Televisi
dan Politisi Perempuan
Televisi
dan Politisi Perempuan:
Studi
Tentang Representasi, Penilaian Perempuan dan Gagasan Keterwakilan Perempuan di
Parlemen pada Pemilu Legislatif 2009
Dalam
Televisi
DR.
Widodo Muktiyo[1]
Keyword: television, representation,
women politician, legislative election 2009.
Televisi merupakan
salah satu media massa yang memiliki dan peranan begitu besar dalam konteks
pemilu legislatif 2009 di Indonesia. Bahkan Burton (2007: 7) mengungkapkan
bahwa televisi mampu membentuk cara pikir kita tentang dunia. Sebagai salah
satu bentuk media massa televisi, apa yang ditampilkan televisi tentu
mempertimbangkan apa yang disebut news value. Seperti unsur kedekatan
(closeness), relevansi (relevance), keanehan atau negativitas (negativity), dan
signifikasi kejadian (significance) dari peristiwa yang diberitakan, misalnya,
biasanya menjadi dasar pertimbangan pemberitaan (McQuail, 1997: 270-271).
Sebagaimana yang jamak
diketahui, persoalan keterwakilan perempuan di parlemen (di DPR RI, DPD, DPRD
I, dan DPRD II) merupakan persoalan yang oleh banyak kalangan dinilai sebagai
persoalan yang semakin serius. Diskusi publik mengenai hal ini nampaknya juga
semakin banyak terjadi baik di berbagai forum masyarakat luas maupun di media
massa termasuk televisi. Hal demikian nampaknya lebih disebabkan karena
sebegitu jauh upaya menempatkan 30% calon legislatif perempuan di kursi
parlemen belum membuahkan hasil. Berbagai kendala nampaknya muncul secara nyata
seperti misalnya kultur masyarakat yang setidaknya sampai tingkat tertentu
masih belum benar-benar mendukung gagasan pentingnya perempuan menekuni dunia
politik dan kemudian juga rendahnya minat kalangan perempuan sendiri untuk
menjadi politisi. Kecenderungan demikian nampaknya berlanjut hingga periode
pemilihan umum legislatif 2009.
Sementara itu
persoalan-persoalan lain seperti bagaimana memberitakan suatu peristiwa dan
substansi persoalan apa yang ditonjolkan dalam pemberitaan terkait dengan
peristiwa-peristiwa yang diberitakan juga merupakan persoalan penting dalam
pemberitaan. Persoalan ini lebih dikenal sebagai persoalan angle pemberitaan
atau yang juga sering disebut dengan frame pemberitaan yang notabene adalah
konstruksi media atas realitas (Entman, 1993; Scheufele, 1999). Konstruksi media
atas realitas, sudah tentu juga termasuk realitas tentang politisi perempuan,
dapat tampil dalam wujud pemberian penekanan terhadap aspek-aspek tertentu dari
peristiwa atau persoalan dalam pemberitaan, dan juga dalam kemasan berbagai
acara talkshow, dan iklan.
Pada periode pemilihan
umum legislatif 2009 politisi perempuan di Indonesia (para calon anggota
legislatif, para pimpinan dan fungsionaris partai politik) memang ditampilkan
di media massa namun nampaknya upaya penampilan ini bisa dikatakan relatif
masih kurang memperoleh penekanan dalam pemberitaan media massa, terutama
televisi. Berbagai pemberitaan dan berbagai tayangan acara talkshow televisi,
misalnya, seringkali memang memunculkan sosok politisi perempuan terutama pada
periode kampanye. Tetapi pada kenyataannya baik dalam pemberitaan maupun
talkshow televisi sosok-sosok politisi dari kaum laki-laki lebih sering atau
lebih banyak ditampilkan. Hal demikian sudah tentu mengundang pertanyaan
tentang bagaimana dan mengapa demikian.
Sementara itu sebagian
publik, termasuk publik di Kota Surakarta, mencermati bagaimana
kecenderungan-kecenderungan televisi dalam menampilkan atau merepresentasikan
politisi perempuan, kaum perempuan yang menekuni dunia politik, dengan menjadi
calon legislatif, anggota legislatif incumbent, atau fungsionaris partai
politik.
Dari sini lalu dapat
muncul pandangan-pandangan atau penilaian-penilaian tertentu mengenai perihal
tersebut dan juga perihal peran televisi dalam mempromosikan gagasan
keterwakilan perempuan di parlemen. Dapat dimengerti dengan jelas bahwa
sebagian publik di Surakarta termaksud adalah juga kalangan perempuan. Kalangan
perempuan di Surakarta sebagai bagian dari warga publik juga menonton televisi,
mencermati pemberitaan serta tayangan acara talkshow selama periode kampanye,
dengan intentitas yang beragam. Kalangan publik perempuan ini akhirnya juga
memiliki pandangan atau penilaian-penilaian yang beragam pula baik mengenai
kehadiran kaum perempuan di parlemen maupun penilaian mengenai peran media massa
khususnya televisi dalam mendukung gagasan keterwakilan perempuan di lembaga
perwakilan rakyat atau parlemen terutama DPR RI, DPD, DPRD I, dan DPRD II.
Mengacu pada konteks
penelitian ini beberapa konsep penting dalam studi media terutama mengenai representasi
antara lain stereotipe (anggapan, pandangan, atau kesan (citra) yang kuat yang
tumbuh dalam masyarakat yang biasanya bersifat negatif mengenai
kelompok/kalangan masyarakat tertentu di dalam masyarakat) dan anihilation
(kecenderungan langka atau diabaikannya obyek atau realitas-realitas tertentu
oleh media massa sehingga obyek atau realitas bersangkutan (misalnya kelompok
masyarakat tertentu) sangat jarang dijumpai atau mungkin bahkan tidak ada
(tidak dapat dijumpai) dalam/melalui media massa) (Lihat, Tuchman, 1987;
Perkins (1979) dalam Jones and Jones, 1999:105).
Branston and Staffors
(1996), misalnya, sebagaimana dikutip oleh Jones and Jones (1999:104)
mengungkapkan bahwa proses representasi melibatkan aspek-aspek merupakan
persoalan politik media dalam mengkonstruksi realitas yang karenanya lebih
sering bersifat ideologis. Bahkan beberapa penelitian seperti yang dilakukan
oleh Richardson (2001), Alvarado et. al (1987), dan Meehan (1983)
memperlihatkan kecenderungan ini (Jones dan Jones, 1999).
Menilik hal-hal
tersebut, penelitian ini memberi gambaran mengenai bagaimana kecenderungan
representasi politisi perempuan di televisi serta penilaian/pandangan khalayak
(mengenai kehadiran perempuan dalam dunia politik, peran media massa khususnya
televisi dalam mendorong/mempromosikan gagasan keterwakilan perempuan di
parlemen), dan korelasi antara variabel sosio-demografis (khususnya umur dan
tingkat pendidikan) dengan penilaian mengenai kehadiran kaum perempuan dalam
dunia politik.
METODOLOGI
PENELITIAN
Penelitian ini bersifat
deskriptif (menggambarkan gejala) dengan metode analisis media (media analysis)
dan survei. Peneliti melakukan lacakan terhadap representasi politisi perempuan
di televisi dan penilaian/pandangan khalayak (mengenai kehadiran perempuan
dalam dunia politik, peran media massa khususnya televisi dalam
mendorong/mempromosikan gagasan keterwakilan perempuan di parlemen), dan
korelasi antara variabel sosio-demografis (khususnya umur dan tingkat
pendidikan) dengan penilaian mengenai kehadiran kaum perempuan dalam dunia
politik.
Penelitian melalui
metode analisis media dilakukan dengan mencermati berbagai pemberitaan serta
tayangan acara talkshow televisi di Indonesia. Kemudian membuat catatan-catatan
dan analisis baik mengenai isi atau kandungan pesan maupun cara pesan
disampaikan (Pawito, 2007). Dalam hubungan ini pengamatan dilakukan terutama
pada periode kampanye terbuka pemilihan legislatif 2009 yang berlangsung 6
Maret hingga 5 April 2009.
Sementara metode survei
dilakukan terhadap 80 orang responden yang dipilih secara insidental di
Surakarta terutama di Kelurahan Gajahan Kecamatan Pasar Kliwon. Jumlah ini
diambil setidaknya untuk mengkaji sebagian populasi sebagai sampel yang
setidaknya sampai tingkat tertentu mewakili populasi (Watt and van den Berg,
1995: 352; Babbie, 1979: 316).
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis
media serta bertolak dari data yang ada maka dapat dikatakan bahwa terdapat
kecenderungan umum representasi politisi perempuan di televisi yang menunjukkan
bahwa pemberitaan televisi tidak/kurang ekstensif memunculkan politisi
perempuan pada pemilihan umum legislatif 2009.
Kecenderungan anihilasi
demikian dapat dilihat misalnya melalui kenyataan bahwa berita-berita televisi
berkenaan dengan pemilihan umum legisaltif 2009 sangat didominasi oleh politisi
laki-laki dan jarang dimunculkan politisi perempuan. Hal demikian nampaknya
disebabkan antara lain oleh karena memang jumlah politisi perempuan jauh lebih
kecil jumlahnya dibandingkan dengan jumlah politisi laki-laki, dan
kegiatan-kegiatan politisi perempuan yang dapat dimunculkan di televisi karena
itu juga jauh lebih kecil jumlahnya.
Bertolak dari kenyataan
ini maka dapat dikatakan bahwa dalam konteks kehidupan politik, khususnya
berkaitan dengan pemilihan umum legislatif 2009 di Indonesia, temuan Tuchman
(1978) mengenai kecenderungan sangat senjang antara kemunculan kaum laki-laki
dengan kaum perempuan dalam televisi, khususnya dalam konteks penelitian ini
adalah kemunculan politisi laki-laki dengan politisi perempuan dalam
pemberitaan televisi, nampaknya memperoleh pembenaran.
Namun demikian hal ini
tidak berarti bahwa televisi tidak pernah menayangkan pemberitaan yang memiliki
unsur politisi perempuan. Calon legislatif perempuan dari kalangan selebritis
kedapatan muncul, misalnya walau tidak terlalu sering, dalam pemberitaan
televisi. Kemunculan secara sekilas (sekitar 30 detik) di layar televisi
terutama saat kampanye disertai narasi dari pembawa berita, seolah memang
menandai ketidaksempurnaan anihilasi kemunculan politisi perempuan di televisi.
Kemunculan Meutia Farida Hatta Swasono (Ketua Umum Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia/PKPI) di pemberitaan berbagai televisi misalnya, juga
kemunculan Rieke Dyah Pitaloka (calon legislatif untuk DPR RI dari PDIP), Nurul
Arifin (calon legisltif untuk DPR RI dari partai Golkar), dan Yasmin Muntaz
(calon legislatif untuk DPR RI dari Partai Amanat Nasional/PAN) dapat
dikemukakan sebagai contoh. Hal menarik yang nampaknya menjadi pengecualian
adalah kerapnya Megawati Soekarno Putri sekaligus Puan Maharani diamplifikasi
oleh televisi.
Kemudian kecenderungan
yang sama yakni kemunculan politisi perempuan di televisi di berbagai acara
talkshow lebih mengamplifikasi figur-figur selebritis yang dikenal luas di kalangan
masyarakat (sosok populer di masyarakat). Sebagai contoh, dapat dilihat pada
Global TV edisi Jum’at 27 Maret 2009 jam 20.00, pada acara talkshow yang diberi
label Panggung Demokrasi menampilkan kandidat dari kalangan selebritis yang di
dalamnya ada calon legislatif DPR RI perempuan yakni Raslina Rasiddin (calon
legislatif dari Partai Amanat Nasional /PAN) dan Oky Asokawati (calon
legislatif dari Partai Persatuan Pembangunan / PPP). Di samping mereka berdua
hadir juga pada acara ini Tengku Firmansyah (laki-laki, calon legislatif Partai
Kebangkitan Bangsa / PKB).
Atau contoh, tayangan
talkshow televisi yang menarik untuk dianalisis selanjutnya adalah acara
talkshow yang disiarkan oleh TVRI Selasa 24 Maret 2009 primetime. Acara ini
bersifat langsung (live) dan interaktif – audience di studio maupun pemirsa di
rumah dapat mengajukan pertanyaan atau komentar. Acara yang diberi nama Pro
Parpol (Profil Partai Politik) pada edisi ini mengupas topik Perempuan Dalam
Politik. Selingan musik khas PPP disisipkan untuk variasi acara dan mengurangi
kebosanan. Kandidat yang dihadirkan pada acara ini kesemuanya adalah kandidat
perempuan untuk DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yakni Dr. Reni
Marlinawati Caleg PPP No. 1 Dapil jabar IV, Dr. Nurkholisoh Wk Sekjen DPP PPP,
dan Hj. Ratih Sanggarwati, SE Caleg PPP No. 1 Dapil Jatim I.
Namun kiranya dapat
dikatakan bahwa penayangan acara ini dimaksudkan untuk meningkatkan citra PPP
yang memberikan kepercayaan dan peran bagi kaum perempuan padahal PPP dikenal
luas sebagai partai politik yang berbasis massa Islam.
Dalam konteks analisis
media dapat dikatakan bahwa perempuan direpresentasikan sebagai sosok-sosok
politisi yang dengan penuh rasa percaya diri ingin berjuang untuk kemajuan bagi
bangsanya dan juga sekaligus berjuang untuk kesamaan hak dengan kaum laki-laki
di pentas politik walaupun masih memiliki kecenderungan-kecenderuan seperti
lebih mengamplifikasi politisi perempuan dari kalangan artis/selebritis.
Selanjutnya temuan
melalui hasil riset survei dapat digambarkan dilihat dari sisi (1) penilaian
mengenai kehadiran kaum perempuan dalam dunia politik, sebagian besar responden
(60%) memiliki pandangan/penilaian bahwa kehadiran perempuan di lembaga
perwakilan rakyat atau lembaga parlemen (menjadi anggota DPR RI, DPD, DPRD I,
dan DPR D II) adalah suatu keharusan/keniscayaan apabila dilihat dari
kepentingan pembangunan bangsa secara umum/luas. Hal ini memdapat penguatan
mayoritas (87,5%) dimana responden menyatakan bahwa menjadi politisi perempuan
dengan duduk di kursi lembaga perwakilan rakyat tidak menyalahi kodrat
perempuan.
(2) peran televisi
dalam mengamplifikasi gagasan keterwakilan perempuan, bahwa responden secara
relatif (dengan selisih angka tipis) memiliki pandangan bahwa televisi telah
berperan secara signifikan dalam mendukung gagasan atau mempromosikan gagasan
keterwakilan perempuan di parlemen. Hal demikian dapat dilihat dengan kenyataan
angka bahwa terdapat 30 dari 80 orang responden (37,5%) yang memiliki pandangan
demikian dibanding dengan 28 orang (30%) responden yang merasa ragu-ragu, dan
22 orang selebihnya (27,5%) memiliki penilaian sebaliknya (televisi tidak/belum
secara signifikan mendukung atau mempromosikan gagasan keterwakilan perempuan
di parlemen. Kemudian sebagaimana temuan analisis media, kebanyakan responden
dalam riset survei (40%) meragukan bahwa televisi merepresentasikan politisi
perempuan secara memadai.
(3) Korelasi variabel
sosio-demografis dengan penilaian mengenai kehadiran kaum perempuan dalam dunia
politik (dimana dilihat dari sisi umur dan pendidikan). Responden yang berusia
relatif muda (17-40 tahun) cenderung memiliki penilaian bahwa kehadiran
perempuan di lembaga perwakilan rakyat sebenarnya merupakan suatu keharusan
apabila dilihat dari kepentingan pembangunan bangsa secara umum. Terdapat 30
orang (dari 52 orang; 57,7%) yang memiliki penilaian demikian. Namun demikian
kebanyakan responden yang berusia relatif tua (41 tahun atau lebih lebih) juga
cenderung memiliki penilaian yang sama. Hal ini nampak pada kenyataan bahwa 18
dari 28 orang (64,3%) memiliki penilaian demikian. Hal yang sama juga ditemukan
jika ditilik mengenai jaminan aspirasi hak-hak perempuan, kebanyakan responden
berusia relatif muda (22 dari 52 orang (42,3%, n= 52) cenderung berpandangan
positif mengenai kehadiran kaum perempuan di lembaga perwakilan rakyat dapat
lebih menjamin dipenuhinya aspirasi dan hak-hak kaum perempuan. Begitupun
kecenderungan yang sama juga terdapat pada responden yang berusia relatif tua.
Terdapat 16 dari 28 orang (57,1%) responden berusia relatif tua memiliki
penilaian seperti itu. Sehingga dapat dikatakan variable umur relatif tidak
berkorelasi dengan penilaian. Apalagi baik responden laki-laki maupun perempuan
sama-sama cenderung memiliki penilaian bahwa kehadiran kaum perempuan di
lembaga perwakilan rakyat merupakan suatu keharusan dan penting bagi jaminan
keterwakilan aspirasi hal-hak perempuan di parlemen.
Namun akan terlihat
suatu temuan menarik bila dilihat dari korelasi penilaian dengan pendidikan
dimana kebanyakan responden yang berpendidikan rendah (9 dari 13 orang, 69,2%)
memiliki penilaian bahwa kehadiran kaum perempuan di parlemen (lembaga
perwakilan rakyat) merupakan suatu keharusan dilihat dari kepentingan
pembangunan bangsa. Kemudian kecenderungan yang sama juga terjadi pada
responden yang berpendidikan menengah. Terdapat 29 dari 47 orang (61,7%)
responden yang berpendidikan menengah memiliki pandangan seperti itu.
Selanjutnya responden yang berpendidikan tinggi (jenjang Diploma atau Sarjana)
terbagi ke dalam dua kelompok penilaian yang sama besar jumlahnya yakni
masing-masing 10 orang (50%, n=20) untuk responden yang memiliki penilaian
tidak harus dan harus.
Begitu pula
kecendrungan penurunan pada penilaian mengenai jaminan jaminan keterwakilan
aspirasi hal-hak perempuan di parlemen dilihat dari korelasi pendidikan. Dimana
kebanyakan responden berpendidikan rendah (8 dari 13 orang, 61,5%) memiliki
penilaian bahwa kehadiran kaum perempuan di lembaga perwakilan rakyat dapat
lebih menjamin dipenuhinya aspirasi dan hak-hak kaum perempuan. Kemudian juga
kebanyakan responden berpendidikan menengah (22 dari 47 orang, 46,8%) juga
cenderung memiliki pandangan yang sama. Selanjutnya pada responden
berpendidikan tinggi terdapat 8 dari 20 orang (40%) yang memiliki penilaian serupa.
Kecenderungan penurunan persentase dari 61,5% kemudian menurun menjadi 46,8%
dan akhirnya menurun lagi menjadi 40% pada penilaian tidak/belum tentu dari
responden berpendidikan rendah kemudian bergerak ke tingkat pendidikan yang
lebih tinggi.
Apabila dicermati
kecedenderungan penurunan yang konsisten dalam persentase dari pendidikan
rendah ke lebih tinggi terkait dengan penilaian bahwa kehadiran kaum perempuan
di lembaga parlemen merupakan suatu keharusan, yakni dari 69,2% kemudian ke
61,7% dan akhirnya menjadi 50% dan juga penurunan dari sisi penilaian jaminan
keterwakilan aspirasi hak-hak perempuan di parlemen dari 61,5% kemudian 46,8%
dan akhirnya menjadi 40% kiranya dapat dimaknai bahwa faktor atau variabel
tingkat pendidikan nampaknya memiliki korelasi dengan penialian atau pandangan
bahwa kehadiran kaum perempuan di lembaga perwakilan rakyat akan dapat lebih
menjamin terpenuhinya aspirasi dan hak-hak kaum perempuan. Dalam hubungan ini
nampak kecenderungan bahwa responden dengan tingkat pendidikan lebih rendah
cenderung berpandangan positif terhadap penilaian seperti itu sementara
responden yang tingkat pendidikannya lebih tinggi terkesan lebih
skeptik/kritis.
KESIMPULAN
Televisi dalam
menyuguhkan representasi politisi perempuan ditandai oleh beberapa hal yakni
anihilasi (kecenderungan kurang/langka) politisi perempuan dalam pemberitaan
(kecuali Megawati Soekarno Putri dan Puan Maharani). Selanjutnya dapat
dikatakan bahwa representasi politisi perempuan di televisi lebih banyak
dijumpai di berbagai acara talkshow. Namun demikian representasi politisi
perempuan lebih didominasi oleh politisi perempuan mantan artis dan selebritis
seperti Oky Asokawati (mantan model dan pemain sinetron, PPP), Ratih
Sanggarwati (mantan model, PPP), Nurul Arifin (mantan pemain film, Golkar) dan
Rieke Dyah Pitaloka (pemain sinetron, PDIP).
Temuan tersebut semakin
diamplifikasi lewat hasil survei riset yang dilakukan dimana responden (pemilih
perempuan) pada umumnya tidak meyakini peran media massa khususnya televisi dalam
membantu mendukung gagasan keterwakilan perempuan (kuota 30 %) di parlemen.
Sebanyak 28 orang (35%) responden mengatakan ragu dan 22 orang (27,5%) lainnya
mengatakan televisi tidak membantu mendukung gagasan keterwakilan perempuan di
parlemen dan hanya 30 orang (37,5%) responden yang memiliki penilaian bahwa
televisi telah membantu mendukung gagasan tersebut.
Sementara dari sisi
korelasi variabel sosio-demografis, dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel
umur relatif tidak berkorelasi dengan penilaian. Dimana baik responden
laki-laki maupun perempuan sama-sama cenderung memiliki penilaian bahwa
kehadiran kaum perempuan di lembaga perwakilan rakyat merupakan suatu keharusan
dan penting bagi jaminan keterwakilan aspirasi hal-hak perempuan di parlemen.
Akan tetapi hasilnya berbanding terbalik apabila ditilik dari variabel
pendidikan dimana diketahui bahwa pendidikan semakin tinggi akan mempengaruhi
tingkat penilaian.
DAFTAR
PUSTAKA
Babbie, Earl R.. 1979.
The Practice of Social Research 2nd ed. Belmont, California:
Wadsworth Publishing
Company Inc.
Burton, Graeme. 2007.
Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kepada Sudi
Televisi. Terj. Laily
Rahmawati. Yogyakarta: Jalasutra.
Entman, R. M., “
Framing Towards Clarification of a Fractured Paradigm”, Journal
of Communication. Vol.
43 No. 4. 1993.
Jones, Marsha dan Emma
Jones. 1999. Mass Media. Houndmills,Basingstok,
Hamshire: MacMillan
Production LTD.
McQuail, Denis. 1997.
Mass Communication Theory 3rd ed. London: Sage
Publications.
Pawito. 2007. Penelitian
Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS.
Richardson, John E,
“British Muslims in the Broadsheet Press: a challenge to Cultural
Hegemony?”, Journalism
Studies, Volume 2, No. 2, 2001.
Scheufele, Dietram A.,
“Framing as a Theory of Media Effects”, Journal of
Communication Vol. 49
No. 1 Winter 1999.
Watt, James H. dan Sjef
A. van den Berg. 1995. Research Methods for
Communication Science.
Boston: Allyn and Bacon.
[1] Widodo Muktiyo
adalah Staf Pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sebelas
Maret, Surakarta.