Mitos dan Bahasa Media: Mengenal Semiotika Roland Barthes
Oleh: Anang Hermawan
Purwawacana: Representasi Realitas
Mempertalikan semiotika dan bahasa media nampaknya dapat menjadi satu diskusi yang menarik. Bukan saja karena persoalan filosofis mendasar yang acapkali menjadi perdebatan, melainkan juga karena tidak ada jalur tunggal untuk membongkar praktik pertandaan (baca: bahasa) media. Taruhlah dengan sebuah klaim sederhana para penganut semiotika, bahwa di balik bahasa media seringkali terkandung ‘sesuatu’ yang misterius. Dan semiotika dipercaya sebagai salah satu model rujukan untuk membantu melacak keberadaan misteri tersebut . Sekadar untuk keperluan pengantar, bagian berikut mencoba memaparkan secara singkat beberapa konsep yang relevan sebagai titik tolak pemahaman, yakni tentang representasi.
Konsep mengenai representasi hadir menempati tempat baru dalam studi budaya. Peralihan studi kebudayaan dalam ilmu sosial dan humaniora cenderung menekankan pada pentingnya makna. Dalam konteks ini budaya digambarkan sebagai proses produksi dan pertukaran makna yang terus menerus. Dalam kaitannya dengan dunia komunikasi, secara spesifik Alan O’Connor bahkan menggambarkan budaya sebagai proses komunikasi dan pemahaman yang aktif dan terus-menerus.[2] Implikasi dari pengertian ini adalah bahwa masing-masing pemaknaan orang tentang budaya akan sangat tergantung pada pemahaman subyektif antaraktor atau subyek di dalam lingkungan kebudayaannya.
Dalam konteks ini, ketika pemberitaan dipandang sebagai produk kebudayaan, maka menjadi penting untuk melihat bagaimana media memproduksi dan mempertukarkan makna melalui praktik bahasanya. Berita, sebagai keluaran akhir dari praktik bahasa media dapat dipahami sebagai produksi makna. Sebagai kesatuan organik, media merepresentasikan pikiran dan gagasan-gagasannya melalui berita yang dimereka hadirkan ke ruang publik. Mengapa representasi menjadi penting dalam kaitan ini? Dalam konteks ini terlihat menarik untuk mempersoalkan landasan filosofis yang menjadi basis penggunaan istilah tersebut. Mula-mula penting untuk membedakan term representasi dengan refleksi dalam memahami kembali produk media atau praktek bahasa yang mereka lakukan. Seringkali penggunaan kata representasi ini diperlawankan dengan kata refleksi, karena keduanya memang keduanya mengimplikasikan pandangan yang berbeda terhadap realitas yang ditampilkan media (realitas kedua) dengan realitas yang sebenarnya (realitas pertama). Sebagian orang mengatakan bahwa apa yang tampil di media merupakan ‘cermin’ realitas, dalam pengertian bahwa realitas yang tersaji di media dinilai sama dengan realitas empirik. Media berperan sebagai reflektor yang sekadar menghadirkan fakta atau peristiwa yang ada berlangsung dalam masyarakat, tidak kurang dan tidak lebih.
Pada kutub yang berlawanan, sebagian lagi mengatakan bahwa apa yang tersaji dalam media merupakan representasi. Realitas yang tampil di media merupakan hasil konstruksi yang boleh jadi telah mengalami penambahan maupun pengurangan karena turut campurnya faktor subyektivitas dari pelaku representasi alias ornag-orang yang terlibat dalam media. Tidaklah sesederhana pandangan reflektif, penggunaan istilah representasi berangkat dari kesadaran bahwa apa yang tersaji di media seringkali tidak selalu persis dengan apa yang ada di realitas empirik. Meyakini realitas media sebagai hasil konstruksi sama halnya dengan memandang suatu fenomena yang dibaratkan seperti gunung es. Permukaan yang terlihat seringkali hanya sebagian kecil dari kenyataan sesungguhnya, dan sebaliknya apa yang ada di bawah permukaan itu justru lebih besar. Pada gilirannya peran pemaknaan oleh ‘pembaca’ menjadi hal penting karena pembacalah yang mempunyai otoritas untuk melihat sejauh mana bagian yang tidak tampak dari gunung es itu dapat diketemukan. Dalam bahasa konstruktivis, peran pembaca untuk mengidentifikasi bagian-bagian yang (seringkali) tak terlihat itu disebut sebagai ‘memaknai’.
Persoalannya adalah ketika realitas media telah tersaji ke ruang publik maka media tidak lagi mempunyai otoritas untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki sehingga peran pemaknaan pun berpindah pada pembaca. Ketika pembaca mempunyai kekuasaan penuh untuk memaknai sebuah berita, maka peran bahasa menjadi penting. Bahasa menjadi medium istimewa yang melaluinya sebuah makna diproduksi. Bahasa beroperasi sebagai simbol yang mengartikan atau merepresentasikan makna yang ingin dikomunikasikan oleh pelakunya, atau dalam istilah yang dipakai Stuart Hall untuk menyatakan hal ini, fungsi bahasa adalah sebagai tanda.[3] Tanda mengartikan atau merepresentasikan (menggambarkan) konsep-konsep, gagasan atau perasaan sedemikian rupa yang memungkinkan seseorang ‘membaca’, men-decode atau menginterpretasikan maknanya.
Persoalan tanda ini secara lebih serius terangkum dalam satu disiplin yang disebut sebagai semiologi atau semiotik. Terobosan penting pada disiplin ini adalah diterimanya linguistik sebagai model beserta penerapan konsep-konsepnya dalam fenomena lain yang bukan hanya bahasa; dan dalam pendekatan ini lantas disebut sebagai teks. Salah seorang founding fathers semiologi, Ferdinand de Saussure, menyatakan bahasa sebagai sistem tanda yang mengekspresikan gagasan-gagasan: Language is a system of signs that express ideas, and is therefore comparable to a system of writing, the alphabet of deaf – mutes, symbolic rites, polite formulas, military signals, etc. but is the most important of all these systems.[4]
Suatu makna diproduksi dari konsep-konsep dalam pikiran seorang pemberi makna melalui bahasa. Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa. Dengan cara pandang seperti itu, Hall memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian utama, yakni mental representations dan bahasa.[5] Mental representations bersifat subyektif, individual; masing-masing orang memiliki perbedaan dalam mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan hubungan diantara semua itu. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem representasi karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadap bahasa bersama. Istilah umum yang seringkali digunakan untuk kata, suara, atau kesan yang membawa makna adalah tanda (sign).
Mungkin menjadi lebih menarik untuk menghubungkan persoalan representasi ini ke dalam fenomena bahasa media. Dalam relasi antara media dan ‘pembaca’-nya, pertama kali harus dipahami bahwa awak media adalah subyek yang mempunyai mental representation tersendiri yang tidak selalu sama dengan pembacanya. Adanya keniscayaan subyektif dari bahasa media tak urung menyajikan kerumitan tersendiri seperti seperti halnya adanya bias kepentingan dari media yang bersangkutan. Lebih lanjut, disadari atau tidak persoalan kepentingan ini seringkali mewakili gambaran ideologis dari pelaku representasi alis media. Lagi-lagi gambaran ini bersifat subyektif, artinya proses pembacaan terhadap bahasa media sama artinya dengan negosiasi antara mental representation pelaku representasi dan mental representation pembacanya. Dengan demikian diskusi mengenai bagaimana makna dari representasi atau teks media pada dasarnya merupakan pelacakan terhadap mental representation yang terkandung dalam awak media, yang kali ini dapat diklaim sebagai perwujudan media itu sendiri.
Semiotika dan Komunikasi
Sekadar untuk sebuah cara memulai pemahaman, komunikasi melibatkan tanda dan kode. Tanda adalah material atau tindakan yang menunjuk pada ‘sesuatu’, sementara kode adalah sistem di mana tanda-tanda diorganisasikan dan menentukan bagaimana tanda dihubungkan dengan yang lain. Pada tulisan ini pemahaman tentang komunikasi diadopsi dari definisi yang dikemukakan oleh John Fiske, yakni komunikasi sebagai “interaksi sosial melalui pesan”.
Terdapatnya banyak definisi komunikasi tidak mungkin untuk dibahas terlalu jauh dalam tulisan ini. Ringkasnya, cukuplah dikatakan bahwa pada dasarnya studi komunikasi merefleksikan dua aliran utama, yakni aliran proses dan aliran semiotik.[6] Pada aliran pertama, basis pengertiannya cenderung linear, seperti halnya definisi komunikasi yang menyatakan bahwa ‘komunikasi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan.’ Aliran ini memberi perhatian utama pada bagaimana sender mentransmisikan pesan kepada receiver melalui channel. Model Laswellian seringkali menjadi rujukan utama (rumus SMCRE: Source, Messages, Channel, Receiver, dan Effect) untuk menggambarkan bagaimana komunikasi berlangsung. Dalam aliran proses, efisiensi dan akurasi seringkali mendapat perhatian penting, sehingga ketika efektivitas komunikasi dinilai kurang atau gagal maka pemeriksaan akan segera dilakukan pada elemen-elemen proses itu untuk menemukan letak kegagalan dan kemudian memperbaikinya. Pendekatan ini terlihat mekanistik, karena berupaya menyederhanakan komunikasi dalam suatu model yang secara pasti dapat ditengarai dan dilucuti satu persatu unsur-unsurnya tanpa terlalu memperhitungkan bagaimana memntingkan makna-makna yang bersifat subyektif.
Berbeda halnya dengan tradisi pertama, perpektif kedua memandang komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna (productions and exchange of meaning). Pandangan ini memperhatikan bagaimana pesan berhubungan dengan penerimanya untuk memproduksi makna. Jika aliran proses memperlihatkan penguasaan makna pada sumber atau pengirim pesan, aliran semiotik justru membalik peran penguasaan makna kepada penerima pesan. Penerima pesan mempunyai otoritas mutlak untuk menentukan makna-makna yang ia terima dari pesan, sehingga peran sender cenderung terabaikan. Demikian juga, apa yang disebut sebagai pesan (message) pada paradigma ini seringkali disebut sebagai teks. Dalam kaitannya dengan produk media, seluruh pesan media dalam bentuk tulisan, visual, audio, bahkan audiovisual sekalipun akan dianggap sebagai teks. Jangkauan pemaknaan akan sangat tergantung pada pengalaman budaya dari receiver, yang dalam paradigma semiotik disebut sebagai ‘pembaca’ (reader). Tradisi semiotika tidak pernah menganggap terdapatnya kegagalan pemaknaan, karena setiap ‘pembaca’ mempunyai pengalaman budaya yang relatif berbeda, sehingga pemaknaan diserahkan kepada pembaca. Dengan demikian istilah kegagalan komunikasi (communication failure) tidak pernah berlaku dalam tradisi ini, karena setiap orang berhak memaknai teks dengan cara yang berbeda. Maka makna menjadi sebuah pengertian yang cair, tergantung pada frame budaya pembacanya.
Menilik sejarahnya, tradisi semiotika berkembang dari dua tokoh utama: Charles Sanders Peirce mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure mewakili tradisi Eropa. Keduanya tidak pernah bertemu sama sekali, sehingga kendati keduanya sering disebut mempunyai kemiripan gagasan, penerapan konsep-konsep dari masing-masing keduanya seringkali mempunyai perbedaan penting. Barangkali karena keduanya berangkat dari disiplin yang berbeda; Peirce adalah seorang guru besar filsafat dan logika, sementara Saussure adalah seorang ahli linguistik.[7] Istilah semiotika sendiri diperkenalkan oleh Peirce, sedangkan Saussure menamai pemikirannya dengan istilah semiologi. Dalam praktik analisis kedua istilah itu seringkali dipertukarkan tanpa membedakan artinya. Paling jauh, penggunaannya hanya untuk menunjuk salah satu mahzab yang dianut, meski untuk era sekarang barangkali sudah tidak jelas lagi model mana yang dijadikan model utama karena kadangkala konsep-konsep dari kedua tokoh itu terlanjur dipakai bersama.
Pusat perhatian semiotika pada kajian komunikasi adalah menggali apa yang tersembunyi di balik bahasa. Terobosan penting dalam semiotika adalah digunakannya linguistik (mungkin ini lebih terasa beraroma Saussurean) sebagai model untuk diterapkan pada fenomena lain di luar bahasa. Saussure mendefinisikan semiotika sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial”.[8] Tanda merupakan istilah yang sangat penting, yang terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda mewakili elemen bentuk atau isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna. Keduanya merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan sebagaimana layaknya dua bidang pada sekeping mata uang. Kesatuan antara penanda dan petanda itulah yang disebut sebagai tanda. Pengaturan makna atas sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial di kalangan komunitas bahasa. Suatu kata mempunyai makna tertentu karena adanya kesepakatan bersama dalam komunitas bahasa.
‘Tanda’ dan ‘hubungan’ kemudian menjadi kata-kata kunci dalam analisis semiotika. Bahasa dilucuti strukturnya dan dianalisis dengan cara mempertalikan penggunaannya beserta latar belakang penggunaaan bahasa itu. Usaha-usaha menggali makna teks harus dihubungkan dengan aspek-aspek lain di luar bahasa itu sendiri atau sering juga disebut sebagai konteks. Teks dan konteks menjadi dua kata yang tak terpisahkan, keduanya berkelindan membentuk makna. Konteks menjadi penting dalam interpretasi, yang keberadaannnya dapat dipilah menjadi dua, yakni intratekstualitas dan intertekstulaitas. Intratekstualitas menunjuk pada tanda-tanda lain dalam teks, sehingga produki makna bergantung pada bagaimana hubungan antartanda dalam sebuah teks. Sementara intertekstualitas menunjuk pada hubungan antarteks alias teks yang satu dengan teks yang lain. Makna seringkali tidak dapat dipahami kecuali dengan menghubungkan teks yang satu dengan teks yang lain.
Pengkajian tentang konteks dalam pemaknaan barangkali merupakan sebuah kerja yang menarik. Bukan saja karena dimensi kontekstual yang berbeda akan melahirkan makna yang berbeda; melainkan juga bahwa sebuah analisis semiotika akan mampu menggali hal-hal yang sifatnya subtle dari penggunaan bahasa seperti halnya tentang seperangkat nilai atau bahkan ideologi yang tersembunyi di balik penggunaan bahasa. Pada tingkat ini, semiotika seringkali ditunjuk sebagai model awal dari analisis yang mampu menampilkan bekerjanya ideologi dalam teks.[9] Terdapat banyak varian pengertian ideologi, meski secara singkat dapat dapat dimengerti bahwa ideologi menunjuk pada serangkaian ide yang menyusun realitas kelompok, sebuah sistem representasi atau kode yang menentukan bagaimana sesorang menggambarkan dunia atau lingkungannya. Varian lain dapat pula diambil dari Marxisme klasik menggambarkan ideologi sebagai kesadaran palsu (false conciousness) yang diabadikan oleh kekuatan-kekuatan dominan dalam masyarakat.[10] Pengertian lain dapat pula diambil dari pos-Marxisme yang menjadi cikal bakal teori kritis.
Teoritisi kritis kontemporer cenderung percaya bahwa sekarang ini tidak lagi terdapat ideologi tunggal yang bermain dalam masyarakat. Ideologi bukan sesuatu yang pejal, rigit dan diperjuangkan dalam situasi heroik sehingga seakan terpisah dari sistem sosial masyarakat. Dalam pandangan terotisi kritis, ideologi justru melekat dalam seluruh proses sosial dan kultural, dan bahasa menjadi ciri terpenting bagi bekerjanya sebuah ideologi. Ideologi bergerak melalui bahasa, sehingga apa yang nampak dari struktur bahasa diandaikan sebagai struktur dari masyarakat yang mewadahi sebuah idelogi tertentu. Ambillah misalnya pendapat seorang penganut Marxis terkenal, Louis Althusser, yang menyatakan bahwa ideologi tampil dalam struktur masyarakat dan timbul dalam praktik nyata yang dilakukan oleh beragam institusi dalam masyarakat.[11] Pemikiran Althusser ini mendapat pengaruh kuat dari strukturalisme, terutama atas pandangan yang mengatakan bahwa esensi ideologi dapat ditengarai melalui struktur bahasa. Ideologi bermain di belakang penetapan representasi. Pemaknaan ideologis dimulai dengan memahami bagaimana bekerjanya sistem bahasa dalam struktur sosial. Kombinasi dan disposisi menjadi kata-kata kunci untuk mengurai sejauh mana ideologi bermain dalam bahasa, sehingga untuk membongkar bahasa ideologis maka sebuah representasi harus dibongkar terlebih dahulu strukturnya, kemudian makna dipertalikan dengan keberadaan struktur sosial yang melandasi penggunaan struktur bahasa (prinsip intertekstualitas)
Tentu saja tak ada yang benar-benar obyektif di sini, kita tidak dapat mengatakan bahwa pembongkaran terhadap struktur bahasa beserta temuan ideologi dalam bahasa merupakan jaminan terhadap kepastian akhir suatu ideologi. Berubahnya struktur boleh jadi akan mengubah makna ideologis, karena dalam term Althuserrian ideologi ditentukan oleh strukturnya.[12] Sehingga ideologi merupakan realitas subyektif yang hadir di masyarakat, lentur, cair dan siap berubah. Ideologi hadir dalam tiap orang sebagai sesuatu yang sifatnya halus dan seringkali tidak disadari, sehingga ideologi tidak lagi dipandang dalam tradisi Marxisme klasik yang mengatakannya sebagai kesadaran palsu (false conciousness). Ini yang kemudian membedakan pengertian ideologi antara Marx dan Althusser. Tokoh terakhir ini justru memaknai ideologi sebagai ketidaksadaran yang begitu mendalam (profoundly unconciousness) yang praktiknya dalam diri manusia berlnagsung dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh, Althusser melihat bahwa ideologi seringkali disebarkan oleh struktur sosial seperti yang ia sebut sebagai ideological state apparatus (ISA) dan reppresive state apparatus (RSA). Melalui gagasannya ini Althusser hendak mengatakan bahwa seluruh lembaga sosial dan politik terlibat punya andil dalam penyebaran ideologi dan dominasi distribusi makna. Melalui Althusser, sebuah model analisis struktural (semiotika maupun wacana) dapat dikembangkan pada penglihatan pada bagimana bekerjanya hubungan kekuasaan antar struktur masyarakat, yang, tentu saja sebatas penggunaannya pada bahasa. Media, sebagai bagian struktur yang berurusan dengan bahasa seringkali ditunjuk sebagai biang keladi dari penyebar ideologi.
Analisis Mitos: Sebuah Perangkat Kajian Semiotika
Analisis kritis media berupaya mempertautkan hubungan antara media massa dan keberadaan struktur sosial. Analisis kritis menguji kandungan-kandungan pesan media, bagaimana teks/bahasa media dikaji, dan bagaimana makna yang dapat dimunculkan dari teks. Bagian berikut akan sedikit mengetengahkan gagasan-gagasan semiotis yang dikemukakan oleh seorang penganut Saussure dari Perancis, Roland Barthes. Gagasan-gagasannya memberi gambaran yang luas mengenai media kontemporer. Boleh jadi Barthes merupakan orang terpenting kedua dalam tradisi semiotika Eropa setelah Saussure. Melalui sejumlah karyanya ia tidak hanya melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, pemikirannya justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari bahasa yang ia ketengahkan sebagai mitos.
Ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan menjadi jelas bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan (seperti tata letak / lay out, rubrikasi, dsb) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebut fenomena ini – membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu– sebagai penciptaan mitos.[13] Pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari –seperti halnya cerita-cerita tradisional– melainkan sebuah cara pemaknaan; dalam bahasa Barthes: tipe wicara.[14] Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh pelbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.
Mitos oleh karenanya bukanlah tanda yang tak berdosa, netral; melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya. Kendati demikian, kandungan makna mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah (‘mitos’ diperlawankan dengan ‘kebenaran’); cukuplah dikatakan bahwa praktik penandaan seringkali memproduksi mitos. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada disekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa yang lain.[15]
Pemikiran Barthes tentang mitos nampaknya masih melanjutkan apa yang diandaikan Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda dan petanda. Tetapi yang dilakukan Barthes sesungguhnya melampaui apa yang lakukan Saussure. Bagi Barthes, mitos bermain pada wilayah pertandaan tingkat kedua atau pada tingkat konotasi bahasa. Jika Sauusure mengatakan bahwa makna adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, Barthes menambah pengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.
Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Sausure, yang hanya berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, ‘pembaca’ teks dapat memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif.[16] Lebih dari itu, di samping gagasannya dapat dimanfaatkan untuk menganalisis media, semiotika konotasi ala Barthesian ini memungkinkan penggunaannya untuk wilayah-wilayah lain seperti pembacaan terhadap karya sastra dan fenomena budaya kontemporer atau budaya pop. Bahkan dalam pandangan Ritzer, Barthes adalah pengembang utama ide-ide Saussure pada semua aspek kehidupan sosial.[17] Bagi Barthes, semiologi bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai ‘tanda’ alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik.
Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut sebagai konotator, terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Beberapa tanda boleh jadi secara berkelompok membentuk sebuah konotator tunggal, asalkan yang disebut terakhir tadi memiliki sebuah petanda konotator tunggal. Dengan kata lain, satuan-satuan dari sistem terkonotasi tidak mesti memiliki ukuran yang sama dengan sistem yang tertandakan: fragmen-fragmen besar dari diskursus yang bersangkutan dapat membentuk sebuah satuan sistem terkonotasi tunggal. Sebagai contoh, misalnya, dengan melihat suatu teks, yang tersusun dari sejumlah banyak kata, namun makna umum dari itu merujuk pada sebuah petanda tunggal). Bagaimanapun caranya ia dapat menutup pesan yang ditunjukkan, konotasi tidak menghabiskannya: selalu saja tertinggal ‘sesuatu yang tertunjukkan’ (jika tidak diskursus menjadi tidak mungkin sama sekali) dan konotator-konotator selalu berada dalam analisa tanda-tanda yang diskontinyu dan tercerai-berai, dinaturalisasi oleh bahasa yang membawanya.
Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum, global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis. Berbagai petanda ini memiliki suatu komunikasi yang amat dekat dengan budaya, pengetahuan, sejarah, dan melalui merekalah, demikian dikatakan, dunia yang melingkunginya menginvasi sistem tersebut. Kita dapat katakan bahwa ideologi adalah suatu form penanda-penanda konotasi, sementara gaya bahasa, majas atau metafora adalah elemen bentuk (form) dari konotator-konotator. Singkatnya, konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya. Penggunaan tanda satu persatu dapat mengurangi kecenderungan “anarkis” penciptaan makna yang tak berkesudahan, di sisi lain, namun keanekaragaman budaya dan perubahan terus-menerus membentuk wilayah petanda konotatif yang bersifat global dan tersebar. Ideologi, secara semiotis, adalah penggunaan makna-makna konotasi tersebut di masyarakat alias makna pada makna tingkat ketiga.
Secara sekilas skema Barthes mengisyaratkan bahwasanya tak ada satu pun aktivitas penggunaan tanda yang bukan ideologi, namun sebenarnya tidak seperti itu. Ideologi, pada hakikatnya, adalah suatu sistem kepercayaan yang dibuat-buat, suatu kesadaran semu yang kemudian mengajak (interpellation) kepada individu-individu untuk menggunakannya sebagai suatu “bahasa” sehingga membentuk orientasi sosialnya dan kemudian berperilaku selaras dengan ideologi tersebut. Apa yang sebenarnya ditunjuknya adalah sebuah himpunan relasi-relasi yang ada, tidak seperti suatu konsep ilmiah, ia tidak menyediakan sebuah alat untuk mengetahuinya. Dalam suatu cara khusus (ideologis), ia menunjukkan beberapa eksistensi, namun tidak memberikan kita esensinya.
Beroperasinya ideologi melalui semiotika mitos ini dapat ditengarai melalui asosiasi yang melekat dalam bahasa konotatif. Barthes mengatakan penggunaan konotasi dalam teks ini sebagai: penciptaan mitos. Ada banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang kecantikan, kejantanan, pembagian peran domestik versus peran publik dan banyak lagi. Mitos ini bermain dalam tingkat bahasa yang oleh Barthes disebutnya ‘adibahasa’ (meta-language).[18] Penanda konotatif menyodorkan makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.[19] Dibukanya medan pemaknaan konotatif ini memungkinkan pembaca memakanai bahasa metafor atau majazi yang makanya hanya dapat dipahami pada tataran konotatif. Dalam mitos, hubungan antara penanda dan petanda terjadi secara termotivasi. Pada level denotasi, sebuah penanda tidak menampilkan makna (petanda) yang termotivasi. Motivasi makna justru berlangsung pada level konotasi.
Barthes menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi juga, karena mitos ini toh merupakan sebuah pesan juga. Ia menyatakan mitos sebagai “modus pertandaan, sebuah bentuk, sebuah “tipe wicara” yang dibawa melalui wacana. Mitos tidaklah dapat digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut disampaikan.[20] Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya ditekstualisasikan. Dalam narasi berita, pembaca dapat memaknai mitos ini melalui konotasi yang dimainkan oleh narasi. Pembaca yang jeli dapat menemukan adanya asosiasi-asosiasi terhadap ‘apa’ dan ‘siapa’ yang sedang dibicarakan sehingga terjadi pelipatgandaan makna. Penanda bahasa konotatif membantu untuk menyodorkan makna baru yang melampaui makna asalnya atau dari makna denotasinya.
Sering dikatakan bahwa ideologi bersembunyi di balik mitos. Ungkapan ini ada benarnya, suatu mitos menyajikan serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran representator. Ketidaksadaran adalah sebentuk kerja ideologis yang memainkan peran dalam tiap representasi. Mungkin ini bernada paradoks, karena suatu tekstualisasi tentu dilakukan secara sadar, yang dibarengi dengan ketidaksadaran tentang adanya sebuah dunia lain yang sifatnya lebih imaginer. Sebagaimana halnya mitos, ideologi pun tidak selalu berwajah tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak ideologi; kehadirannya tidak selalu kontintu di dalam teks. Mekanisme kerja mitos dalam suatu ideologi adalah apa yang disebut Barthes sebagai naturalisasi sejarah. Suatu mitos akan menampilkan gambaran dunia yang seolah terberi begitu saja alias alamiah. Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut menyediakan fungsinya untuk mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan yang ada dalam masyarakat.
Ideologi berbeda dengan konsep sains, dan lebih berbeda lagi dengan kesadaran iluminatif. Kesadaran iluminatif berada pada tingkat kesadaran diri yang merembes dari pengertian sesorang akan nilai kegamaan melalui kitab suci (nilai batiniah), sementara kesadaran ideologis dalam term Barthes berada pada tingkat kesadaran psikis, atau lebih tepatnya lagi di wilayah ego yang merupakan sistem representasi berupa image yang mengkonstruksi kesadaran yang sifatnya semu. Artikulasi mendasar dari proses ideologis tidak dari proyeksi kesadaran yang teralienasi ke dalam berbagai superstruktur, namun dalam generalisasi pada seluruh tingkatan dari suatu kode struktural. Maka ideologi bukanlah suatu tipuan misterius dari kesadaran; ia adalah suatu logika sosial yang disubstitusikan untuk lainnya (dan yang menyelesaikan kontradiksi yang sebelumnya), sehingga mengubah definisi dari nilai itu sendiri. Ideologi bekerja ibarat sihir dari kode yang membentuk “dasar dominasi.
Teori Barthes tentang mitos/ideologi memungkinkan seoarng pembaca atau analis untuk mengkaji ideologi secara sinkronik maupun diakronik. Secara sinkronik, makna terantuk pada suatu titik sejarah dan seolah berhenti di situ, oleh karenanya penggalian pola-pola tersembunyi yang menyertai teks menjadi lebih mungkin dilakukan. Pola tersembunyi ini boleh jadi berupa pola oposisi, atau semacam skema pikir pelaku bahasa dalam representasi.[21] Sementara secara diakronik analisis Barthes memungkinkan untuk melihat kapan, di mana dan dalam lingkungan apa sebuah sistem mitis digunakan. Mitos yang dipilih dapat diadopsi dari masa lampau yang sudah jauh dari dunia pembaca, namun juga dapat dilihat dari mitos kemrin sore yang akan menjadi “founding prospective history”.[22] Media seringkali berperilaku seperti itu, mereka merepresentasikan, kalau bukan malah menciptakan mitos-mitos baru yang kini hadir di tengah masyarakat. Untuk yang terakhir ini, penulis berkecenderungan untuk mengatakan bahwa media melakukan proses ‘mitologisasi’, dunia kita sehari-hari digambarkan dalam cara yang penuh makna dan dibuat sebuah pemahaman yang generik bahwa memang begitulah seharusnya dunia. Iklan, berita, fesyen, pertunjukan selebritas adalah dunia kecil yang akrab kita jumpai dan menjadi ikon dari dunia besar: mitos dan ideologi di baliknya.
Pemikiran Barthes tentang ideologi seringkali bersinggungan dengan pemikiran Althusser, dan keduanya memang terlihat saling melengkapi. Rupanya Barthes adalah salah seorang mahasiswa Althusser. Kedua orang yang berbeda generasi itu mempunyai minat yang sama: ideologi.[23] Baik Althusser maupun Barthes sepakat bahwa ideologi menjadi tempat di mana orang mengalami subyektivitasnya. Hanya saja, Barthes telah menerapkan teori subyektivitas yang berada di luar jangkauan analisis Althusser. Barthes dapat menjangkau teori subyektivitas melalui konsepnya tentang sistem mitis, di mana dia dapat menjelaskan konsepnya secara lebih skematik. Dan boleh jadi Barthes akan menjadi lebih akrab dengan kita karena apa yang diambilnya seringkali berasal dari dunia yang amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Ideologi menjadi persoalan konsumsi, secara tidak sadar kita melahapnya dalam persoalan keseharian, dan konsumsi pun menjadi bermakna ideologis. Ini yang membedakannya dengan Althusser yang terpancang pada Marxisme klasik dalam melihat hubungan antara negara dan masyarakat sipil, sehingga dalam kerangka kerja Althusser, analisis Barthes mungkin berada di luar jangkauan Althusser tentang ideologi. Barthes tidak seperti itu, apa yang dilihatnya seringkali kita rasakan sebagai sesuatu yang remeh-temeh, justru dapat dimaknai dengan begitu mendalam. Pencarian makna oleh pembaca tidak mandeg, karena selalu saja ada hal-hal baru yang akan muncul dan bermakna. Barthes sesungguhnya hanya memberi tongkat kecil bagi seorang yang rabun untuk dapat menyusuri jalan yang tak rata dan berlobang. Dan kita acapkali menjadi orang rabun itu.
*************
Daftar Pustaka
Downing, John, Ali Mohammadi & Annabele Srebery-Mohammadi (Eds.), Questioning The Media: A Critical Introdustion, Sage Publication, Newbury Park, California, 1990
Hall, Stuart (Ed.), Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices, Sage Publications, London, 1997.
Berger, Arthur Asa, Media Analysis Techniques, Sage Publications, Beverly Hills, California, 1982.
Fiske, John, Introductions to Communication Studies, Routledge, London, 1990.
Sujiman, Panuti, & Aart van Zoest (Ed.), Serba-serbi Semiotika, Gramedia, Jakarta, 1991.
Amir Piliang, Yasraf, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003.
Littlejohn, Stephen W., Theories of Human Communication, Wardsworth, Belmont, California, 1996.
Bagus Takwin: “Cuplikan-cuplikan Ideologi”, Jurnal Filsafat Universitas Indonesia Volume I No. 2, Agustus 1999.
Bignell, Jonathan, Media Semiotics: An Introduction, Manchester University Press, Manchester and New York, 1997.
Barthes, Roland, Mitologi, (Terj. Nurhadi & Sihabul Millah), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004.
Tolson, Andrew, Mediations: Text and Discourse ini Media Studies, Arnold, London, 1996.
Christomy, T., & Untung Yuwono, Semiotika Budaya, Penerbit Pusat Kemasyarakatan dan Budaya UI, Jakarta, 2004.
Ritzer, George, Teori Sosial Postmodern (penerj. Muhammad Taufiq), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2003.
Strinati, Dominic, An Introduction to Theories of Popular Culure, Routledge, New York, 1995.
Storey, John (Ed.) Cultural Theory and Cultural Culture: A Reader, Harvester Heatsheaf, New York, 1994.
St. Sunardi, Semiotika Negativa, Buku Baik, Yogyakarta, 2004.
*********
[1] Staf Pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta.
[2] Alan O.Connor: “Culture and Communication”, dalam John Downing, Ali Mohammadi & Annabele Srebery-Mohammadi (Eds.), Questioning The Media: A Critical Introdustion, Sage Publication, Newbury Park, California, 1990, hal. 29.
[3] Stuart Hall (Ed.), Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices, Sage Publications, London, 1997, hal.5.
[4] Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, Sage Publications, Beverly Hills, California, 1982, hal. 16.
[5] Hall, op. cit., hal. 17.
[6] John Fiske, Introductions to Communication Studies, Routledge, London, 1990, hal 1.
[7] Aart van Zoest: “Interpretasi dan Semiotika” (terj. Okke K.S. Zaimar dan Ida Sundari Husein) dalam Panuti Sujiman dan Aart van Zoest (Ed.), Serba-serbi Semiotika, Gramedia, Jakarta, 1991, hal.1.
[8] Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003, hal. 256.
[9] Dalam hemat penulis, setidaknya terdapat dua model utama dari penelitian yang akrab digunakan untuk melihat bagaimana cara kerja ideologi melalui teks, yakni analisis semiotika dan analisis wacana kritis. Analisis wacana barangkali merupakan kelanjutan dari analisis semiotika, karena secara historis memang lahirnya didahului oleh analisis semiotika. Dalam perkembangannya, analisis wacana memang cenderung untuk mengambil posisi sebagai metode penggali kerja ideologi dan hubungan kekuasaan dalam teks. Kendati demikian, banyak istilah yang secara mendasar diambil dari tradisi semiotika. Dalam beberapa hal, analisis semiotika berkemungkinan untuk menggali ideologi di balik teks, sehingga batas yang tegas antara kedua jenis analisis itu memang agak kabur. Preskripsi sederhana untuk memperlihatkan perbedaan keduanya kira-kira adalah bahwa analisis semiotika berupaya melihat aspek ‘what’ dan ‘how’ dari teks, sementara analisis wacana cenderung kepada menjawab pertanyaan tentang ‘how’dan ‘why’ dari teks.
[10] Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, Wardsworth, Belmont, California, 1996, hal. 228.
[11] Ibid., hal. 29.
[12] Bagus Takwin: “Cuplikan-cuplikan Ideologi”, dalam Jurnal Filsafat Universitas Indonesia Volume I No. 2, Agustus 1999.
[13] Jonathan Bignell, Media Semiotics: An Introduction, Manchester University Press, Manchester and New York, 1997, hal 16.
[14] Roland Barthes, Mitologi, (Terj. Nurhadi & Sihabul Millah), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004, hal 152. Lihat juga Roland Barthes: “Myth Today”, dalam John Storey (Ed.), Cultural Theory and Popular Culture: A Reader, Harvester Wheatsheet, New York, 1994, hal. 107.
[15] Andrew Tolson, Mediations: Text and Discourse ini Media Studies, Arnold, London, 1996, hal. 7.
[16] Manneke Budiman: “Semiotika dalam Tafsir Satra: Antara Riffaterre dan Barthes” dalam T. Christomy dan Untung Yuwono, Semiotika Budaya, Penerbit Pusat Kemasyarakatan dan Budaya UI, Jakarta, 2004, hal 255.
[17] George Ritzer, Teori Sosial Postmodern (penerj. Muhammad Taufiq), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2003.
[18] Dominic Strinati, An Introduction to Theories of Popular Culure, Routledge, New York, 1995, hal. 113.
[19] Budiman, op.cit., hal. 255.
[20] Ibid., hal. 112. Lihat juga Roland Barthes: “Myth Today” dalam John Storey (Ed.) Cultural Theory and Cultural Culture: A Reader, Harvester Heatsheaf, New York, 1994, hal. 107.
[21] Berger, op.cit., hal. 30.
[22] St. Sunardi, Semiotika Negativa, Buku Baik, Yogyakarta, 2004, hal. 116.
[23] Ibid., hal. 126.
http://abunavis.wordpress.com/2007/12/31/mitos-dan-bahasa-media-mengenal-semiotika-roland-barthes/