Powered by Blogger.
RSS

Tugas Kapita Selekta Komunikasi


Tugas Kapita Selekta Komunikasi

Inti dari tugas ini adalah membuat sebuah makalah mengenai hal hal yang bisa membuktikan bahwa Ilmu komunikasi sebagai suati Ilmu yang bersifat multidisipliner.

 Deadline: 23 September 2006 (Waktu posting ini deadline sudah lewat  )

Berikut isi dari makalah aku…

Metode metode penelitian yang di gunakan
dalam berbagai disiplin ilmu

Pengantar
Komunikasi merupakan suatu hal yang paling penting dan merupakan aspek yang paling kompleks dalam kehidupan manusia. Kehidupan kita sehari hari sangat kuat dipengaruhi oleh komunikasi kita dengan orang lain maupun pesan pesan yang kita terima dari orang lain yang bahkan tidak kita kenal baik yang sudah hidup maupun sudah mati, dan juga komunikator yang dekat maupun jauh jaraknya. Karena itu komunikasi sangat vital untuk kehidupan kita, maka sudah sepatutnya komunikasi mendapat perhatian yang sungguh sungguh.

Disini diharapkan, suatu pembuktian mengenai komunikasi sebagi ilmu yang bersifat multidsipliner atau suatu ilmu yang mencakup berbagai bidang ilmu lain. Komunikasi sendiri merupakan bagian dari ilmu sosial yang memang sudah seharusnya berdiri sendiri.

Komunikasi merupakan ilmu, karena struktur sebuah ilmu meliputi aspek aksiologi, epitomologi dan ontologi. Aksiologi mempertanyakan deminsi utilitas (faedah, peranan dan kegunaan). Epistomologi menjelaskan norma norma yang dipergunakan ilmu pengetahuan untuk membenarkan dirinya sendiri. Sedangkan ontologi mengenai struktur material dari ilmu pengetahuan. Komunikasi memenuhi semua aspek dari sebuah ilmu, oleh karena itu komunikasi bisa berdiri sendiri sebagai sebuah ilmu.

Isi permasalahan
Komunikasi adalah pusat dari seluruh pengalaman manusia. Hal ini di sadari oleh banyak pihak dari berbagai disiplin ilmu, baik dari disiplin ilmu tradisional (ilmiah dan sastra) maupun dari ilmu sosial sendiri.

Pengalaman manusia dicatat dalam sebuah jurnal dan kemudian berkembang menjadi menjadi sebuah teori dan menjadi sebuah ilmu. Dalam mencatat tersebut ada sebuah penelitian, penelitian tersebut bisa mengambil metode ilmiah maupun metode sastra.

Penelitian dengan metode ilmiah
Disini para ilmuan berusaha melihat dunia ini dengan cara yang sama dengan yang di gunakan oleh orang lain, mereka mengunakan metode yang sama dengan yang di gunakan oleh orang lain untuk menghasil kan sesuatu yang hasil yang identik, hal ini di perlukan untuk menunjukan suatu objektifitas. Dengan adanya kesamaan dalam pengukuran nilai maka terdapat standarisasi dan bisa membuktikan bahwa metode tersebut adalah valid.
Bisa dikatakan bahwa metode ini sangat berhubungan dengan komunikasi, karena beberapa aspek dari komunikasi di gunakan;
pengumpulan informasi yang kemudian menjadi sumber informasi, diatas bisa dilihat bahwa ilmuan ilmiah menggunakan metode yang sama untuk menghasilkan suatu yang identik, mereka mengumpukan informasi uantuk menjadikan penelitian mereka menjadi suatu yang objektif.
Pesan, pesan yang mereka berusaha sampaikan adalah hasil dari penelitian mereka, yang kemudian di catat dalam jurnal dan di sebar luaskan.
Hasil dari penelitian tersebut akan menimbulakan efek, dan inti dari komunikasi adalah untuk melihat efek dari sebuah peristiwa, dan peristiwa disini adalah sebauh proses penelitan ilmiah

Penelitian dengan metode sastra
Kalau metode penelitian ilmiah lebih di fokuskan untuk sebuah objektifitas, maka metode sastra lebih bertujuan untuk mencari kepribadian kreatif, utnuk memahami respon respon subjektif tiap tiap pribadi, oleh karena itu hasil penelitian dengan metode ini lebih bersifat pribadi, dan mecari interprestasi alternatif. Pada dasar nya penelitian dengan metode ini nyaris sama, tetapi karena berasal dari dua sisi yang berbeda maka terlihat seperti tidak bisa menyatu. Kenapa bisa diblang sama, karena keduanya membutuhkan informasi dan komunikasi.
Dalam penelitan dengan metode juga ada pengumpulan infrormasi, ada pencatatan jurnal, dan juga pada akhir nya untuk melihat efek yang di timbulkan. Semua dasar dari komunikasi ada disini, hal ini memperlihatkan bahwa komunikasi merupakan hal terpentih dalam metode penelitian.

Pembahasan
Komunikasi meliputi pemahaman tentang bagaimana orang berperilaku dalam menciptakan pesan. Karena itulah, penelitian komunikasi mengkombinasikan metode ilmiah dan sastra. Komunikasi sebagai ilmu sosial memang amat bervariasi dari yang menggunakan unsur unsur ilmiah hingga kesusastraan. Secara tradisional teori teori kesusastraan tentang komunikasi dikenal sebagai teori retorika. Sedangkan pemahaman teori teori ilmiah merupakan teori komunikasi. Pemisahan seperti ini seharusnya tidah perlu ada karena komunikasi merupakan ilmu yang bersifat multidisipliner, komunikasi sendiri sudah mencakup baik itu metode sastra maupun metode ilmiah, kedua nya sama sama di perhitungkan di dunia ilmu pengetahuan tentang komunikasi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tinjauan media-media komunikasi elektronik sebagai komponen Teknologi Komunikasi


Tinjauan media-media komunikasi elektronik sebagai komponen Teknologi Komunikasi

Teknologi Komunikasi

Dosen Ir. Teguh Prayudi

Pengertian Telekomunikasi

(Pasal 1 UU No. 36 Tahun 99) :

Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio atau sistem elektromagnetik lainnya

Subsistem Terminal :
Alat/perangkat telekomunikasi yang berupa media elektronik yang ditempatkan pada posisi awal/akhir jaringan sistem yang berfungsi untuk mengirim/menerima informasi
Subsistem Switching :
Alat/perangkat telekomunikasi yang berfungsi melaksanakan penyambungan telekomunikasi antar terminal berdasarkan permintaan
Subsistem Transmisi :
Alat/perangkat telekomunikasi yang berfungsi sebagai media penghubung informasi antar terminal
Subsistem Catu Daya :
Alat/perangkat telekomunikasi yang berfungsi sebagai penyedia sumber listrik
Subsistem Terminal :
Pesawat Telepon
Pesawat Telegrap
Facsimilie
Terminal data
Komputer
Studio dan Penerima Radio/Televisi
Telepon Seluler

Pesawat Telepon
Arti dari Telepon adalah suara dari jarak jauh
Berdasarkan cara melakukan pemanggilan
Pesawat Telepon Otomat Roda Pilih (rotary dial) digunakan pada sentral telepon otomat, dgn roda pilih yang menghasilkan digit
Pesawat Telepon Otomat Tombol Tekan (push button dial) sentral otomat, dgn tombol digit
Berdasarkan Penggunaan Alat Bantu :
Pesawat Telepon Umum Dengan Coin Box telepon umum, cara pembayaran dengan menggunakan uang logam
Pesawat Telepon Umum Kartu (TUK) cara pembayaran dengan kartu
Berdasarkan keleluasaan mobilitas :
Pesawat Telepon Fix Line / PSTN (Public Switching Telepon Network) jaringan telepon umum tetap / tidak bergerak
Pesawat Telepon Seluler (Ponsel)
 jaringan telepon bergerak(AMPS, GSM, PCS)

Telepon Seluler
Biasa disebut dengan Handphone. Di Indonesia sudah diperkenalkan sejal Tahun 1979 oleh PT. INTI (Industri Telekomunikasi). Jaringan saat itu dikenal dengan Sambungan Telepon Bergerak (STB)
Teknologi STB ini hanya bertahan selama setengah dasawarsa karena pada Tahun 1986 masuk Teknologi Telepon Seluler NMT-450 (Nordic Mobile Telepon) yang diperkenalkan Oleh PT. Rajasa Hazanah Perkasa
Tahun 1990, PT. Elektrindo Nusantara mulai memperkenalkan layanan Telepon Seluler yang memperkenalkan Teknologi AMPS (Advanced Mobile Phone System). AMPS ini ditetapkan oleh Pemerintah sebagai STBS ( Sistem Telepon Bergerak Seluler) Nasional.
Sistem Analog AMPS banyak digunakan di Amerika Utara, Australia, dan Asia. Sedangkan Eropa menggunakan STBS yang berlainan misalnya NMT-450, NMT-900. Karena itu Eropa kemudian membangun sistem bersama sebagai sistem GSM (Groupe Spesiale Mobile) tahun 1982. Pada awalnya dirancang untuk bekerja pada frekuensi 900 MHz
Di Indonesia sistem GSM mulai diperkenalkan pada tahun 1993 dengan sebutan Global System for Mobile Communication (Sistem Komunikasi Bergerak Global) yang disingkat juga dengan GSM.
Sistem GSM ini menggunakan teknologi digital. Dengan sistem digital ini satu saluran dapat digunakan oleh banyak pelanggan, sedangkan pada AMPS satu saluran hanya digunakan untuk satu pelanggan.
Saat ini sedang diuji coba sistem PCS (Personal Communication System) untuk diterapkan di Indonesia. Sistem ini bekerja pada frekuensi 1800 MHz dan telah digunakan di Amerika, Jepang, Hongkong, Singapura, dan Korea. Pemerintah belum menerapkan kebijakan untuk aplikasi sistem PCS di Indonesia saat ini.

Pesawat Telegrap
Telegrap dapat diartikan sebagai proses penyampaian berita/ informasi berupa gambar, atau grafik, tanda, isyarat dalam jarak jauh melalui perangkat telegrap
Ditinjau dari perangkat yang digunakan untuk menyalurkan informasi telegrap  hubungan telegrap dapat dibedakan menjadi dua sistem :
Sistem Morse
Sistem ini ditemukan oleh Samuel F.B. Morse (1832).
Dengan memakai Pesawat Morse, pengiriman informasi telegrap dilakukan dengan cara mengetok tanda-tanda melalui kunci ketok morse.
Tanda-tanda yang dikirim berupa kode-kode yang berupa kombinasi titik dan garis
Contoh :
a  =    .  __
b  =    __  …
ab =   .  __  __ …

Pesawat Teleprinter
Sistem Telegrap dengan menggunakan teleprinter ini merupakan pengembangan lebih lanjut di bidang telegrap. Prinsipnya adalah mengetik jarak jauh dengan menggunakan keyboard.
Sistem Teleprinter terdiri dari :
Keyboard, berfungsi menuliskan pesan
Transmitter, berfungsi mengirimkan pesan
Receiver, berfungsi menerima pesan
Printer, berfungsi mencatak pesan
Control Unit, berfungsi sebagai pusat control, semacam CPU sebuah komputer

Pesawat Facsimile
Disamping Pesawat Telegrap, kita mengenal pesawat Telephoto. Telephoto berarti pengiriman gambar dari jarak jauh. Kini pesawat Telephoto lebih dikenal dengan nama Pesawat Facsmile. Pada dasarnya Facsimile adalah sebuah mesin fotocopy jarak jauh

Pesawat Terminal Data
Pesawat Terminal Data adalah bagian dari Mesin Pemroses Data yang mampu mengirimkan data digital melalui jaringan komunikasi. Komunikasi yang terjadi sering kita sebut dengan Komunikasi Data.
Pesawat Terminal Data bisa berupa komputer atau hardware lainnya
Studio dan Penerima Radio/Televisi
Studio Radio/Televisi adalah terminal yang berfungsi mnegirimkan informasi dalam bentuk suara atau gambar dan suara
Pesawat  Radio/Televisi adalah terminal yang berfungsi menerima informasi dalam bentuk suara atau gambar dan suara

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Teori Pertukaran Sosial


Teori Pertukaran Sosial

Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964).
 Teori ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Thibaut dan Kelley, pemuka utama dari teori ini menyimpulkan teori ini sebagai berikut: “Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya”.  Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit).  Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya  pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku  di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan – hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.  Empat Konsep pokokGanjaran, biaya, laba, dan tingkat perbandingan merupakan empat konsep pokok dalam teori ini.

Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya. Nilai suatu ganjaran berbeda-beda antara seseorang dengan yang lain, dan berlainan antara waktu yang satu dengan waktu yang lain. Buat orang kaya mungkin penerimaan sosial lebih berharga daripada uang. Buat si miskin, hubungan interpersonal yang dapat mengatasi kesulitan ekonominya lebih memberikan ganjaran daripada hubungan yang menambah pengetahuan.
Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan, dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain yang dapat menghabiskan sumber kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan. Seperti ganjaran, biaya pun berubah-ubah sesuai dengan waktu dan orang yang terlibat di dalamnya.
Hasil atau laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila seorang individu merasa, dalam suatu hubungan interpersonal, bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang mendatangkan laba. Misalnya, Anda mempunyai kawan yang pelit dan bodoh. Anda banyak membantunya, tetapi hanya sekedar supaya persahabatan dengan dia tidak putus. Bantuan Anda (biaya) ternyata lebih besar daripada nilai persahabatan (ganjaran) yang Anda terima. Anda rugi. Menurut teori pertukaran sosial, hubungan anda dengan sahabat pelit itu mudah sekali retak dan digantikan dengan hubungan baru dengan orang lain.
Tingkat perbandingan menunjukkan  ukuran baku (standar) yang dipakai sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada waktu sekarang. Ukuran baku ini dapat berupa pengalaman individu pada masa lalu atau alternatif hubungan lain yang terbuka baginya. Bila pada masa lalu, seorang individu mengalami hubungan interpersonal yang memuaskan, tingkat perbandingannya turun. Bila seorang gadis pernah berhubungan dengan kawan pria dalam hubungan yang bahagia, ia akan mengukur hubungan interpersonalnya dengan kawan pria lain berdasarkan pengalamannya dengan kawan pria terdahulu. Makin bahagia ia pada hubungan interpersonal sebelumnya, makin tinggi tingkat perbandingannya, berarti makin sukar ia memperoleh hubungan interpersonal yang memuaskan.
 Homans dalam bukunya “Elementary Forms of Social Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :”Semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi “. Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi tersebut berbunyi : “Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali”. Bagi Homans, prinsip dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice” – aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi ” seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya – makin tingghi pengorbanan, makin tinggi imbalannya – dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya – makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan”. Inti dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial  adalah perilaku sosial seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan.
Pendekatan ObyektifTeori Pertukaran sosial ada di pendekatan objektif. Pendekatan ini disebut “obyektif” berdasarkan pandangan bahwa objek-objek, perilaku-perilaku dan peristiwa-peristiwa eksis di suatu dunia yang dapat diamati oleh pancaindra (penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan pembau), dapat diukur dan diramalkan.

Teori Pertukaran sosial beranggapan orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Pada pendekatan obyektif cenderung menganggap manusia yang mereka amati sebagai pasif dan perubahannya disebabkan kekuatan-kekuatan sosial di luar diri mereka. Pendekatan ini juga berpendapat, hingga derajat tertentu perilaku manusia dapat diramalkan, meskipun ramalan tersebut tidak setepat ramalan perilaku alam. Dengan kata lain, hukum-hukum yang berlaku pada perilaku manusia bersifat mungkin (probabilistik). Misalnya, kalau mahasiswa lebih rajin belajar, mereka (mungkin) akan mendapatkan nilai lebih baik; kalau kita ramah kepada orang lain, orang lain (mungkin) akan ramah kepada kita; bila suami isteri sering bertengkar, mereka (mungkin) akan bercerai.
Sumber:

Modul 4 & Modul 6 Teori Komunikasi Farid Hamid M Si

Perspektif dalam Psikologi Sosial Hasan Mustafa

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Studi Tentang Representasi, Penilaian Perempuan dan Gagasan Keterwakilan Perempuan di Parlemen pada Pemilu Legislatif 2009


Televisi dan Politisi Perempuan

Televisi dan Politisi Perempuan:

Studi Tentang Representasi, Penilaian Perempuan dan Gagasan Keterwakilan Perempuan di Parlemen pada Pemilu Legislatif 2009

Dalam Televisi


DR. Widodo Muktiyo[1]



Keyword: television, representation, women politician, legislative election 2009.


Televisi merupakan salah satu media massa yang memiliki dan peranan begitu besar dalam konteks pemilu legislatif 2009 di Indonesia. Bahkan Burton (2007: 7) mengungkapkan bahwa televisi mampu membentuk cara pikir kita tentang dunia. Sebagai salah satu bentuk media massa televisi, apa yang ditampilkan televisi tentu mempertimbangkan apa yang disebut news value. Seperti unsur kedekatan (closeness), relevansi (relevance), keanehan atau negativitas (negativity), dan signifikasi kejadian (significance) dari peristiwa yang diberitakan, misalnya, biasanya menjadi dasar pertimbangan pemberitaan (McQuail, 1997: 270-271).

Sebagaimana yang jamak diketahui, persoalan keterwakilan perempuan di parlemen (di DPR RI, DPD, DPRD I, dan DPRD II) merupakan persoalan yang oleh banyak kalangan dinilai sebagai persoalan yang semakin serius. Diskusi publik mengenai hal ini nampaknya juga semakin banyak terjadi baik di berbagai forum masyarakat luas maupun di media massa termasuk televisi. Hal demikian nampaknya lebih disebabkan karena sebegitu jauh upaya menempatkan 30% calon legislatif perempuan di kursi parlemen belum membuahkan hasil. Berbagai kendala nampaknya muncul secara nyata seperti misalnya kultur masyarakat yang setidaknya sampai tingkat tertentu masih belum benar-benar mendukung gagasan pentingnya perempuan menekuni dunia politik dan kemudian juga rendahnya minat kalangan perempuan sendiri untuk menjadi politisi. Kecenderungan demikian nampaknya berlanjut hingga periode pemilihan umum legislatif 2009.

Sementara itu persoalan-persoalan lain seperti bagaimana memberitakan suatu peristiwa dan substansi persoalan apa yang ditonjolkan dalam pemberitaan terkait dengan peristiwa-peristiwa yang diberitakan juga merupakan persoalan penting dalam pemberitaan. Persoalan ini lebih dikenal sebagai persoalan angle pemberitaan atau yang juga sering disebut dengan frame pemberitaan yang notabene adalah konstruksi media atas realitas (Entman, 1993; Scheufele, 1999). Konstruksi media atas realitas, sudah tentu juga termasuk realitas tentang politisi perempuan, dapat tampil dalam wujud pemberian penekanan terhadap aspek-aspek tertentu dari peristiwa atau persoalan dalam pemberitaan, dan juga dalam kemasan berbagai acara talkshow, dan iklan.

Pada periode pemilihan umum legislatif 2009 politisi perempuan di Indonesia (para calon anggota legislatif, para pimpinan dan fungsionaris partai politik) memang ditampilkan di media massa namun nampaknya upaya penampilan ini bisa dikatakan relatif masih kurang memperoleh penekanan dalam pemberitaan media massa, terutama televisi. Berbagai pemberitaan dan berbagai tayangan acara talkshow televisi, misalnya, seringkali memang memunculkan sosok politisi perempuan terutama pada periode kampanye. Tetapi pada kenyataannya baik dalam pemberitaan maupun talkshow televisi sosok-sosok politisi dari kaum laki-laki lebih sering atau lebih banyak ditampilkan. Hal demikian sudah tentu mengundang pertanyaan tentang bagaimana dan mengapa demikian.

Sementara itu sebagian publik, termasuk publik di Kota Surakarta, mencermati bagaimana kecenderungan-kecenderungan televisi dalam menampilkan atau merepresentasikan politisi perempuan, kaum perempuan yang menekuni dunia politik, dengan menjadi calon legislatif, anggota legislatif incumbent, atau fungsionaris partai politik.

Dari sini lalu dapat muncul pandangan-pandangan atau penilaian-penilaian tertentu mengenai perihal tersebut dan juga perihal peran televisi dalam mempromosikan gagasan keterwakilan perempuan di parlemen. Dapat dimengerti dengan jelas bahwa sebagian publik di Surakarta termaksud adalah juga kalangan perempuan. Kalangan perempuan di Surakarta sebagai bagian dari warga publik juga menonton televisi, mencermati pemberitaan serta tayangan acara talkshow selama periode kampanye, dengan intentitas yang beragam. Kalangan publik perempuan ini akhirnya juga memiliki pandangan atau penilaian-penilaian yang beragam pula baik mengenai kehadiran kaum perempuan di parlemen maupun penilaian mengenai peran media massa khususnya televisi dalam mendukung gagasan keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen terutama DPR RI, DPD, DPRD I, dan DPRD II.

Mengacu pada konteks penelitian ini beberapa konsep penting dalam studi media terutama mengenai representasi antara lain stereotipe (anggapan, pandangan, atau kesan (citra) yang kuat yang tumbuh dalam masyarakat yang biasanya bersifat negatif mengenai kelompok/kalangan masyarakat tertentu di dalam masyarakat) dan anihilation (kecenderungan langka atau diabaikannya obyek atau realitas-realitas tertentu oleh media massa sehingga obyek atau realitas bersangkutan (misalnya kelompok masyarakat tertentu) sangat jarang dijumpai atau mungkin bahkan tidak ada (tidak dapat dijumpai) dalam/melalui media massa) (Lihat, Tuchman, 1987; Perkins (1979) dalam Jones and Jones, 1999:105).

Branston and Staffors (1996), misalnya, sebagaimana dikutip oleh Jones and Jones (1999:104) mengungkapkan bahwa proses representasi melibatkan aspek-aspek merupakan persoalan politik media dalam mengkonstruksi realitas yang karenanya lebih sering bersifat ideologis. Bahkan beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Richardson (2001), Alvarado et. al (1987), dan Meehan (1983) memperlihatkan kecenderungan ini (Jones dan Jones, 1999).

Menilik hal-hal tersebut, penelitian ini memberi gambaran mengenai bagaimana kecenderungan representasi politisi perempuan di televisi serta penilaian/pandangan khalayak (mengenai kehadiran perempuan dalam dunia politik, peran media massa khususnya televisi dalam mendorong/mempromosikan gagasan keterwakilan perempuan di parlemen), dan korelasi antara variabel sosio-demografis (khususnya umur dan tingkat pendidikan) dengan penilaian mengenai kehadiran kaum perempuan dalam dunia politik.


METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif (menggambarkan gejala) dengan metode analisis media (media analysis) dan survei. Peneliti melakukan lacakan terhadap representasi politisi perempuan di televisi dan penilaian/pandangan khalayak (mengenai kehadiran perempuan dalam dunia politik, peran media massa khususnya televisi dalam mendorong/mempromosikan gagasan keterwakilan perempuan di parlemen), dan korelasi antara variabel sosio-demografis (khususnya umur dan tingkat pendidikan) dengan penilaian mengenai kehadiran kaum perempuan dalam dunia politik.

Penelitian melalui metode analisis media dilakukan dengan mencermati berbagai pemberitaan serta tayangan acara talkshow televisi di Indonesia. Kemudian membuat catatan-catatan dan analisis baik mengenai isi atau kandungan pesan maupun cara pesan disampaikan (Pawito, 2007). Dalam hubungan ini pengamatan dilakukan terutama pada periode kampanye terbuka pemilihan legislatif 2009 yang berlangsung 6 Maret hingga 5 April 2009.

Sementara metode survei dilakukan terhadap 80 orang responden yang dipilih secara insidental di Surakarta terutama di Kelurahan Gajahan Kecamatan Pasar Kliwon. Jumlah ini diambil setidaknya untuk mengkaji sebagian populasi sebagai sampel yang setidaknya sampai tingkat tertentu mewakili populasi (Watt and van den Berg, 1995: 352; Babbie, 1979: 316).


HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis media serta bertolak dari data yang ada maka dapat dikatakan bahwa terdapat kecenderungan umum representasi politisi perempuan di televisi yang menunjukkan bahwa pemberitaan televisi tidak/kurang ekstensif memunculkan politisi perempuan pada pemilihan umum legislatif 2009.

Kecenderungan anihilasi demikian dapat dilihat misalnya melalui kenyataan bahwa berita-berita televisi berkenaan dengan pemilihan umum legisaltif 2009 sangat didominasi oleh politisi laki-laki dan jarang dimunculkan politisi perempuan. Hal demikian nampaknya disebabkan antara lain oleh karena memang jumlah politisi perempuan jauh lebih kecil jumlahnya dibandingkan dengan jumlah politisi laki-laki, dan kegiatan-kegiatan politisi perempuan yang dapat dimunculkan di televisi karena itu juga jauh lebih kecil jumlahnya.

Bertolak dari kenyataan ini maka dapat dikatakan bahwa dalam konteks kehidupan politik, khususnya berkaitan dengan pemilihan umum legislatif 2009 di Indonesia, temuan Tuchman (1978) mengenai kecenderungan sangat senjang antara kemunculan kaum laki-laki dengan kaum perempuan dalam televisi, khususnya dalam konteks penelitian ini adalah kemunculan politisi laki-laki dengan politisi perempuan dalam pemberitaan televisi, nampaknya memperoleh pembenaran.

Namun demikian hal ini tidak berarti bahwa televisi tidak pernah menayangkan pemberitaan yang memiliki unsur politisi perempuan. Calon legislatif perempuan dari kalangan selebritis kedapatan muncul, misalnya walau tidak terlalu sering, dalam pemberitaan televisi. Kemunculan secara sekilas (sekitar 30 detik) di layar televisi terutama saat kampanye disertai narasi dari pembawa berita, seolah memang menandai ketidaksempurnaan anihilasi kemunculan politisi perempuan di televisi. Kemunculan Meutia Farida Hatta Swasono (Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia/PKPI) di pemberitaan berbagai televisi misalnya, juga kemunculan Rieke Dyah Pitaloka (calon legislatif untuk DPR RI dari PDIP), Nurul Arifin (calon legisltif untuk DPR RI dari partai Golkar), dan Yasmin Muntaz (calon legislatif untuk DPR RI dari Partai Amanat Nasional/PAN) dapat dikemukakan sebagai contoh. Hal menarik yang nampaknya menjadi pengecualian adalah kerapnya Megawati Soekarno Putri sekaligus Puan Maharani diamplifikasi oleh televisi.

Kemudian kecenderungan yang sama yakni kemunculan politisi perempuan di televisi di berbagai acara talkshow lebih mengamplifikasi figur-figur selebritis yang dikenal luas di kalangan masyarakat (sosok populer di masyarakat). Sebagai contoh, dapat dilihat pada Global TV edisi Jum’at 27 Maret 2009 jam 20.00, pada acara talkshow yang diberi label Panggung Demokrasi menampilkan kandidat dari kalangan selebritis yang di dalamnya ada calon legislatif DPR RI perempuan yakni Raslina Rasiddin (calon legislatif dari Partai Amanat Nasional /PAN) dan Oky Asokawati (calon legislatif dari Partai Persatuan Pembangunan / PPP). Di samping mereka berdua hadir juga pada acara ini Tengku Firmansyah (laki-laki, calon legislatif Partai Kebangkitan Bangsa / PKB).

Atau contoh, tayangan talkshow televisi yang menarik untuk dianalisis selanjutnya adalah acara talkshow yang disiarkan oleh TVRI Selasa 24 Maret 2009 primetime. Acara ini bersifat langsung (live) dan interaktif – audience di studio maupun pemirsa di rumah dapat mengajukan pertanyaan atau komentar. Acara yang diberi nama Pro Parpol (Profil Partai Politik) pada edisi ini mengupas topik Perempuan Dalam Politik. Selingan musik khas PPP disisipkan untuk variasi acara dan mengurangi kebosanan. Kandidat yang dihadirkan pada acara ini kesemuanya adalah kandidat perempuan untuk DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yakni Dr. Reni Marlinawati Caleg PPP No. 1 Dapil jabar IV, Dr. Nurkholisoh Wk Sekjen DPP PPP, dan Hj. Ratih Sanggarwati, SE Caleg PPP No. 1 Dapil Jatim I.

Namun kiranya dapat dikatakan bahwa penayangan acara ini dimaksudkan untuk meningkatkan citra PPP yang memberikan kepercayaan dan peran bagi kaum perempuan padahal PPP dikenal luas sebagai partai politik yang berbasis massa Islam.

Dalam konteks analisis media dapat dikatakan bahwa perempuan direpresentasikan sebagai sosok-sosok politisi yang dengan penuh rasa percaya diri ingin berjuang untuk kemajuan bagi bangsanya dan juga sekaligus berjuang untuk kesamaan hak dengan kaum laki-laki di pentas politik walaupun masih memiliki kecenderungan-kecenderuan seperti lebih mengamplifikasi politisi perempuan dari kalangan artis/selebritis.

Selanjutnya temuan melalui hasil riset survei dapat digambarkan dilihat dari sisi (1) penilaian mengenai kehadiran kaum perempuan dalam dunia politik, sebagian besar responden (60%) memiliki pandangan/penilaian bahwa kehadiran perempuan di lembaga perwakilan rakyat atau lembaga parlemen (menjadi anggota DPR RI, DPD, DPRD I, dan DPR D II) adalah suatu keharusan/keniscayaan apabila dilihat dari kepentingan pembangunan bangsa secara umum/luas. Hal ini memdapat penguatan mayoritas (87,5%) dimana responden menyatakan bahwa menjadi politisi perempuan dengan duduk di kursi lembaga perwakilan rakyat tidak menyalahi kodrat perempuan.

(2) peran televisi dalam mengamplifikasi gagasan keterwakilan perempuan, bahwa responden secara relatif (dengan selisih angka tipis) memiliki pandangan bahwa televisi telah berperan secara signifikan dalam mendukung gagasan atau mempromosikan gagasan keterwakilan perempuan di parlemen. Hal demikian dapat dilihat dengan kenyataan angka bahwa terdapat 30 dari 80 orang responden (37,5%) yang memiliki pandangan demikian dibanding dengan 28 orang (30%) responden yang merasa ragu-ragu, dan 22 orang selebihnya (27,5%) memiliki penilaian sebaliknya (televisi tidak/belum secara signifikan mendukung atau mempromosikan gagasan keterwakilan perempuan di parlemen. Kemudian sebagaimana temuan analisis media, kebanyakan responden dalam riset survei (40%) meragukan bahwa televisi merepresentasikan politisi perempuan secara memadai.

(3) Korelasi variabel sosio-demografis dengan penilaian mengenai kehadiran kaum perempuan dalam dunia politik (dimana dilihat dari sisi umur dan pendidikan). Responden yang berusia relatif muda (17-40 tahun) cenderung memiliki penilaian bahwa kehadiran perempuan di lembaga perwakilan rakyat sebenarnya merupakan suatu keharusan apabila dilihat dari kepentingan pembangunan bangsa secara umum. Terdapat 30 orang (dari 52 orang; 57,7%) yang memiliki penilaian demikian. Namun demikian kebanyakan responden yang berusia relatif tua (41 tahun atau lebih lebih) juga cenderung memiliki penilaian yang sama. Hal ini nampak pada kenyataan bahwa 18 dari 28 orang (64,3%) memiliki penilaian demikian. Hal yang sama juga ditemukan jika ditilik mengenai jaminan aspirasi hak-hak perempuan, kebanyakan responden berusia relatif muda (22 dari 52 orang (42,3%, n= 52) cenderung berpandangan positif mengenai kehadiran kaum perempuan di lembaga perwakilan rakyat dapat lebih menjamin dipenuhinya aspirasi dan hak-hak kaum perempuan. Begitupun kecenderungan yang sama juga terdapat pada responden yang berusia relatif tua. Terdapat 16 dari 28 orang (57,1%) responden berusia relatif tua memiliki penilaian seperti itu. Sehingga dapat dikatakan variable umur relatif tidak berkorelasi dengan penilaian. Apalagi baik responden laki-laki maupun perempuan sama-sama cenderung memiliki penilaian bahwa kehadiran kaum perempuan di lembaga perwakilan rakyat merupakan suatu keharusan dan penting bagi jaminan keterwakilan aspirasi hal-hak perempuan di parlemen.

Namun akan terlihat suatu temuan menarik bila dilihat dari korelasi penilaian dengan pendidikan dimana kebanyakan responden yang berpendidikan rendah (9 dari 13 orang, 69,2%) memiliki penilaian bahwa kehadiran kaum perempuan di parlemen (lembaga perwakilan rakyat) merupakan suatu keharusan dilihat dari kepentingan pembangunan bangsa. Kemudian kecenderungan yang sama juga terjadi pada responden yang berpendidikan menengah. Terdapat 29 dari 47 orang (61,7%) responden yang berpendidikan menengah memiliki pandangan seperti itu. Selanjutnya responden yang berpendidikan tinggi (jenjang Diploma atau Sarjana) terbagi ke dalam dua kelompok penilaian yang sama besar jumlahnya yakni masing-masing 10 orang (50%, n=20) untuk responden yang memiliki penilaian tidak harus dan harus.

Begitu pula kecendrungan penurunan pada penilaian mengenai jaminan jaminan keterwakilan aspirasi hal-hak perempuan di parlemen dilihat dari korelasi pendidikan. Dimana kebanyakan responden berpendidikan rendah (8 dari 13 orang, 61,5%) memiliki penilaian bahwa kehadiran kaum perempuan di lembaga perwakilan rakyat dapat lebih menjamin dipenuhinya aspirasi dan hak-hak kaum perempuan. Kemudian juga kebanyakan responden berpendidikan menengah (22 dari 47 orang, 46,8%) juga cenderung memiliki pandangan yang sama. Selanjutnya pada responden berpendidikan tinggi terdapat 8 dari 20 orang (40%) yang memiliki penilaian serupa. Kecenderungan penurunan persentase dari 61,5% kemudian menurun menjadi 46,8% dan akhirnya menurun lagi menjadi 40% pada penilaian tidak/belum tentu dari responden berpendidikan rendah kemudian bergerak ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Apabila dicermati kecedenderungan penurunan yang konsisten dalam persentase dari pendidikan rendah ke lebih tinggi terkait dengan penilaian bahwa kehadiran kaum perempuan di lembaga parlemen merupakan suatu keharusan, yakni dari 69,2% kemudian ke 61,7% dan akhirnya menjadi 50% dan juga penurunan dari sisi penilaian jaminan keterwakilan aspirasi hak-hak perempuan di parlemen dari 61,5% kemudian 46,8% dan akhirnya menjadi 40% kiranya dapat dimaknai bahwa faktor atau variabel tingkat pendidikan nampaknya memiliki korelasi dengan penialian atau pandangan bahwa kehadiran kaum perempuan di lembaga perwakilan rakyat akan dapat lebih menjamin terpenuhinya aspirasi dan hak-hak kaum perempuan. Dalam hubungan ini nampak kecenderungan bahwa responden dengan tingkat pendidikan lebih rendah cenderung berpandangan positif terhadap penilaian seperti itu sementara responden yang tingkat pendidikannya lebih tinggi terkesan lebih skeptik/kritis.



KESIMPULAN

Televisi dalam menyuguhkan representasi politisi perempuan ditandai oleh beberapa hal yakni anihilasi (kecenderungan kurang/langka) politisi perempuan dalam pemberitaan (kecuali Megawati Soekarno Putri dan Puan Maharani). Selanjutnya dapat dikatakan bahwa representasi politisi perempuan di televisi lebih banyak dijumpai di berbagai acara talkshow. Namun demikian representasi politisi perempuan lebih didominasi oleh politisi perempuan mantan artis dan selebritis seperti Oky Asokawati (mantan model dan pemain sinetron, PPP), Ratih Sanggarwati (mantan model, PPP), Nurul Arifin (mantan pemain film, Golkar) dan Rieke Dyah Pitaloka (pemain sinetron, PDIP).

Temuan tersebut semakin diamplifikasi lewat hasil survei riset yang dilakukan dimana responden (pemilih perempuan) pada umumnya tidak meyakini peran media massa khususnya televisi dalam membantu mendukung gagasan keterwakilan perempuan (kuota 30 %) di parlemen. Sebanyak 28 orang (35%) responden mengatakan ragu dan 22 orang (27,5%) lainnya mengatakan televisi tidak membantu mendukung gagasan keterwakilan perempuan di parlemen dan hanya 30 orang (37,5%) responden yang memiliki penilaian bahwa televisi telah membantu mendukung gagasan tersebut.

Sementara dari sisi korelasi variabel sosio-demografis, dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel umur relatif tidak berkorelasi dengan penilaian. Dimana baik responden laki-laki maupun perempuan sama-sama cenderung memiliki penilaian bahwa kehadiran kaum perempuan di lembaga perwakilan rakyat merupakan suatu keharusan dan penting bagi jaminan keterwakilan aspirasi hal-hak perempuan di parlemen. Akan tetapi hasilnya berbanding terbalik apabila ditilik dari variabel pendidikan dimana diketahui bahwa pendidikan semakin tinggi akan mempengaruhi tingkat penilaian.


DAFTAR PUSTAKA


Babbie, Earl R.. 1979. The Practice of Social Research 2nd ed. Belmont, California:

Wadsworth Publishing Company Inc.

Burton, Graeme. 2007. Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kepada Sudi

Televisi. Terj. Laily Rahmawati. Yogyakarta: Jalasutra.

Entman, R. M., “ Framing Towards Clarification of a Fractured Paradigm”, Journal

of Communication. Vol. 43 No. 4. 1993.

Jones, Marsha dan Emma Jones. 1999. Mass Media. Houndmills,Basingstok,

Hamshire: MacMillan Production LTD.

McQuail, Denis. 1997. Mass Communication Theory 3rd ed. London: Sage

Publications.

Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS.

Richardson, John E, “British Muslims in the Broadsheet Press: a challenge to Cultural

Hegemony?”, Journalism Studies, Volume 2, No. 2, 2001.

Scheufele, Dietram A., “Framing as a Theory of Media Effects”, Journal of

Communication Vol. 49 No. 1 Winter 1999.

Watt, James H. dan Sjef A. van den Berg. 1995. Research Methods for

Communication Science. Boston: Allyn and Bacon.



[1] Widodo Muktiyo adalah Staf Pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pengantar Teknologi komunikasi


Pengantar Teknologi komunikasi

Pengantar Kuliah TEKNOLOGI KOMUNIKASI

Dosen : Teguh Prayudi

Komunikasi
Setiap manusia tidak akan mungkin dapat hidup sendiri dan selalu akan memerlukan bantaun orang lain dalam menjalani kehidupan di dunia
Agar dapat berlangsung kehidupan yang serasi dalam kelompok manusia, maka manusia perlu untuk saling bertukar informasi
Saling bertukar informasi atau berita yang berjalan lancar dan terus menerus dikenal dengan istilah Komunikasi
Komunikasi berasal dari bahasa Latin : Communis = sama (common). Komunikasi berarti kita saling berusaha mengadakan suatu kesamaan (commoness) dengan orang lain. Ini berarti bahwa kita sedang berusaha memberikan informasi, atau pendapat kepada orang lain. Dan orang lain (penerima) informasi tersebut sedang berusaha mengerti isi informasi yang diterimanya
Teknologi komunikasi
Adalah perangkat dan system hasil rekayasa manusia yang digunakan sebagai media transmisi untuk menyampaikan ide, pesan, atau gagasan kepada orang lain
Contoh : Radio, Televisi, Telepon, Fax, Komputer, Internet
Macam-macam Komunikasi
Dilihat dari alat dan perangkat yang digunakan manusia dalam melakukan komunikasi, maka komunikasi dapat dibedakan atas :
Komunikasi Akoptika adalah komunikasi yang menggunakan akustika (bunyi) dengan sasaran indera telinga dan sekaligus menggunakan optika (optik, dengan sasaran indera mata.
Komunikasi jenis ini dilakukan dengan menggunakan alat-alat yang sederhana dan bersifat konvensional, misalnya siulan, bunyi kentongan, dan sebagainya yang dapat didengar oleh telinga manusia, serta api,, asap, isyarat, yang dapat dilihat dengan indera mata
Komunikasi Grafika adalah Komunikasi yang menggunakan alat-alat cetak, sehingga menghasilkan bahan tercetak/tertulis seperti surat kabar, majalah, buku dan lain sebagainya
Komunikasi jenis ini sering disebut juga komunikasi tertulis
Komunikasi Elektronika adalah komunikasi yang menggunakan alat-alat elektronika atau perangkat telekomunikasi seperti radio, televisi, telepon, telex, fax dan sebagainya
Komunikasi Cyber adalah komunikasi yang menggunakan media internet sebagai alat komunikasi. Termasuk di dalamnya adalah Eelektronik Mail, Mailing List, Online News, Chatting, VOIP dan lain sebagainya

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Media Transmisi Non Fisik Terestrial


Media Transmisi Non Fisik Terestrial

Teknologi Komunikasi

Dosen Ir. Teguh Prayudi

Terestrial berasal dari kata terra : bumi

Media Transmisi Non Fisik Terestrial adalah media transmisi dalam bentuk gelombang radio yang perambatannya tidak jauh atau seolah-olah sejajar dengan bumi (tidak termasuk transmisi satelit)
Pemakaian gelombang radio sebagai media transmisi biasanya ditentukan berdasarkan frekuensi/panjang gelombang

Frekuensi adalah banyaknya getaran yang melewati titik tertentu dalam suatu interval waktu yang berlainan
Satuan frekuensi disebut  : Heartz sesuai penemu gelombang elektromagnetik : Heinrich Hertz ( Jerman)
Frekuensi ini berbanding terbalik dengan panjang gelombang sesuai dengan rumusnya :

                        kecepatan
Frekuensi = ————–
                       gelombang

Jenis Frekuensi :
Middle Frekuensi (MF) : 300 – 3.000 KHz
High Frekuensi (HF) : 3 – 30 MHz
Very High Frekeunsi (VHF) : 30  – 300 MHz
Ultra High Frekuensi (UHF) : 300 – 3.000 MHz
Super High Frekuensi (SFH) : 3 – 30 GHz
Extremely High Frekuensi (EHF) : 30 – 300 GHz

Besaran masing-masing jenis frekeunsi radio disebut Spektrum Frekuensi Radio
MF (Middle Frekuensi) disebut dengan radio dengan panjang gelombang sedang. Banyak digunakan dalam radio siaran swasta niaga
HF (High Frekuensi) disebut sistem radio gelombang pendek, yang banyak dipakai untuk hubungan ke tempat yang jauh/ terpencil.
VHF dan UHF disebut sistem gelombang sangat pendek, banyak digunakan untuk kepentingan hubungan jarak dekat.
SHF dan EHF disebut dengan sistem gelombang mikro. Di Indonesia dipakai oleh Telkom untuk tererstrial dan satelit

Sistem Transmisi Radio HF
Gelombang Radio HF biasanya digunakan untuk hubungan jarak jauh misalnya hubungan antar pulau. Dengan sistem ini satu saluraan dapat digunakan untuk 4 percakapan sekaligus tanpa saling mengganggu.
Gelombang radio HF merambat melalui udara dan kemudian dipantulkan kembali ke bumi melalui lapisan ionosfer.  Jarak dua terminal bisa mencapai lebih dari 1500 Km untuk satu hop.
Sistem ini daya jangkauannya sangat jauh tetapi membutuhkan daya pancar yang kuat sehingga dibutuhkan sumberdaya listrik yang banyak. Oleh karena itu biasanya tidak beroperasi 24 jam

Sistem Radio Transmisi VHF/UHF
Sistem VHF bekerja pada frekuensi 30 – 300 MHz, dan untuk UHF dengan frekuensi 300 – 3000 MHz.
Sistem VHF ini berhubungan dengan cara line of sight (saling bercermin), artinya kedua tempat dimaksud harus saling melihat sesamanya tanpa ada penghalang.
Sistem UHF mempunyai kapasitas salur yang lebih besar dibanding VHF. Di negara kita sistem ini dipakai untuk menghubungkan Surabaya dengan Banjarmasin melalui jalur tropocaster. Disebut tropocaster karena pancaran gelombangnya dipancarkan oleh saluran troposfer (atmosfer terbawah bumi kita).

Sistem Radio Transmisi SHF
Sistem ini biasa disebut juga sistem Gelombang Mikro (Microwave). Disebut gelombang mikro karena menggunakan panjang gelombang yang sangat pendek. Sistem ini hanya menjangkau 50 – 70 Km, sehingga diperlukan repeater-repeater  untuk menghubungkannya.
Contoh : Terminal Gelombang Mikro Jakarta – Medan dengan jarak 2.300 Km memerlukan repeater sebanyak 56 buah.
Di Indonesia dikenal memiliki Sistem Gelombang Mikro Nusantara, yang meliputi :
Gelombang Mikro Trans Sumatera
Gelombang Mikro Jawa – Bali
Gelombang Mikro Indonesia bagian Timur

Kelebihan dan Kekurangan
Gelombang Radio HF
Kelebihan
Dapat menjangkau jarak yang kauh
Dapat melewati laut, gurun, tandus, hutan belantara,
Dapat melintasi daerah rawan
Kapasitas lebih besar dibanding saluran fisik
Kekurangan
Tidak dapat beroperasi selama 24 jam
Mudah terganggu oleh keadaan cuaca
Kualitas percakapan kurang bisa diandalkan
Kapasitas Kecil

Gelombang Mikro
Kelebihan
Kemampuan salur yang besar dibanding HF
Keandalan Tinggi tidak terpengaruh oleh cuaca
Memungkinkan disalurkannya percakapan SLJJ
Fleksibilitas Tinggi
Repeater dapat dikendalikan tidak perlu dijaga oleh tenaga teknis
Kekurangan
Jarak jangkau lebih pendek dibanding HF
Membutuhkan saluran repeater yang banyak
Lokasi repeater sering terpencil dan sukar dicapai
Membutuhkan penelitian site yang tepat lama dan sukar
Perambatan gelombangnya mudah terpengaruh oleh gunung

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

komunikasi profetik


komunikasi profetik
Resume kelompok I
Mengkritisi Teori Kritis;Pendekatan Komunikasi Profetik
Teori kritis adalah salah satu bentuk wacana alternatif dalam menghadapi perkembangan masyarakat, terutama dalam perkembangan ilmu pengetahuan sosial. Pada dasarnya teori kritis secara klasifikatif dapat digolongkan pada aliran neo Marxis, meski dalam perdebatan filosofis ada yang menganggap teori kritis adalah teori yang bukan Marxis lagi. Sebagai pendiri teori Marxis, Marx mengemukakan sebuah pemikiran yang sering kita kenal dengan "determinisme ekonomi". Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran determinisme ekonomi ini sering mendapat kritikan dari berbagai aliran termasuk aliran neo Marxis sendiri. Tapi justru pemikiran determinisme ekonomi inilah yang menjadi akar pemikiran neo Marxis (mazhab frankfurt, cultural studies, post modernist) tersebut. Dalam islam teori kritis dipandang sebagai basic lahirnya ilmu sosial, komunikasi profetik. Dalam konteks inilah etika profetik akan ditempatkan untuk melengkapi sejumlah kekurangan teori kritis.
Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif. Kebanyakan teori kritis yang dikembangkan oleh mazhab frankfurt lebih humanistis. Teori kristis ini berupaya mencari realitas sebenarnya dibalik realita sungguhan media dalam mengkonstruksi budaya.

Resume kelompok II
"Kontekstualisasi Komunikasi Profetik dalam Masyarakat Industri"

Masyarakat industri adalah masyarakat yang memproduksi media melalui beberapa tahap perkembangannya. Kontribusi yang bisa diberikan kominikasi profetik terhadap masyarakat industri adalah aplikasi nilai etika yaitu proses humanisasi sesuai dengan surat At-Tin ayat 5-6, "mengharapkan manusia agar tidak diperbudak oleh teknologi yang mereka ciptakan sendiri".
Ada beberapa solusi yang bisa diberikan oleh komunikasi profetik terhadap permasalahan ini, yaitu :
Menerapkan nilai-nilai profetik (humanisai, liberasi, transendensi) dalam industri media, dengan cara ambil bagian dalam media itu sendiri dan mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh pengelola media.
Menawarkan keilmuan yang serat dengan nilai-nilai dan berpihak pada kemanusiaan guna menciptakan khairul ummah dan ilmu yang perfeksionis dan communitarian.

Resume kelompok III
"Kontribusi Komunikasi profetik terhadap Ilmu Komunikasi"

Pilar utama komunikasi profetik adalah humanisasi, liberasi, dan transendensi, dengan pengertian bahwa :
Humanisasi: tujuan humanisasi yaitu memanusiakan manusia. Kita tahu bahwa kita sekarang mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Kita mengalami objektivikasi ketika berada di tengah-tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar. Ilmu dan teknologi juga telah membantu kecenderungan reduksionistik yang melihat manusia dengan cara parsial (Kuntowijoyo, 2006:87)
Liberasi: Tujuan liberasi adalah pembebasan dai kekejaman kemiskinan struktural, keangkuhanteknologi dan pemerasan kelimpahan. Kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, mereka yang terperangkap dalam kesadaran teknokratis dan mereka yang tergususr oleh ekonomi raksasa. Kita ingi bersama-sama membebaskan diri dari belenggu-belenggu yang kita bangun sendiri ((Kuntowijoyo, 2006:88). Liberasi dalam komunikasi profetik juga tidak sama dengan falsafah libertarian yang mendasari berbagai konsepsi baru tentang hakikat manusia dalam hubungannya dengan negara. Liberasi dalam komunikasi profetik ingin memberi koreksi etis tehadap libertarian. Menurut libertarian manusia bebas secara ilmiah dan sederajat satu sama lain, sebelum mereka secara sukarela menyerahkan kebebasan tersebut kepada pemerintah (Syahputra, 2007:129)
Transendensi: Tujuannya yaitu membersihkan diri dengan mengingat kembali transendental yang telah menjadi bagian fitrah kemanusiaan. Upaya humanisasi, dan liberasi harus dilakukan sebagai manifestasi keimanan kepada Tuhan karena memang Tuhan memerintahkan manusia menata kehidupan sosial secara adil (Syahputra, 2007:129).
Komunikasi profetik dengan Humanisasi, Liberasi, dan Transendensi mempunyai peranan penting terhadap proses komunikasi dalam masyarakat. Komunikasi yang selama ini sangat antroposentris yang mengesampingkan fungsi tuhan menyebabkan masyarakat khususnya pelaku media menjadi tidak terkontrol. Komunikasi profetik menginginkan adanya jiwa berkesadaran yang trensendensional dalam tiap-tiap individu sehingga nantinya proses komunikasi yang berlangsung tidak biasa dan tidak merugikan manusia sendiri.

Resume kelompok empat
"Kasus Bom Bali dalam Perspektif Agama, Hukum, dan Komunikasi Profetik"

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS