Powered by Blogger.
RSS

DEKONSTRUKSI Jacques Derrida [Pokok-Pokok Pemikiran]


Bab I
Pendahuluan

Jacques Derrida merupakan seorang filsuf Prancis keturunan Yahudi dan dianggap sebagai pendiri ilmu dekonstruktivisme, sebuah ajaran yang menyatakan bahwa semuanya di-konstruksi oleh manusia, juga bahasa. Semua kata-kata dalam sebuah bahasa merujuk kepada kata-kata lain dalam bahasa yang sama dan bukan di dunia di luar bahasa. Derrida dianggap salah satu filsuf terpenting abad ke 20 dan ke 21. Tidak ada pemikir yang begitu mempengaruhi pemikiran gelobal selama seratus tahun terakhir dengan bidang pembahasan yang luas dan menyentuh hampir segala bidang, setidaknya menurut Dinia Smith, dalam sebuah artikelnya di New York Times (Rawlings, www.stanford.edu.).
Istilah dekonstruksi untuk pertama kalinya muncul dalam tulisan-tulisan Derrrida pada saat ia mengadakan pembacaan atas narasi-narasi metafisika Barat. Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme . Metode dekonstruksi merupakan proyek filsafat yang berskala raksasa karena Derrida sendiri menunjukkan bahwa filsafat barat seluruhnya bersifat logosentris. Dengan demikian, dekonstruksi mengkritik seluruh proyek filsafat barat.
Menurut Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan (spacing), di mana apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya hanyalah selalu berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada celah atau kesenjangan antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini membuat pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah “kebenaran” ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak “kebenaran” lain di depannya, dan begitu seterusnya.
Melalui makalah ini, dikemukakan mengenai siapa Jacques Derrida, apa saja pokok pikirannya, dan apa pengaruhnya terhadap pemikiran global di eranya dan sesudahnya.


Bab II
Pemikiran

A.     Derrida dan Postmodernisme
Jacques Derrida adalah seorang filsuf yang lahir di Aljazair, pada 15 Juli 1930. Dan wafat di Paris, 9 Oktober 2004.  Sejarah intelektualnya dimulai ketika dia belajar di Ecole Normale Superieure hingga mengajar di sana sebagai maitre-assistant, dosen tetap, bidang filsafat. Namun ia sempat juga mengajar sebagai dosen tamu di Yale University, Amerika Serikat. Derrida muda pernah menjadi anggota Partai Komunis Prancis.
Jacques Derrida adalah tokoh filsafat Prancis yang dibesarkan dalam tradisi pemikiran era 1950-an sampai 1970-an. Sebagaimana kita tahu, era 1950-an sampai 1970-an dimeriahkan oleh pergeseran besar-besaran dari pemikiran modernitas ke postmodernitas, atau yang lebih dikenal "postmo", dan dari strukturalisme menuju post-strukturalisme. Strukturalisme-modernis diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Ferdinand de Saussure, Noam Chomsky, Roman Jakobson, Leve-Struauss sementara nama-nama seperti Lacan, Kristeva, Foucault, Barthes, Baudrillard termasuk Derrida bisa dikatakan sebagai wakil post-strukturalis-postmodernis.
Derrida termasuk filsuf yang banyak menelorkan karya, termasuk terjemahan karangan Husserl Asal-usul Ilmu Ukur. Tahun 1967 terbit tiga buku sekaligus. L’ecriture st la difference (Tulisan dan Perbedaan) dan De la grammatologie (Tentang Grammatologi) merupakan kumpulan karangan yang sebagian besar telah diterbitkan dalam berbagai majalah, namun demikian kesatuan tema dalam buku-buku ini, terutama yang kedua, sangat menyolok. Judul buku ketiga La voix et le Phenomene. Introduction au probleme du signe dans la phenomenologie de Husserl (Suara dan fenomena) secara panjang lebar banyak memberikan komentar terhadap uraian Husserl tentang tanda dalam buku penelitian-penelitian logika.
Tahun 1972 sekali lagi terbit buku pada tahun yang sama. Marges de la philosophie (Pinggiran-pinggiran filsafat) menyajikan serangkaian studi tentang Heidegger, Hegel, Husserl, Valery (seorang penyair Prancis), Aristoteles, Austin, dan lain-lain. Buku La dissemination (Pertebaran) memuat kajian-kajian antara lain tentang Plato dan Mallarme (Sastrawan Prancis). Sementara Positions (Posisi-posisi) merupakan kumpulan dari tiga wawancara Derrida mengenai pemikiran dan karyanya.
Tahun 1973 Derrida menerbitkan kembali suatu pendahuluan panjang bagi edisi baru buku Essai sur l’origine des connaissances humaines (Usaha untuk menjelaskan asal-usul pengetahuan manusiawi) karangan E. de Condillac, filsuf Prancis abad ke 18. Pendahuluan ini kemudian terbit tersendiri sebagai sebuah buku yang berjudul L’archeologie du frivole (Arkeologi tentang yang sembrono)(1976) dan lain-lain. Namun di antara karya Derrida yang cukup terkenal adalah: L’ectriture et la Difference, De la Grammatologie, dan Marges de la Philosophie. Hingga kini, bibiliografi karya Derrida sudah mencapai lebih dari 50 buku dan ratusan esai yang diterbitkan secara massal di jurnal-jurnal internasional.
Sekilas memandang karya-karya Derrida kiranya sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa hampir semua karangan yang ditulisnya merupakan komentar atas pengarang-pengarang lain: filsuf-filsuf, ilmua-ilmuan, dan sastrawan-sastrawan. Tetapi komentar tersebut merupakan komentar dalam bentuk yang khusus, karena dengan cara itu pemikirannya sendiri berkembang selangkah demi selangkah. Dalam menafsirkan ia tidak hanya memberi penafsiran begitu saja. Ia juga tidak membatasi diri pada suatu penelitian mengenai praandaian-praandaian dan implikasi-implikasi dalam teks-teks yang dibicarakan. Lalu dengan mengomentari teks-teks tersebut ia mulai menyajikan suatu teks baru. Dengan kata lain, ia menyusun teksnya sendiri dengan membongkar teks-teks lain dan dengan demikian ia berusaha melampaui teks-teks itu dengan mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan dalam teks-teks itu sendiri. Prosedur inilah yang kemudian oleh Derrida disebut dengan Deconstruction, “pembongkaran” (K. Bertens, 1985:492).
Dunia terpaksa harus mengakui Derrida sebagai figur utama yang pemikirannya, bisa dikatakan, paling berpengaruh di dunia saat ini. Pengaruh itu dapat dilihat dari pengakuan akan orisinilitas maupun produktivitas pemikirannya.


Sekitar 400-an buku dan 500-an desertasi telah ditulis dan dipersembahkan untuk mengkaji pemikirannya, dan tak kurang dari 17.000 kali namanya dikutip dalam jurnal-jurnal terbitan internasional selama tujuh belas tahun terakhir. Dinia Smith, dalam sebuah artikelnya di New York Times, menulis: "Derrida mungkin filsuf termasyhur di dunia–kalau bukan satu-satunya" (Rawlings, www.stanford.edu.). Popularitas Derrida jelas tidak bisa dipisahkan dari teori dekonstruksinya yang hingga kini masih memicu kontroversi dan perdebatan di kalangan akademisi dan teoretisi.
Bagi para pendukungnya, dekonstruksi bunkanlah teori biasa yang dengan mudah dipetakan ke dalam sebuah definisi. Bahkan dekonstruksi sendiri cenderung menghindari definisi apapun sehingga ia sama sekali tidak bisa didefinisikan dan karena itu pula terbuka terhadap berbagai penafsiran. Karena itu setiap usaha untuk mendefinisikan dekonstruksi akan terbentur, karena Derrida sendiri menolak membatasi pengertian dekonstruksi dalam satu definisi per se. Dekonstruksi adalah strategi tekstual yang hanya bisa diterapkan langsung jika kita membaca teks lalu mempermainkannya dalam parodi-parodi. Karena itu bisa dikatakan bahwa dekonstruksi bersifat antiteori atau bahkan antimetode, karena yang menjadi anasir di dalamnya adalam permainan dan parodi.
Istilah postmodernisme sendiri secara resmi diperkenalkan oleh Jean-Francois Lyotard melalui karyanya, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Di sini Lyotard memaparkan bagaimana asumsi-asumsi filosofis modernisme sedikit demi sedikit mulai berguguran dan kehilangan legitimasinya. Lyotard menyebut asumsi-asumsi tersebut dengan "narasi-narasi besar" (grand narratives) yang berbasis pada rasionalisme, positivisme, materialisme, dan humanisme. Semua paham ini melegitimasi proyek-proyek Pencerahan seperti Kebebasan, Kemajuan, atau Emansipasi (Sugiharto, 1996: 27).
Delegitimasi terhadap segala bentuk narasi besar sebetulnya sudah terlihat dari awalan "post" dalam kata "postmodernisme". Masih menjadi kontroversi bagaimana menafsirkan "post" dalam kata tersebut. Apakah itu berarti pemutusan hubungan pemikiran dari segala pola kemodernan secara total, seperti dimaksudkan Lyotard dan Gellner. Atau sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu dari kemodernan, seperti dikatakan David Griffin.
Atau bisa jadi bentuk lain dari kemodernan yang telah sadar diri dan berbenah, seperti dilontarkan Giddens. Atau justru sekadar tahap dari proyek modernisme yang belum selesai, seperti kata Habermas (Sugiharto, 1996: 24). Belum ada kata akhir yang final. Tetapi yang pasti bagi para pendukungnya, postmodernisme bukanlah gerakan yang hanya terpola pada satu pengertian, melainkan terbuka dan merangkul berbagai penafsiran yang berbeda, tetapi dengan satu tujuan: membendung ambisi modernisme sebagai proyek pemikiran dan konsekuensi-konsekuensi negatif yang embannya.

B.     Pemikiran Filosofis
1.      Kritik atas Metafisika dan Logosentrisme
Sebelum masuk jauh ke dalam pembicaraan dekonstruksi dengan segala kerumitannya, kiranya yang lebih penting untuk dibicarakan terlebih dahulu adalah, apakah dekonstruksi itu sama dengan membongkar, membubarkan seperti yang biasa kita pahami sehari-hari atau tidak. Untuk menjawab persoalan ini yang harus kita lakukan adalah merunut arti dekonstruksi sebagaimana yang dimaksud oleh pencetus dan pendukungnya.
Sebagai langkah awal, barangkali di sini kita bisa mengatakan dekonstruksi sebagai sebuah tindakan dari subjek yang membongkar sebuah objek yang tersusun dari berbagai unsur. Sebagai sebuah tindakan, yang dilakukan si subjek tentu tidak kosong, dia mesti melibatkan berbagai cara atau metode, yaitu metode membongkar suatu objek yang memang patut dibongkar. Dari situ mau tidak mau, nama Derrida pasti disebut-sebut, karena dialah yang pertama kali menyuarakan metode dekonstruksi di kancah filsafat secara sistemetis. Dengan disebutnya nama Derrida dan tercantumnya kata “filsafat” dan “sistematis” nyatalah bahwa dekonstruksi bukan proses bongkar-membongkar yang sederhana, seperti pemahaman sehari-hari terhadap kata itu.
Usaha Derrida untuk mendekonstruksi filsafat modern, pertama-tama adalah dengan mengkritik pandangan metafisika dan epistemologi modernisme. Menurut Derrida, seluruh tradisi pemikiran Barat sangat dipengaruhi oleh metafisika kehadiran. Artinya, konsep atau teori dianggap telah mewakili being. Pencarian being seakan mencukupi jika telah ditemukan konstruksi pemikiran yang dianggap merupakan pengungkapan dari being. Kata, tanda, atau konsep seakan-akan telah menunjuk atau menghadirkan being (Sahal, 1994: 19).
Dengan sedikit perbedaan nuansa makna, terkadang Derrida juga menyebut kecenderungan ini dengan phallogosentrisme, yang memperlihatkan bahwa di samping logosentrisme, tradisi pemikiran Barat ini juga mengidap phallosentrisme. Phallus (yang berarti kelamin-kelamin laki-laki) mengeram sebagai pusat aturan simbolik (symbolic order), dan karena itu kemudian juga memasuki bahasa sebagai struktur, sehingga tradisi berpikir yang dimungkinkannya lalu sangat bias jender, sangat male dominated. Laki-laki dipersepsi dan mempersepsi diri sebagai pemilik phallus dan karena itu berada di pusat aturan, sementara sebaliknya perempuan dipersepsi dan mempersepsi diri berada di luar pusat aturan (Budiarto Danujaya, 2004).
Menurut Derrida, pandangan tentang kehadiran ini tampak dengan jelas, bila kita mempelajari ajaran metafisika mengenai tanda. Ajaran itu seluruhnya dilatarbelakangi kehadiran. Dalam tradisi metafisis tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir. Dalam pandangan metafisika tanda akhirnya selalu menunjuk kepada objek itu sendiri sebagai hadir; tanda hanya sekedar pengganti yang untuk sementara menunda hadirnya objek itu sendiri. Sebaliknya Derrida berpendapat bahwa kehadiran tidak merupakan suatu instansi independen yang mendahului tuturan dan tulisan kata, tetapi sebaliknya ditampilkan dalam tuturan dan tulisan kita, dalam tanda yang kita pakai. Kata-kata menunjuk kepada kata-kata lain. setiap teks menunjuk kepada suatu jaringan tek-teks lain; setiap bagian dalam suatu diskursus menunjuk pada bagian-bagian lain. Jadi, kalau metafisika memikirkan tanda dalam rangka Ada sebagai kehadiran, maka Derrida sebetulnya memutarbalikkan dengan memikirkan kehadiran dalam rangka jaringan tanda yang menunjuk yang satu pada yang lain. Dengan itu, Derrida secara radikal berbalik dari apa yang disebutnya “logosentrisme”: pemikiran tentang Ada sebagai kehadiran
(K. Bertens, 1985: 494).


Sebagaimana kita tahu, pemikiran Barat selalu menunjukkan terjadinya pertarungan antara Metos dan Logos. Pada zaman modern, Logos nampak menguasai pemikiran manusia. Para filsuf berdebat tentang dasar-dasar, asas-asas, eidos, aarche, telos energeia, ousia (hakikat, eksistensi, substansi, subjek), aletheia, transendentalitas, kesadaran atau suara hati, Allah, manusia dan seterusnya. Mereka menganggap bahwa dengan berhasil menjelaskan konsep tersebut berarti mereka telah menguasai realitas. Sampai sekarang jika kita lihat bahwa bagi tradisi metafisis segala sesuatu yang hadir juga dan seandainya terdapat sesuatu yang hadir maka tanda adalah sarana untuk menghadirkannya.
Derrida menolak pandangan tersebut, justru menurutnya tanda, kata, atau konsep tidaklah menghadirkan “Ada”, melainkan hanya merupakan “bekas” (trace). Derrida berusaha memikirkan tanda sebagai trace, yakni suatu yang sebelumnya sudah dipakai sebagai istilah teknis dalam filsafat, pada Plotinos misalnya dan di zaman kita sekarang pada Heidegger dan terutama Levinas. Tidak mudah menjelaskan maksud dari istilah ini. Yang penting di sini adalah bahwa sebuah bekas tidak mempunyai substansi atau bobot sendiri, tetapi hanya menunjuk. Bekas tidak dapat dimengerti terpisah (terisolir dari segala sesuatu yang lain), tetapi hanya sejauh menunjuk kepada hal-hal lain. Bagi Derrida, bekas mendahului objek. Bekas itu sebenarnya bukan efek, melainkan penyebab. Paham ini memungkinkan untuk memikirkan kehadiran sebagai efek dari bekas itu. Dengan demikian, kehadiran tidak lagi merupakan sesuatu yang asali, melainkan diturunkan dari bekas (K. Bertens, 1985: 495). Karena metafisika modern bertumpu pada pandangan tersebut, maka ia harus didekonstruksi jika mengiginkan solusi atas delema modernitas.
Derrida memandang bahwa pandangan para filsuf Barat, dari Plato hingga Rousseau, dari Descartes hingga Husserl, juga masih dikungkung oleh tradisi berpikir “logosentrisme”. Logosentrisme artinya mempercayakan sepenuhnya pada logos atau rasio. Ciri yang menonjol dari tradisi logosentrisme ini adalah adanya kecenderungan berpikir oposisi biner yang bersifat hirarkis (esensi/eksistensi, substansi/aksidensi, jiwa/badan, makna/bentuk, transenden/empiris, positif/negatif, bahasa lisan/bahasa tulisan, konsep/metafor, dan seterusnya) dengan anggapan bahwa yang pertama merupakan pusat, asal-muasal, fondasi, prinsip, dan ada secara niscaya; sedang yang kedua hanya sebagai derivasi, manifestasi pinggir, dan sekunder dalam kaitannya dengan yang pertama (Sahal, 1994: 19).
Menurut Derrida, tugas dekonstruksi adalah untuk menghilangkan
ide-ide ilusif yang selama ini menguasai metafisika Barat, yaitu ide yang mengatakan bahwa rasio bisa lepas dari bahasa dan sampai kepada kebenaran, atau metode murni dan otentik dalam dirinya sendiri tanpa bantuan yang lain. meskipun filsafat mencoba menyingkirkan karakter tekstual atau “tertulis”-nya, namun tanda-tanda (signs) pertempuran tersebut masih tetap terpampang jelas di dalam berbagai kelemahan metafor dan strategi retorikal filsafat lainnya (Christopher Norris, 1982: 58).
Kritik tersebut juga diarahkan pada logosentrisme yang dicirikan oleh dominannya konsep totalitas dan konsep esensi. Konsep totalitas merupakan ide yang menyatakan akan kesatuan realitas. Konsekuensinya dari pemahaman ini adalah adanya pengetahuan yang menindas, karena memaksa manusia masuk ke dalam sistem. Konsep esensi adalah konsep tentang pengetahuan yang mendasari sesuatu. Konsep ini pada akhirnya menimbulkan dogmatisme dan melegitimasi kekuasaan mutlak rasio.
Karena itu, banyak pemikiran Derrida beranjak dari pengandaian adanya sesuatu di antara kedua kategori oposisional, yang disebutnya kediantaraan (in-betweenness). Dalam hal ini ia mengingatkan kemungkinan semacam itu selalu terjadi karena adanya kecenderungan pengelakan dan ketakdapatditentukannya (undecidability) realitas. Suatu ketidakdapatditentukan adalah sesuatu yang tak dapat cocok terhadap kedua polaritas dari sebuah dekotomi, misalnya zombie, yang berada antara hidup dan mati, atau androgini, yang berada di antara laki-laki dan perempuan, maupun orang asing yang berada di antara teman dan musuh. Bahkan, seringkali realitas bisa saja menunjukkan sekaligus tidak berada dalam keduanya sehingga bisa sekaligus berarti berada dalam keduanya pada saat yang sama.
Dengan demikian, ketakdapatditentukan mengacaukan struktur biner dari pemikiran metafisis karena membuat struktur oposisi either/or tersingkir. Ketakdapatditentukan menempuh segala jalan, tapi tak memihak. Pembuyaran kepastian ini lalu sekaligus menjadi pembyaran metafiska juga. Oleh karena itulah filsafat Derrida ini kerap disebu anti-fondasionalisme. Di samping itu, Derrida juga mengkritik phonosentrisme yang lebih mengutamakan ujaran dibanding tulisan (speech/writing). Suara adalah pokok, sementara tulisan hanyalah derivasi belaka (Budiarto Danujaya, 2004).

2.      Dekonstruksi dan Kritik Epistemologi
Pandangan logosentrisme berimplikasi pada pandangan epistemologi modern yang ditandai dengan dikotomi subjek-objek. Ketika peranan subjek demikian besar, maka objek akan menjadi bahan eksploitasi bagi subjek. Dengan rasionya, subjek akan menjadi penentu validitas kebenaran. Demikian, karena metafisika telah mempengaruhi pandangan epistemologisnya. Ciri yang paling menunjol adalah dominasi subjek dan kebenaran yang absolut, yaitu kebenaran yang tunggal, umum dan universal. Kebenaran yang demikian tentunya sangat berbahaya, karena akan menjadi tempat persembunyian kepentingan kekuasaan antara pihak yang satu atas pihak yang lain.
Dalam perspektif Derrida, kecenderungan filsafat selama ini adalah mencari kebenaran absolut, sehingga mengabaikan pengertian bahasa yang digunakan untuk menyusun konsep dan teori. Filsafat percaya bahwa konsep dan teori mampu mempresentasikan kebenaran seperti apa adanya. Oleh karena itu, praksis dan etika kehidupan publik manapun harus mendasarkam dirinya di atas konsep filosofis yang kuat klaim kesahihannya. Demikianlah yang diyakini para filsuf seperti Plato, Hegel, Marx, dan Teori Kritis Mazhab Frankfurt (Heri Santoso, 2003: 252). Derrida menginginkan kebenaran itu tidak harus dibatasi pada kebenaran tunggal, umum, dan universal, karena dalam kenyataaanya kebenaran itu bersifat plural, partikular, dan relatif. Untuk merealisasikan gagasan sekaligus kritiknya atas modernitas, Derrida mengungkapkannya dalam metode dekonstruksi dan uraian tentang “differance”.
Istilah difference berperan utama sebagai pengacau dalam mengobrak-abrik gagasan-gagasan Husserl. Istilah ini pertama-pertama diperkenalkan dengan cara mendeskripsikan elemen-elemen pertandaaan tak-bermaksud (non-intent), yang merujuk pada wilayah rasa (sense) indikatif, tanpa melewati refleksi yang sadar. Logika Derrida sebenarnya sederhana saja, tetapi punya tenaga perusak yang sangat besar. Bahasa dapat memenuhi syarat-syarat kehadiran-diri sebuah makna, kalau dia bisa menyediakan akses total dan langsung ke dalam pikiran yang telah memberi kesempatan bagi bahasa agar bisa dituturkan.
Tetapi ini adalah syarat yang tak mungkin dipenuhi. Kita tidak akan bisa memiliki apa yang disebut Derrida sebagai “intuisi primordial tentang pengalaman langsung yang lain”. Dalam bentuk apapun, harus diakui bahwa bahasa akan selalu gagal mencapai tujuan kehadiran-diri ekspresif. Bahasa harus selalu memakai karakter indikatif yang memadai ketertangguhan makna. Berdasarkan praduga tradisional, hal ini barangkali merpakan proses kematian yang sedang terjadi dalam diri tanda-tanda. Namun sayangnya, tradisi tidak punya apa-apa lagi untuk ditawarkan, karena motif dan metafor-metafor yang mendasarinya telah dipertanyakan. Di manapun kehadiran langsung dan utuh tanda-tanda diketahui, hakikat penanda akan selalu bersifat indikatif
(Derrida, 1973: 40).
Jika dilihat, Derrida memulai pembongkarannya (dekonstruksi) pertama kali dengan memusatkan perhatian pada bahasa. Sikap ini diambil mengingat ide, gagasan, dan konsep diungkapkan melalui bahasa. Karena itu, bahasa menjadi tempat persembunyian terpenting. Bahasa menentukan prioritas suatu hal atas yang lain. Dalam pandangan modernisme subjek-objek, esensi-eksistensi, umum-khusus, absolut-relatif, dan lain-lain menunjukkan bahwa kata pertama menjadi pusat, fondasi, prinsip, dan dominan atas kata berikutnya.
                Dekonstruksi mencoba membongkar padangan tentang pusat, pondasi, prinsip, dan dominan tersebut sehingga berada di pinggir. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidak-stabilan yang permanen.

Sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas. Sungguh merupakan permainan yang serius (Sahal, 1994: 19-20). Strategi dekonstruksi dijalankan dengan asumsi bahwa filsafat Barat bisa mempertahankan ide tentang pusat sebagai kehadiran murni hanya dengan cara menekan efek-efek metaforis dan figuratif yang menjadi karakter bahasa.
Penunggalan dibongkar dengan memunculkan kembali dimensi-dimensi metaforis dan figuratif dari bahasa dan membiarkan bahasa dalam karakternya semula, yaitu bersifat polisemi, ambigu, dan paradoks dalam dirinya sendiri. Bila sifat polisemi, ambigu, dan paradoks bahasa dimuncukan kembali, maka filsafat tidak punya alasan untuk berkorespondensi dengan kebenaran. Dengan demikian, filsafat tidak bisa lagi mengklaim dirinya memiliki otoritas kebenaran. Dengan ekstrimnya Derrida mengatakan bahwa “sejarah filsafat Barat tidak lebih dari sejarah metafor (kiasan) dan metomini (pemakaian nama atau benda yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya, contoh: si kaca mata, si baju merah, dan lain-lain.)” (Derrida, 1978: 277-278).
Implikasi dahsyat dari dekonstruksi filsafat adalah pudarnya batas-batas antara konsep dengan metafor, antara kebenaran dengan fiksi, antara filsafat dengan puisi, dan antara keseriusan dengan permainan. Dengan membaca secara dekonstruktif, teks bisa dikatakan selama ini menjadi pusat yang dipinggirkan, dikeluarkan, dan dianggap sebagai “yang lain”. Namun, menurut Derrida, “tidak ada sesuatu yang ada di luar teks, sehingga sang pusat juga tidak bisa mengkalim sebagai lebih dominan, karena ia hanyalah salah satu di antara jaringan teks. “Yang pusat” akan menyadari diri dalam konteks keberadaan “yang bukan pusat”. Dalam aplikasinya, konsep esensi tidak harus menghapuskan kebenaran partikular. Singkatnya, dekonstruksi adalah sebuah strategi filsafat, politik dan intelektual untuk membongkar modus membaca dan menginterpretasi yang mendominasi dan menguatkan fundamen hierarki. Dekonstruksi merupakan strategi untuk menguliti lapisan-lapisan makna yang terdapat di dalam “teks”, yang selama ini telah ditekan dan ditindas. Teks di sini penting dalam pemikiran di mana ia mendefinisikannya secara semiologis, wacana-wacana yang melibatkan praktik interpretasi, bahasa menjadi penting.

Bagi Derrida, tidak ada yang eksis di luar teks, realitas sesungguhnya tidak ada sebab semua realitas dikonstruksi secara budaya, linguistik atau historis, hanyalah teks. Oleh sebab itu, realitas terdiri dari berbagai “teks” dengan kebenaran yang plural. Tidak ada kebenaran universal (Gadis Arivia, 2004).

3.      Dekonstruksi dan Kebenaran
Menurut Derrida, manusia harus menyikapi secara hati-hati represetasi realitas yang diklaim secara universal mengandung kebenaran tunggal. Realitas demikian menurutnya dikonstruksi lewat penalaran yang mendominasi (logosentrisme), bahasa rasional yang mencoba merepresentasikan dunia yang dikatakan sesungguhnya (real). Bahasa rasional demikian berupaya menjamin esensi dari segala sesuatu menciptakan makna dengan metafisika kehadiran. Strategi dekonstruksi membongkar semua itu bukan dengan hanya menciptakan makna baru kerena pembongkaran makna adalah yang melibatkan what is dan bukan what isn’t. Oleh karena itu, konsep difference menjadi penting, konsep yang mengungkapkan what isn’t bukan berdasarkan perbedaan, namun secara terus-menerus melakukan penundaan/gap (deffered). Di sini Derrida mengajukan argumen yang menarik bahwa upaya untuk mendekonstruksi makna lewat difference dengan cara kerja what isn’t melibatkan sekaligus perbedaan dan penundaan.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan benar dan tidak benar di sini? Pertanyaan ini tentunya tidak sesederhana yang dibayangkan, dan banyak filsuf berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada filsuf yang menganggap bahwa kebenaran adalah pernyataan, atau yang benar-benar nyata, atau sebuah persoalan mental dan linguistik. Oleh sebab itu, pembahasan kebenaran dapat dikatakan merupakan persoalan korespondensi (dengan fakta, situasi, realitas, keadaan, dan sebagainya), atau koherensi. Pada dasarnya, kebenaran itu menurut filsafat modern adalah yang secara natural ada atau secara objektif ada.


Richard Rorty, filsuf yang sering sejalan dengan Derrida namun juga tidak jarang berseberangan, menulis dalam bukunya, Truth and Progress (1998), bahwa sesungguhnya “tidak ada kebenaran”. Sikap semacam ini berkembang terutama setelah Foucault mengembangkan pemikirannya tentang kebenaran dan kekuasaan. Seperti halnya Derrida, Foucault adalah tokoh yang juga sangat berpengaruh dalam pemikiran filsafat kontemporer. Namun, berbeda dengan Derrida, Foucault lebih banyak memfokuskan diri pada aspek sosiologis, politis, dan historis. Dalam pembahasannya tentang kebenaran, Foucault melihat dirinya sebagai seorang Nietzschean yang berangkat dari teori Geneologi Nietzshe. Artinya, geneologi merukan dokumentasi-dokumentasi yang telah dikopi berulang-ulang kali, akumulasi dari berbagai materi. Geneologi tidak menolak sejarah (sebagai bagian dari akumulasi), tetapi yang ditolak adalah metahistoris yang mengandaikan adanya suatu tujuan. Geneologi menolak pencarian asal-usul. Singkatnya, penolakan terhadap asal-usul berarti penolakan terhadap kebenaran hakiki yang mengandaikan adanya esensi. Kebenaran pada akhirnya hanyalah sebuah fabrikasi (yang dibuat) oleh kelompok-kelompok tertentu yang berkuasa.





Bab III
Penutup
Seperti tokoh-tokoh post-strukturalisme yang lain, Derrida mencoba menawarkan metode dekonstruksi sebagai alternatif problem modernitas yang telah dianggapnya gagal. Sasaran utama dari proyek dekonstruksinya adalah membongkar sifat totaliter dari sistem, terutama yang tercermin dalam bahasanya. Menurutnya, metafisika dan epistemologi Barat selama ini telah didominasi oleh logosentrisme dan metafisika kehadiran karena itu harus didekonstruksi. Serangan dekonstruksi Derrida membebaskan dua konsep tirani yang mendominasi filsafat, yaitu konsep totalitas dan esensi, sehingga menghasilkan kebenaran yang partikular, unik dan relatif. Dengan demikan, keberanikaan dakui keberadaannya. Kesulitan yang akan dihadapi Derrida adalah bahwa ia terjebak dalam ambiguitas yang mengarah pada nihilisme.
Namun begitu, terlepas dari kontroversi, Derrida adalah salah satu dari sedikit filsuf yang berpengaruh demikian luas melintas bidang. Pemikiran-pemikirannya juga sangat orisinal, unik, walau terkadang aneh dan sulit dimengerti dengan nalar sederhana. Namun, menilik kesejajarannya dengan berbagai gerakan perjuangan dan gelombang perubahan yang berlangsung dewasa ini, kiranya terbukti sangat relevan. Kini setelah dia tutup usia pada 8 Oktober 2004 pada usia 74 tahun, barangkali masih banyak kontroversi yang ditinggalkan Derrida bagi kita, tetapi dia sendiri mungkin telah maklum, setidaknya dalam hal apakah sungguh-sungguh ada kategori lain di seluar polaritas dikotomis hidup/mati.
Daftar Pustaka
Arivia, Gadis, Derrida: Didekonstruksi Pada Usia 74 Tahun, dalam Kompas, Minggu, 17 Oktober 2004.
Bertens, K. (1985) Filsafat Abad XX Jilid II: Prancis, Gramedia, Jakarta.
Danujaya, Budiarto, Dekonstruksi dan Kontroversi, dalam Kompas, Minggu, 17 Oktober 2004.
Derrida, Jacques (1973) Speech and Phenomena, and Other Essays on Hursserl’s Theory of Singns. Trans. David B. Allison. Evanston 111 : Northwestern University Press.
Rawlings, John, "Jacques Derrida's Biography", Jacques Derrida Pages, www.stanford.edu.
Sahal, Ahmad (1994) “Kemudian di Manakah Emansipasi? Tentang Teori Kritis, Geneologi, dan Dekonstruksi”, dalam Jurnal Kebudayaan KALAM, no.1 Th. 1994, Yayasan Kalam Dan Penerbit Pustaka Grafiti, Jakarta.
Santoso, Heri (2003) Metode Dekonstruksi Jacques Derrida, dalam Listiyoo Santoso dkk, Epistemologi Kiri, Ar-Ruzz Press, Yogyakarta.
Sugiharto, I. Bambang (1996) Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakrta.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pokok Pikiran Jacques Derrida


A.   Riwayat Singkat
Jacques Derrida (1930–2004) adalah seorang filsuf Prancis, yang dianggap sebagai tokoh penting post-strukturalis- posmodernis. Derrida lahir dalam lingkungan keluarga Yahudi pada 15 Juli 1930 di Aljazair. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis, di mana ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia kuliah dan akhirnya mengajar di École Normale Supérieure di Paris. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Ia meninggal dunia karena penyakit kanker pada 2004.
Derrida muda dibesarkan dalam lingkungan yang agak bersikap diskriminatif. Ia mundur atau dipaksa mundur dari sedikitnya dua sekolah, ketika ia masih anak-anak, semata-mata karena ia seorang Yahudi. Ia dipaksa keluar dari sebuah sekolah, karena ada batas kuota 7 persen bagi warga Yahudi. Meskipun Derrida mungkin tidak akan suka, jika dikatakan bahwa karyanya diwarnai oleh latar belakang kehidupannya ini, pengalaman kehidupan ini tampaknya berperan besar pada sikap Derrida yang begitu menekankan pentingnya kaum marginal dan yang lain, dalam pemikirannya kemudian.
Derrida dua kali menolak posisi bergengsi di École Normale Supérieure, di mana Sartre, Simone de Beauvoir, dan mayoritas kaum intelektual serta akademisi Perancis memulai karirnya. Namun, akhirnya ia menerima posisi itu pada usia 19. Ia kemudian pindah dari Aljazair ke Perancis, dan segera sesudahnya ia mulai berperan utama di jurnal kiri Tel Quel.
Karya awal Derrida di bidang filsafat sebagian besar berkaitan dengan fenomenologi. Latihan awalnya sebagai filsuf dilakukan melalui kacamata Edmund Husserl. Inspirasi penting lain bagi pemikiran awalnya berasal dari Nietzsche, Heidegger, De Saussure, Levinas dan Freud. Derrida mengakui utang budinya kepada para pemikir itu dalam pengembangan pendekatannya terhadap teks, yang kemudian dikenal sebagai ‘dekonstruksi’ .
Pada 1967, Derrida sudah menjadi filsuf penting kelas dunia. Ia menerbitkan tiga karya utama (Of Grammatology, Writing and Difference, dan Speech and Phenomena). Seluruh karyanya ini memberi pengaruh yang berbeda-beda, namun Of Grammatology tetap karyanya yang paling terkenal. Pada Of Grammatology, Derrida mengungkapkan dan kemudian merusak oposisi ujaran-tulisan, yang menurut Derida telah menjadi faktor yang begitu berpengaruh pada pemikiran Barat.
Keasyikan Derrida dengan bahasa dalam teks ini menjadi ciri khas sebagian besar karya awalnya. Sejak penerbitan karya-karya tersebut serta teks-teks penting lain (termasuk Dissemination, Glass, The Postcard, Spectres of Marx, The Gift of Death, dan Politics of Friendship), dekonstruksi secara bertahap meningkat, dari memainkan peran utama di benua Eropa, kemudian juga berperan penting dalam konteks filosofis Anglo-Amerika. Peran ini khususnya terasa di bidang kritik sastra, dan kajian budaya, di mana metode analisis tekstual dekonstruksi memberi inspirasi kepada ahli teori, seperti Paul de Man.
Dekonstruksi sering menjadi subyek kontroversi. Ketika Derrida diberi gelar doctor honoris causa di Cambridge pada 1992, banyak protes bermunculan dari kalangan filsuf “analitis.” Sejak itu, Derrida juga mengadakan banyak dialog dengan filsuf-filsuf seperti John Searle, yang sering mengeritiknya.
Bagaimanapun, dari banyaknya antipati tersebut, tampak bahwa dekonstruksi memang telah menantang filsafat tradisional lewat berbagai cara penting. Derrida dianggap sebagai salah satu filsuf terpenting abad ke-20 dan ke-21. Istilah-istilah falsafinya yang terpenting adalah différance dan dekonstruksi.

B.   Memposisikan Derrida
Tidak mudah memahami pemikiran Derrida. Untuk memudahkan mempelajarinya, kita coba menempatkannya dalam konteks pergeseran pemikiran pada era 1950-an sampai 1970-an, dari modernitas ke posmodernitas, dan dari strukturalisme ke post-strukturalisme . De Saussure, Chomsky, Jacobson dan
Levi-Strauss mewakili kalangan strukturalis- modernis. Sedangkan Derrida bersama Lacan, Kristeva, Foucault, Barthes, dan Baudrillard, “bisa dikatakan” mewakili post-strukturalis- posmodernis.


Pemikiran kalangan posmodernis itu sendiri bisa dibagi tiga. Pertama, yang merevisi pemikiran modernitas, namun cenderung kembali ke pola pemikiran
pra-modern seperti metafisika New Age. Tokohnya seperti Capra, Zukav, dan sebagainya.
Kedua, pemikiran yang merevisi modernisme tanpa menolaknya mentah-mentah, melainkan melakukan perbaikan di sana-sini yang dirasa perlu. Jadi, semacam kritik imanen terhadap modernism, dalam rangka mengatasi konsekuensi negatifnya. Mereka di antaranya: Habermas, Whitehead, Gadamer, Rorty, dan Ricoeur.
Ketiga, pemikiran yang memandang bahwa sisi gelap dari modernitas bukanlah sekadar efek samping dari pemikiran Pencerahan, melainkan sebagai sesuatu yang melekat di dalamnya. Para pemikir dari kalangan ini terkait erat dengan dunia sastra dan linguistik. Mereka ingin melampaui bahasa, yang secara tradisional dipandang sebagai cermin untuk menggambarkan dunia atau realitas.
Caranya, dengan melakukan dekonstruksi gambaran-dunia, sehingga cenderung anti-gambaran- dunia sama sekali. Gambaran-dunia yang ingin dibongkar itu, misalnya, adalah diri, Tuhan, tujuan, makna, kebenaran, dunia-nyata, dan sebagainya. Para pemikir dari kelompok ini adalah Foucault, Vattimo, Lyotard, dan Derrida.

C.   Dari Oposisi Biner ke Metafisika Kehadiran
Untuk memahami Derrida, kita mencoba melacak kronologi pemikirannya dari strukturalisme Saussurean yang bernuansa modernitas tersebut. Menurut paham strukturalisme, kenyataan tertinggi dari realitas adalah struktur. Struktur itu sendiri adalah saling hubungan antar-konstituen, bagian-bagian, atau unsur-unsur pembentuk keseluruhan, sebagai penyusun sifat khas, atau karakter dan koeksistensi, dalam keseluruhan bagian-bagian yang berbeda.


Bila bahasa dilihat secara struktural, bisa disimpulkan bahwa bahasa bisa ada karena adanya sistem perbedaan (system of difference), dan inti dari sistem perbedaan ini adalah oposisi biner (binary opposition). Seperti, oposisi antara penanda/petanda, ujaran/tulisan, langue/parole.
Oposisi biner dalam linguistik ini berjalan seiring dengan hal yang sama dalam tradisi filsafat Barat, seperti: makna/bentuk, jiwa/badan, transendental/ imanen, baik/buruk, benar/salah, maskulin/feminin, intelligible/ sensible, idealisme/ materialisme, lisan/tulisan, dan sebagainya.
Dalam oposisi biner ini terdapat hirarki. Yang satu dianggap lebih superior dari pasangannya. Misalnya, jiwa diangap lebih mulia dari badan, rasio dianggap lebih unggul dari perasaan, maskulin lebih dominan dari feminin, dan sebagainya. Dalam linguistik Saussurean, lisan (ujaran) dianggap lebih utama dari tulisan, karena tulisan dipandang hanya sebagai representasi dari lisan.
Derrida, seperti banyak teoritisi kontemporer Eropa, asyik berusaha membongkar kecenderungan oposisional biner yang mewarnai sebagian besar tradisi filsafat Barat tersebut. Dekonstruksi yang dicanangkan Derrida tidaklah mengajukan sebuah narasi besar atau teori baru tentang hakikat dunia kita. Ia membatasi diri pada membongkar narasi-narasi yang sudah ada, dan mengungkapkan hirarki-hirarki dualistik yang disembunyikan.
Oposisi biner paling terkemuka, yang dibongkar dalam karya awal Derrida, adalah antara ujaran (speech) dan tulisan (writing). Menurut Derrida, pemikir-pemikir seperti Plato, Rousseau, De Saussure, dan Levi-Strauss, semua telah melecehkan kata tertulis dan lebih mengutamakan ujaran, dengan mengontraskan, dan menempatkan ujaran sebagai semacam saluran murni bagi makna.

Argumen mereka adalah kata-kata yang diucapkan adalah simbol dari pengalaman mental (makna, kebenaran). Sedangkan kata-kata tertulis –sebagai sekadar representasi dari ujaran– hanyalah turunan kedua, atau sekadar simbol dari simbol yang sudah ada (ujaran) tersebut.
Ujaran menurut De Saussure adalah kesatuan petanda (signifie) dan penanda (signifiant), yang dianggap kelihatan menjadi satu dan sepadan, yang membangun sebuah tanda (sign). Makna atau kebenaran adalah petanda, yaitu isi yang diartikulasikan oleh penanda yang berupa suara/bentuk.
Kebenaran yang semula berada di luar penanda (eksternal), kemudian menjadi lekat dengan penanda itu sendiri dalam bahasa. Dia bisa hadir lewat penanda. Kesatuan antara bentuk (penanda) dan isi (petanda) inilah yang disebut Derrida sebagai metafisika kehadiran (metaphysic of presence). Metafisika kehadiran, yang terkadang disebut logosentrisme, berasumsi bahwa sesuatu yang bersifat fisik (penanda) dan yang melampaui fisik (petanda) dapat hadir secara bersamaan, dan hal ini hanya mungkin dalam ujaran, bukan tulisan.
Tanpa mempersoalkan rincian tentang cara para pemikir itu menetapkan dan membenarkan oposisi hirarkis semacam ini, penting untuk diingat bahwa strategi pertama dekonstruksi adalah membalikkan oposisi-oposisi yang sudah ada. Derrida menyangkal oposisi-oposisi biner semacam itu, dan akhirnya juga menolak kebenaran tunggal atau logos itu sendiri.

D.  Differance dan Difference
Dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan bahwa struktur penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan “lebih tua” ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri (presence-to- self), yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau ujaran.
                Sebagai contoh, dalam keseluruhan bab Course in General karya Ferdinand de Saussure, Saussure mencoba membatasi ilmu linguistik hanya pada fonetik (Linguisticsphonetic) dan kata yang bisa didengar (audible word). Dalam penyelidikan ini, Saussure sampai mengatakan bahwa “bahasa dan tulisan adalah dua sistem tanda yang berbeda: yang kedua eksis semata-mata hanya untuk representasi dari yang pertama”. Bahasa, tegas Saussure, memiliki tradisi oral yang independen dari penulisan, dan keindependenan inilah yang membuat sebuah ilmu murni ujaran dimungkinkan.
Derrida dengan berapi-api menolak hirarki ini. Derrida sebaliknya berargumentasi bahwa semua yang bisa diklaim terhadap tulisan (seperti, bahwa itu sekadar merupakan turunan (derivatif) dan hanya merujuk ke tanda-tanda lain) sebenarnya juga sama berlaku terhadap ujaran.
Derrida menyatakan bahwa signifikasi selalu merujuk ke tanda-tanda lain dan kita tidak akan pernah sampai ke suatu tanda yang hanya merujuk ke dirinya sendiri. Maka, tulisan bukanlah tanda dari sebuah tanda, namun lebih benar jika dikatakan bahwa tulisan adalah tanda dari semua tanda-tanda. Dan proses perujukan yang tidak terhingga (infinite) dan tidak habis-habisnya ini tidak akan pernah sampai ke makna itu sendiri.
Inilah pengertian “tulisan” yang ingin ditekankan Derrida. Derrida menggunakan istilah arche-writing, yakni tulisan yang merombak total keseluruhan logika tentang tanda. Jadi, tulisan yang dimaksud Derrida bukanlah tulisan (atau tanda) sederhana, yang dengan mudah dianggap mewakili makna tertentu.
Dilihat dengan cara lain, tulisan merupakan prakondisi dari bahasa, dan bahkan telah ada sebelum ucapan oral. Maka tulisan malah lebih “istimewa” daripada ujaran. Tulisan adalah bentuk permainan bebas dari unsur-unsur bahasa dan komunikasi. Tulisan merupakan proses perubahan makna terus-menerus dan perubahan ini menempatkan dirinya di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos).
Jadi, tulisan bisa dilihat sebagai jejak, bekas-bekas tapak kaki, yang harus kita telusuri terus-menerus, jika ingin tahu siapa si empunya kaki (yang kita anggap sebagai makna yang mau dicari). Proses berpikir, menulis dan berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebut Derrida sebagai differance.
Differance adalah kata Perancis yang jika diucapkan pelafalannya persis sama dengan kata difference. Kata-kata ini berasal dari kata differer differance dan difference yang bisa berarti “berbeda” sekaligus “menangguhkan/ menunda.” Kita tak bisa membedakan hanya dengan mendengar ujaran (karena pelafalannya sama), tetapi harus melihat tulisannya. Di sinilah letak keistimewaan kata ini, yang sekaligus membuktikan tulisan lebih unggul ketimbang ujaran, sebagaimana diyakini Derrida.
Jika kata terucap (ujaran) membutuhkan tulisan untuk bisa berfungsi secara memadai, seperti ambiguitas dalam kata differance dan difference tersebut, maka ujaran itu sendiri selalu berjarak dari setiap apapun yang diklaim sebagai kejelasan kesadaran (clarity of consciousness). Pernyataan Derrida ini secara tegas telah membantah habis argumen De Saussure, yang berusaha memisahkan ujaran dan tulisan, dan melecehkan tulisan sebagai sesuatu yang nyaris tidak dibutuhkan oleh ujaran.
Differance adalah permainan perbedaan-perbedaan, jejak-jejak dari perbedaan-perbedaan , dan penjarakan (spacing), yang dengan cara tersebut unsur-unsur dikaitkan satu sama lain. Proses differance ini menolak adanya petanda absolut atau “makna absolute,” makna transendental, dan makna universal, yang diklaim ada oleh De Saussure dan oleh pemikiran modern pada umumnya.
Menurut Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan (spacing), di mana apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya hanyalah selalu berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada celah atau kesenjangan antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini membuat pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah “kebenaran” ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak “kebenaran” lain di depannya, dan begitu seterusnya.
Jadi, apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang “ada di depan,” tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pegangan. Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan pasti, ternyata adalah ketidakpastian, atau permainan. Semuanya harus ditunda atau ditangguhkan (deferred) sembari kita terus bermain bebas dengan perbedaan (to differ). Inilah yang ditawarkan Derrida, dan posmodernitas adalah permainan dengan ketidakpastian.


E.   Penerapan dan Sistematika Dekonstruksi
Pada awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung, terhadap teks-teks tertentu. Ia berkomitmen pada analisis habis-habisan terhadap makna literal teks, dan juga untuk menemukan problem-problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa mengarahkan ke makna-makna alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang diabaikan.
Dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi (pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability), yang mengkhianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang ditulisnya.
Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi, sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda.
Ini juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi harus dilakukan dengan hati-hati. Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru berlandaskan pada hasrat untuk mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain (tout autre), dan untuk membuka diri terhadap berbagai kemungkinan- kemungkinan alternatif.
Penjelasan ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida. Adanya perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-karya awal dan karya-karya terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang jelas bagi kesulitan yang akan muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi mengatakan ini” atau “dekonstruksi melarang itu.”


Namun, ada ciri tertentu dari dekonstruksi yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan upaya Derrida dilandaskan pada keyakinannya tentang adanya dualisme, yang hadir dan tak bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat.
Kekhasan cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan.
Oleh karena itu, dalam metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan, dan oleh karenanya, filsafat tidak pernah berupa ungkapan transparan pemikiran langsung. Sebab, setiap pemikiran filosofis tentu disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material, baik grafis maupun fonetis. Dan sistem tanda itu tentu juga tak hanya digunakan untuk kepentingan filosofis.
Filsafat yang pada dasarnya adalah tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan keluar dari kerangka fisik kebahasaan yang digunakannya. Bahasa ingin digunakan sebagai sarana transparan untuk menghadirkan makna dan kebenaran riil yang ekstra-linguistik, atau dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut, kebenaran yang betul-betul benar.
Sedangkan tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks.
Sistematika penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama, mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, di mana biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak.

Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik.
Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama.
Dengan langkah-langkah semacam ini, pembacaan dekonstruktif berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan terkadang berusaha menemukan makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.

F.    Pengaruh Dekonstruksi terhadap Kajian Budaya
Dalam kajian budaya, dekonstruksi Derrida memberi pengaruh penting. Berkat dekonstruksi Derrida, makna kini tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, tunggal, universal, dan stabil, tetapi makna selalu berubah. Klaim-klaim kebenaran absolut, kebenaran universal, dan kebenaran tunggal, yang biasa mewarnai gaya pemikiran filsafat sebelumnya, semakin digugat, dipertanyakan, dan tidak lagi bisa diterima.
Secara sepintas, seolah-olah tidak ada tawaran “konkret” dari metode dekonstruksi. Namun, yang dimaui oleh dekonstruksi adalah menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks. Teks dan kebudayaan tidak lagi dipandang sebagai tatanan makna yang utuh, melainkan sebagai arena pertarungan yang terbuka. Atau tepatnya, permainan antara upaya penataan dan chaos, antara perdamaian dan perang, dan sebagainya.
Dalam kesusastraan, misalnya, dekonstruksi ditujukan sebagai metode pembacaan kritis yang bebas, guna mencari celah, kontradiksi dalam teks yang berkonflik dengan maksud pengarang. Dalam hal ini, membaca teks bukan lagi dimaksudkan untuk menangkap makna yang dimaksudkan pengarang, melainkan justru untuk memproduksi makna-makna baru yang plural, tanpa klaim absolut atau universal.

Dalam proses itu, penafsir juga tidak bisa mengambil posisi netral tatkala menganalisis suatu teks tanpa dirinya sendiri dipengaruhi atau dibentuk oleh teks-teks yang pernah ia baca. Teks itu sendiri juga tidak bisa diasalkan maknanya semata-mata pada gagasan si pengarang, karena pikiran pengarang juga merujuk kepada gagasan-gagasan pengarang lain yang mempengaruhinya.
Dekonstruksi, seperti juga pendekatan posmodernisme lainnya, dengan demikian cocok dengan konsep pluralitas budaya, pluralitas permainan bahasa, banyaknya wacana, penghargaan terhadap perbedaan, dan membuka diri terhadap yang lain (the other).
Penghargaan terhadap perbedaan, pada “yang lain” ini membuka jalan bagi penghargaan pada pendekatan lokal, regional, etnik, baik pada masalah sejarah, seni, politik, masyarakat, dan kebudayaan pada umumnya.
Penelitian yang bersifat lokal, atau etnik, dan sebagainya kini mendapat tempat, dan pada gilirannya akan memperkaya dan menghasilkan deskripsi atau narasi-narasi khas masing-masing. Mungkin, inilah salah satu sumbangan penting dekonstruksi Derrida terhadap kajian budaya.


Daftar Pustaka
Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Bennington, Geoffrey. 2000. Interrupting Derrida. London/New York: Routledge.
Christomy, T., dan Untung Yuwono (ed.). 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI.
Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford/New York: Oxford University Press.
Kathryn Woodward. 1999. Identity and Difference. London: Sage Publication.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme, Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
Magnis-Suseno, Franz. 2005. Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Norris, Christopher. 2008. Membongkat Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Storey, John. 2006. Cultural Theory and Popular Culture: an Introduction. Fourth Edition. Athens, Georgia: The University of Georgia Press.
Williams, James. 2005. Understanding Poststructuralism. Chesham: Acumen.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS