Powered by Blogger.
RSS

TEORI KOMUNIKASI MASSA


Komunikasi Massa (Mass Communication) adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (Surat Kabar, Majalah) atau elektronik (radio, televisi) yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar dibanyak tempat.

1. Teori Pengaruh Tradisi (The Effect Tradition)
Teori pengaruh komunikasi massa dalam perkembangannya telah mengalami perubahan yang kelihatan berliku-liku dalam abad ini. Dari awalnya, para peneliti percaya pada teori pengaruh komunikasi “peluru ajaib” (bullet theory) Individu-individu dipercaya sebagai dipengaruhi langsung dan secara besar oleh pesan media, karena media dianggap berkuasa dalam membentuk opini publik. Menurut model ini, jika Anda melihat iklan Close Up maka setelah menonton iklan Close Up maka Anda seharusnya mencoba Close Up saat menggosok gigi.
Kemudian pada tahun 50-an, ketika aliran hipotesis dua langkah (two step flow) menjadi populer, media pengaruh dianggap sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang minimal. Misalnya iklan Close Up dipercaya tidak akan secara langsung mempengaruhi banyak orang-orang untuk mencobanya. Kemudian dalam 1960-an, berkembang wacana baru yang mendukung minimalnya pengaruh media massa, yaitu bahwa pengaruh media massa juga ditengahi oleh variabel lain. Suatu kekuatan dari iklan Close Up secara komersil atau tidak untuk mampu mempengaruhi khalayak agar mengkonsumsinya, tergantung pada variabel lain. Sehingga pada saat itu pengaruh media dianggap terbatas (limited-effects model).
Sekarang setelah riset di tahun 1970-an dan 1980-an, banyak ilmuwan komunikasi sudah kembali ke powerful-effects model, di mana media dianggap memiliki pengaruh yang kuat, terutama media televisi.Ahli komunikasi massa yang sangat mendukung keberadaan teori mengenai pengaruh kuat yang ditimbulkan oleh media massa adalah Noelle-Neumann melalui pandangannya mengenai gelombang kebisuan.

2. Uses, Gratifications and Depedency
Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg diguankan sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan media dan apa yang mereka gunakan untuk media?” (McQuail, 2002 : 388). Di sini sikap dasarnya diringkas sebagai berikut :
Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media, bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa(Rubin dalam Littlejohn, 1996 : 345).
Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya. Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain. Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002 : 387). Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387).
Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan mereka menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam skema media – persons interactions sebagai berikut :
Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan emosi
Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan sosial
Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai
Surveillance (bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).
Seperti yang telah kita diskusikan di atas, uses and gratifications merupakan suatu gagasan menarik, tetapi pendekatan ini tidak mampu melakukan eksplorasi terhadap berbagai hal secara lebih mendalam. Untuk itu mari sekarang kita mendiskusikan beberapa perluasan dari pendekatan yang dilakukan dengan teori uses and gratifications.

3. Teori Pengharapan Nilai (The Expectacy-Value Theory)
Phillip Palmgreen berusaha mengatasi kurangnya unsur kelekatan yang ada di dalam teori uses and gratification dengan menciptakan suatu teori yang disebutnya sebagai expectance-value theory (teori pengharapan nilai).
Dalam kerangka pemikiran teori ini, kepuasan yang Anda cari dari media ditentukan oleh sikap Anda terhadap media –kepercayaan Anda tentang apa yang suatu medium dapat berikan kepada Anda dan evaluasi Anda tentang bahan tersebut. Sebagai contoh, jika Anda percaya bahwa situated comedy (sitcoms), seperti Bajaj Bajuri menyediakan hiburan dan Anda senang dihibur, Anda akan mencari kepuasan terhadap kebutuhan hiburan Anda dengan menyaksikan sitcoms. Jika, pada sisi lain, Anda percaya bahwa sitcoms menyediakan suatu pandangan hidup yang tak realistis dan Anda tidak menyukai hal seperti ini Anda akan menghindari untuk melihatnya.

4. Teori Ketergantungan (Dependency Theory)
Teori ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin Defleur. Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini juga menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi kelemahan ini, pengarang ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh. Di dalam model mereka mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral antara pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media. Lalu apa yang sebenarnya melandasi ketergantungan khalayak terhadap media massa ?
Ada dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, khalayak akan menjadi lebih tergantung terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan khalayak bersangkutan dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa kebutuhan saja. Jika misalnya, Anda mengikuti perkembangan persaingan antara Manchester United, Arsenal dan Chelsea secara serius, Anda mungkin akan menjadi tergantung pada tayangan langsung Liga Inggris di TV 7. Sedangkan orang lain yang lebih tertarik Liga Spanyol dan tidak tertarik akan Liga Inggris mungkin akan tidak mengetahui bahwa situs TV 7 berkaitan Liga Inggris telah di up date, atau tidak melihat pemberitaan Liga Inggris di Harian Kompas.
Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan sistem media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial.
Untuk mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset etnografi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mitos dan Bahasa Media


Mitos dan Bahasa Media: Mengenal Semiotika Roland Barthes

Oleh: Anang Hermawan

Purwawacana: Representasi Realitas

Mempertalikan semiotika dan bahasa media nampaknya dapat menjadi satu diskusi yang menarik. Bukan saja karena persoalan filosofis mendasar yang acapkali menjadi perdebatan, melainkan juga karena tidak ada jalur tunggal untuk membongkar praktik pertandaan (baca: bahasa) media. Taruhlah dengan sebuah klaim sederhana para penganut semiotika, bahwa di balik bahasa media seringkali terkandung ‘sesuatu’ yang misterius. Dan semiotika dipercaya sebagai salah satu model rujukan untuk membantu melacak keberadaan misteri tersebut . Sekadar untuk keperluan pengantar, bagian berikut mencoba memaparkan secara singkat beberapa konsep yang relevan sebagai titik tolak pemahaman, yakni tentang representasi.

Konsep mengenai representasi hadir menempati tempat baru dalam studi budaya. Peralihan studi kebudayaan dalam ilmu sosial dan humaniora cenderung menekankan pada pentingnya makna. Dalam konteks ini budaya digambarkan sebagai proses produksi dan pertukaran makna yang terus menerus. Dalam kaitannya dengan dunia komunikasi, secara spesifik Alan O’Connor bahkan menggambarkan budaya sebagai proses komunikasi dan pemahaman yang aktif dan terus-menerus.[2] Implikasi dari pengertian ini adalah bahwa masing-masing pemaknaan orang tentang budaya akan sangat tergantung pada pemahaman subyektif antaraktor atau subyek di dalam lingkungan kebudayaannya.

Dalam konteks ini, ketika pemberitaan dipandang sebagai produk kebudayaan, maka menjadi penting untuk melihat bagaimana media memproduksi dan mempertukarkan makna melalui praktik bahasanya. Berita, sebagai keluaran akhir dari praktik bahasa media dapat dipahami sebagai produksi makna. Sebagai kesatuan organik, media merepresentasikan pikiran dan gagasan-gagasannya melalui berita yang dimereka hadirkan ke ruang publik. Mengapa representasi menjadi penting dalam kaitan ini? Dalam konteks ini terlihat menarik untuk mempersoalkan landasan filosofis yang menjadi basis penggunaan istilah tersebut. Mula-mula penting untuk membedakan term representasi dengan refleksi dalam memahami kembali produk media atau praktek bahasa yang mereka lakukan. Seringkali penggunaan kata representasi ini diperlawankan dengan kata refleksi, karena keduanya memang keduanya mengimplikasikan pandangan yang berbeda terhadap realitas yang ditampilkan media (realitas kedua) dengan realitas yang sebenarnya (realitas pertama). Sebagian orang mengatakan bahwa apa yang tampil di media merupakan ‘cermin’ realitas, dalam pengertian bahwa realitas yang tersaji di media dinilai sama dengan realitas empirik. Media berperan sebagai reflektor yang sekadar menghadirkan fakta atau peristiwa yang ada berlangsung dalam masyarakat, tidak kurang dan tidak lebih.

Pada kutub yang berlawanan, sebagian lagi mengatakan bahwa apa yang tersaji dalam media merupakan representasi. Realitas yang tampil di media merupakan hasil konstruksi yang boleh jadi telah mengalami penambahan maupun pengurangan karena turut campurnya faktor subyektivitas dari pelaku representasi alias ornag-orang yang terlibat dalam media. Tidaklah sesederhana pandangan reflektif, penggunaan istilah representasi berangkat dari kesadaran bahwa apa yang tersaji di media seringkali tidak selalu persis dengan apa yang ada di realitas empirik. Meyakini realitas media sebagai hasil konstruksi sama halnya dengan memandang suatu fenomena yang dibaratkan seperti gunung es. Permukaan yang terlihat seringkali hanya sebagian kecil dari kenyataan sesungguhnya, dan sebaliknya apa yang ada di bawah permukaan itu justru lebih besar. Pada gilirannya peran pemaknaan oleh ‘pembaca’ menjadi hal penting karena pembacalah yang mempunyai otoritas untuk melihat sejauh mana bagian yang tidak tampak dari gunung es itu dapat diketemukan. Dalam bahasa konstruktivis, peran pembaca untuk mengidentifikasi bagian-bagian yang (seringkali) tak terlihat itu disebut sebagai ‘memaknai’.

Persoalannya adalah ketika realitas media telah tersaji ke ruang publik maka media tidak lagi mempunyai otoritas untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki sehingga peran pemaknaan pun berpindah pada pembaca. Ketika pembaca mempunyai kekuasaan penuh untuk memaknai sebuah berita, maka peran bahasa menjadi penting. Bahasa menjadi medium istimewa yang melaluinya sebuah makna diproduksi. Bahasa beroperasi sebagai simbol yang mengartikan atau merepresentasikan makna yang ingin dikomunikasikan oleh pelakunya, atau dalam istilah yang dipakai Stuart Hall untuk menyatakan hal ini, fungsi bahasa adalah sebagai tanda.[3] Tanda mengartikan atau merepresentasikan (menggambarkan) konsep-konsep, gagasan atau perasaan sedemikian rupa yang memungkinkan seseorang ‘membaca’, men-decode atau menginterpretasikan maknanya.

Persoalan tanda ini secara lebih serius terangkum dalam satu disiplin yang disebut sebagai semiologi atau semiotik. Terobosan penting pada disiplin ini adalah diterimanya linguistik sebagai model beserta penerapan konsep-konsepnya dalam fenomena lain yang bukan hanya bahasa; dan dalam pendekatan ini lantas disebut sebagai teks. Salah seorang founding fathers semiologi, Ferdinand de Saussure, menyatakan bahasa sebagai sistem tanda yang mengekspresikan gagasan-gagasan: Language is a system of signs that express ideas, and is therefore comparable to a system of writing, the alphabet of deaf – mutes, symbolic rites, polite formulas, military signals, etc. but is the most important of all these systems.[4]

Suatu makna diproduksi dari konsep-konsep dalam pikiran seorang pemberi makna melalui bahasa. Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa. Dengan cara pandang seperti itu, Hall memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian utama, yakni mental representations dan bahasa.[5] Mental representations bersifat subyektif, individual; masing-masing orang memiliki perbedaan dalam mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan hubungan diantara semua itu. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem representasi karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadap bahasa bersama. Istilah umum yang seringkali digunakan untuk kata, suara, atau kesan yang membawa makna adalah tanda (sign).

Mungkin menjadi lebih menarik untuk menghubungkan persoalan representasi ini ke dalam fenomena bahasa media. Dalam relasi antara media dan ‘pembaca’-nya, pertama kali harus dipahami bahwa awak media adalah subyek yang mempunyai mental representation tersendiri yang tidak selalu sama dengan pembacanya. Adanya keniscayaan subyektif dari bahasa media tak urung menyajikan kerumitan tersendiri seperti seperti halnya adanya bias kepentingan dari media yang bersangkutan. Lebih lanjut, disadari atau tidak persoalan kepentingan ini seringkali mewakili gambaran ideologis dari pelaku representasi alis media. Lagi-lagi gambaran ini bersifat subyektif, artinya proses pembacaan terhadap bahasa media sama artinya dengan negosiasi antara mental representation pelaku representasi dan mental representation pembacanya. Dengan demikian diskusi mengenai bagaimana makna dari representasi atau teks media pada dasarnya merupakan pelacakan terhadap mental representation yang terkandung dalam awak media, yang kali ini dapat diklaim sebagai perwujudan media itu sendiri.

Semiotika dan Komunikasi

Sekadar untuk sebuah cara memulai pemahaman, komunikasi melibatkan tanda dan kode. Tanda adalah material atau tindakan yang menunjuk pada ‘sesuatu’, sementara kode adalah sistem di mana tanda-tanda diorganisasikan dan menentukan bagaimana tanda dihubungkan dengan yang lain. Pada tulisan ini pemahaman tentang komunikasi diadopsi dari definisi yang dikemukakan oleh John Fiske, yakni komunikasi sebagai “interaksi sosial melalui pesan”.

Terdapatnya banyak definisi komunikasi tidak mungkin untuk dibahas terlalu jauh dalam tulisan ini. Ringkasnya, cukuplah dikatakan bahwa pada dasarnya studi komunikasi merefleksikan dua aliran utama, yakni aliran proses dan aliran semiotik.[6] Pada aliran pertama, basis pengertiannya cenderung linear, seperti halnya definisi komunikasi yang menyatakan bahwa ‘komunikasi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan.’ Aliran ini memberi perhatian utama pada bagaimana sender mentransmisikan pesan kepada receiver melalui channel. Model Laswellian seringkali menjadi rujukan utama (rumus SMCRE: Source, Messages, Channel, Receiver, dan Effect) untuk menggambarkan bagaimana komunikasi berlangsung. Dalam aliran proses, efisiensi dan akurasi seringkali mendapat perhatian penting, sehingga ketika efektivitas komunikasi dinilai kurang atau gagal maka pemeriksaan akan segera dilakukan pada elemen-elemen proses itu untuk menemukan letak kegagalan dan kemudian memperbaikinya. Pendekatan ini terlihat mekanistik, karena berupaya menyederhanakan komunikasi dalam suatu model yang secara pasti dapat ditengarai dan dilucuti satu persatu unsur-unsurnya tanpa terlalu memperhitungkan bagaimana memntingkan makna-makna yang bersifat subyektif.

Berbeda halnya dengan tradisi pertama, perpektif kedua memandang komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna (productions and exchange of meaning). Pandangan ini memperhatikan bagaimana pesan berhubungan dengan penerimanya untuk memproduksi makna. Jika aliran proses memperlihatkan penguasaan makna pada sumber atau pengirim pesan, aliran semiotik justru membalik peran penguasaan makna kepada penerima pesan. Penerima pesan mempunyai otoritas mutlak untuk menentukan makna-makna yang ia terima dari pesan, sehingga peran sender cenderung terabaikan. Demikian juga, apa yang disebut sebagai pesan (message) pada paradigma ini seringkali disebut sebagai teks. Dalam kaitannya dengan produk media, seluruh pesan media dalam bentuk tulisan, visual, audio, bahkan audiovisual sekalipun akan dianggap sebagai teks. Jangkauan pemaknaan akan sangat tergantung pada pengalaman budaya dari receiver, yang dalam paradigma semiotik disebut sebagai ‘pembaca’ (reader). Tradisi semiotika tidak pernah menganggap terdapatnya kegagalan pemaknaan, karena setiap ‘pembaca’ mempunyai pengalaman budaya yang relatif berbeda, sehingga pemaknaan diserahkan kepada pembaca. Dengan demikian istilah kegagalan komunikasi (communication failure) tidak pernah berlaku dalam tradisi ini, karena setiap orang berhak memaknai teks dengan cara yang berbeda. Maka makna menjadi sebuah pengertian yang cair, tergantung pada frame budaya pembacanya.

Menilik sejarahnya, tradisi semiotika berkembang dari dua tokoh utama: Charles Sanders Peirce mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure mewakili tradisi Eropa. Keduanya tidak pernah bertemu sama sekali, sehingga kendati keduanya sering disebut mempunyai kemiripan gagasan, penerapan konsep-konsep dari masing-masing keduanya seringkali mempunyai perbedaan penting. Barangkali karena keduanya berangkat dari disiplin yang berbeda; Peirce adalah seorang guru besar filsafat dan logika, sementara Saussure adalah seorang ahli linguistik.[7] Istilah semiotika sendiri diperkenalkan oleh Peirce, sedangkan Saussure menamai pemikirannya dengan istilah semiologi. Dalam praktik analisis kedua istilah itu seringkali dipertukarkan tanpa membedakan artinya. Paling jauh, penggunaannya hanya untuk menunjuk salah satu mahzab yang dianut, meski untuk era sekarang barangkali sudah tidak jelas lagi model mana yang dijadikan model utama karena kadangkala konsep-konsep dari kedua tokoh itu terlanjur dipakai bersama.

Pusat perhatian semiotika pada kajian komunikasi adalah menggali apa yang tersembunyi di balik bahasa. Terobosan penting dalam semiotika adalah digunakannya linguistik (mungkin ini lebih terasa beraroma Saussurean) sebagai model untuk diterapkan pada fenomena lain di luar bahasa. Saussure mendefinisikan semiotika sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial”.[8] Tanda merupakan istilah yang sangat penting, yang terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda mewakili elemen bentuk atau isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna. Keduanya merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan sebagaimana layaknya dua bidang pada sekeping mata uang. Kesatuan antara penanda dan petanda itulah yang disebut sebagai tanda. Pengaturan makna atas sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial di kalangan komunitas bahasa. Suatu kata mempunyai makna tertentu karena adanya kesepakatan bersama dalam komunitas bahasa.

‘Tanda’ dan ‘hubungan’ kemudian menjadi kata-kata kunci dalam analisis semiotika. Bahasa dilucuti strukturnya dan dianalisis dengan cara mempertalikan penggunaannya beserta latar belakang penggunaaan bahasa itu. Usaha-usaha menggali makna teks harus dihubungkan dengan aspek-aspek lain di luar bahasa itu sendiri atau sering juga disebut sebagai konteks. Teks dan konteks menjadi dua kata yang tak terpisahkan, keduanya berkelindan membentuk makna. Konteks menjadi penting dalam interpretasi, yang keberadaannnya dapat dipilah menjadi dua, yakni intratekstualitas dan intertekstulaitas. Intratekstualitas menunjuk pada tanda-tanda lain dalam teks, sehingga produki makna bergantung pada bagaimana hubungan antartanda dalam sebuah teks. Sementara intertekstualitas menunjuk pada hubungan antarteks alias teks yang satu dengan teks yang lain. Makna seringkali tidak dapat dipahami kecuali dengan menghubungkan teks yang satu dengan teks yang lain.

Pengkajian tentang konteks dalam pemaknaan barangkali merupakan sebuah kerja yang menarik. Bukan saja karena dimensi kontekstual yang berbeda akan melahirkan makna yang berbeda; melainkan juga bahwa sebuah analisis semiotika akan mampu menggali hal-hal yang sifatnya subtle dari penggunaan bahasa seperti halnya tentang seperangkat nilai atau bahkan ideologi yang tersembunyi di balik penggunaan bahasa. Pada tingkat ini, semiotika seringkali ditunjuk sebagai model awal dari analisis yang mampu menampilkan bekerjanya ideologi dalam teks.[9] Terdapat banyak varian pengertian ideologi, meski secara singkat dapat dapat dimengerti bahwa ideologi menunjuk pada serangkaian ide yang menyusun realitas kelompok, sebuah sistem representasi atau kode yang menentukan bagaimana sesorang menggambarkan dunia atau lingkungannya. Varian lain dapat pula diambil dari Marxisme klasik menggambarkan ideologi sebagai kesadaran palsu (false conciousness) yang diabadikan oleh kekuatan-kekuatan dominan dalam masyarakat.[10] Pengertian lain dapat pula diambil dari pos-Marxisme yang menjadi cikal bakal teori kritis.

Teoritisi kritis kontemporer cenderung percaya bahwa sekarang ini tidak lagi terdapat ideologi tunggal yang bermain dalam masyarakat. Ideologi bukan sesuatu yang pejal, rigit dan diperjuangkan dalam situasi heroik sehingga seakan terpisah dari sistem sosial masyarakat. Dalam pandangan terotisi kritis, ideologi justru melekat dalam seluruh proses sosial dan kultural, dan bahasa menjadi ciri terpenting bagi bekerjanya sebuah ideologi. Ideologi bergerak melalui bahasa, sehingga apa yang nampak dari struktur bahasa diandaikan sebagai struktur dari masyarakat yang mewadahi sebuah idelogi tertentu. Ambillah misalnya pendapat seorang penganut Marxis terkenal, Louis Althusser, yang menyatakan bahwa ideologi tampil dalam struktur masyarakat dan timbul dalam praktik nyata yang dilakukan oleh beragam institusi dalam masyarakat.[11] Pemikiran Althusser ini mendapat pengaruh kuat dari strukturalisme, terutama atas pandangan yang mengatakan bahwa esensi ideologi dapat ditengarai melalui struktur bahasa. Ideologi bermain di belakang penetapan representasi. Pemaknaan ideologis dimulai dengan memahami bagaimana bekerjanya sistem bahasa dalam struktur sosial. Kombinasi dan disposisi menjadi kata-kata kunci untuk mengurai sejauh mana ideologi bermain dalam bahasa, sehingga untuk membongkar bahasa ideologis maka sebuah representasi harus dibongkar terlebih dahulu strukturnya, kemudian makna dipertalikan dengan keberadaan struktur sosial yang melandasi penggunaan struktur bahasa (prinsip intertekstualitas)

Tentu saja tak ada yang benar-benar obyektif di sini, kita tidak dapat mengatakan bahwa pembongkaran terhadap struktur bahasa beserta temuan ideologi dalam bahasa merupakan jaminan terhadap kepastian akhir suatu ideologi. Berubahnya struktur boleh jadi akan mengubah makna ideologis, karena dalam term Althuserrian ideologi ditentukan oleh strukturnya.[12] Sehingga ideologi merupakan realitas subyektif yang hadir di masyarakat, lentur, cair dan siap berubah. Ideologi hadir dalam tiap orang sebagai sesuatu yang sifatnya halus dan seringkali tidak disadari, sehingga ideologi tidak lagi dipandang dalam tradisi Marxisme klasik yang mengatakannya sebagai kesadaran palsu (false conciousness). Ini yang kemudian membedakan pengertian ideologi antara Marx dan Althusser. Tokoh terakhir ini justru memaknai ideologi sebagai ketidaksadaran yang begitu mendalam (profoundly unconciousness) yang praktiknya dalam diri manusia berlnagsung dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh, Althusser melihat bahwa ideologi seringkali disebarkan oleh struktur sosial seperti yang ia sebut sebagai ideological state apparatus (ISA) dan reppresive state apparatus (RSA). Melalui gagasannya ini Althusser hendak mengatakan bahwa seluruh lembaga sosial dan politik terlibat punya andil dalam penyebaran ideologi dan dominasi distribusi makna. Melalui Althusser, sebuah model analisis struktural (semiotika maupun wacana) dapat dikembangkan pada penglihatan pada bagimana bekerjanya hubungan kekuasaan antar struktur masyarakat, yang, tentu saja sebatas penggunaannya pada bahasa. Media, sebagai bagian struktur yang berurusan dengan bahasa seringkali ditunjuk sebagai biang keladi dari penyebar ideologi.

Analisis Mitos: Sebuah Perangkat Kajian Semiotika

Analisis kritis media berupaya mempertautkan hubungan antara media massa dan keberadaan struktur sosial. Analisis kritis menguji kandungan-kandungan pesan media, bagaimana teks/bahasa media dikaji, dan bagaimana makna yang dapat dimunculkan dari teks. Bagian berikut akan sedikit mengetengahkan gagasan-gagasan semiotis yang dikemukakan oleh seorang penganut Saussure dari Perancis, Roland Barthes. Gagasan-gagasannya memberi gambaran yang luas mengenai media kontemporer. Boleh jadi Barthes merupakan orang terpenting kedua dalam tradisi semiotika Eropa setelah Saussure. Melalui sejumlah karyanya ia tidak hanya melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, pemikirannya justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari bahasa yang ia ketengahkan sebagai mitos.

Ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan menjadi jelas bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan (seperti tata letak / lay out, rubrikasi, dsb) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebut fenomena ini – membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu– sebagai penciptaan mitos.[13] Pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari –seperti halnya cerita-cerita tradisional– melainkan sebuah cara pemaknaan; dalam bahasa Barthes: tipe wicara.[14] Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh pelbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.

Mitos oleh karenanya bukanlah tanda yang tak berdosa, netral; melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya. Kendati demikian, kandungan makna mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah (‘mitos’ diperlawankan dengan ‘kebenaran’); cukuplah dikatakan bahwa praktik penandaan seringkali memproduksi mitos. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada disekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa yang lain.[15]

Pemikiran Barthes tentang mitos nampaknya masih melanjutkan apa yang diandaikan Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda dan petanda. Tetapi yang dilakukan Barthes sesungguhnya melampaui apa yang lakukan Saussure. Bagi Barthes, mitos bermain pada wilayah pertandaan tingkat kedua atau pada tingkat konotasi bahasa. Jika Sauusure mengatakan bahwa makna adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, Barthes menambah pengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.

Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Sausure, yang hanya berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, ‘pembaca’ teks dapat memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif.[16] Lebih dari itu, di samping gagasannya dapat dimanfaatkan untuk menganalisis media, semiotika konotasi ala Barthesian ini memungkinkan penggunaannya untuk wilayah-wilayah lain seperti pembacaan terhadap karya sastra dan fenomena budaya kontemporer atau budaya pop. Bahkan dalam pandangan Ritzer, Barthes adalah pengembang utama ide-ide Saussure pada semua aspek kehidupan sosial.[17] Bagi Barthes, semiologi bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai ‘tanda’ alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik.

Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut sebagai konotator, terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Beberapa tanda boleh jadi secara berkelompok membentuk sebuah konotator tunggal, asalkan yang disebut terakhir tadi memiliki sebuah petanda konotator tunggal. Dengan kata lain, satuan-satuan dari sistem terkonotasi tidak mesti memiliki ukuran yang sama dengan sistem yang tertandakan: fragmen-fragmen besar dari diskursus yang bersangkutan dapat membentuk sebuah satuan sistem terkonotasi tunggal. Sebagai contoh, misalnya, dengan melihat suatu teks, yang tersusun dari sejumlah banyak kata, namun makna umum dari itu merujuk pada sebuah petanda tunggal). Bagaimanapun caranya ia dapat menutup pesan yang ditunjukkan, konotasi tidak menghabiskannya: selalu saja tertinggal ‘sesuatu yang tertunjukkan’ (jika tidak diskursus menjadi tidak mungkin sama sekali) dan konotator-konotator selalu berada dalam analisa tanda-tanda yang diskontinyu dan tercerai-berai, dinaturalisasi oleh bahasa yang membawanya.

Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum, global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis. Berbagai petanda ini memiliki suatu komunikasi yang amat dekat dengan budaya, pengetahuan, sejarah, dan melalui merekalah, demikian dikatakan, dunia yang melingkunginya menginvasi sistem tersebut. Kita dapat katakan bahwa ideologi adalah suatu form penanda-penanda konotasi, sementara gaya bahasa, majas atau metafora adalah elemen bentuk (form) dari konotator-konotator. Singkatnya, konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya. Penggunaan tanda satu persatu dapat mengurangi kecenderungan “anarkis” penciptaan makna yang tak berkesudahan, di sisi lain, namun keanekaragaman budaya dan perubahan terus-menerus membentuk wilayah petanda konotatif yang bersifat global dan tersebar. Ideologi, secara semiotis, adalah penggunaan makna-makna konotasi tersebut di masyarakat alias makna pada makna tingkat ketiga.

Secara sekilas skema Barthes mengisyaratkan bahwasanya tak ada satu pun aktivitas penggunaan tanda yang bukan ideologi, namun sebenarnya tidak seperti itu. Ideologi, pada hakikatnya, adalah suatu sistem kepercayaan yang dibuat-buat, suatu kesadaran semu yang kemudian mengajak (interpellation) kepada individu-individu untuk menggunakannya sebagai suatu “bahasa” sehingga membentuk orientasi sosialnya dan kemudian berperilaku selaras dengan ideologi tersebut. Apa yang sebenarnya ditunjuknya adalah sebuah himpunan relasi-relasi yang ada, tidak seperti suatu konsep ilmiah, ia tidak menyediakan sebuah alat untuk mengetahuinya. Dalam suatu cara khusus (ideologis), ia menunjukkan beberapa eksistensi, namun tidak memberikan kita esensinya.

Beroperasinya ideologi melalui semiotika mitos ini dapat ditengarai melalui asosiasi yang melekat dalam bahasa konotatif. Barthes mengatakan penggunaan konotasi dalam teks ini sebagai: penciptaan mitos. Ada banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang kecantikan, kejantanan, pembagian peran domestik versus peran publik dan banyak lagi. Mitos ini bermain dalam tingkat bahasa yang oleh Barthes disebutnya ‘adibahasa’ (meta-language).[18] Penanda konotatif menyodorkan makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.[19] Dibukanya medan pemaknaan konotatif ini memungkinkan pembaca memakanai bahasa metafor atau majazi yang makanya hanya dapat dipahami pada tataran konotatif. Dalam mitos, hubungan antara penanda dan petanda terjadi secara termotivasi. Pada level denotasi, sebuah penanda tidak menampilkan makna (petanda) yang termotivasi. Motivasi makna justru berlangsung pada level konotasi.

Barthes menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi juga, karena mitos ini toh merupakan sebuah pesan juga. Ia menyatakan mitos sebagai “modus pertandaan, sebuah bentuk, sebuah “tipe wicara” yang dibawa melalui wacana. Mitos tidaklah dapat digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut disampaikan.[20] Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya ditekstualisasikan. Dalam narasi berita, pembaca dapat memaknai mitos ini melalui konotasi yang dimainkan oleh narasi. Pembaca yang jeli dapat menemukan adanya asosiasi-asosiasi terhadap ‘apa’ dan ‘siapa’ yang sedang dibicarakan sehingga terjadi pelipatgandaan makna. Penanda bahasa konotatif membantu untuk menyodorkan makna baru yang melampaui makna asalnya atau dari makna denotasinya.

Sering dikatakan bahwa ideologi bersembunyi di balik mitos. Ungkapan ini ada benarnya, suatu mitos menyajikan serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran representator. Ketidaksadaran adalah sebentuk kerja ideologis yang memainkan peran dalam tiap representasi. Mungkin ini bernada paradoks, karena suatu tekstualisasi tentu dilakukan secara sadar, yang dibarengi dengan ketidaksadaran tentang adanya sebuah dunia lain yang sifatnya lebih imaginer. Sebagaimana halnya mitos, ideologi pun tidak selalu berwajah tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak ideologi; kehadirannya tidak selalu kontintu di dalam teks. Mekanisme kerja mitos dalam suatu ideologi adalah apa yang disebut Barthes sebagai naturalisasi sejarah. Suatu mitos akan menampilkan gambaran dunia yang seolah terberi begitu saja alias alamiah. Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut menyediakan fungsinya untuk mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan yang ada dalam masyarakat.

Ideologi berbeda dengan konsep sains, dan lebih berbeda lagi dengan kesadaran iluminatif. Kesadaran iluminatif berada pada tingkat kesadaran diri yang merembes dari pengertian sesorang akan nilai kegamaan melalui kitab suci (nilai batiniah), sementara kesadaran ideologis dalam term Barthes berada pada tingkat kesadaran psikis, atau lebih tepatnya lagi di wilayah ego yang merupakan sistem representasi berupa image yang mengkonstruksi kesadaran yang sifatnya semu. Artikulasi mendasar dari proses ideologis tidak dari proyeksi kesadaran yang teralienasi ke dalam berbagai superstruktur, namun dalam generalisasi pada seluruh tingkatan dari suatu kode struktural. Maka ideologi bukanlah suatu tipuan misterius dari kesadaran; ia adalah suatu logika sosial yang disubstitusikan untuk lainnya (dan yang menyelesaikan kontradiksi yang sebelumnya), sehingga mengubah definisi dari nilai itu sendiri. Ideologi bekerja ibarat sihir dari kode yang membentuk “dasar dominasi.

Teori Barthes tentang mitos/ideologi memungkinkan seoarng pembaca atau analis untuk mengkaji ideologi secara sinkronik maupun diakronik. Secara sinkronik, makna terantuk pada suatu titik sejarah dan seolah berhenti di situ, oleh karenanya penggalian pola-pola tersembunyi yang menyertai teks menjadi lebih mungkin dilakukan. Pola tersembunyi ini boleh jadi berupa pola oposisi, atau semacam skema pikir pelaku bahasa dalam representasi.[21] Sementara secara diakronik analisis Barthes memungkinkan untuk melihat kapan, di mana dan dalam lingkungan apa sebuah sistem mitis digunakan. Mitos yang dipilih dapat diadopsi dari masa lampau yang sudah jauh dari dunia pembaca, namun juga dapat dilihat dari mitos kemrin sore yang akan menjadi “founding prospective history”.[22] Media seringkali berperilaku seperti itu, mereka merepresentasikan, kalau bukan malah menciptakan mitos-mitos baru yang kini hadir di tengah masyarakat. Untuk yang terakhir ini, penulis berkecenderungan untuk mengatakan bahwa media melakukan proses ‘mitologisasi’, dunia kita sehari-hari digambarkan dalam cara yang penuh makna dan dibuat sebuah pemahaman yang generik bahwa memang begitulah seharusnya dunia. Iklan, berita, fesyen, pertunjukan selebritas adalah dunia kecil yang akrab kita jumpai dan menjadi ikon dari dunia besar: mitos dan ideologi di baliknya.

Pemikiran Barthes tentang ideologi seringkali bersinggungan dengan pemikiran Althusser, dan keduanya memang terlihat saling melengkapi. Rupanya Barthes adalah salah seorang mahasiswa Althusser. Kedua orang yang berbeda generasi itu mempunyai minat yang sama: ideologi.[23] Baik Althusser maupun Barthes sepakat bahwa ideologi menjadi tempat di mana orang mengalami subyektivitasnya. Hanya saja, Barthes telah menerapkan teori subyektivitas yang berada di luar jangkauan analisis Althusser. Barthes dapat menjangkau teori subyektivitas melalui konsepnya tentang sistem mitis, di mana dia dapat menjelaskan konsepnya secara lebih skematik. Dan boleh jadi Barthes akan menjadi lebih akrab dengan kita karena apa yang diambilnya seringkali berasal dari dunia yang amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Ideologi menjadi persoalan konsumsi, secara tidak sadar kita melahapnya dalam persoalan keseharian, dan konsumsi pun menjadi bermakna ideologis. Ini yang membedakannya dengan Althusser yang terpancang pada Marxisme klasik dalam melihat hubungan antara negara dan masyarakat sipil, sehingga dalam kerangka kerja Althusser, analisis Barthes mungkin berada di luar jangkauan Althusser tentang ideologi. Barthes tidak seperti itu, apa yang dilihatnya seringkali kita rasakan sebagai sesuatu yang remeh-temeh, justru dapat dimaknai dengan begitu mendalam. Pencarian makna oleh pembaca tidak mandeg, karena selalu saja ada hal-hal baru yang akan muncul dan bermakna. Barthes sesungguhnya hanya memberi tongkat kecil bagi seorang yang rabun untuk dapat menyusuri jalan yang tak rata dan berlobang. Dan kita acapkali menjadi orang rabun itu.

*************

Daftar Pustaka

Downing, John, Ali Mohammadi & Annabele Srebery-Mohammadi (Eds.), Questioning The Media: A Critical Introdustion, Sage Publication, Newbury Park, California, 1990

Hall, Stuart (Ed.), Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices, Sage Publications, London, 1997.

Berger, Arthur Asa, Media Analysis Techniques, Sage Publications, Beverly Hills, California, 1982.

Fiske, John, Introductions to Communication Studies, Routledge, London, 1990.

Sujiman, Panuti, & Aart van Zoest (Ed.), Serba-serbi Semiotika, Gramedia, Jakarta, 1991.

Amir Piliang, Yasraf, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003.

Littlejohn, Stephen W., Theories of Human Communication, Wardsworth, Belmont, California, 1996.

Bagus Takwin: “Cuplikan-cuplikan Ideologi”, Jurnal Filsafat Universitas Indonesia Volume I No. 2, Agustus 1999.

Bignell, Jonathan, Media Semiotics: An Introduction, Manchester University Press, Manchester and New York, 1997.

Barthes, Roland, Mitologi, (Terj. Nurhadi & Sihabul Millah), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004.

Tolson, Andrew, Mediations: Text and Discourse ini Media Studies, Arnold, London, 1996.

Christomy, T., & Untung Yuwono, Semiotika Budaya, Penerbit Pusat Kemasyarakatan dan Budaya UI, Jakarta, 2004.

Ritzer, George, Teori Sosial Postmodern (penerj. Muhammad Taufiq), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2003.

Strinati, Dominic, An Introduction to Theories of Popular Culure, Routledge, New York, 1995.

Storey, John (Ed.) Cultural Theory and Cultural Culture: A Reader, Harvester Heatsheaf, New York, 1994.

St. Sunardi, Semiotika Negativa, Buku Baik, Yogyakarta, 2004.

*********

[1] Staf Pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta.

[2] Alan O.Connor: “Culture and Communication”, dalam John Downing, Ali Mohammadi & Annabele Srebery-Mohammadi (Eds.), Questioning The Media: A Critical Introdustion, Sage Publication, Newbury Park, California, 1990, hal. 29.

[3] Stuart Hall (Ed.), Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices, Sage Publications, London, 1997, hal.5.

[4] Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, Sage Publications, Beverly Hills, California, 1982, hal. 16.

[5] Hall, op. cit., hal. 17.

[6] John Fiske, Introductions to Communication Studies, Routledge, London, 1990, hal 1.

[7] Aart van Zoest: “Interpretasi dan Semiotika” (terj. Okke K.S. Zaimar dan Ida Sundari Husein) dalam Panuti Sujiman dan Aart van Zoest (Ed.), Serba-serbi Semiotika, Gramedia, Jakarta, 1991, hal.1.

[8] Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003, hal. 256.

[9] Dalam hemat penulis, setidaknya terdapat dua model utama dari penelitian yang akrab digunakan untuk melihat bagaimana cara kerja ideologi melalui teks, yakni analisis semiotika dan analisis wacana kritis. Analisis wacana barangkali merupakan kelanjutan dari analisis semiotika, karena secara historis memang lahirnya didahului oleh analisis semiotika. Dalam perkembangannya, analisis wacana memang cenderung untuk mengambil posisi sebagai metode penggali kerja ideologi dan hubungan kekuasaan dalam teks. Kendati demikian, banyak istilah yang secara mendasar diambil dari tradisi semiotika. Dalam beberapa hal, analisis semiotika berkemungkinan untuk menggali ideologi di balik teks, sehingga batas yang tegas antara kedua jenis analisis itu memang agak kabur. Preskripsi sederhana untuk memperlihatkan perbedaan keduanya kira-kira adalah bahwa analisis semiotika berupaya melihat aspek ‘what’ dan ‘how’ dari teks, sementara analisis wacana cenderung kepada menjawab pertanyaan tentang ‘how’dan ‘why’ dari teks.

[10] Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, Wardsworth, Belmont, California, 1996, hal. 228.

[11] Ibid., hal. 29.

[12] Bagus Takwin: “Cuplikan-cuplikan Ideologi”, dalam Jurnal Filsafat Universitas Indonesia Volume I No. 2, Agustus 1999.

[13] Jonathan Bignell, Media Semiotics: An Introduction, Manchester University Press, Manchester and New York, 1997, hal 16.

[14] Roland Barthes, Mitologi, (Terj. Nurhadi & Sihabul Millah), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004, hal 152. Lihat juga Roland Barthes: “Myth Today”, dalam John Storey (Ed.), Cultural Theory and Popular Culture: A Reader, Harvester Wheatsheet, New York, 1994, hal. 107.

[15] Andrew Tolson, Mediations: Text and Discourse ini Media Studies, Arnold, London, 1996, hal. 7.

[16] Manneke Budiman: “Semiotika dalam Tafsir Satra: Antara Riffaterre dan Barthes” dalam T. Christomy dan Untung Yuwono, Semiotika Budaya, Penerbit Pusat Kemasyarakatan dan Budaya UI, Jakarta, 2004, hal 255.

[17] George Ritzer, Teori Sosial Postmodern (penerj. Muhammad Taufiq), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2003.

[18] Dominic Strinati, An Introduction to Theories of Popular Culure, Routledge, New York, 1995, hal. 113.

[19] Budiman, op.cit., hal. 255.

