Pascaperang Suku 1996 – 2000 di Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang Propinsi Kalimantan Barat
The roles in intercultural communication between Dayak and Madurese
after tribal dash1996 - 2000 in Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang Propinsi Kalimanta
Keetnikan merupakan salah satu ciri kehidupan sosial manusia yang universal, dalam artian bahwa semua anggota etnik mempunyai cara berpikir dan pola perilaku tersendiri sesuai dengan etniknya masing-masing. Satu etnik dengan etnik lainnya akan berbeda, dan tidak dapat dipaksakan untuk menjadi sama seutuhnya. Perbedaan tersebut justru sebenarnya sebuah kekayaan, keberagaman yang dapat membuat hidup manusia menjadi dinamis serta tidak membosankan.
Banyaknya konflik antaretnik di Indonesia mengindikasikan gejala bahwa budaya yang berbeda pada masing-masing etnik, khususnya dalam konteks komunikasi antaretnik, cenderung menjadi hambatan dan penyebab gagalnya komunikasi antaretnik, seperti stereotip, saling curiga, dan saling tidak percaya. Konflik antaretnik tersebut tidak terlepas dari suatu bentuk kesalahan pelaksanaan komunikasi yang dilakukan antaretnik.
Salah satu konflik yang menelan begitu banyak korban jiwa manusia dan menjadi konflik berkepanjangan adalah Perang Suku yang terjadi di Kabupaten Bengkayang Propinsi Kalimantan Barat. Penulis menggunakan kata “Perang Suku” merujuk pada nama yang diberikan masyarakat kepada konflik antaretnik tersebut, yakni “Perang Suku”.
Konflik antaretnik di Kalimantan Barat, yakni Dayak versus Madura “episode paling akhir” bermula sejak tahun 1996. Konflik mencapai puncaknya pada tahun 1999 dan 2000 dengan korban jiwa terbunuh sangat kejam; harta benda dan hak milik musnah dibakar, dijarah, atau dirusak; dan ratusan ribu jiwa dari etnik Madura masih terlunta sebagai pengungsi di berbagai tempat (Singkawang, Pontianak, Surabaya, dan Pulau Madura).
Selama perang suku terjadi, komunikasi antara Etnik Dayak dan Etnik Madura terputus sama sekali, atau bahkan dapat dikatakan “tidak ada komunikasi”. Tidak adanya komunikasi ini terjadi karena Etnik Dayak dan Etnik Madura “tidak bisa bertemu”. Jika terjadi pertemuan, maka yang kemudian terjadi adalah saling bunuh di antara keduanya.
Tidak terjalinnya komunikasi antaretnik Dayak dan Etnik Madura ini berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang yakni sepanjang Perang Suku (1996-2000). Namun, saat ini konflik antaretnik Dayak dan Etnik Madura sudah reda. Penyerangan-penyerangan massal antaretnik yang bertikai tersebut sudah tidak terjadi dan suasana berangsur-angsur kembali damai, meski di beberapa daerah, Etnik Madura masih benar-benar ditolak kedatangannya. Beberapa orang Madura yang mencoba pulang kampung untuk menengok bekas rumah atau kebunnya, ternyata tidak pernah kembali (dengan kata lain : dibunuh).
Tidak semua daerah yang telah diduduki Etnik Dayak “menolak mentah-mentah” kehadiran Etnik Madura. Di lokasi-lokasi tertentu, khususnya di Kabupaten Bengkayang, Etnik Dayak yang sudah “mengizinkan” orang dari Etnik Madura untuk masuk ke daerahnya. “Mengizinkan” disini bukan berarti dalam bentuk tertulis, namun mereka sudah boleh masuk ke wilayah Etnik Dayak dan tidak dianiaya atau dibunuh oleh Enik Dayak.
Salah satu wilayah di Kabupaten Bengkayang yang sudah boleh dimasuki oleh Etnik Madura adalah Kecamatan Monterado. Dahulu tempat ini termasuk ke dalam Kecamatan Samalantan Kabupaten Sambas. Wilayah ini merupakan salah satu wilayah di mana Perang Suku paling banyak menelan korban jiwa. Tidak ada catatan resmi tentang jumlah pasti korban jiwa, namun menurut keterangan Briptu Musadad[2], sekitar 200 rumah dibakar hingga tak bersisa dan korban jiwa mencapai ratusan orang. Suku Madura yang tersisa hampir seluruhnya mengungsi ke Singkawang. Mereka tinggal di Desa Munggu Pancung Kecamatan Roban Kotamadya Singkawang.
Jarak antara tempat pengungsian Etnik Madura di Kecamatan Roban dengan Kecamatan Monterado, yang saat ini diduduki oleh Suku Dayak, tidak terlalu jauh, yakni sekitar 20 km. Karena itu, mobilitas antara dua tempat ini juga tidak terlalu sulit. Apalagi kondisi jalan juga sangat kondusif. Saat ini, mereka (Etnik Madura dan Etnik Dayak) sudah merajut kembali komunikasi yang terputus pada saat Perang Suku berkecamuk. Terajutnya kembali jalinan komunikasi ini tentu merupakan suatu titik awal yang baik dan diharapkan dapat memperbaiki hubungan yang selama ini terputus. Sebagai konsekuensinya, komunikasi yang baru terjalin ini memunculkan peran-peran yang diperlukan agar komunikasi dapat berjalan lancar. Peran-peran apa yang terdapat dalam komunikasi tersebut merupakan hal yang penting untuk diketahui guna membantu terjalinnya keharmonisan dalam hubungan kedua belah pihak.
Berlatarbelakangkan paparan kondisi tersebut, penulis melakukan sebuah penelitian untuk mencari jawaban tentang seperti apa peran-peran yang ada dalam komunikasi antaretnik Dayak dan Etnik Madura setelah konflik yang terjadi di antara mereka, yang hasilnya peneliti tuangkan dalam tulisan ini.
Untuk mengungkap peran-peran yang ada dalam komunikasi antara anggota Suku Dayak dan Suku Madura Pascaperang Suku, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tradisi penelitian fenomenologis. Hal ini karena salah satu karakter penelitian kualitatif fenomenologis adalah melakukan pengamatan dan berinteraksi dengan subyek penelitian untuk berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka atas dunianya. Studi dengan pendekatan fenomenologis berupaya untuk menjelaskan makna pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala, termasuk di dalamnya konsep diri atau pandangan hidup mereka sendiri. Hal ini seperti dikatakan oleh Cresswell (1998:51) : “a phenomenological study describes the meaning of life experiences for several individuals about a concept or the phenomenon”. Selain itu, paradigma ini mengharuskan para peneliti untuk masuk ke dalam dunia konseptual para subjek yang ditelitinya sedemikan rupa sehingga penulis mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupan sehari-hari (Moleong, 1993:9). Ini berarti penelitian dengan pendekatan fenomenologi mengambil latar tempat dan waktu yang alamiah. Dengan semua ciri pendekatan fenomenologi tersebut, maka akan didapatkan data-data holistik tentang peran-peran dalam komunikasi Suku Dayak dan Suku Madura Pascaperang Suku.
Muhadjir menyebutkan ada enam model pendekatan dalam fenomenologi, yaitu : model interpretif Geertz, model grounded research, model ethnographik – ethnometodologik, model paradigma naturalistik, model interaksionisme simbolik, dan model konstruktivist (2000:119-188). Sementara Robert Bogdan dan Steven J. Taylor menyebutkan ada dua pendekatan utama dalam tradisi fenomenologis, yaitu interaksionisme simbolik dan etnometodologi[3].
Dari beberapa cabang tradisi fenomenologi tersebut, penulis menggunakan model interaksionisme simbolik. Model ini sesuai dengan fokus penelitian, karena proposisi paling mendasar dari interaksionisme simbolik adalah bahwa perilaku dan interaksi manusia itu dapat diperbedakan karena ditampilkan lewat simbol dan maknanya. Mencari makna di balik yang sensual adalah sesuatu yang penting dalam interaksionisme simbolik (Muhadjir, 2000:183).
Untuk mengumpulkan data tentang fenomena komunikasi antara Suku Dayak dan Suku Madura pascaperang suku ini digunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu wawancara mendalam, observasi, dan telaah dokumentasi.
Peran – Peran Mendasar
Etnik Dayak dan Etnik Madura dalam komunikasinya menjalankan peran yang harus mereka mainkan. Peran adalah ekspektasi yang didefinisikan secara sosial yang dimainkan seseorang dalam suatu situasi untuk memberikan citra tertentu kepada khalayak yang hadir (Mulyana, 2004:109). Termasuk dalam berkomunikasi, baik Etnik Dayak dan Etnik Madura haruslah berperilaku bergantung pada peran sosialnya dalam situasi tertentu.
Pada penelitian ini, penulis akan membeberkan peran-peran yang disandang oleh Etnik Dayak dan Etnik Madura, serta pihak lain yang turut berperan dalam komunikasi mereka. Peran-peran ini penulis dapatkan dari hasil observasi.
Ada tiga peran mendasar dalam teori Goffman, setiap jenisnya berhubungan dengan tipe informasi yang berbeda. Tiga peran tersebut adalah performer, audience, dan outsider. Performer yakni aktor, yang berperan baik di panggung depan maupun panggung belakang. Mereka menyadari adanya kesan yang mereka kembangkan dan memiliki informasi mengenai pertunjukkan yang mereka tampilkan. Dalam komunikasi antara Etnik Dayak dan Etnik Madura ini yang menjadi performer adalah Etnik Dayak dan Etnik Madura itu sendiri. Ketika berkomunikasi mereka secara timbal balik menjadi performer. Saat Etnik Dayak menjadi performer, ia juga menjadi audience. Demikian pula sebaliknya dengan Etnik Madura. Saat berperan menjadi performer di depan Etnik Dayak, ia juga menjadi audience yang menonton performance Etnik Dayak. Saat menjadi performer mereka mengembangkan kesan dan informasi untuk menciptakan atau mengontrol persepsi pada lawan bicara. Sebaliknya, ketika menjadi audience mereka dapat melihat apa yang ditampilkan oleh lawan bicara mereka.
Selain terdapat performer dan audience, dalam komunikasi antaretnik Dayak dan Madura ini juga terdapat outsider. Outsider adalah mereka yang mengetahui rahasia pada aktor ataupun realitas yang mereka kembangkan. Siapakah outsider dalam komunikasi antaretnik ini ? Yang dapat dikatakan sebagai outsider adalah mereka yang bukan Etnik Dayak maupun Madura namun hidup bersama dengan Etnik Dayak atau Etnik Madura. Mereka adalah anggota etnik lain yang menikah dengan Etnik Dayak ataupun Etnik Madura. Etnik lain yang menikah dengan Etnik Dayak adalah Lina (etnik Melayu berusia 21 tahun), sedangkan yang menikah dengan etnik Madura adalah Saryah (etnik Melayu berusia 23 tahun).
Pihak lain yang juga dapat dikatakan sebagai outsider adalah para penjamin. Penjamin adalah Etnik Dayak yang memberikan jaminan kepada suku Madura bahwa mereka tidak akan dicelakai oleh Orang Dayak ketika berada di Kecamatan Monterado. Para penjamin ini adalah orang-orang yang membutuhkan tenaga kerja dari Etnik Madura. Salah satu diantara para penjamin tersebut adalah Inis, pemilik pertambangan batu.
Pihak lainnya yang dapat dikatakan sebagai outsider adalah etnik lain yang menyaksikan komunikasi etnik Dayak dan etnik Madura, namun mereka juga mengetahui perilaku komunikasi kedua etnik tersebut saat sedang tidak berhadapan dalam sebuah komunikasi atau ketika informan dari etnik Dayak dan Madura tersebut sedang berkomunikasi dengan etnik lain. Mereka adalah Mawar, Ela, Bu Ade, dan Hasan, yang intensif berkomunikasi dengan kedua etnik tersebut.
Peran-peran yang ada dalam komunikasi antaretnik Dayak dan Madura ini dapat dipecah lagi menjadi beberapa peran yaitu peran yang berhubungan dengan manipulasi informasi dan batasan kelompok, peran yang berhubungan dengan memfasilitasi interaksi antara dua tim, dan peran yang mencampur wilayah depan dan belakang.
sekian dulu ya, tentang konflik antaretnik dayak dan madura ini. ini hanya isi dari salah satu subbab yang ada dalam tesis saya di pascasarjana Unpad. jika ada yang membutuhkan informasi lebih jauh berkenaan dengan tulisan ini, dengan senang hati akan saya layani. terimakasih
Peran-Peran dalam Komunikasi Antaretnik Dayak dan Madura
Posted by
Ipin Phienout
|
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment