius.
[1] Penulis adalah
Pengajar Magister Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS
SOLO)
1 comments:
Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.
Post a Comment