[20] Ibid., hal. 112. Lihat juga Roland Barthes: “Myth Today” dalam John Storey (Ed.) Cultural Theory and Cultural Culture: A Reader, Harvester Heatsheaf, New York, 1994, hal. 107.

[21] Berger, op.cit., hal. 30.

[22] St. Sunardi, Semiotika Negativa, Buku Baik, Yogyakarta, 2004, hal. 116.

[23] Ibid., hal. 126.

http://abunavis.wordpress.com/2007/12/31/mitos-dan-bahasa-media-mengenal-semiotika-roland-barthes/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ruang Publik Politis: Komunikasi Politis dalam Masyarakat Majemuk


"Segala tindakan yang menyangkut hak orang-orang lain

yang maksimnya tak sesuai dengan kepublikan adalah tak adil."

- Immanuel Kant

BANGSA kita sedang memasuki tahapan sejarah yang sangat penting dengan melangsungkan pemilihan presiden secara langsung. Namun, ini baru awal. Sangatlah dini mengklaim sukses pemilu sebagai sukses demokratisasi. Pemahaman demokrasi di negara-negara yang sedang melangsungkan transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi seperti negara kita bersifat minimal. Demokrasi dimengerti sebagai pemilihan umum yang berlangsung fair. Demokrasi minimalis ini mengabaikan proses di antara pemilihan umum yang satu dan pemilihan umum yang lain. Namun, jika bertolak dari konsep demokrasi itu sendiri, kita tak dapat berhenti pada sikap minimalis.

DEMOKRASI per definitionem, seperti dirumuskan secara padat dalam bahasa Jerman, adalah regierung der regierten (pemerintahan dari mereka yang diperintah). Jika demikian, menyerahkan kepercayaan begitu saja kepada para pelaku dalam sistem politik hasil pemilihan umum-eksekutif, legislatif, dan yudikatif-tidak akan memenuhi definisi itu. Mereka yang diperintah harus mendapatkan akses pengaruh ke dalam sistem politik. Jika demokrasi ingin maksimal, celah di antara dua pemilihan umum harus diisi dengan partisipasi politis warga negara dalam arti seluas-luasnya. Dalam demokrasi maksimal inilah konsep ruang publik menduduki tempat sentral.

Bila demokrasi tidak sekadar dipahami formalistis, ia harus memberikan kemungkinan kepada warga negara mengungkapkan opini mereka secara publik. Ruang atau, katakanlah, panggung tempat warga negara dapat menyatakan opini, kepentingan, serta kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas tekanan itu merupakan inti ide ruang publik politis. Konsep ruang di sini bukanlah metafora, melainkan real, sejauh kita tidak memahaminya sebagai ruang geometris yang terukur dan berciri fisis. Ruang sosial terbentuk lewat komunikasi, yakni, seperti dikatakan Hannah Arendt, suatu lingkup bagi suatu "aku" untuk menyatakan "kesiapaannya" di hadapan suatu "kamu" sehingga suatu tindakan bersama suatu "kita" menjadi mungkin.

Dalam teori-teori demokrasi klasik dikenal konsep volonte generale (kehendak umum), yaitu keputusan publik yang mencerminkan kepentingan seluruh rakyat. Konsep kuno yang berasal dari Jean-Jacques Rousseau ini tetap dianut dalam praktik-praktik parlementarisme modern meski konsep itu lahir dari masyarakat berukuran kecil yang relatif homogen: masyarakat kanton Swiss. Sulit membayangkan realisasi volonte generale dalam sebuah masyarakat majemuk dengan keragaman orientasi nilai dan gaya hidup dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini. Ide tentang ruang publik politis dapat menjelaskan relevansi konsep klasik itu di dalam masyarakat kompleks seperti masyarakat Indonesia.

Apa itu ruang publik politis?

Dalam masyarakat majemuk dewasa ini, suatu identifikasi "kedaulatan rakyat" dengan "perwakilan rakyat" dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi semakin sulit karena sistem politik "hanyalah" salah satu subsistem di antara subsistem lain di dalam sebuah masyarakat kompleks. Karena itu, konsep kedaulatan rakyat harus ditafsirkan secara baru. Jika parlemen hanyalah salah satu subsistem masyarakat kompleks, kedaulatan rakyat seharusnya dibayangkan melampaui sistem perwakilan itu, yang merupakan intensitas interaksi diskursif di antara berbagai subsistem di dalam masyarakat majemuk. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat adalah "totalitas bentuk" dan "isi komunikasi" tentang persoalan-persoalan publik yang berlangsung, baik di dalam sistem politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) maupun di dalam masyarakat luas.

Jika interpretasi ini dapat diterima, ruang publik politis yang berfungsi baik dan kedaulatan rakyat adalah satu dan sama. Konsep ruang publik politis merupakan pemahaman baru atas konsep kedaulatan rakyat agar konsep ini dapat diterapkan di dalam masyarakat kompleks di era globalisasi ini.

Dalam karya awalnya, Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik), Juergen Habermas menjelaskan ruang publik politis sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif (1). Pertanyaannya sekarang, kondisi-kondisi manakah yang diacu oleh Habermas?

Pertama, partisipasi dalam komunikasi politis itu hanya mungkin jika kita menggunakan bahasa yang sama dengan semantik dan logika yang konsisten digunakan. Semua warga negara yang mampu berkomunikasi dapat berpartisipasi di dalam ruang publik politis itu.

Kedua, semua partisipan dalam ruang publik politis memiliki peluang yang sama untuk mencapai suatu konsensus yang fair dan memperlakukan mitra komunikasinya sebagai pribadi otonom yang mampu bertanggung jawab dan bukanlah sebagai alat yang dipakai untuk tujuan-tujuan di luar diri mereka.

Ketiga, harus ada aturan bersama yang melindungi proses komunikasi dari represi dan diskriminasi sehingga partisipan dapat memastikan bahwa konsensus dicapai hanya lewat argumen yang lebih baik. Singkatnya, ruang publik politis harus "inklusif", "egaliter", dan "bebas tekanan" (2). Kita dapat menambahkan ciri-ciri lain: pluralisme, multikulturalisme, toleransi, dan seterusnya. Ciri ini sesuai dengan isi konsep kepublikan itu sendiri, yaitu dapat dimasuki oleh siapa pun.

Di manakah lokus ruang inklusif, egaliter, dan bebas tekanan itu di dalam masyarakat majemuk? Jika kita, seperti analisis Habermas, membayangkan masyarakat kompleks dewasa ini sebagai tiga komponen besar, yaitu sistem ekonomi pasar (kapitalisme), sistem birokrasi (negara), dan solidaritas sosial (masyarakat), lokus ruang publik politis terletak pada komponen solidaritas sosial. Dia harus dibayangkan sebagai suatu ruang otonom yang membedakan diri, baik dari pasar maupun dari negara.

Dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini, sulitlah membayangkan adanya forum atau panggung komunikasi politis yang bebas dari pengaruh pasar ataupun negara. Kebanyakan seminar, diskusi publik, demonstrasi, dan seterusnya didanai, difasilitasi, dan diformat oleh kekuatan finansial besar, entah kuasa bisnis, partai, atau organisasi internasional dan seterusnya. Hampir tak ada lagi lokus yang netral dari pengaruh ekonomi dan politik. Jika demikian, ruang publik politis harus dimengerti secara "normatif": ruang itu berada tidak hanya di dalam forum resmi, melainkan di mana saja warga negara bertemu dan berkumpul mendiskusikan tema yang relevan untuk masyarakat secara bebas dari intervensi kekuatan-kekuatan di luar pertemuan itu. Kita menemukan ruang publik politis, misalnya, dalam gerakan protes, dalam aksi advokasi, dalam forum perjuangan hak-hak asasi manusia, dalam perbincangan politis interaktif di televisi atau radio, dalam percakapan keprihatinan di warung-warung, dan seterusnya.

Berbeda dari demokrasi dalam masyarakat yang berukuran relatif kecil dan homogen, demokrasi di dalam masyarakat kompleks yang berukuran gigantis seperti masyarakat kita tidak dapat berfungsi secara memuaskan hanya dengan mengandalkan kinerja para wakil rakyat dalam DPR/MPR. Subjek kedaulatan rakyat dalam masyarakat majemuk tidak boleh dibatasi pada aktor-aktor parlementer. Subjek itu seharusnya adalah para aktor dalam ruang publik politis, dan mereka adalah apa yang kita sebut masyarakat sipil. Mereka terdiri atas perkumpulan, organisasi, dan gerakan yang terbentuk spontan untuk menyimak, memadatkan, dan menyuarakan keras-keras ke dalam ruang publik politis problem sosial yang berasal dari wilayah privat (3).

Masyarakat sipil bukan hanya pelaku, melainkan juga penghasil ruang publik politis. Seperti diteliti oleh J Cohen dan A Arato, ruang publik politis yang dihasilkan para aktor masyarakat sipil itu dicirikan oleh "pluralitas" (seperti keluarga, kelompok nonformal, dan organisasi sukarela), "publisitas" (seperti media massa dan institusi budaya), "privasi" (seperti moral dan pengembangan diri), dan "legalitas" (struktur hukum dan hak-hak dasar) (4).

Fungsi ruang publik politis

Di dalam rezim Soeharto, negara mengintervensi pembentukan opini publik dengan alasan pemeliharaan stabilitas nasional, mengawasi media massa secara ketat demi keamanan nasional, menstigma para oposan, dan merintangi pembentukan spontan kelompok-kelompok politis. Pemerintah saat itu membenarkan politik represifnya dengan alasan bahwa negara sudah diperlengkapi dengan DPR/MPR untuk kanalisasi aspirasi publik, sementara lembaga perwakilan ini berada di bawah dominasi eksekutif.

Masih basah dalam ingatan kita bagaimana pada setiap pemilihan presiden terjadi kor setuju yang jadi ritual bagi terpilihnya kembali Soeharto untuk kesekian kalinya. Tak boleh ada beda pendapat. Aklamasi dipersiapkan sebelumnya. Negara Orde Baru adalah sebuah sistem administrasi otoriter yang merintangi pembentukan ruang publik politis dengan menciptakan publik semu yang bertindak seolah-olah mewakili volonte generale.

Negara Orde Baru tidak hanya tidak memiliki sambungan pada sumber loyalitas dan legitimitasnya, melainkan juga kekurangan sensibilitas terhadap masalah sosial yang nyata dihadapi. Tak adanya sambungan inilah yang menyebabkan rakyat menarik kembali legitimitas pemerintahan Soeharto lewat gerakan reformasi. Reformasi tak lain dari membangun jaringan yang menyambungkan sistem politik dengan sumber legitimitasnya: rakyat.

Dalam negara hukum demokratis, ruang publik politis berfungsi sebagai sistem alarm dengan sensor peka yang menjangkau seluruh masyarakat. Pertama, ia menerima dan merumuskan situasi problem sosio-politis. Melampaui itu, kedua, ia juga menjadi mediator antara keanekaragaman gaya hidup dan orientasi nilai dalam masyarakat di satu pihak dan sistem politik serta sistem ekonomi di lain pihak. Kita bisa membayangkan ruang publik politis sebagai struktur intermedier di antara masyarakat, negara, dan ekonomi. Organisasi-organisasi sosial berbasis agama, lembaga swadaya masyarakat, perhimpunan cendekiawan, paguyuban etnis, kelompok solidaritas, gerakan inisiatif warga, dan masih banyak lainnya dalam ruang publik memberikan isyarat problem mereka agar dapat dikelola oleh negara.

Ruang publik berfungsi baik secara politis jika secara "transparan" memantulkan kembali persoalan yang dihadapi langsung oleh yang terkena. Transparansi itu hanya mungkin jika ruang publik tersebut otonom di hadapan kuasa birokratis dan kuasa bisnis. Tuntutan normatif ini tentu sulit didamaikan dengan fakta bahwa media elektronik dan cetak di masyarakat kita kerap menghadapi dilema yang tak mudah dipecahkan di hadapan tekanan politis maupun pemilik modal. Namun, itu tak berarti bahwa para pelaku ruang publik menyerah saja pada imperatif pasar dan birokrasi. Tanpa memenuhi tuntutan normatifnya, ruang publik hanya akan menjadi "ekstensi" pasar dan negara belaka.

Tentu sulit membayangkan ruang publik sebagai ruang bebas kuasa. Sebaliknya, ruang publik politis justru merupakan jaringan kekuasaan yang sangat kompleks karena setiap bentuk perhimpunan dalam masyarakat kita membentuk ruang publiknya sendiri yang ingin mendesakkan kebutuhannya. Kita dapat memakai hasil analisis Habermas untuk membedakan dua tipe ruang publik politis dalam masyarakat kita (5).

Tipe pertama-sebut saja "ruang publik autentik"-adalah ruang publik yang terdiri atas proses komunikasi yang diselenggarakan oleh institusi nonformal yang mengorganisasikan dirinya sendiri. Komunikasi di sini terjalin secara horizontal, inklusif, dan diskursif. Para aktor dalam tipe pertama ini berasal dari publik itu sendiri, hidup dari kekuatan mereka sendiri, dan berpartisipasi dalam diseminasi, multiplikasi, dan proteksi ruang publik. Gerakan mahasiswa yang mendorong reformasi adalah contoh tipe pertama ini. Dalam gerakan inilah kita menyaksikan lahirnya ruang publik politis di negeri kita.

Para aktor ruang publik autentik memiliki kepekaan atas bahaya-bahaya yang mengancam hak-hak komunikasi kita sebagai warga negara dan menentang setiap upaya merepresi kelompok-kelompok minoritas dan marjinal. Perkembangan ruang autentik ini akan banyak ditentukan oleh civic courage dan civic friendship yang tumbuh di antara warga negara. Ini tampak, misalnya, dalam keberanian sebuah media menyiarkan, menerbitkan, atau menayangkan berita yang menjadi hak publik untuk mengetahuinya, tetapi menohok kepentingan pemodal ataupun birokrasi: dalam gerakan pemberantasan korupsi misalnya. Multiplikasi aktor ataupun lembaga yang memiliki civic virtues seperti ini merupakan syarat pembentukan ruang publik autentik.

Tipe kedua-"ruang publik tak autentik"– adalah kekuatan pengaruh atas keputusan para pemilih, konsumen, dan klien untuk memobilisasi loyalitas, daya beli, dan perilaku mereka lewat media massa. Berbeda dari yang pertama, para aktor di sini hanya "memakai" ruang publik yang sudah ada dengan bantuan sumber-sumber dari luar mereka, yakni uang dan kuasa. Partai politik dan asosiasi bisnis dalam masyarakat kita tercakup dalam tipe kedua ini. Ruang publik macam inilah yang dominan di dalam masyarakat yang menjalankan kesehariannya.

Setelah gerakan mahasiswa ikut mendorong delegitimasi rezim Soeharto di tahun 1998, ruang publik yang terbuka segera diduduki oleh kekuatan pasar dan birokrasi. Menumbuhkan ruang publik berarti tidak hanya multiplikasi ruang publik autentik, melainkan juga terus mengontrol kiprah para pelaku ruang publik tak autentik. Masyarakat harus membebaskan diri dari budaya bungkam ke budaya kritis, dari indeferensi ke partisipasi politis, dari watak massa ke komunitas.

Di dalam negara hukum demokratis, media massa merupakan kekuatan keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Media massa dapat berfungsi secara benar dalam ruang publik politis jika otonom tidak hanya dari negara dan pasar, melainkan juga dari para aktor ruang publik itu sendiri. Ia harus mampu menetralkan pengaruh uang dan kekuasaan yang dapat memanipulasi ruang publik politis. Ia memang tak mungkin lepas sama sekali dari para aktor tipe kedua, tetapi ia dapat dan seharusnya menangkap dan melontarkan suara-suara yang mencerminkan kepublikan seluas-luasnya.

Komunikasi antara ruang publik dan sistem politik

Sudah dikatakan di atas bahwa reformasi tak lain daripada upaya membuka kanal-kanal komunikasi politis dalam masyarakat majemuk. Sementara dalam revolusi bisa saja sistem negara berubah, dalam reformasi sistem negara hukum yang telah ada diradikalkan secara komunikatif. Reformasi tak lain daripada menyingkirkan rintangan komunikasi politis antara sistem politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan ruang publik politis.

Menurut Habermas, negara hukum modern berciri demokratis jika terjadi komunikasi politis intensif antara ruang publik dan sistem politik (6). Habermas, menurut hemat saya, berhasil menjelaskan suatu persoalan besar yang dicari para aktivis sosial dan politis di dalam masyarakat kita, yaitu bagaimana menyambungkan aspirasi masyarakat luas, korban, minoritas, dan seterusnya yang diwakili oleh organisasi nonformal dengan sistem politik. Model diskursivitas antara ruang publik dan sistem politik dapat menjelaskan itu.

Dalam ruang publik politis, masyarakat sipil melangsungkan diskursus publik dalam berbagai bentuk dan isi. Pluralisme keyakinan dan pendapat ini sering berkontroversi satu sama lain, dari yang memiliki niveau yang rendah sampai yang tinggi. Suara-suara dalam ruang publik politis berciri anarkis dan tak terstruktur. Ruang publik politis adalah lokus baik bagi komunikasi yang manipulatif maupun komunikasi yang tak terbatas. Meski demikian, bukan berarti bahwa suara-suara itu dapat diterima begitu saja sebagai opini publik. Andaikata semua suara memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan publik tanpa saringan, kiranya pemerintahan semacam itu tidak hanya buruk, melainkan juga dapat dianggap tak ada.

Di sini kita bisa membayangkan adanya dua macam filter dalam prosedur demokratis: filter dalam ruang publik politis itu sendiri dan filter sistem politik. Suatu opini memiliki kualitas sebagai opini publik jika lolos dari filter ruang publik. Publik pembaca dan pendengar bisa saja dimanipulasi ataupun diintimidasi untuk menerima sebuah opini, tetapi opini macam itu tetap akan dipersoalkan autentisitasnya selama publik tetap mendapat akses untuk menguji kesahihannya.

Segala yang terbukti sebagai hasil manipulasi dan intimidasi-jika pengujian publik dibuka-tidak dapat dihitung sebagai opini publik. Tentu saja manipulasi dan intimidasi bisa sangat terancang secara sistemis, seperti misalnya dalam rezim Nazi atau rezim komunis. Namun, sekali "sistem dusta" ini terbongkar dan terbuka di mata publik, segala keyakinan yang selama rezim teror itu dipegang teguh dalam pemerintahan demokratis akan terbukti sebagai manipulasi.

Tidak dapat disangkal bahwa kekuasaan sosial dan kerap juga kekuasaan politis ikut bermain menentukan proses penyaringan opini dalam ruang publik politis itu. Tidak hanya ada figur-figur berpengaruh, melainkan juga lembaga- lembaga yang disegani dan memiliki kekuasaan. Namun, sekali lagi, selama peranan kekuasaan ini dapat diperiksa secara publik, opini yang dipengaruhi oleh kekuasaan itu tidak imun terhadap kritik publik.

Kita menyaksikan sendiri dalam masyarakat kita bagaimana korupsi hanya bisa dibasmi jika publik ikut berperan sebab korupsi-seperti juga dusta dan rahasia-menyembunyikan diri dari sorotan publik. Rapat atau longgarnya filter dalam ruang publik itu banyak ditentukan oleh publik itu sendiri. Semakin kritis dan vital suatu masyarakat, semakin rinci publik dalam masyarakat itu mengembangkan filternya. Koran-koran yang provokatif memang dibiarkan, tetapi jika provokasi politis dikenali sebagai provokasi belaka, koran-koran macam itu akan ditinggalkan dan gairah mencari sensasi akan berimigrasi ke bidang-bidang lain, misalnya seni, gaya hidup, atau erotisme.

Jika publik itu cerdas, akan terjadi seleksi rasional di antara argumen-argumen dengan kemenangan argumen yang lebih baik, yang lalu mendapat kualitas sebagai opini publik. Karena komunikasi publik mengikuti norma argumen yang lebih baik, kualitas suara akan lebih menentukan daripada kuantitasnya. Apakah sebuah argumen yang lebih baik akan mendapatkan mayoritas suara atau tidak, akan banyak ditentukan oleh kualitas publik itu sendiri.

Perjuangan mendapat pengakuan publik itu akan memasuki tahap politisnya jika suatu opini publik masuk ke dalam filter sistem politik. Dalam sistem politik terdapat juga suatu publik. Publik di sini memiliki kualitas berbeda daripada publik dalam ruang publik politis. Berbeda dari yang terakhir ini, publik dalam sistem politik tersebut kuat karena kedekatan akses mereka dalam pengambilan keputusan publik: wakil rakyat, presiden, kabinet, lembaga yudikatif, dan seterusnya.

Filter sistem politik terdiri dari sistem atau prosedur hukum: konstitusi dan produk perundang-undangannya. Prosedur legal ini dapat diasalkan dari hasil komunikasi politis sebelumnya antara ruang publik politis dan sistem politik. Dengan kata lain, filter sistem politik tersebut juga tidak boleh dijauhkan dari pengujian diskursif publik. Opini publik yang masuk ke dalam filter itu dan meraih mayoritas di dalam sistem legislatif akan berubah kualitasnya menjadi keputusan publik: produk hukum. Bahasa sehari-hari yang digunakan dalam ruang publik politis diterjemahkan ke dalam bahasa hukum yang bersifat resmi.

Suatu masyarakat majemuk yang memiliki ruang publik politis yang vital dapat kita sebut sebagai masyarakat kuat. Masyarakat kuat semacam ini harus diimbangi dengan pemerintahan yang kuat juga. Suatu masyarakat yang memiliki gairah demokratisasi yang kuat, tetapi sistem politiknya lemah, tak akan sanggup menyaring desakan kekuasaan massa yang masuk untuk memaksakan kehendaknya. Ini terjadi dalam "anarkisme". Sebaliknya, suatu sistem politik yang otonom dari masyarakatnya dan cenderung berjalan menurut logika kekuasaannya akan melenyapkan ruang publik politis itu. Ini terjadi dalam totalitarianisme.

Sebuah negara hukum demokratis harus memiliki masyarakat yang kuat maupun kepemimpinan yang kuat. Sistem politik tidak boleh menjadi independen dari ruang publik politis. Ia harus terus mendapatkan makanan dan hidupnya dari ruang publik itu karena dari situ pulalah ia meraih sumber loyalitas dan legitimitasnya. Pemerintahan yang kuat dalam arti ini adalah pemerintahan yang mampu memperlancar komunikasi politis antara sistem politik dan masyarakat sipil dalam ruang publik politis.

Ide tentang ruang publik politis, sebagaimana diulas di atas, dapat merekonstruksi konsep klasik tentang kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat bukanlah demokrasi langsung dalam arti aksi-aksi massa untuk memaksakan kehendak kepada sistem politik. Di dalam negara hukum demokratis batas-batas antara negara dan masyarakat harus dihormati, tetapi batas-batas itu tidak boleh dijaga terlalu kaku. Respek terhadap batas-batas antara masyarakat dan negara harus disertai upaya-upaya untuk mencairkan proses komunikasi di antara keduanya.

Pemahaman tentang ruang publik politis mengambil jarak terhadap ide demokrasi langsung. Jika kita menerima ide ruang publik politis, kita harus menerima suatu model demokrasi representatif sebagaimana biasanya dilaksanakan dalam negara-negara hukum modern. Namun, demokrasi representatif itu berada dalam kontrol publik dengan jaringan-jaringan kerjanya. Kontrol publik lalu bersifat tidak langsung, yaitu lewat dikursivitas. Diskursivitas antara ruang publik politis dan sistem politik itulah realisasi ide kedaulatan rakyat di dalam masyarakat majemuk.

F Budi Hardiman Pengajar Program Magister Filsafat STF Driyarkara dan Doktor Hukum di Universitas Pelita Harapan

Catatan:
1. Lihat Habermas, J, Strukturwandel der Oeffenlichkeit, STW, Frankfurt aM, 1990, hlm 38
2. Lihat Budi Hardiman, F, Demokratie als Diskurs, (tesis tak diterbitkan), Munich, 1996, hlm 15
3. Lihat Habermas, J, Faktizitaet und Geltung, Shurkamp, Frankfurt aM, 1992, hlm 443
4. Budi Hardiman, hlm 52
5. Bdk Habermas, J, Strukturwandel der Oeffentlichkeit, STW, Frankfurt aM, 1990, hlm 28
6. Lihat Budi Hardiman, hlm 57
Sumber: Kompas Cyber Media

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Krisis Media Dalam Perspektif Konvergensi Telematika: Wacana Media untuk Penyempurnaan UU Pers.


A. Pendahuluan

Mungkin akan timbul suatu pertanyaan kenapa kita perlu memperhatikan penyempurnaan UU Pers dari sudut pandang hukum telematika, karena terkesan hukum telematika hanya akan lebih banyak mengkaji keberadaan segala aspek hukum yang terkait dengan perkembangan teknologi telekomunikasi dan informatika. Tambahan lagi telah banyak pihak yang sudah terlanjur berkonotasi bahwa lingkup pembicaraan hukum telematika adalah identik dengan istilah ”cyber law” hukum yang terkait dengan keberadaan dunia maya ataupun internet. Hal ini tidaklah sepenuhnya benar, karena jika kita cermati lebih dalam justru karena hasil dari perkembangan konvergensi telekomunikasi dan informatika itu sendiri maka belakangan semua orang baru menyadari bahwa telah terlahir suatu media baru yang bersifat multimedia (teks, suara, gambar/grafis, dan film) yang pada akhirnya menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk merenungkan kembali konsepsi hukum tentang informasi dan komunikasi sebagai akar dasar semua perkembangan itu tanpa harus terkunci kepada pembedaan karaktersitik setiap media baik cetak maupun elektronik. Keberadaan jaringan computer global sebagai Jalan Raya Informasi (information superhighway) telah memudarkan garis batas antara media tradisional dengan media komunikasi modern. Hal ini akan sangat baik baik disiplin ilmu hukum itu sendiri agar sistematikanya menjadi lebih tertib dan konsisten dalam memetakan ketentuan-ketentuan hukum media. Ada benang merah yang saling terhubung dengan semua media itu, yakni hukum terhadap informasi dan komunikasi itu sendiri. Bahkan, mungkin saja di belakang hari semua benang merah tersebut dapat dirajut menjadi satu kodifikasi hukum media yang mampu mengakomodir semua karakteristik media yang ada. Oleh karena itu, tulisan ini diharapkan dapat melengkapi perspektif hukum yang selama ini telah berkembang dibenak masyarakat.

B. Konsepsi Umum dan Analisa Kritis Media 

Sebagai langkah pertama, kita perlu mengkaji kembali istilah Media itu sendiri dan melihat padanannya dengan Pers. Tampaknya sudah menjadi istilah umum bahwa insan pers sering mengidentikan dirinya sebagai Media, sementara istilah Pers itu sendiri sepertinya tidak sebangun atau sepadan dengan istilah Media. Pers mungkin salah satu bagian dari Media tapi Media itu sendiri tidak identik dengan Pers, karena Pers akan berkonotasi kepada aktivitas jurnalistik sementara media adalah wujud penyelenggaraannya sebagai alat sistem komunikasi untuk mendiseminasikan informasi kepada publik.

Dilihat dari asal usul katanya, Media adalah bentuk jamak dari Medium yang berasal dari bahasa latin yang artinya adalah sesuatu yang berada ditengah-tengah dan/atau sesuatu yang bersifat netral [Webster Dictionary]. Media juga berarti suatu alat penghantar berkomunikasi. Penekanan dari kata Media disini adalah keberadaan obyek, jadi pendekatannya haruslah obyektif bukan subyektif. Sebagai suatu alat maka obyek tentunya tidak akan dapat bertanggung jawab atau dimintakan pertanggung jawabannya sendiri sehingga yang dapat dimintakan pertanggung jawabannya adalah pihak-pihak yang menyelenggarakan media itu sendiri. Penyelenggara harus menjaga sifat netralitasnya dan mempertanggung jawabkan efek dari komunikasi itu kepada publik baik terhadap kepentingan personal maupun komunal atau bahkan kepada norma masyarakat itu sendiri.

Berbicara tentang Pers, umumnya para pakar komunikasi masa akan merujuk kepada prinsip dasar Hak Azasi Manusia untuk memperoleh informasi dari semua saluran komunikasi yang tersedia dan kemerdekaan mengemukakan pendapat di depan umum. Ada dua hal yang perlu dicatat disini yakni, kebebasan berekspresi itu sendiri dan tindakan mengumumkannya kepada publik. Sebagai pembandingnya, banyak orang yang merujuk kepada First Amendment dalam konstitusi AS dimana Congress tidak boleh membuat hukum untuk menghalangi pelaksanaan hak itu.

Amendment 1: Religious and political freedom:
Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof; or abridging the freedom of speech, or of the press; or the right of the people peaceably to assemble, and to petition the Government for redress of grievances.

Dari uraian kata-kata tersebut, banyak pihak yang mempersepsikannya sebagai suatu kebebasan yang absolut karena congress yang berwenang membuat hukum itu sendiri saja bahkan tidak diperkenankan oleh konstitusi untuk membatasi kebebasan pers. Sementara, hanya segelintir pakar yang mengemukakan bahwa dalam prakteknya di AS yang perkembangan hukumnya didominasi oleh Jurisprudensi (Judge make law), kebebasan itu kini menjadi tidak absolute lagi sebagaimana dipersepsikan oleh kalangan awam.

Selain akibat multipersepsi atas kata “speech” dan “abridging” itu sendiri, perbedaan pendapat dikalangan para Jurist (judges and scholars) sebenarnyaa juga dikarenakan secara historis kata-kata itu memang merupakan produk politik pada masa itu, dimana ada pertentangan antara Federalist dengan State. Sehingga, semula kata-kata yang diusulkan adalah ”No state shall violate…etc” menjadi ”Congress shall make no law…etc”. Para juris di AS, telah menyadari bahwa legal nature dari kata-kata itu dengan sendirinya adalah menjadi tidak absolute, sehingga dengan sendirinya jurisprudensi lah yang menjadi pembimbing atau pedoman dalam menerapkan ketentuan itu agar menjadi fair bagi semua pihak. Bahkan untuk menentukan tujuan dan fungsinya saja, hal itu baru lebih jelas pada saat Justice Brandeis mengemukakan pendapatnya dalam putusannya pada kasus Whitney vs. California 71 L.Ed.1095, 1105-06 (1927).

Dalam perkembangannya lebih lanjut ternyata freedom of speech dan of the press diturunkan menjadi “expression” dan “action”. Amendement pertama jelas melindungi kebebasan berekspresi tetapi tidak selalu untuk “communicative conduct” sehingga berkembanglah “a hierarchy of protected communicative conduct” dimana tidak semua hal termasuk dalam protected speech. Karenanya berkembanglah apa yang dinamakan sebagai “unprotected class” atau dikenal sebagai “unfree speech” atau komunikasi yang tidak dilindungi oleh amendemen pertama tersebut, antara lain meliputi; fighting words, obscenity, publication of state secrets, incitement to crime, defamation, subliminal communications dan commercial speech. Demikian pula halnya dengan konsep ‘abridgement’ dimana dalam perkembangannya “law” sebagai produk congress jelas tidak mengurangi kewenangan pemerintah untuk memberikan pembatasan dan kejelasan dalam ”regulation” demi untuk melindungi kepentingan publik itu sendiri.

Lebih lanjut, pemikiran tentang access to the channels of communication juga mengakibatkan berkembangnya teori pembedaan atau pengkategorisasian ruang public (public forum) dan ruang private (private forum). Walhasil, para juris telah mengembangkan kerangka berpikirnya untuk melakukan pendekatan prosedural (procedural approaches) dalam menentukan hal-hal apa saja yang dapat dilindungi berdasarkan amandemen pertama itu.

Berdasarkan sejarah dan evolusi yang terjadi di AS tersebut, maka Indonesia sebagai negara yang lebih diwarnai oleh Eropa Kontinental ketimbang Anglosaxon/Common Law, menjadi tidak haram jika mencoba memformulasikan pembatasannya dalam produk legislatifnya (UU). Hal ini adalah karena di Indonesia, UU sebagai produk legislative itulah yang dapat memberikan pedoman awal bagi perkembangan sistem hukum kita. Jurisprudensi nyatanya masih belum berfungsi dengan baik di negara kita untuk memberikan benang merah keadilan dalam perkembangan sistem hukum nasional.

Jadi, hakikinya adalah sama saja baik di AS maupun di Indonesia bahwa kebebasan itu memang tidak pernah absolute. Bahkan, secara hukum fisika saja telah dinyatakan bahwa terhadap suatu aksi tentunya akan terjadi friksi dan hasilnya mengakibatkan suatu reaksi. Meskipun di angkasa, ternyata suatu benda juga tidak pernah lepas dari gaya-gaya yang ada di semesta alam ini. Oleh karena itu, konsep kebebasan tanpa batas jelas akan sangat menyesatkan dan bertentangan dengan hukum alam dan juga pemikiran manusia yang sehat.

Selain itu, sesuai dengan perkembangan wacana negara demokratis, banyak pihak juga akan merujuk kepada pemikiran yang menyatakan bahwa Pers adalah pilar keempat (fourth estate) dalam negara demokrasi. Namun, dalam praktek dan perkembangannya, publik Amerika juga melihat bahwa ini adalah jargon semata karena meskipun pers itu bebas dari kepentingan pemerintahnya ternyata ia tidak bebas dari kepentingan komersialnya dan bahkan para pemilik dan/atau penyelenggara media juga cenderung berselingkuh dengan para politikus dalam menyiarkan suatu informasi kepada publik. Walhasil, wacana tentang eksistensi kebebasan media terlanjur disodorkan kepada publik untuk dilegitimasi kehadirannya tidak lagi sebagai penyaji fakta melainkan juga sebagai pembentuk opini dan disahkan sebagai industri informasi dengan semangat komersialismenya.

Idealnya, dalam suatu negara demokratis yang berdasarkan atas hukum, maka kepentingan hukum masyarakat untuk memperoleh informasi publik (right to know) adalah menjadi prioritas tertinggi. Hal ini menjadi dasar legitimasi bagi semua pihak ingin mencari dan menyampaikannya kepada publik, khususnya kalangan jurnalis yang begitu giat dan gagah berani berupaya mencari fakta/data, mengolahnya menjadi informasi dan/atau berita, dan kemudian disampaikannya kepada masyarakat. Lebih jauh lagi, bahkan hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang diamanatkan oleh hukum kepada mereka.

Sebagai kompensasinya, dalam rangka memenuhi kepentingan hukum masyarakat tersebut maka diperlukan suatu perlindungan hukum bagi para pihak yang jelas-jelas beriktikad baik melaksanakan fungsi itu, khususnya bagi pihak yang secara professional mencarinya dan menyelenggarakan media komunikasinya kepada public. Namun pada sisi yang lain, publik juga perlu mendapatkan perlindungan dari kekotoran ataupun sisi negatif informasi yang disampaikannya. Oleh karena itu, diperlukanlah suatu ketentuan hukum dalam suatu produk legislatif (UU) sebagai kesepakatan public untuk melindungi semua pihak yang terkait dengan itu secara adil. Pada prinsipnya, tanpa terkecuali setiap orang yang bertindak mengungkapkan informasi untuk kepentingan publik tentunya jelas harus dilindungi oleh hukum, terlepas apakah ia jurnalis ataupun tidak. Dalam prakteknya, penerapan hukum itu harus digantungkan kepada Hakim sebagai pejabat penerap keadilan bagi masyarakat agar sesuai dengan lingkup kasus yang ada. 

Sesuai dengan sejarahnya, Pers yang lahir dari aktivitas jurnalistik kepentingan hukumnya adalah menginginkan kebebasan untuk memperoleh data dan mengolahnya menjadi suatu informasi serta berhak menyampaikannya kembali (freedom of speech) kepada publik sesuai pendapatnya. Pada satu sisi, sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual (Hak Cipta) telah melindungi keberadaan informasi itu sebagai suatu karya cipta yang harus dilindungi (protected works) demi kepentingan hak moral dan hak ekonomis individu si penciptanya dan melindungi kemerdekaan/kebebasan untuk berekspresi itu sendiri. Namun pada sisi lain, sesuai dengan perspektif hukum komunikasi, si intelektual tersebut seharusnya juga memperhatikan efek atau dampak komunikasi tersebut kepada publik. Oleh karena itu, suatu penyampai informasi selayaknya harus dapat dimintakan pertanggung jawabnya manakala efek komunikasi itu ternyata merugikan atau berpengaruh buruk kepada kepentingan hukum individual manusia (HAM) dan juga kepada norma dan ketertiban masyarakat (protected communication dan protected community). Jadi selain adanya apresiasi yang diberikan oleh hukum ia juga harus mampu mengemban tanggung jawab dari setiap apa yang telah ditimbulkannya.

Singkatnya, penyajian informasi kepada publik diharuskan seobyektif mungkin meskipun secara naturalianya ia tetap bersifat subyektif karena sebenarnya terlahir dari ekspresi ide dari seseorang. Perspektifnya terhadap sesuatu peristiwa tentu akan tetap melekat dalam penyajian informasi yang disampaikannya. Oleh karena itu, suatu berita tidak dapat dikatakan obyektif dari awalnya sehingga dengan sendirinya ia tidak bebas nilai atau tidak bebas dari kepentingan subyektif orang yang menuliskannya. Disinilah netralitas media menjadi sangat relevan untuk menjadi suatu persyaratan hukum (requirement of neutrality). Untuk itu diperlukan suatu standar obyektifitas untuk menentukan apakah ia layak dikatakan sebagai suatu karya jurnalistik. Perlindungan hukum yang diberikan kepada si pencari dan penyampai informasi hanyalah ditujukan bagi setiap pihak yang memang menghargai dan tunduk dengan etika jurnalistik, bukan kepada pihak-pihak yang ”sembarangan” dalam menguntai kata-kata.

Dalam rangka memenuhi nilai-nilai obyektifitas itu, sebagai upaya preventif maka secara prosedural suatu informasi sebelum disampaikan kepada publik, selayaknya secara internal ia perlu diinteraksikan dengan pihak lain dan/atau paling tidak yang bersangkutan dapat menjelaskan dan menjamin bahwa informasi yang diberikannya adalah berdasarkan atas data atau fakta yang diperolehnya secara halal dan benar serta disajikannya secara fair. Disinilah suatu penyelenggara media harus dianggap ikut bertanggung jawab untuk menanggung akibat/dampak penyampaian suatu informasi kepada publik, karena atas kuasanya informasi itu dikomunikasikan kepada publik.

Dari pemaparan tersebut di atas, terlihat jelas perbedaan makna antara Pers dengan Media. Istilah media adalah keberadaan obyek atau alat untuk berkomunikasi yang harus bersifat netral, sementara Pers adalah kegiatan jurnalistik yang kaya akan perspektif-perspektif jurnalisme. Tentunya, yang akan membuat media itu menjadi tidak netral adalah orang yang menyelenggarakannya. Oleh karena itu, wajarlah jika seorang pakar komunikasi Prof Abdul Muis mengingatkan kita bahwa ada dua pendekatan hukum dalam konteks ini yaitu aspek Hukum Media dan aspek Hukum Komunikasi. Namun, menurut hemat saya akan lebih tepat jika kita melihatnya dalam satu kesatuan yakni Hukum Komunikasi. Keberadaan Media sepatutnya adalah bagian yang tidak dipisahkan dari proses komunikasi itu sendiri karena tidak mungkin terjadi suatu komunikasi antara si penyampai informasi (originator) dengan si penerima informasi (recipient) tanpa kehadiran suatu Media. Ringkasnya, kita harus memandang Media itu sendiri sebagai suatu sistem komunikasi yang terpadu dimana obyektifitasnya dan netralitasnya akan ditentukan kepada sejauh mana sistem penyelenggaraannya diselenggarakan dengan baik.

Melengkapi pandangan tersebut, walau bagaimanapun harus diletakkan pemahaman kepada publik bahwa suatu informasi yang merupakan obyek komunikasi tersebut jelas tidak akan lepas dari aliran pandangan si pembuatnya, sehingga pandangan suatu aliran tentunya akan terlihat jelas dari karakteristik informasi yang disajikannya tersebut. Jika si intelektual tersebut beraliran kapitalis maka tentunya ia tidak akan menulis tentang kebaikan aliran sosialis yang berlawanan dengannya, demikian juga sebaliknya. Demikian juga jika si intelektual tersebut ternyata non religius maka ia akan menuliskan bahwa ketentuan keagamaan adalah suatu kemunafikan dan demikian pula sebaliknya. Walhasil, jelas dirasakan adanya suatu perang informasi terhadap suatu kepentingan, dan demi obyektifitas maka semestinya masyarakat tidak boleh langsung percaya terhadap suatu informasi yang disampaikan oleh satu sumber saja, melainkan juga perlu melihatnya dari banyak sumber. Kebenaran akan dapat terlihat dari apa yang lahir ditengah-tengah pertentangan wacana itu sendiri. Akhirnya, yang menjadi permasalahan disini adalah konflik ideologi antara informasi yang disajikan dengan ideologis bangsanya. Tidak heran jika ada sebagian masyarakat yang ternyata malah menjadi bingung atau bahkan akan marah dengan keberadaan aliran-aliran media itu sendiri.

Lebih lanjut, sesuai dengan perkembangannya maka terbangunlah suatu mekanisme hukum antara publik dengan medianya, dengan cara memberikan kewajiban kepada penyelenggara untuk melayani Hak jawab dan Hak Koreksi dari masyarakat. Namun, hal ini masih dirasakan seperti terlalu mensimplifikasi efek komunikasi yang ditimbulkan kepada kepentingan hukum lain. Sekiranya suatu berita yang menghancurkan nama baik seseorang (character assasination) ternyata berakibat serangan jantung sehingga meninggalnya seseorang, apakah masih relevan Hak Jawab dan Hak Koreksi sebagai upaya pemulihan haknya. Tambahan lagi, dalam kehidupan sehari-hari dapat dikatakan bahwa kata-kata bisa lebih tajam dari pedang, sehingga naturalianya efek dari kata-kata akan selalu berbekas dalam hati si penerimanya. Dimaafkan atau tidak itu kembali kepada hak si orang tersebut, yang jelas Hukum tidak dapat memaksakan seseorang harus menerima maaf dari orang lain. Seorang hakim juga sepatutnya juga tidak boleh membatasi hak orang lain untuk harus menjelmakan hak jawab dan hak koreksinya terlebih dahulu, karena hal ini berarti hakim telah berpihak hanya kepada kepentingan si penyelenggara media.

Selain itu, dalam hal penerimaan informasi, umumnya informasi pertama seringkali lebih berbekas ketimbang informasi yang berikutnya. Sehingga terlepas apakah ia langsung percaya atau tidak percaya, yang jelas secara informasi telah berdampak kepada sesorang ”the damage has been done”. Ada suatu ”ruang kerugian” disini yang tidak cukup terjawab hanya dengan hak jawab dan hak koreksi. Sepatutnya, semakin intelektual seseorang jelas akan semakin tinggi pula amanat yang harus diembannya untuk memperhitungkan segala sesuatu yang dapat terjadi dari karya intelektualnya tersebut. Oleh karena itu, pertanggung jawaban bagi seseorang ahli komunikasi masa yang berdasarkan keilmuannya sepatutnya tahu sejauhmana efek dari kata-katanya, jelas juga harus diimbangi dengan beban sanksi yang relatif lebih berat ketimbang orang awam. Jika hal ini tidak ada, maka jelaslah bahwa segelintir orang akan senang mempelintir kata-kata dan mungkin pula akan berakibat timbulnya mafia dalam media. 


C. Internet sebagai Media Komunikasi Baru 

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, konvergensi TELEMATIKA (Telekomunikasi, Media dan Informatika) mau tidak mau telah mengabsorbsi keberadaan kata Media yang terwujud dalam penyelenggaraan sistem informasi global. Suatu jaringan sistem informasi dan komunikasi yang lahir akibat keterpaduan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi telah berfungsi sebagaimana sebagaimana layaknya suatu Media komunikasi masa. Hal mana sebelumnya kurang begitu disadari karena semula penerapan teknologi informasi adalah untuk kepentingan personal atau untuk kepentingan internal organisasinya saja. Demikian juga halnya dengan telekomunikasi yang memang semula digunakan hanya untuk kepentingan komunikasi antara para pihak, bukan untuk komunikasi masa. Akhirnya, sekarang kita ternyata tidak dapat mengatakan bahwa penyelenggaraan telekomunikasi akan terlepas dalam lingkup kajian hukum media modern dewasa ini.

Dengan melihat kepada platform sistem informasi dan komunikasi elektronik global yang berbasiskan teknologi komputer (computer based information system), maka ada beberapa hal yang perlu dilihat sehubungan dengan komputer sebagai alat pengolah informasi dan alat untuk menyebarkan informasi tersebut. Sistem Komputer pada hakekatnya mempunyai fungsi-fungsi Input, Proses, Output, Strorage dan Communication. Ia juga paling tidak terdiri atas 5 komponen penting, yakni; hardware, software, procedure, brainware dan content dari informasi itu sendiri. Semua komponen itu harus berkerja dengan baik itu dan saling terintegrasi agar dapat melakukan fungsi-fungsi sebagaimana yang diharapkan. Data sebagai input untuk menghasilkan suatu informasi yang berdayaguna ditentukan oleh kehandalan brainware dalam menciptakan procedures yang selanjutnya akan dikonkritkan dengan kehadiran software yang sesuai agar hardware dapat bekerja untuk mengolah dan menampilkan informasi sebagaimana yang ditentukan atau diharapkan. 
Selanjutnya agar ia dapat berkomunikasi dengan komputer yang lain, maka ia harus satu bahasa dimana pembangunan jaringan kerjanya adalah harus sesuai dengan protokol komunikasi yang dipakai oleh para pihak, seperti antara lain Electronic Data Interchange/EDI (proprietary system) dan Internet protocol (open system). Dan oleh karena sistem tersebut saling terintegrasi dan terhubung secara online, maka hubungan komunikasinya menjadi bersifat real-time kesemua anggota dan seakan hadir dimana-mana secara ”ubiquotus”.

Sesuai dengan karakteristiknya yang elektronik itu, tampaknya keberadaan suatu sistem informasi sebagai Media berkomunikasi relatif akan lebih mudah diatur ketimbang Pers. Lihat saja pada kenyataan teknisnya bahwa semua anggota jaringannya sepakat untuk menggunakan protokol komunikasi TCP/IP. Semua komputer yang terhubung hanya bisa terhubung dengan aturan komunikasi yang sama dalam lapisan 4 layers. Sebagai suatu sistem informasi jelas ia telah ditetapkan sebagai suatu Media yang netral, sehingga ia dapat ditulisi apa saja oleh pihak pihak yang berkenan untuk itu. Ia dapat ditentukan akan hidup ataukah akan mati tergantung kepada arus listriknya. Keberadaan akses informasinya pun dapat dibatasi atau restriktif berdasarkan otorisasi yang diberikannya dalam network tersebut. Dalam konteks ini, sepanjang memang ada ”political will” untuk itu sepatutnya penyelenggara media akan menjadi relatif lebih mudah untuk diatur.

Ada satu hal yang sangat menarik untuk dilihat dari keberadaan suatu sistem informasi elektronik sebagai suatu Media yakni keberadaan informasi sebagai keluarannya adalah ditentukan kepada sejauhmana sistem security-nya dikembangkan baik secara tehnik, manajemen maupun hukum. Keterpercayaan terhadap isi akan sangat ditentukan oleh sejauhmana kehandalan dan validitas pemrosesannya yang tercermin dalam keberadaan setiap procedures dan juga softwarenya, serta kejelasan subyek hukum yang bertanggung jawab atasnya. Setelah dapat diyakini bahwa sistem informasi itu layak dipercaya, barulah kita dapat menyatakan bahwa jika memang sistem telah berjalan sebagaimana mestinya maka selayaknya informasinya menjadi layak untuk dipercaya. Dengan sendirinya, jika data yang dimasukkan adalah salah, maka hasil keluarannya juga akan menjadi salah ”Garbage In Garbage Out,” bukan sistemnya lagi yang dipersalahkan (malfunction) melainkan ”human error” manusianya yang mengerjakan sistem itu. Implikasi hukumnya adalah, sepanjang sistem telah dibangun dan diselenggarakan dengan baik (best practices), maka pihak si pengembang dan si penyelenggara berhak mendapatkan perlindungan hukum berupa pembatasan dalam pertanggung jawabannya.

Patut juga dicermati bahwa persyaratan security tersebut adalah berbanding lurus dengan nilai kekuatan pembuktian secara hukum, bahkan dapat dikatakan bahwa ”no security, no deals”. Hal ini harus menjadi perhatian utama para pihak, karena teoritisnya Internet memang tidak didesain sebagai infrastruktur informasi publik yang secured. Justru kepentingan negara industri itu sendiri lah yang ingin menawarkan dan menumbuhkan jasa security-nya, baik dalam hal penjualan perangkat keras maupun software untuk berjalannya computer security maupun communication security itu sendiri.

Beranalogi dengan hal tersebut, maka jika kita ingin mengatakan Pers adalah suatu Media harus ada suatu standar kelayakan bagi si penyelenggara jasa yang mengkelola Media itu. Ia baru layak dikatakan sebagai suatu Media jika ia telah memenuhi standar tertentu dalam penyelenggaraannya agar lebih jernih dalam merefleksikan kepentingan masyarakat bukan kepentingan si penyelenggaranya. Ia juga dapat membatasi tanggung jawabnya terhadap akibat substansi informasi yang disampaikannya sepanjang ia telah berupaya sebaik mungkin (best practices). Bahkan sekiranya ia telah mengemukakan standar prosedur pengoperasiannya bahwa ia tidak melakukan sensor apapun, tanggung jawab sepenuhnya justru akan kembali kepada si penulis. Dan pihak yang merasa berkeberatan dapat langsung seketika itu juga memasukkan koreksi dan hak jawabnya pada tempat yang sama dengan informasi itu. Disini, para pembaca akan langsung dapat mencerna bahwa informasi itu tengah dipersengketakan validitasnya. Dalam konteks ini, tidak sedetikpun ia akan dirugikan, kecuali atas kelambanannya sendiri dalam merespon suatu informasi.

Sehubungan dengan itu pula, ada juga satu pelajaran hukum yang selayaknya dapat kita ambil dari kasus Napster di Amerika. Meskipun keberadaan situs tersebut sebenarnya hanya sebagai suatu media komunikasi bagi para anggotanya (peer to peer communication) untuk saling bertukar koleksi lagu-lagu yang diperolehnya, namun sekiranya ia bertentangan dengan sistem hukum yang ada khususnya Hak Cipta maka keberadaannya dapat dihentikan (shut-down). Kesalahannya adalah memfasilitasi tukar menukar lagu dimana ia mempunyai model bisnis didalamnya, padahal tanpa harus ia fasilitasi masing-masing orang dapat berkomunikasi secara langsung. Hal ini berakibat bahwa model bisnis napster menjadi sebagaimana layaknya tukang tadah di pasar-pasar gelap. Demi hukum, pengadilan terpaksa harus menghentikannya.

Jika memang Amerika adalah menjadi tolok ukur dalam penegakan freedom of speech di dunia, saya melihat bahwa demi ”kepentingan hukum”, harus tetap ada satu kemungkinan bahwa suatu Media dapat dimungkinkan untuk dihentikan atau ditutup oleh putusan pengadilan jika si penyelenggara media membuat keberadaan Medianya menjadi bertentangan dengan hukum yang ada. Dalam negara demokratis, ini tidaklah salah, karena supremasi hukum adalah hal yang tertinggi, bukan kepentingan bisnis media itu, dan juga bukan didasarkan atas diskresi lembaga eksekutif (pemerintah).

Demi menjaga kepentingan semua pihak maka harus dipahami bahwa sepatutnya asas strict liability juga melekat terhadap informasi itu dan juga pihak manajemen dari organisasi yang melakukan sistem penyelenggaraan Media tersebut. Sepertinya bukan lah suatu hal yang berlebihan sekiranya azas “good governance” juga perlu diterapkan dalam penyelenggaraan Media, paling tidak si penyelenggara harus mengeluarkan “best effort” nya untuk menjaga obyektifitas dan netralitas tersebut.

Oleh karena itu, jika Pers ingin dikatakan berfungsi sebagai media, saya pikir tentunya ia harus berfungsi sebagaimana layaknya sistem informasi elektronik yang didasarkan atas trustworthy suatu proses. Jika memang sistem penyelenggaraan media nya yang sudah tidak mau taat hukum, maka hasil output informasinya tentunya juga akan berhadapan dengan hukum.

Ringkasnya sesuai dengan paradigma sistem informasi, maka paling tidak Pers akan terdiri dari komponen (i) content informasi, (ii) Wartawan dan (iii) prosedur-prosedur dalam Organisasi dan Manajemen Penyelenggara Media itu sendiri. Dalam hal ini, paling tidak dapat dilihat adanya tiga lingkup standar agar membuat sistem pers menjadi sehat, yakni (i) standarisasi brainware/wartawan, (ii) standarisasi karya jurnalistik atau pemberitaan, dan (iii) standarisasi penyelenggaraan media itu sendiri. Boleh jadi sebagai lingkup yang paling luas, standarisasi penyelenggaraan media itu sendiri akan mencakup kedua lingkup sebelumnya karena ia akan menentukan standar minimum wartawan yang akan digunakannya dan bagaimana sistem operasi dan prosedur yang dianutnya dalam mengemukakan suatu pemberitaan kepada publik. Semakin tinggi standar yang dianutnya maka semakin tinggi pula validitas pemberitaannya dan relatif semakin aman pula ia dalam melakukan pertanggung jawaban hukumnya.

D. Krisis Media Akibat Perilaku Bermasalah dan Kepentingan Bisnis Media 

Ditinjau lebih luas lagi sesuai dengan perspektif ilmu perundang-undangan, mungkin penyebab kenapa kondisi Pers sekarang ini seperti ini adalah juga didasari sejauhmana keefektifan aturan main yang ditetapkan dalam UU Pers. Jika memang mekanismenya adalah sebebas-bebasnya maka insan pers jadi bertindak sebebasnya. Dan sedikit janggal rasanya bahwa pemerintah dinihilkan sama sekali dalam proses penerapannya sementara lembaga pelaksananya Dewan Pers juga tidak mempunyai kekuatan yang dapat memaksa pihak pers untuk bertindak sebagaimana mestinya. Ia hanya merupakan wadah untuk penetapan Kode Etik, alternatif penyelesaian sengketa, serta pengkajian hukum dan kebijakan saja. Sementara pada sisi yang lain, peranan masyarakat juga belum dapat dikatakan cerdas menyikapi segala sesuatu dan mampu berpartisipasi aktif sebagaimana yang diharapkan. Tambahan lagi setiap orang tentunya akan berpikir ulang untuk berhadapan dengan media. Walhasil, akhirnya dijumpai terjadinya premanisme dalam pers, terkadang pers menjadi obyek premanisme namun sering juga ia menjadi subyeknya. Contohnya adalah penyajian informasi entertainment, dimana pers terkesan memaksa untuk memperoleh informasi yang berkenaan dengan privasi seseorang. Pers memang telah begitu galak, bahkan berani masuk ke wilayah-wilayah yang sebenarnya sudah menyentuh batasan harkat dan privacy seseorang. Menghambat jalan seseorang untuk berjalan kemobilnya sendiri demi mendapatkan suatu pemberitaan sudah menjadi pandangan kita sehari-hari yang kita lihat dalam peliputan pemberitaan di TV.

Sebagaimana layaknya para wakil rakyat dalam fungsi legislative, para insan pers juga sangat meyakini dirinya adalah bertindak atas aspiratif rakyat. Namun ada sedikit perbedaan, dimana para wakil rakyat harus berinventasi untuk meraih simpati dan suara rakyat dalam proses pemilihan umum sehingga dapat dikatakan legitimate menyampaikan suara rakyat. Sementara kalangan pers dengan inisiatif sendiri dan dengan dibawah naungan UU Pers dilegitimasikan sebagai aspiratif rakyat tanpa harus ada kejelasan standarisasi profesi kewartawanan yang ketat.

Jika kita membaca informasi yang disampaikan dalam beberapa surat khabar harian yang ternyata berbahasa terlalu berani dalam mengekspose sex dan kekerasan, dan juga berani memberikan tempat untuk iklan yang bernada-nada serupa, mungkin masyarakat juga akan menjadi semakin kebingungan apakah memang hal ini sebenarnya informasi yang dibutuhkannya ataukah memang hal tersebut yang sebenarnya aspiratif rakyat. Sex dan kekerasan memang merupakan fakta hidup, dan juga merupakan informasi yang menarik untuk dibaca, tapi apakah ini aspiratif rakyat atau memang sengaja dicekoki kepada rakyat.

Dalam prakteknya sekarang ini, ada pers yang telah secara elegan menyajikan informasi dan ada juga pers yang justru membuat galau dan resah hati masyarakat. Bagaimana tidak, karena sepertinya memang tidak ada satu tindakan apapun yang dapat dikenakan kepada sebagian insan pers tersebut. Siapa yang dapat menyadarkan kalangan pers untuk secara jernih memandang apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan ini. Apakah memang ”kemerdekaan pers” diartikan sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa batasan normatif. Bahkan akibat pendapat yang mengatakan bahwa semestinya UU Pers adalah lex specialis dengan berbagai macam alasan, KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi. Sementara, dalam UU Pers ketentuan pidana dirasakan tidak begitu berimbang. Barang siapa yang menghalangi pers harus dipidana penjara dan denda, sementara pers hanya dipidana denda saja. Lantas bagaimana halnya dengan insan pers yang ternyata mengganggu hak orang lain, apakah memang sudah ada dalam UU Pers ataukah memang hal seperti itu sepatutnya tidak masuk dalam lingkup UU Pers. Jadi, apakah UU Pers telah cukup mengatur semua tindak pidana yang mungkin terkait dengan Pers.

Selain itu, dalam hubungan kerja antara Wartawan sebagai profesi, apakah ia telah cukup dilindungi karena kenyataannya ia adalah buruh dari suatu perusahaan pers, dimana status kewartawanannya sangat tergantung oleh perusahaan itu. Apakah ada sanksi bagi perusahaan pers yang tidak memberikan bagian sahamnya kepada karyawan dan apakah wartawan telah mendapatkan bagian yang layak terhadap keuntungan perusahaan.

Seiring dengan era reformasi untuk mengarah kepada perbaikan di segala bidang, kalangan pers telah memperoleh kelonggaran yang dicita-citakannya untuk memperoleh informasi namun ternyata bukan kemerdekaannya dalam arti yang hakiki. Dulu Pers begitu dikekang oleh pemerintah dan sekarang begitu merdekanya tanpa ada kebutuhan untuk mendapatkan pembinaan atau pengawasan dari pemerintah lagi. Semua seakan sepakat bahwa pengawasan pers adalah langsung dari rakyat, sementara masyrakatnya saja tidak semuanya dapat bernasib baik mengenyam pendidikan sehingga belum dapat secara kritis mengkontrol pers. Apalagi dalam kenyataan hidup ini, tak ada orang yang hidup tanpa salah dan dosa, sementara pers jelas dapat mengkemukakan semua salah dan dosa seseorang sesuai agenda dan kepentingannya. Sehingga akankah ada anggota masyarakat biasa yang akan berani berhadapan dengan pers? Semua tentunya akan berpikir dua kali.

Walhasil sepertinya kita memang harus duduk kembali untuk membicarakan hal ini, apakah UU Pers memang sudah efektif menyelesaikan perilaku bermasalah. Dulu pemerintah yang membuat masalah, sekarang justru Pers sendiri yang sekarang menjadi sumber dari perilaku bermasalah terhadap kemerdekaan pers itu sendiri. Sudah layakkah pers dikatakan sebagai media jika ia tidak menjelmakan upaya terbaiknya untuk bersifat netral dan obyektif.

Dari berbagai pemaparan di atas, paling tidak kita dapat melihat adanya krisis dalam dunia media yang mungkin akan mencakup seluruh komponennya, antara lain;
o Krisis perilaku insan media dalam mencari berita, membuat sumber ataupun obyek informasi menjadi tidak berharkat atau terganggu privasinya;
o Krisis substansi media, mengungkapkan informasi tanpa etika dan standar jurnalistik;
o Krisis komitmen untuk menjalankan seluruh fungsi media yang diamanatkan oleh UU;
o Krisis komitmen untuk cita-cita reformasi, khususnya untuk ikut memajukan pendidikan, karena tidak ada jamina bahwa semua media telah menjalankan fungsi pendidikannya dengan baik;
o Krisis standar penyelenggaraan manajemen suatu Media;
o Krisis masyarakatnya yang terkesan kurang begitu kritis dan agresif dalam menyikapi suatu pemberitaan.

Dipandang dari sisi bisnis, karena informasi adalah suatu komoditi yang merupakan kebutuhan hidup masyarakat informasi, maka bisnis untuk menjadi penyedia informasi adalah peluang bisnis yang cukup menggiurkan. Hal ini tentunya menjadi suatu ancaman tersendiri bagi pengharagaan akan nilai-nilai “kemerdekaan pers” terutama nilai-nilai netralitas dan obyektifitas itu sendiri. Sejauhmana kepentingan pemodal tidak akan mengendalikan kepentingan media itu sendiri. Padahal sudah pasti bahwa si Pengurus adalah bertugas untuk menjaga kepentingan si pemodal yang ingin memperoleh keuntungan dari bisnis itu.

Adalah suatu hal yang sangat lumrah dalam hukum investasi, bahwa konsekwensi dari adanya suatu investasi adalah adanya kendali dalam perusahaan itu. Dari sisi pemodal tentunya akan menjadi sangat begitu indah jika informasi yang disampaikan adalah sesuai dengan kepentingannya dan dapat menaikkan tiras atau oplahnya di masyarakat dan memberikan tempat yang cukup ditakuti oleh penyelenggara negara. Dari sisi si pemilik media mungkin jelas ia merasa berhak untuk bisa menampilkan dirinya dalam satu halaman penuh dari sekian banyak halaman yang dikelolanya, tapi demi obyektifitas dan netralitas media, apakah hal itu dapat dikatakan etis ataukah tidak? Karena walau bagaimanapun, si penyelenggara media sepatutnya memperlihat upaya yang semaksimal mungkin untuk tidak memperlihatkan kepentingannya pribadi dalam media yang dikelolanya itu. Dan jika kita berbicara tentang etis, apakah pelanggaran terhadap hal itu ada sanksinya dari kalangan masyarakatnya. Demikian pula jika ada hukumnya apakah ada sanksi hukumnya? Jika ternyata tidak, saya pikir ini merupakan indikasi ketidak netralan itu, dan berarti Pers tidak layak untuk disebut Media.

E. Penutup 

Sesuai dengan kepentingan publik dalam Negara Demokrasi, maka dalam lingkup media komunikasi paling tidak terlihat beberapa kepentingan hukum yang dapat diidentifikasi antara lain sebagai berikut;

Intelektual
(Jurnalis professional) Penyelenggara Media
(Investor/
Pengusaha) Masyarakat
(kolektif) Individual (anggota masyarakat) Penyelenggara Negara
• Karya intelektual
• Obyektifitas Karya jurnalistik
• Kemerdekaan Berekspresi
• Obyektifitas dan Netralitas
• Tanggung jawab penyelenggaraan Media yang baik (good information governance)
• Tidak menjadi suatu alat yang bertentangan dengan hukum dan perasaan keadilan serta norma masyarakat
• Mencari profit untuk usaha • Hak mengetahui masyarakat atas sistem penyelenggaraan negara yang baik
• Hak masyarakat atas ketertiban umum dan perasaan aman
• Hak masyarakat atas peradaban yang sesuai etika dan dinamika kebudayaan
• Hak atas kebebasan berinformasi dan berkomunikasi
• Hak atas privasi
• Hak untuk tidak menjadi obyek penelitian dan pemberitaan • Kegiatan yang baik dan bertanggung jawab untuk memberikan kontrol ataupun feedback kepada pemerintah
• Kewajiban memberikan informasi publik dan kerahasiaan informasi untuk kepentingan publik.

Setelah mencermati, apakah itu Media, apakah itu Pers dan bagaimana kelayakannya. Jika memang Pers memang tidak mempunyai suatu prosedur untuk memperlihatkan kelayakannya, rasanya sulit mengatakan bahwa Pers adalah suatu media. Patut diacungkan jempol bagi insan Pers yang sadar akan apa konsekwensi dari penggunaan kata Media itu, dimana sebagai penyelenggara Media mereka berupaya untuk mengembangkan sistem operasi dan prosedur didalam manajemen penyelenggaraannya agar informasi yang disampaikannya terjamin obyetifitasnya dan validitasnya. Tetapi sangat disayangkan akibat ada sebagian Pers yang berperilaku buruk dan tak ada mekanisme yang dapat menghentikannya secara self-regulation-regime atau komunitas pers sekan lepas tanggung jawab dan tidak dapat memberhentikannya lewat mekanisme komunalnya, maka Pers sepertinya kurang mendapat simpati rakyat. Akibatnya seorang idealis pers boleh jadi malah terjerat hukum sementara seorang komersialis pers malah terlindungi dengan baik. Cukup ironis sekali.

Berkenaan dengan UU Pers yang menjelaskan ada fungsi-fungsi dalam media, sepatutnya ada mekanisme kontrol yang harus memaksakan perusahaan pers untuk menjalankan ke semua fungsi media itu. Selain itu, perlu juga dipikirkan apakah suatu media yang orang-orangnya tidak perduli dengan hukum dan tidak mau terikat kepada suatu etika jurnalistik akan dibiarkan terus sehingga membuat kebingungan bagi masyarakat tentang etika pers dan medianya.

Semua orang tentunya akan sepakat bahwa media masa adalah backbone dari penyelenggaraan negara yang baik. Sesuai dengan perpesktif fourth estate yang meletakkan Media setara dengan Pemerintah, maka logikanya jika memang ada hukum untuk menyelenggarakan sistem pemerintahan yang baik, sepatutnya juga ada standar dalam menyelenggarakan sistem media yang baik. Sehingga akan sangat adil bagi semua pihak, dan refleksi yang dihasilkan oleh pers untuk demokrasi tentunya juga akan menjadi semakin jernih dan netral untuk kepentingan kita semua, serta Pers dapat lebih mencitrakan diri dalam harkat dan martabatnya sebagai honorable profession ditengah masyarakat.

Jika kita semua memang ingin ada ”trust” oleh masyarakat kepada pelaku media, jangan biarkan mekanisme itu terjadi tanpa prosedur yang kuat. Security untuk mendapatkan trust memang harus dibangun dengan cara best effort, dengan kata lain harus ada standar untuk good information governance dalam media, hal itulah yang akan dapat membatasi tanggung jawab bagi segenap insan media. Semuanya ini dikembalikan kepada kesadaran dan semangat kita semua untuk menyelamatkan karakteristik bangsa ini di masa depan.

Akhirnya, diharapkan bahwa UU sebagai pedoman sikap tindak Pers dan Masyarakatnya dapat melindungi kepentingan pada idealis media masa yang berupaya sekuat mungkin untuk menyajikan informasi yang baik kepada masyarakat dan juga bisa menghentikan orang-orang dan media yang tidak bertanggung jawab kepada masyarakat. Mudah-mudahan harkat dan martabat serta budaya masyarakat tidak terpuruk hanya karena kepentingan segelintir kapitalis media. Jika memang benar-benar kita ingin menyelamatkan para idealis media, maka tidak ada kata lain kita harus mau membuka diri bahwa demi kepentingan hukum harus diperkenankan bahwa suatu media yang bertentangan dengan hukum harus dapat dihentikan ataupun ditutup agar tidak mengkontaminasi publik.

Oleh: Edmon Makarim
Sumber: Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi - FHUI

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS